Sabtu, 10 Juli 2021

MENAPAKI ERA SUPER SMART SOCIETY



Sumber gambar : https://sevima.com/perguruan-tinggi-menghadapi-era-society-5-0/

Kita berdiri di abad pengetahuan, teknologi, dan sistem informasi dengan perkembangan dunia yang begitu cepat melaju, dibarengi pergeseran pada pusat pengaruh peradaban dunia yang melahirkan trend dari era revolusi industri 4.0 dan society 5.0. Konsep society 5.0 menjadi inovasi baru dari society 1.0 sampai society 4.0 dalam sejarah peradaban manusia.

Era society 5.0 diresmikan pada 21 Januari 2019 untuk mengantisipasi gejolak disrupsi akibat revolusi industri 4.0, yang melahirkan volatility, uncertainty, complexity, dan ambiguity (VUCA). Dikhawatirkan gejolak dimaksud dapat mendegradasi nilai-nilai kemanusiaan. Mantan perdana menteri Jepang Shinzo Abe menjelaskan dalam World Economic Forum (WEF), bahwa “pada era society 5.0 bukan lagi modal, tetapi data yang menghubungkan dan menggerakkan segalanya, membantu mengisi kesenjangan antara yang kaya dan yang kurang beruntung”.

Sebenarnya, konsep revolusi industri 4.0 dan society 5.0 tidak memiliki perbedaan yang jauh. Revolusi industri 4.0 menggunakan kecerdasan buatan (artificial intelligence) sementara society 5.0 memfokuskan kepada komponen manusianya. Dengan kata lain, revolusi industri 4.0 menjadikan kita lebih modern karena memiliki akses terhadap teknologi dan society 5.0 adalah masa di mana teknologi-teknologi ini menjadi bagian dari manusia.

Ilustrasi perkembangan Industri 4.0

(Sumber gambar: https://nasional.sindonews.com/berita/1439542/16/revolusi-industri-40-ancaman-dan-peluang)

Society 5.0 menjadi konsep penting yang berpusat pada manusia dan basis teknologi. Karena, society 5.0 berupaya mensinergikan konsep digital dengan humanistik sehingga akan melahirkan keseimbangan antara tercapainya kemajuan teknologi dan peningkatan kualitas SDM yang unggul (Nusantara, 2019).

Ilustrasi konsep society 5.0

(Sumber gambar : https://karinov.co.id/revolusi-industri-5-jepang/)

Era society 5.0 menuntut kita untuk menuntaskan beragam tantangan dan persoalan sosial dengan memanfaatkan berbagai inovasi yang lahir di era revolusi industri 4.0 seperti Internet on Things (internet untuk segala sesuatu), Artificial Intelligence (kecerdasan buatan), Big Data (data dalam jumlah besar), dan robot untuk meningkatkan taraf hidup manusia. 

Namun penting digarisbawahi tebal-tebal, di era society 5.0 nilai karakter harus dikembangkan, empati, dan toleransi harus dipupuk seiring dengan perkembangan kompetensi yang berpikir kritis, inovatif, dan kreatif. Betapapun canggihnya teknologi dan informasi yang muncul, kodrat manusia mesti tetap menjadi fundamen penataan kehidupan sosial. Dengan begitu, kita dapat memanusiakan manusia melalui kemajuan teknologi dan informasi.

Posisi Indonesia Masih Kedodoran

Memang terdengar sangat utopis terjadi. Apalagi, Republik Indonesia masih menjadi negara berkembang, kemungkinan hanya masyarakat akademik yang melek akan kemajuan zaman, pebisnis yang memiliki kepentingan pasar, atau juga pemangku kebijakan publik yang mengamati dinamika perkembangan masyarakat yang mengenal society 5.0. Baru hanya segelintir orang.

Sampai kapan seluruh rakyat Indonesia dapat membaca secara saksama tentang arah perkembangan society 5.0 ? Yudi Latif (2020), mengingatkan kita bahwa, ramalan banyak ahli soal tendensi kemandegan perekonomian di Eropa dan Amerika Serikat, masa depan perkembangan dunia dilukiskan sebagai era kebangkitan Asia. Namun, dalam era kebangkitan Asia itu, apakah takdir Indonesia sebagai negara besar hanyalah pelengkap penderita yang bercokol di halaman belakang dari dinamika kawasan?

Sebagai salah satu dari tiga negara dengan jumlah penduduk terbesar di Asia, Indonesia mestinya menjadi negara besar yang memainkan peran besar dengan menawarkan berbagai capaian besar. Namun ada banyak pekerjaan rumah yang harus Indonesia tunaikan untuk memenuhi ekspektasi tersebut. Dalam berbagai indikator menyangkut daya saing global, indeks pembangunan manusia (human development index), tingkat kemampuan literasi, numerasi, dan pemecahan masalah (berdasarkan Programme for the International Assessment of Adult Competence & Programme for the International Students Assessment), tingkat minat baca dan berbagai indikator lainnya, posisi Indonesia masih kedodoran.

