Selasa, 06 Desember 2016

Kesetiaan Politis

Prof. Dr. Karim Suryadi, M.Si

Peneliti komunikasi politik, dosen FPIPS Universitas Pendidikan Indonesia, kolumnis Pikiran Rakyat

SETIAP pemilihan umum kepala daerah (pemilukada) selalu memunculkan “badai dalam secangkir kopi”, suasana panas dan tegang di kalangan elit, namun diklaim sebagai kegelisahan publik. Padahal, sejujurnya publik tetap adem ayem. Tengok masyarakat Betawi, meski tiap hari televisi nasional mewartakan jalan menuju Jakarta 1, namun masyarakatnya tetap tenang. Hanya sedikit pergerakan yang dimotori relawan, selebihnya mengamati dalam diam.
Gambaran serupa ditemui pada warga Jawa Barat, atau penduduk CImahi, yang tetap landai meski klaim dukungan terhadap bakal calon dan baliho berderet di pingggir jalan. Gambaran tidak jauh beda, dapat ditemukan di daerah lain yang dijadwalkan menggelar pemilukada serentak pada 2017.
Hingga kini, kontestasi politik Indonesia masih menjadi kegiatan ad hoc. Tidak seperti aktivitas menanam padi, yang tidak cukup hanya menebar benih dan memanen, kontestasi politik Indonesia hanya semarak ketika musim pemilihan tiba. Lalu hening ketika pemilihan usai, dan hubungan elit dan massa pun melonggar begitu jabatan habis terdistribusi. Kegairahan publik dibangkit-bangkitkan kembali jelang tiba pemilu berikutnya.
Kandidasi yang lebih menekankan aspek-aspek yang disukai alih-alih kemampuan memimpin tidak membangkitkan impresi mendalam bagi publik. Bahkan sikap kandidat yang hanya menjadikan partai politik semata-mata kendaraan (dan karenanya bisa dengan mudah berganti bila tidak sesuai dengan kepentingan politisnya) tidak menghapus gambaran kurang baik tentang politisi dan partai politik dalam benak publik.
Namun tidak ada gambaran yang lebih memilukan ketika mendapati pemilukada harus menyisakan dendam dan permusuhan. Kompetitor dipandang sebagai lawan, bahkan musuh. Ujung-ujungnya yang menang meraup semuanya, dan menempatkan yang kalah di luar sistem. Lebih naif lagi permusuhan bukan hanya terjadi antara kandidat yang kalah dengan pemenang, tetapi antara pemenang dengan pejabat sebelumnya karena partai dan sikap politik dalam pemilu yang berbeda.
Kontestasi politik sebagai inkubator kebencian harus diakhiri jika masih percaya bahwa demokrasi adalah pilihan orang-orang berakal sehat. Pun pengkhianatan terhadap kepercayaan pemilih harus dihentikan bila masih percaya bahwa pemimpin tanpa pengikut tak ubahnya kepala yang terlepas dari raga.
Jika mau, peluang memutus kebiasaan buruk dalam berpolitik tetap terbuka. Baik buruknya gambaran politik bergantung kepada tindakan para aktornya. Kualitas proses dan hasil politik tidak akan melampaui kapasitas politisinya.
Di tengah kegalauan menyaksikan akrobat politisi menyongsong pemilukada, saya sangat senang membaca kisah yang ditulis Bajasur & Hakiem, 2014, yang dikutip Yudi Latif, 2014. Sebuah kisah teladan kesetiakawanan mereka yang berbeda dalam pemikiran politik namun bersahabat dan saling membantu dalam kehidupan sosial. Prawoto Mangkusasmito, tokoh Partai Masyumi yang pernah menjadi Wakil Perdana Menteri (1952-1953) dan Wakil Ketua I Konstituante (1956-1959), sampai akhir tahun 1950-an belum memiliki rumah. Di tengah perbedaan pandangan politik yang tajam menyangkut Dasar Negara di Konstituante, I. J. Kasimo, tergerak memberi bantuan tatkala mendengar Pak Prawoto hendak membeli rumah yang sudah enam tahun disewanya. Kebetulan Kasimo kenal dengan pemilik rumah tersebut yang tinggal di Maastrich, Belanda, hingga rumah tersebut dapat dibeli Pak Prawoto.
Ini adalah kebajikan politis yang otentik. Perbedaan pandangan politik tidak menjadi katalisator hubungun baik dan persahabatan yang tulus.
Nyatanya, kebajikan politis bukan hanya dipertontonkan negarawan di tanah air, tetapi juga diperlihatkan oleh politisi yang sudah matang. Benedetto, dalam Politicans are People Too, 2006, memotret sketsa politik George Voinovich, mantan walikota Republikan dari Cleveland, yang kemudian menjadi Gubernur Ohio, dan senator Amerika.
Dia adalah orang nomor satu, yang memimpin kota Cleveland, dengan visi yang brilyan. Benedetto, menyebutnya sebagai wali kota yang melangkah jauh melebihi panggilan tugasnya dalam memperluas kebiasaan saling menolong. Pujian ini terkait komitmen kuat Voinovich terhadap aktivitas para pemimpin komunitas, yang melumasi kehidupan sosial Amerika dengan beragam kebajikan sosial.
Selain komitmennya dalam mendorong modal sosial, catatan penting Voinovich terkait preferensi kepartaiannya. Sebagai Republikan, Voinovich mendukung Bob Dole yang mencalonkan diri sebagai presiden. Dukungan pun diberikan penuh. Namun dukungannya berbuah kecewa karena Bob Dole memilih Jack Kemp untuk posisi wakil presiden. Bob Dole tidak menggandeng Voinovich, yang dianggapnya sebagai lawan unggul untuk orang nomor dua pada tiket Partai Republik ke kursi presiden. Namun pilihan Bob Dole tidak melemahkannya dalam mendukung kadidasi Dole, yang pada akhirnya kalah melawan Bill Clinton. Meski kecewa berat, loyalitas terhadap partainya terjaga, karena bagi George Voinovich kesetiaan adalah kebajikan.
Tentu saja masyarakata Kota Surabaya tak perlu menoleh jauh untuk menemukan gambaran wali kota yang melangkah dengan visi menata kehidupan warganya. Di tengah kebiasaan kepala daerah yang suka meniru gaya politik angsa (berteriak-teriak namun tak beranjak), Bu Risma sukses menata Kota Surabaya. Keberhasilannya dalam memperlebar Jalan Ahmad Yani dari bundaran Waru hingga Wonokromo (kurang lebih empat kilometer) adalah salah satu testimoni kerja kerasnya, sekaligus kedekatannya dengan warga. Bagi siapa pun, akan sulit memimpin kota besar tana penerimaan warganya.
Meski dunia politik identik dengan kontestasi, namun ruang untuk berbuat kebajikan tidak akan tertutup bila hati para politisinya masih terbuka. Kesetiaan politis tidak bertepi pada motif pribadi, melainkan melahirkan keputusan dan tindakan berani dalam mewujudkan apa yang dipikirkan, dirasakan, dan dimaui publik.
Kontestasi yang dibalut permusuhan harus diakhiri, karena jika dibiarkan berulang tak ubahnya tindakan membangun keterbelakangan. Lebih dari itu, pola pikir yang menganggap dendam sebagai buah yang wajar dari persaingan politik harus dikubur, sebab kontestasi politik sejatinya adalah pilihan rasional untuk melakukan contest of beauty, memilih orang-orang terbaik dari yang terpilih.**