Padahal Yudi Latif (2020), melihat dalam rasa keadilan Ilahi, tak ada ketentuan bahwa jalan hidup suatu bangsa harus tetap berada di pinggiran. Dari hari ke hari, firman Tuhan justru semakin membuktikan kebenarannya, bahwa di dalam sejarah kejatuhan dan kejayaan suatu kaum, manusia sendirilah pusat pengubahnya. Transformasi kehidupan suatu kaum (bangsa) tidak akan terjadi hingga manusia-manusia pada bangsa itu dapat mengubah alam kejiwaanya.

Eksistensi Perguruan Tinggi

Perguruan Tinggi sebagai Center of Excellence (CoE) bangsa ini dituntut memainkan peran besar untuk terus bertransformasi agar mampu beradaptasi dengan trend yang berkembang. Selain itu, kembali memperkuat kualitas pendidikan dan penelitian. Perlu diingat kembali bersama bahwa dunia pendidikan dan penelitian merupakan salah satu gerbang untuk memperbaiki peradaban umat manusia. Maju mundurnya sebuah bangsa amat ditentukan oleh kualitas pendidikan dan penelitian.

Sementara itu, khusus hasil penelitian dapat memberikan kontribusi penting dengan bobot besar untuk menetapkan peringkat dan reputasi suatu perguruan tinggi riset (university based on the research). Penelitian merupakan ciri dari perguruan tinggi besar dunia, seperti yang ditulis Levin bahwa perguruan tinggi besar dunia bercirikan adanya penelitian, pengembangan, dan penyebaran pengetahuan. Hal ini menegaskan bahwa penelitian sangat berperan dalam menentukan reputasi suatu perguruan tinggi. Dengan upaya menjadikan penelitian sebagai prioritas kegiatan perguruan tinggi (research university), maka perlu membangun suatu lingkungan yang dapat mendukung kegiatan penelitian dengan lebih baik dan berkualitas (Kholik, 2021).

Konrad Lorenz (peraih Hadiah Nobel Fisiologi atau Kedokteran 1973) juga mengekspresikan dalam ungkapannya yang berbunyi: “More than any other product of human scientific culture, scientific knowledge is the collective property of all mankind” (Mayling Oey-Gardiner dkk, 2017). Karena itu, sudah waktunya Indonesia sebagai negara besar memainkan peran penting dan secara perlahan mengatur langkah agar senantiasa terlibat aktif dalam menjawab tantangan dan kebutuhan di era super smart society.

Lebih lanjut, kehadiran masyarakat akademik yang terampil menggunakan pendekatan ilmu interdisipliner, multidisipliner, dan transdisipliner amat dibutuhkan untuk membedah problematika di era society 5.0 dan merekomendasikan solusi terbaik. Dalam pandangan Muvid (2021),  kunci sukses sebuah perguruan tinggi ialah dimana ia didukung oleh SDM yang ada di dalamnya, dan juga kemampuannya untuk “mengawinkan” antar disiplin ilmu pengetahuan menjadi interdisipliner, multidisipliner, dan transdisipliner. Sebab, hasil kajian Kholik (2021) menunjukan bahwa, banyak persoalan yang melekat kuat dalam kehidupan manusia tidak efektif lagi dapat diselesaikan dengan pendekatan satu bidang keilmuan (monodisiplin).

Interdisipliner berarti kerjasama antar satu ilmu dengan ilmu lain sehingga merupakan satu kesatuan dengan metode tersendiri. (Khoiruddin, 2017:19) Jadi, integrasi antara satu ilmu dengan ilmu lain dapat membentuk satu ilmu baru, dengan metode baru. Multidisipliner berarti kerjasama antara ilmu pengetahuan yang masing-masing ilmu pengetahuan tersebut tetap berdiri sendiri dan dengan metode sendiri. (A.G.M. Val Melsen, 1985).

Multidisipliner disebut juga interkoneksi antar satu ilmu dengan ilmu lain hanya saja masing-masing bekerja berdasarkan disiplin dan metode masing-masing. Pendekatan multidisipliner (multidisciplinary approach) memfokuskan pada pendekatan dalam pemecahan suatu masalah dengan menggunakan tinjauan berbagai sudut pandang banyak ilmu yang relevan. Sementara, pendekatan transdisipliner sebagai upaya mengembangkan sebuah teori atau aksioma baru dengan membangun kaitan dan keterhubungan antar berbagai disiplin.

Selain pendekatan, interdisipliner, multidisipliner, dan transdisipliner, kata riset World Economic Forum (WEF) 2020, terdapat 10 kemampuan utama yang paling dibutuhkan untuk menghadapi era Revolusi Industri 4.0, yaitu bisa memecahkan masalah yang kompleks, berpikir kritis, kreatif, kemampuan memanajemen manusia, bisa berkoordinasi dengan orang lain, kecerdasan emosional, kemampuan menilai dan mengambil keputusan, berorientasi mengedepankan pelayanan, kemampuan negosiasi, serta fleksibilitas kognitif. 10 Kemampuan ini juga relevan dalam menghadapi society 5.0.

Kemudian, usaha lain yang dapat dilakukan oleh perguruan tinggi dalam meningkatkan sumber daya manusianya antara lain: (1) Motivasi meneliti, yang mencakup: peningkatan ilmu pengetahuan; (2) Kebermanfaatan bagi orang lain, & kepuasan diri; (3) Kondisi individu yang mencakup manajemen waktu, mood, self responsibility; (4) Kemampuan literasi dan penulisan ilmiah serta target dan konsistensi; (5) Budaya meneliti di kampus yang mencakup: ketersediaan fasilitas, lingkungan; (6) Kebijakan KTI untuk syarat lulus; (7) Pengetahuan tentang manfaat meneliti yang mencakup: pencarian jawaban ilmiah, pengembangan potensi, serta peningkatan kapabilitas peneliti (Ghani, 2019).