Hollywood

Prof. Dr. Karim Suryadi, M.Si

Peneliti komunikasi politik, dosen FPIPS Universitas Pendidikan Indonesia, kolumnis Pikiran Rakyat

DALAM satu dekade terakhir Jawa Barat dipimpin oleh aktor kondang. Tidak jelas benar apa yang menjadi asbabul nuzul munculnya aktor dalam kancah politik tatar Parahyangan. Satu hal yang sulit disangkal, wilayah ini amat digemari artis, sekaligus menjadi rebutan politisi kondang. Tak heran, bila deretan nama tenar selalu menghiasi daftar calon, baik dalam pemilihan kepala daerah maupun legislatif.
Kemunculan artis dalam bursa calon kepala daerah Jawa Barat sepertinya akan berlanjut dalam Pemilihan Gubernur 2018. Jauh sebelum masa pendaftaran dimulai, sosok artis telah digadang-gadang sebagai bakal calon. Fenomena ini akan mengukuhkan tudingan bahwa warga Jawa Barat hanya memilih gubernur dan wakil gubernur yang sedap dipandang mata.
Gemerlap artis dalam panggung pemilukada tidak banyak ditemukan di daerah lain. Tidak pula di ibu kota, tempat dimana kebanyakan artis tinggal dan mencari nafkah. Lalu apa yang menjadi magnet para pesohor untuk maju dari daerah pemilihan Jawa Barat? Apa pula tali pengikat (cliffhanger) yang menghubungkan Jawa Barat dengan dunia artis?
Hingga kini belum ada jawaban faktual atas kedua pertanyaan tersebut. Namun para fans "politisi seleb" selalu merujuk kepada kemunculan aktor dalam bursa politik Barat. Selain Ronald Reagan, aktor kondang Arnold Alois Schwarzeneger paling sering dijadikan pembenar.
Arnold Schwarzeneger adalah ikon film laga yang laris manis dalam bursa pasar layar lebar dunia. Penggemarnya tersebar di mana-mana. Bagi penggemar film di tanah air, aktor pemeran film Terminator, Commando, dan Total Recall tersebut bukanlah sosok asing. Tak heran ketika aktor kondang dan binaragawan tersebut maju dalam pemilihan Gubernur California menyedot perhatian publik di tanah air. Keberhasilannya menduduki kursi Gubernur California ke-38 telah menjadi inspirasi bagi banyak aktor untuk mencoba peruntungannya dalam panggung politik.
Menelusuri hubungan Arnold dengan kursi Gubernur California lebih mudah ketimbang melacak alasan sosiologis kemunculan artis dalam panggung politik Jawa Barat. Di Californialah industri fillm Hollywood berada. Nosi "Aktor Hollywood" telah menjadi stempel, sekaligus hipotek penjamin kualitas keaktoran seorang sineas.
Popularitas California bukan hanya ditopang Hollywood sebagai barometer industri film dunia, tetapi juga oleh eksotika kota-kota yang ada di negara bagian ini. Los Angeles yang dijuluki "kota ratu para malaikat", Pasadena yang terkenal dengan parade bunga tiap tahun, atau kota Beverly Hills yang melegenda karena namanya diangkat sebagai judul serial televisi remaja "Beverly Hills 90210".
Dalam konteks seperti ini kemunculan Arnold seolah mengukuhkan California sebagai pusat industri film nomor wahid. Bagi California, Arnold adalah telor bagi tumpeng. Kemunculannya tidak sekadar menjadi pemanis buatan, melainkan merangkum dan menggenapkan kesempurnaan wajah kota.
Di luar hubungannya yang sahih dengan karakter Hollywood sebagai ikon industri film dunia, Arnold terjun sebagai politisi Partai Republik dengan deposit politik yang valid. Jauh sebelum memutuskan terjun ke panggung politik, Arnold dikenal sebagai sosok yang memiliki kepedulian sosial yang tinggi. Pengalaman Arnold dalam menangani masalah sosial membuatnya mudah memahami emosi publik, sekaligus peka terhadap tekanan ekonomi yang dirasakan warga.
Inilah legacy yang ditinggalkan Arnold dalam bursa kandidasi politik. ia melenggang ke bursa kandidat bukan hanya menunggangi popularitas, tetapi bermodal pengalaman keterlibatan dalam menangani urusan publik.
Aspek inilah yang absen dari ceruk pengalaman kandidat di tanah air. Banyak kandidat muncul tiba-tiba. Minus pengalaman menangani urusan publik, dan mengandalkan dramaturgi semata. Bila fragmen seperti ini terus diulang, maka jangan kaget ketika yang muncul adalah tokoh yang disukai namun sesungguhnya tidak dibutuhkan.***

Kesalehan Langit

Prof. Dr. Karim Suryadi, M.Si

Peneliti komunikasi politik, dosen FPIPS Universitas Pendidikan Indonesia,
kolumnis Pikiran Rakyat

DUA hari lalu, saya takziyah, mengunjungi kediaman seseorang yang baru saja meninggal dunia. Seperti biasa, pesan viral soal kepergian kawan saya itu telah menghiasi ruang media sosial (medsos) beberapa jam sebelumnya. Dengan beragam cara, kawan di grup atau kontak di jaringan pribadi, mengekspresikan rasa duka dan empatinya dengan beragam gaya, seakan tengah kontes ucapan bela sungkawa.
Namun, ketika tiba di rumah duka, pemandangan lain tersaji. Simpati dan kehangatan di jejaring medsos tak terasa di sini. Mereka yang menyatakan duka mendalam dan simpatinya tidak datang takziyah.
Duka yang mendalam terpancar dari bibir mata yang sembap para anggota keluarga, serta wajah kusut dan lelah para kerabat. Di sekeliling mereka, raut wajah sedih mendominasi. Mereka umumnya saudara dan tetangga almarhum. Lalu, mana kawan-kawan yang galecok (ramai) di medsos? Akankah (lagi-lagi) rame ing medsos, sepi ingalam nyata?
Ini pertanyaan berulang, namun tidak pernah dipikir berkepanjangan. Bila pertanyaan ini dilontarkan kepada mereka yang aktif di medsos, namun tak hadir di rumah duka, sudah dapat ditebak jawabannya. Beragam alasan akan muncul, namun mereka umumnya mengaku telah melakukan sesuatu yang paling minimal, yakni menunjukkan simpati. Atas alasan ini pula, kematian seorang tokoh nun jauh di sana akan diperbincangkan pula di medsos.
Dalam konteks bertakziyah, menunjukkan simpati itulah yang dimaksudkan oleh Paul Zak, seorang profesor ahli neuroeconomy, sebagai the moral molecule. Molekul moral inilah yang menjadi alas hubungan yang saling percaya, rasa empati, dan perasaan lain yang berguna dalam membangun stabilitas sosial. Pancaran rasa nyaman ini pula yang membuat orang betah berlama-lama berselancar di medsos.
Namun, sebagaimana moralitas umumnya, pengetahuan tentang baik-buruk, atau benar-salah tidak selamanya diikuti perbuatan. Sebagai panduan perilaku baik, kaidah moral selalu berada di depan dan berfungsi menuntun. Orang paling saleh sekalipun tak mungkin benar-benar mewujudkan seratus persen kaidah moral yang bersemayam di dunia idenya.
Itulah sebabnya, terlalu ceroboh mencurigai pesan di media sosial sebagai virus penyebab kejahatan. Sepertinya halnya orang yang menerima pesan viral tentang kebaikan yang belum tentu membuatnya benar-benar menjadi orang yang saleh, mereka yang menerima pesan viral yang bernada menghasut pun belum tentu benar-benar mengikuti kejahatan yang dianjurkan.
Pesan di medsos hanyalah membentuk "keadaan siap", sebuah kecenderungan untuk bertindak. Untuk menjadi tindakan nyata masih butuh penguat, utamanya soal derajat kepentingan bagi dirinya dan jauh dekatnya peristiwa (baik dekat secara geografis maupun psikologis).
Karena itu, saya tak percaya membeludaknya unjuk rasa 4 November 2016 hanya karena gencarnya pesan viral di medsos. Hanya karena hal yang diributkan menyentuh nucleus keimanan yang paling sensitiflah maka orang berduyun-duyun menuntut penegakkan hukum atas dugaan penistaan Alquran. Buktinya, banyak pengunjuk rasa yang pergi ke Jakarta tidak melihat video (baik yang "asli" maupun yang konon sudah "diedit") terlebih dahulu, bahkan tidak membaca pesan viral juga. 
Kejadian ini tak jauh beda ketika Alquran dilecehkan di penjara Guantanamo dan ibu-ibu di Jawa Timur yang mendengar kabar ini diberitakan media siap melawan kejahatan tersebut. Padahal, kejadiannya di penjara Guantanamo, suatu tempat yang takkan mudah dijangkau: selain jauh juga ketat pengamanannya.
Dalam konteks ini, pepatah yang menyatakan asap tidak bergantung kepada api melainkan kayu bakar terasa benar. Yang menentukan antusiasme pendemo bukan gencarnya serbuan pesan viral, melainkan apa yang dikatakan Ahok tentang Alquran. Hanya orang yang menganut teori keperkasaan medialah yang masih mendewakan kedahsyatan efek media dalam membentuk tindakan manusia. Namun penganut teori ini kian menurun jumlahnya.