Agenda ini harus terus menerus dicanangkan dan dibudidayakan di lingkungan kampus sehingga yang terjadi adalah suatu kebiasaan untuk meneliti, membaca, menulis, mengamati, mengobservasi, berdiskusi, melakukan berbagai perkembangan dan inovasi di bidang pengetahuan, penelitian, pengajaran dan juga pengabdian. Kemudian, hal yang tidak kalah penting adalah dibarengi dengan sikap keilmuan yang komparatif sehingga pengembangan keilmuan tidak hanya satu tiang, tapi bisa bisa saling berintegrasi antara satu tiang dengan tiang lainnya.

Era society 5.0 memberikan peluang bagi para perguruan tinggi untuk meningkatkan keilmuan yang dibalut dengan kecanggihan teknologi juga tidak mengesampingkan kualitas sumber daya manusianya, sehingga paradigma yang tidak mendukung itu semua harus diubah dan diganti dengan paradigma integratif, interkonektif yang dapat melahirkan sebuah gagasan, ide dan solusi baru bagi kebutuhan-tuntutan kehidupan masyarakat global (Muvid, 2020).

Demi menapaki era super smart society sebagai penyeimbang dari revolusi industri 4.0, maka beragam upaya yang telah dipaparkan sebelumnya mesti dilakukan oleh perguruan tinggi. Sebab sebagai pusat keunggulan bangsa, perguruan tinggi memiliki beban besar yang berat untuk mencetak lulusan yang unggul dan berdaya saing yang mampu membedah persoalan kemudian menyodorkan solusi terbaik bagi pembangunan peradaban bangsa.

Kamis, 30 Mei 2019

Pengujian Mental Berdemokrasi

 

Tulisan ini dipublikasikan pada : https://artikula.id/godlief/pengujian-mental-berdemokrasi/

Pendemokrasian yang berorientasi persatuan (negara kekeluargaan) dan keadilan (negara kesejahteraan); dengan pemerintahan negara yang melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia sementara mengalami pengujian berat hari-hari ini. Alih-alih demokrasi yang dicap sebagai “pesta kegembiraan” yang digelar pada tanggal 17 April 2019 lalu berujung dengan “kisruh” antar elit politik yang menjalar hingga rakyat jelata.

Jutaan mata rakyat menyaksikan kegaduhan berdemokrasi pasca pemilu yang ditandai aksi protes atas proses demokrasi itu sendiri di depan Kantor Bawaslu. Pidato dari kedua tokoh politik yang bertarung dalam pemilu kali ini tidak serta-merta menyejukkan suasana hati para demonstran hingga kisruh pun tak terelakkan.

Untunglah negara telah mewanti-wanti berbagai pihak yang sengaja memancing di air keruh saat massa menyampaikan aspirasi di depan Kantor Bawaslu, sehingga TNI-Polri dapat mengerem tindakan anarkis yang bisa saja melahirkan kegaduhan yang berkepanjangan.

Memang, salah satu problem dalam pemilu kali ini adalah perbedaan hasil perhitungan suara yang dilakukan oleh KPU dengan hasil perhitungan yang dilakukan oleh Badan Pemenangan Nasional (BPN) Pasangan 02, sehingga hal ini dibaca sebagai bagian dari kesalahan dan kecurangan. Ini berarti peluit panjang yang menandakan berakhirnya pemilu masih dinanti oleh seluruh rakyat di MK.

Kata Suryadi (2017) para pemilih yang sudah menjatuhkan keputusannya dibuat menunggu. Keputusan pemilih, yang adalah pemegang kedaulatan, harus tunduk kepada prosedur hukum, yang menggantungkan keputusan pemilih kepada amar putusan MK. Perhitungan hasil suara tidak membuat KPU bisa langsung meniup “peluit panjang” tanda berakhirnya pemilu, namun harus mengalami perpanjangan waktu, hingga MK membacakan keputusan akhir.

Sebagai bangsa yang masih percaya hukum sebagai panglima, mari kita serahkan proses sengketa pemilu dalam tangan MK. Dan bila MK telah memutuskan siapa pemenang dalam pemilu 2019, kepada pihak yang kalah mesti legowo dan berjiwa besar menerima kenyataan demi keberlangsungan hidup berbangsa dan bernegara. Itulah wujud mental sebagai warganegara yang baik (good citizen).

Ingatlah bahwa pemilu di Indonesia memberikan kunci kemenangan sepenuhnya kepada suara mayoritas. Siapa yang menguasai suara terbanyak, dialah yang menang. Tidak ada seleksi lain, semacam dipilih oleh dewan perwakilan (electoral vote). Di sini, suara rakyat benar-benar berkuasa menghitamputihkan sang kandidat dalam paradigma yang mutlak one man, one vote, one value.