Belum lagi kita melihat realitas kasat mata pengguna medsos di tanah air. Mereka umumnya hanya membaca untuk tahu, tapi kebanyakan tidak untuk memahami apalagi mengikutinya. Bahkan, untuk urusan pesan kebajikan, banyak pengguna medsos yang membaca tausiyah di medsos bukan untuk memahami dan mengamalkannya, melainkan hanya untuk mem-posting kembali. Tak jarang pesan tersebut sudah diposting ulang sebelum tamat membacanya. Ampun.
Itulah sebabnya, sering kali kita temukan prolog: copy paste (copas) dari sebelah, copasdari tetangga, copas dari depan, belakang, kiri, kanan; yang mengandung posting pesan yang tidak sepenuhnya baru. Maka bertumpuklah pesan atau gambar yang sama di galeri ponsel.
Dalam bahasa Sunda, kelakuan seperti ini disebut ngabejaan bulu tuur(memberitahukan sesuatu yang sudah diketahui umum). Kalau pun isinya humor tidak akan bikin ketawa, tetapi menertawakan orang yang turut mem-posting.
Tentu saja saya tidak menafikan dampak medsos bagi perilaku seseorang, namun menjadikan medsos sebagai pihak yang paling bertanggung jawab dalam menghitamputihkan kelakuan seseorang adalah tindakan yang menyederhakan persoalan. Saya yakin, lebih banyak pengguna medsos hanya membaca (bahkan tidak tamat) untuk mem-posting kembali, alih-alih membaca untuk memahami.
Sanjungan yang diterima atau citra positif yang didamba selepas mengunggah pesan akan menambah kenyamanan pengguna memanfaatkan medsos. Kenyamanan semacam ini, demikian menurut Paul Zak, dalam rentang waktu tertentu setara dengan kehangatan yang dirasakan bayi di dalam dekapan ibunya.
Namun, satu hal yang tidak disadari, bermedia sosial memberi semangat muda, bahkan jauh lebih muda hingga menyentuh nalar kekanak-kanakan. Medsos memberi ruang kepada penggunanya untuk menampilkan ulah paling lucu sekalipun, menghibur, bahkan melawan arus. Tiga sifat yang kerap teramati dari ulah anak yang berumur di bawah lima tahun. 
Ulama dan filsuf Jalaludin Rumi melukiskan fenomena ini dalam kitabnya "Fihi Ma Fihi", sebagai berikut. Dengan anugerahnya, Allah memberikan sifat kekanak-kanakan pada para orang tua, yang tidak diketahui oleh anak mana pun. Hal itu karena kekanak-kanakan akan memberi kesegaran dan membuat manusia bersemangat untuk melompat-lompat, tertawa dan bersenang-senang dalam permainan. Dia melihat dunia yang baru tanpa merasa bosan. Ketika orang tua ini juga melihat dunia menjadi baru, Allah memberikannya kegemaran dalam bermain, ia pun melompat-lompat, meremajakan kulit dan dagingnya. Lalu, Rumi pun berujar "telah nampak kemuliaan dari perkataan si tua setiap kali ketuaannya tampak".
Ketika seseorang gemar meng-copy paste tausiyah boleh jadi ia sedang dilanda semangat menatap dunia dengan cara-cara baru yang lebih baik, optimistik, menyenangkan, dan menjadi apa pun yang ia bayangkan. Demikian pula ketika ada orang yang mem-postingulang pesan bernada menghasut atau mengolok-olok, boleh jadi ia sedag menampilkan kejahilannya selagi kecil.
Jadi, alih-alih merefleksikan kesalehan atau kebejatan, tindakan mem-posting pesan viral boleh jadi hanya ungkapan kebahagiaan seseorang yang terlepas dari dunia yang membosankan, seperti bahagianya seorang anak yang bermain, melompat, dan bertingkah lucu. Boleh jadi kesalehan langit yang Anda posting baru sebatas cita-cita. Begitu pun tindakan meniru keluguan ikan beunteur (hingga cacing yang bermata pancing pun ditelan) hanya lelucon belaka.
Tapi, jangan lupa ada pidana yang mengancam, bila permainan atau sikap kekanak-kanakan Anda menyentuh sesuatu yang menistakan. Anda bisa membuat orang tertawa bersama, seperti juga mengundang kemarahan massal, namun risiko tanggung sendiri.***