Demi keberlangsungan demokrasi kita, meminjam kalimat Anies Baswedan pasca Pilpres 2014 bahwa “sebuah demokrasi, sebenarnya berlangsung terus atau tidak, bukan ditentukan oleh yang menang tapi ditentukan oleh yang kalah. Bila yang kalah menyatakan siap menerima hasil, lalu move on bekerja bersama lima tahun ke depan, ada kompetisi lagi demokrasi akan berlanjut”. Konsep semacam ini mesti berlaku dalam setiap perayaan demokrasi di tanah air.

Demokrasi Hari-Hari Ini

Buat apa para pemain politik dianugerahi akal sehat bila terus terjebak dalam praktik yang tidak demokratis? Dan benarkah apa yang dikatakan Fuady (2010) bahwa prinsip demokrasi yang diletakan saat ini sudah cukup maju, bahkan sangat maju menurut ukuran zamannya, namun praktiknya tidak serta merta berubah menjadi benar-benar demokratis?

Bila kita cermati, selama proses berdemokrasi di tanah air masih saja dijumpai praktik-praktik yang tidak demokratis. Beragam tuduhan buruk terhadap petugas penyelenggara pemilu, demonstrasi anarkis, hoaks, politik uang, ujaran kebencian, kampanye hitam hingga aksi makar yang diolah oleh para pemain politik tentu merusak pertumbuhan demokrasi yang sehat.

Lebih dari itu, konsep demokrasi yang mencerdaskan kehidupan bangsa hanya diucapkan oleh para elit politik dalam pidato, selebihnya adalah alat tukar tambah kekuasaan bagi mereka yang tamak demi melapisi kehormatan dengan kemormatan yang lebih tinggi sebagai penolak kenistaan zaman. Bisa jadi, fenomena semacam ini adalah pertanda lonceng kematian politik demokrasi. Benar-benar pengujian mental berdemokrasi yang amat berat.

Memang, kata Suryadi (2017) sejak kelahirannya demokrasi telah dipahami sebagai cara yang diarahkan untuk mewujudkan kebaikan bersama. Bila cara-cara demokratis dilepaskan dari tujuan otentiknya, maka demokrasi akan merosot menjadi democide, yakni tindakan yang seolah-olah demokratis padahal sejatinya mengubur nilai-nilai demokrasi. Atas dasar prinsip ini, cap demokratis luntur bila proses politik yang diklaim demokratis hanya menguntungkan sebagian kelompok.

Demi menyelamatkan mental, akal sehat dan nurani, serta masa depan demokrasi kita, maka pelbagai praktik yang tidak demokratis dan inkostitusional layak ditolak dan dihentikan. Mari kita hormati mereka yang berkorban untuk membuka kran demokrasi di tanah air, sehingga kita bisa hidup di ruang-ruang kebebasan yang amat terbuka untuk menyerukan berbagai aspirasi kepada negara.

Fuady (2010) mengingatkan demokrasi adalah pilihan satu-satunya yang terbaik bagi kehidupan dan kelangsungan suatu bangsa dan negara di dunia ini. Hampir-hampir tak ada alternatif lain yang mampu bertahan seperti konsepsi demokrasi.

Dalam renungan reflektif berjudul “Demokrasi Kita” Mohammad Hatta bernubuat bahwa demokrasi tak bisa dilenyapkan dari denyut kehidupan bangsa Indonesia. Dalam pandangannya “demokrasi bisa tertindas sementara karena kesalahannya sendiri, tetapi setelah ia mengalami cobaan yang pahit, ia akan muncul kembali dengan penuh keinsafan”.

Kamis, 08 November 2018

MIRISNYA DUNIA POLITIK DI ERA MILENIAL

Ida Fitriyanti
(Mahasiswa Pendidikan Kewarganegaraan Universitas Pattimura)
Sumber Gambar:
http://serikatnews.com/mendamba-politik-milenial/ 

Pada dasarnya setiap orang berhak memilih calon pemimpinnya, namun tidak etis jika saling menjatuhkan calon yang lain, negara Indonesia adalah negara demokrasi alangkah baiknya pemilihan itu harus berjalan sesuai dengan aturan yang telah ditelah ditetapkan.***


BERITA bohong tentang penganiayaan yang dilakukan Ratna Sarumpaet terbutu panjang sejumlah pengacara yang tergabung dalam komunitas pengacara indonesia projokowi atau kopi pojok melaporkan tujuh belas politikus nasional ke Bareskrim Mabes Polri Gambir Jakarta Pusat. Selain pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno, Wakil Ketua DPR Fadli Zon turut dilaporkan mereka dinilai ikut menyebarkan berita bohong yang dibuat Ratna Sarumpait.

Menurut pelapor berita yang bohong mengenai penganiayaan Ratna Sarumpaet yang disebar tersebut merugikan pasangan Jokowi-Ma’ruf Dunia politik Indonesia sekarang sedang hangat-hangatnya untuk dibahas apa lagi menjelang PEMILU presiden, yang akan dilakukan oleh dua calon, perseteruan pun mulai terjadi, persaingan secara halus mulai dilakukan, banyak pendukung dari masing-masing calon pun saling membuat gerakan sehingga meramaikan berbagai media sosial.