Jumat, 02 Desember 2016

Gerakan Bhinneka Tunggal Ika


Perbedaan Diciptakan Untuk Saling Menguatkan


Indonesia negeri yang kaya
Jadikan perbedaan ini semangat untuk bersatu
Tunjukan kita generasi yang mampu rukun dalam keberagaman
Ayo! Bangun Indonesia ke arah yang lebih baik
Kita harus percaya, karena Indonesia itu KITA
=============================================
Tanah airku memang Indah
Tanah airku memang kaya
Kemanapun aku pergi, sejauh apapun aku bekerja di negri seberang, aku akan pulang untuk tanah airku, INDONESIA
============================================
Tanah airku kaya akan budaya
Banyak akan potensi
Penuh ragam cerita dan bersejarah
Indonesia kita kaya akan moral
Banyak akan karya, penuh akan inspirasi dan inovasi
Mari semua bersama membangun Indonesia
Demi Indonesia yang lebih baik
===========================================
Indonesia satu mimpi membangun bersama
Sentuhan dan gerakan berpadu dalam keanekaragaman budaya
Berjalan beriringan menuju Indonesia yang satu, Indonesia bersama.
Karena Indonesia itu KITA.
==========================================
“Tak harus pintar, tapi jangan mudah dibohongi”
Kebanyakan orang, selalu menilai tanpa pikir panjang, entah benar atau salah?
Yang pada akhirnya menimbulkan masalah baru bagi orang lain
BIASAKAN berpikir sebelum bertindak untuk Membangun Indonesia Lebih Baik.
=========================================
Wahai kau harapan
Kau awalan dari setiap tujuan
Kau harmoni yang menemani dalam setiap perjalanan
Kau menjadi gerbang kami pada cita-cita akan perubahan
Wahai kau sang asa, kau membara dalam dada ratusan jiwa anak bangsa
Yang memupuk percaya bahwa cahaya negeri ini sanggup menyilaukan siapa saja
Kau yang menjadikan kami berani disebut sebagai pemimpi, tapi kami adalah pemimpi yang punya langkah-langkah pasti
Langkah-langkah yang bergerak.
langkah-langkah yang menyerap dan menggerakan segala harapan.
Dengan segenap kecintaan pada tanah air Indonesia, kami siap menggerakkan harapan bangsa.
============================================
Setiap anak mempunyai mimpi dan cita-cita, begitu pula denganku
Keterbatasan bukanlah halangan untuk menggapai cita-cita kita demi Indonesia, karena Indonesia adalah KITA
============================================
Indonesia, penuh dengan keanekaragaman budaya
Kreativitas yang tiada hentinya serta kekayaan alam yang begitu Indah
Ayo! Kita junjung tinggi Indonesia
Tunjukkan pada dunia bahwa Indonesia itu Surga nya Dunia
INDONESIA KITA
=============================================
“Generasi Latah”
Indonesia itu proses
Generasi kerap luput bertanya
Latah harus menjadi siapa
Warisan secanggih itu justru membodohi
Akhirnya kita menjadi aku,
Jika semua masih tentang aku, maka berbeda tetap dianggap salah
Jika iya, ini soal memiliki, mengapa kerap lupa tentang generasi
INDONESIAkah KITA?
=============================================
Orang Indonesia bisa mengubah keterbatasan jadi kebebesan
Dari main-main jadi bukan main
Tidak cuman bereaksi tapi juga berkreasi
Indonesia kita punya cita-cita.
Indonesia bagaikan mutiara
Cahanya lebut berikan cinta
Luasnya memanjakan mata
Tersembunyi dibalik tatap dunia
Megarnya hingga ke langit angkasa
Bijaknya abadi ribuan aba
Indonesia adalah mahakarya
#CatatanKaki
=============================================
Semesta mengajari kita untuk terus menanamkan kebaikan
Karena berperan dalam kehidupan selalu ada ruang dan kesempatan
Menjejak di bumi Sang Milik Maha Hidup dengan kesahajaan
Menjaga nur yang sejati agar tak redup, dialah pengetahuan
Menyalakan energi, berbagi diri yang hakikatnya jauh dari abadi
Kita semua bisa melakukannya.
Mari terus berbagi dan menanamkan kebaikan

@MetroTV
#IndonesiaKITA


Comments system

Disqus Shortname