Namun ini semua tidak membuat kedua calon pemimmpin untuk berseteru, justru keduanya malah terlihat akur dan baik-baik saja, banyak pihak lain yang justru menambah bumbu-bumbu tentang kedua calon tersebut, kita bisa lihat tentang masalah yang terjadi mengenai ratna sarumpait, berbagai cara para netizen menyebar luaskan berita tersebut dan di kait-kaitkan tentang pilpres yg akan mendatang. Sehingga banyak yang beranggapan bahwa kedua calon tersebut saling berseteru.

Saya tertarik dengan pendapat dari Suryo Untoro belaiau mengatakan bahwa Pemilihan Umum (Pemilu) adalah suatu pemilihan yang dilakukan oleh warga negara Indonesia yang mempunyai hak pilih, untuk memilih wakil-wakilnya yang duduk dalam Badan Perwakilan Rakyat, yakni Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Tingkat I dan Tingkat II (DPRD I dan DPRD II).

Pada dasarnya setiap orang berhak memilih calon pemimpinnya, namun tidak etis jika saling menjatuhkan calon yang lain, negara Indonesia adalah negara demokrasi alangkah baiknya pemilihan itu harus berjalan sesuai dengan aturan yang telah ditelah ditetapkan. Demokrasi pada dasarnya adalah dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Demokrasi politik pada hakikatnya yaitu masyarakat memilih pemimpinya secara langsung sesuai kehendaknya. Hak setiap orang untuk menyuarakan pilihannya.

Pemilu pada awalnya ditujukan untuk memilih anggota lembaga perwakilan, yaitu DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota. Setelah amendemen keempat UUD 1945 pada 2002, pemilihan presiden dan wakil presiden (pilpres), yang semula dilakukan oleh MPR, disepakati untuk dilakukan langsung oleh rakyat dan dari rakyat sehingga pilpres pun dimasukkan ke dalam rangkaian pemilu.

Pilpres sebagai bagian dari pemilu diadakan pertama kali pada Pemilu 2004. Pada 2007, berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007, pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah (Pilkada) juga dimasukkan sebagai bagian dari rezim pemilu. Pada umumnya, istilah "pemilu" lebih sering merujuk kepada pemilihan anggota legislatif dan presiden yang diadakan setiap 5 tahun sekali. Pemilu harus dilakukan secara berkala, karena memiliki fungsi sebagai sarana pengawasan bagi rakyat terhadap wakilnya.

Pemilu adalah wadah untuk memilih pemimpin negara indonesia yang bisa membangun negara ini lebih sejahtera dan rakyatnya pun makmur dan damai, hentikan tindakan mengecam dan membahayakan diri untuk hal yang tidak etis, menjatuhkan lawan, biarkan masyarakat menentukan pilihannya siapapun pemimpin kita nanti dia harus menunjukan kemampuannya dalam membangun negri ini. Siapapun pemimpin kita tujuan nya adalah mencerdaskan kehidupan bangsa dan mensejahterakan rakyatnya.

Kita hidup di zaman global yang dimana perbuatanmu adalah kualitas pikiranmu, sebagai warga negara Indonesia yang baik harusnya tunjukan pikiran yang bermoral bukan merusak moral jadikan politik sebagai bahan perdamaian bukan perbedaan karna indonesia identik dengan paham perbedaan, berbeda-beda tetapi tetap satu.***

DEMOKRASI INDONESIA, APAKAH MEMANG SUDAH KEBABLASAN?


Nuraini Wali
(Mahasiswa Pendidikan Kewarganegaraan Universitas Pattimura)
Sumber Gambar:
https://adesiswoyo12.blogspot.com/2017/04/konsep-demokrasi-dan-pendidikan.html

Jika masyarakat selalu melakukan hal-hal yang tidak sesuai dengan  norma, aturan dan kaidah maka dengan sendirinya hancurlah bangsa Indonesia bukan hanya demokrasi kita yang akan hancur tapi negara tercinta kita juga akan hancur.***

DEMOKRASI kita kebablasan mungkin kerap terdengar dalam percakapan politik sehari-hari. Namun kali ini pernyataan itu punya bobot lebih besar ketika diucapkan oleh Presiden Joko Widodo, kepala pemerintahan sekaligus kepala negara Republik Indonesia. Pernyataan tersebut disampaikan oleh Jokowi dalam kesempatan pelantikan pengurus Partai Hanura di Sentul Jawa Barat, 21/02.

Dalam kesempatan itu, Jokowi, seperti dikutip berbagai media, menyebutkan bahwa praktik demokrasi kita sudah membuka peluang terjadinya artikulasi politik yang ekstrim seperti liberalisme, radikalisme, fundamentalisme, sektarianisme dan terorisme serta ajaran lain yang bertentangan dengan Pancasila. Bentuk nyata penyimpangan itu menurut Jokowi adalah politisasi SARA, yang menurutnya harus dihindari.

Lebih lanjut, Jokowi menyebutkan bahwa bertebarnya kebencian, kabar bohong, fitnah, saling memaki dan menghujat bisa menjurus kepada pecah belah bangsa. Jokowi menyebutkan hal ini adalah ujian yang membuka peluang bangsa ini semakin dewasa, matang dan tahan uji. Ia kemudian mengimbau agar perilaku seperti ini dihentikan, dan kuncinya adalah pada penegakan hukum. "Aparat hukum harus tegas dan tidak usah ragu-ragu," lanjut Presiden Jokowi.

Demokrasi Indonesia akan berjalan dengan semulanya ketika masyarakat tidak menyentuh sisi sensitif suatu agama yaitu  SARA, dan bangsa masyarakat Indonesia  harus menghilangkan budaya  kebencian, kabar bohong, fitnah, saling memaki dan menghujat bisa menjurus kepada pecah belah bangsa. Jika masyarakat selalu melakukan hal-hal yang tidak sesuai dengan  norma, aturan dan kaidah maka dengan sendirinya hancurlah bangsa Indonesia bukan hanya demokrasi kita yang akan hancur tapi negara tercinta kita juga akan hancur

Sedangkan menurut Anggota Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Mahfud MD menyebut bahwa demokrasi Indonesia sudah kebablasan. Hal ini di sampaikan karena Mahfud menilai demokrasi pada dewasa ini digunakan sebagai jalan untuk melakukan korupsi. Sekarang korupsi itu ditempuh melalui proses demokrasi sehingga satu yang salah itu disahkan oleh lembaga demokrasi sehingga menjadi benar.

Misalnya anda mau korupsi sesuatu, lewat DPR aja pesen pasal pesen undang-undang," kata Mahfud di kawasan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Kamis (6/9/2018).Dalam posisi itu, lanjut Mahfud, korupsi bisa dilakukan. Karena ketika ingin diusut hal itu, para koruptor tidak bisa disalahkan, karena sudah memesan lebih dulu UU pada DPR. "Ketika mau ditangani secara hukum, ini ada undang-undangnya, Sudah disetujui DPR dan DPD itu pun kemudian jual beli ini beli kan, nah itu yg dimaksud demokrasi kebablasan," jelasnya.

Mantan Ketua MK itu mengungkapkan, dari salah satu hasil penelitian di Australia, bahwa jika demokrasi itu maju, maka korupsi itu akan bisa dikurangi atau kalau demokrasi semakin tinggi semakin habis korupsi. "Tapi hasil penelitian menyebutkan di Indonesia semakin demokrasi semakin banyak korupsinya, berbeda dengan teori yang berlaku, dalam literatur," ujarnya.

Di Indonesia jangankan makanan maupun uang yang bisa dilelang, demokrasi pun bisa dilelang dengan seenaknya. Bagaimana negara kita mau maju kalau pengurus-pengurusnya pun tidak lihai dalam mengatur negara tercinta kita. Memakan uang negara tanpa adanya rasa bersalah, demokrasi kita memang sudah kebablasan.

Kebablasannya demokrasi kita membuat menderita  rakyat kecil kita yang mengharapkan keadilan dari bangsanya untuk membangun literatur agar kehidupan makin layak, namun harapan-harapan itu hanya khayalan saja, bagaimana mau terwujud literaturnya kalau banyaknya korupsi, uang yang akan dipakai buat pembangun untuk kesejahteraan berasama namun uang itu dipakai sendiri untuk kesejahteraannya sendiri.

Demokrasi kita akan lancar, akan berjalan dengan baik jikalau kita bebas dari  isu SARA, dan korupsi. Majunya suatu Negara jika masyarakatnya juga sejahtera dalam arti bebas dari segala kejahatan dan mendapat keadilan yang merata.***

DEKLARASI 2019 GANTI PRESIDEN BUKAN KAMPANYE HITAM

Sariyani
(Mahasiswa Pendidikan Kewarganegaraan Universitas Pattimura)
Sumber Gambar :
https://tirto.id/alasan-di-balik-larangan-deklarasi-2019gantipresiden-di-bandung-cQpa

Mereka yang menghalalkan segala cara dan mengingkari nilai kemanusiaan dengan menyebarkan permusuhan, kebencian dan perpecahan, hendaknya tidak dipilih.***

DEKLARASI yang sedang marak dan berkicau luas di Surabaya dan beberapa daerah di Indonesia di anggap menjadi bentuk ketidakpuasan akan kinerja Jokowi dan dukungan kepada salah satu pasangan calon. Namun gerakan tersebut juga bukan di lakukan oleh tim kampanye pasangan calon. Deklarasi tersebut mendapat kecaman keras dari pendukung Jokowi. Deklarasi tersebut berbentuk kecaman-kecaman keras di media sosial bahkan muncul adanya kaos-kaos yang bertuliskan “2019 ganti presiden”.

Deklarasi tersebut bukan merupakan ranah hukum bawaslu, ketua Bawaslu Abhan pun menyebut belum ada aturan yang dilanggar dari gerakan itu. Sebab, sejauh ini belum ada aturan khusus mengenai kampanye Pilpres 2019. sehingga  tagar tersebut menjadi ranah hukum Kepolisian karena berhubungan dengan ranah keramaian. 

Namun yang mencengangkan dan di apresisasi banyak pihak  yaitu  tanggapan santai dari pak Jokowi sendiri yang sekarang menajabat sebagai Presiden RI. Beliau mengatakan masa dengan kaos bisa ganti presiden, menurut saya itu adalah tanggapan yang sangat rileks, saya rasa itu adalah tanggapan yang sangat bagus karena gerakan ganti presiden itu adalah gerakan yang normal dalam demokrasi bukan sebuah kejahatan.

Sekarang ini, negara demokrasi bebas berkumpul, bebas berpendapat, bebas berserikat tetapi sekali lagi ada aturannya. Jangan sampai kita menabrak keamanan, menabrak ketertiban sosial, itu juga harus kita hargai. Saya bersependapat dengan Hasto Kristiyanto (Wakil sekretaris Jendral PDIP), bahwa tahun politik 2018 menjadi ujian apakah demokrasi Indonesia mampu berdiri kokoh pada pemahaman nilai kemanusiaan yang menyatu dengan nilai ketuhanan, kebangsaan, musyawarah mufakat dan perjuangan menegakkan keadilan sosial. Sebab demokrasi dalam pemilu hanyalah alat. 

Meskipun terjadi persaingan, bahkan kontestasi kekuasaan untuk memenangkan Pemilu, namun watak perikemanusiaan dan perikeadilan tetap menjadi tolok ukur utama kualitas demokrasi di Indonesia.  Saya berharap, dalam kontestasi Pilkada Serentak mendatang dapat mencari pemimpin-pemimpin yang visioner dan mampu membawa perubahan untuk perikehidupan yang lebih baik.

Mereka yang menghalalkan segala cara dan mengingkari nilai kemanusiaan dengan menyebarkan permusuhan, kebencian dan perpecahan, hendaknya tidak dipilih. Sudah menjadi komitmen rakyat Indonesia untuk melalui tahun politik dengan damai dan aman. Jangan pernah gunakan kekuasaan untuk menang dengan segala cara. Indonesia adalah bangsa yang bermartabat dan berkeadaban Pancasila.***

MENGAPA DEMOKRASI BANYAK MELAHIRKAN KORUPSI?


Cornelia Sapulette
(Mahasiswa Pendidikan Kewarganegaraan Universitas Pattimura)
Sumber Gambar :
https://www.mediaoposisi.com/2018/09/korupsi-buah-sistem-demokrasi.html

Jangan-jangan persoalan korupsi di Indonesia berpangkal pada gemuknya pemerintahan ditambah political ignorance para pemilih.***

HAMPIR setiap minggu kita mendapatkan berita tentang penangkapan kepala daerah atau pejabat pemerintah oleh KPK. Dengan sumber daya yang terbatas saja, KPK begitu sering membongkar kasus korupsi, apalagi jika mereka memiliki sumber daya lebih besar. Mungkin setiap hari kita akan disuguhkan berita penangkapan para koruptor.

Begitu seringnya KPK menangkapi para pejabat yang korup, Ketua MPR, Zulkifli Hasan, sampai khawatir jika KPK meneruskan operasinya menggeledah kantor atau rumah para pejabat, suatu saat nanti tidak akan ada lagi orang yang mengurus negeri ini karena semuanya telah tertangkap KPK.

Pertanyaannya, apakah banyaknya kasus korupsi itu karena ada KPK? Artinya, kalau tidak ada KPK yang beroperasi, negeri kita aman-aman saja, tidak ada korupsi? Ini ialah pertanyaan keliru dari logika yang sesat. Ia sama dengan pertanyaan ini, mengapa banyak orang sakit gigi? karena banyak dokter dan klinik gigi. Jika tak ada dokter gigi, tak akan ada orang yang sakit gigi.

Menarik mencermati bagaimana masyarakat kita menyikapi korupsi. Pada satu sisi, ada orang-orang yang menganggap korupsi suatu hal yang biasa dan bukan sebuah kejahatan besar. Bahkan ada yang menganggap bahwa korupsi untuk tujuan tertentu, misalnya demi syiar agama (korupsi syari atau suap syari) dibolehkan, seperti belum lama ini disuarakan seorang ustaz.

Alih-alih mengecam, agama digunakan melegitimasi tindakan kejahatan. Namun, sesungguhnya, ini bukan pertama kali agama dipakai untuk melakukan kejahatan. Sudah seringkali agama dipakai untuk menyakiti orang, menipu, menyerang, merampas, membunuh, hingga meneror. Agama ialah alat paling efektif untuk menutupi kejahatan.

Pada sisi lain, ada masyarakat yang betul-betul muak melihat maraknya korupsi di negeri kita. Mereka berharap KPK terus konsisten melakukan operasinya. Mereka tahu bahwa pemberantasan korupsi tidak mudah. KPK bukan hanya berhadapan dengan para koruptor, tapi juga harus berhadapan dengan sebagian masyarakat yang tak mengerti betapa jahatnya korupsi.

Jangan-jangan persoalan korupsi di Indonesia berpangkal pada gemuknya pemerintahan ditambah political ignorance para pemilih. Setiap kepala daerah yang terpilih merasa berhutang pada partai yang mendukungnya. Ketika berkuasa, dia sekuat tenaga akan “membayar utang” kepada para pendukungnya, dengan memberi jabatan atau memberi insentif lain, yang berpotensi mengandung korupsi.***

Rabu, 07 November 2018

DEMOKRASI DALAM FENOMENA PILKADA


Krisye H. Elias
(Mahasiswa Pendidikan Kewarganegaraan Universitas Pattimura)
Sumber Gambar :
https://www.herdi.web.id/pilkada-langsung-adalah-keniscayaan-demokrasi/

Dalam konteks kehidupan politik demokrasi di Indonesia, pemilu dan pemilihan kepala daerah (pilkada) langsung merupakan salah satu sarana untuk mewujudkan kehidupan politik yang demokratis.***

DEMOKRASI adalah sebuah kata yang begitu sering diucapkan. Namun, makin banyak ia dibahas makin terasa betapa sulit mencari contoh tentang negara yang memenuhi tatanan demokrasi secara sempurna. Di Indonesia, pencarian terhadap sosok demokrasi pun terus digelar, baik pada aras praktik sistem politik maupun kajian akademik. Dalam aras akademik, sejumlah makalah dikupas habis-habisan dalam berbagai seminar.

Sementara itu, sejumlah buku, artikel pidato para pakar dan politisi, telah pula diterbitkan dalam jurnal ilmiah, koran dan majalah. Tetapi, berbeda dengan di negara-negara berkembang lainnya, semaraknya perbincangan tentang sistem demokrasi di Indonesia bukan karena bangsa atau pemerintahan di negeri ini tidak mengenal sistem demokrasi.

Justru sebaliknya, bangsa Indonesia pada aras implementasi sistem politik telah banyak memahami varian-varian demokrasi di dunia. Beberapa diantaranya bahkan telah diujicobakan di negeri ini demokrasi liberal, demokrasi parlementer, dan demokrasi Pancasila. Namun berbagai varian demokrasi ini gagal memberikan tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara yang benar-benar berbasis pada nilai-nilai dan kaidah demokrasi dalam arti yang sebenar-benarnya.

Dalam konteks kehidupan politik demokrasi di Indonesia, pemilu dan pemilihan kepala daerah (pilkada) langsung merupakan salah satu sarana untuk mewujudkan kehidupan politik yang demokratis. Dalam setiap periode menjelang pemilu dan pilkada situasi dan kondisi politik seringkali diwarnai dengan berbagai persaingan dan konflik antar kekuatan politik.

Yang menjadi persoalan adalah bagaimana kita dapat mengelola dan mengendalikan persaingan serta kemungkinan konflik yang akan terjadi antar kekuatan politik yang ada sehingga tidak mencuatkan situasi anarkhisme dan kekerasan politik? Bisakah kita berharap pada penegakan aturan main pemilu dan pilkada sebagai tonggak sejarah pengembangan proses politik menuju transisi demokrasi? Hal yang perlu diamati juga dalam kondisi ini adalah kemungkinan terkalahkannya gerakan reformasi oleh kekuatan-kekuatan bersenjata dan kekuatan penguasa sumber daya produktif masyarakat.

Berdasarkan hal tersebut muncul pertanyaan tambahan yakni seberapa besar peluang yang kita miliki untuk menggunakan pemilu dan pilkada sebagai wahana untuk mencegah kemungkinan reformasi berjalan mundur menuju kembalinya otoritarianisme sistem politik kita dalam bentuknya yang baru? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut kita perlu memahami dengan baik kompetisi dan konflik politik sejak runtuhnya rezim Soeharto.

Pemahaman itu pada gilirannya paling sedikit menuntut pemahaman lebih khusus terhadap tiga hal yang sangat penting, yaitu: (1) Dinamika proses politik yang terjadi menyusul jatuhnya Soeharto; (2) Konfigurasi konflik politik di antara berbagai kekuatan politik yang dihasilkan oleh praktik politik Orba, dan (3) Berkembangnya kebudayaan masyarakat sebagai hasil aplikasi ideologi pembangunanisme yang melahirkan sikap apolitik, permisif, ekspresif dan hedonistic.

Setelah kita melewati Pemilu 1999 yang oleh sebagian besar masyarakat, tidak saja nasional tetapi juga internasional, diakui sebagai pemilu yang paling demokratis di Indonesia, di kalangan sebagian dari kita seakan berkembang harapan baru bahwa di negeri kita ini akan segera terbangun konsolidasi demokrasi, yang kemudian disusul dengan sistem politik yang benar-benar demokratis.

Kebenaran Yang terjadi adalah bukannya konsolidasi demokrasi tetapi justru perkembangan ke arah apa yang disebut frozen democracy yang antara lain ditandai dengan berkembangnya konflik etnis, maraknya kekerasan politik secara kolektif, dan lokalitas politik yang berlebihan. Dalam kondisi masa transisi yang demikian muncul keyakinan publik bahwa satu kesalahan yang sangat serius telah terjadi di dalam pemerintahan dan masyarakat kita; bahwa semakin banyak elit dan tokoh politik bertindak hanya bagi kepentingan pribadi mereka sendiri, bukan bagi kepentingan rakyat yang mereka wakili.

Yang terjadi semakin transparan di hadapan mata publik bahwa "seni memerintah" (the art of governing) semakin berkembang menjadi "seni untuk menipu" (the art of deceiving) rakyat di dalam skala yang makin besar. Inilah situasi dan realitas politik yang tengah kita hadapi saat ini, realitas yang bukan tidak mungkin akan mendorong terciptanya alienasi politik masyarakat dan kehidupan politik yang liar, sangat subur bagi persemaian anarkhi dan kekerasan politik apabila para elit dan tokoh politik gagal untuk mengelola itu semua.

Comments system

Disqus Shortname