Jumat, 28 Oktober 2016

PENDIDIKAN SEBAGAI ILMU PENGETAHUAN



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Pendidikan adalah suatu proses mentransfer ilmu dari pendidik kepada peserta didik.
Ilmu yang ditransfer umumnya ilmu pengetahuan yang bersifat memberi pengetahuan peserta didik dengan harapan peserta didik mampu mengetahui segala macam keadaan alam, sosial dan kebudayaan yang ada di dunia. Misalnya pada pendidikan formal atau sekolah, obyek utama dalam proses pendidikan adalah ilmu pengetahuan.
Pendidikan merupakan sebagian dari kehidupan masyarakat dan juga sebagi dinamisator masyarakat itu sendiri. Memang kita semua mengatahui betapa sektor pendidikan selalu terbelakang dalam berbagai sektor pembangunan lainnya, bukan saja karena sektor itu lebih dilihat sebagi sektor konsumtif, juga karena “by definition” pendidikan adalah penjaga status quo masyarakat itu sendiri.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia pendidikan yang berarti “education” adalah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui pengajaran dan pelatihan. Sedangkan pengetahuan adalah segala sesuatu yang diketahui berkenaan dengan hal (mata pelajaran). Pendidikan adalah aktivitas dan usaha manusia untuk meningkatkan kepribadiannya dengan jalan membina potensi-potensi pribadinya. Sedangkan pengetahuan adalah objek dari pada manusia melakukan proses pendidikan itu sendiri. Pendidikan merupakan sebagian dari kehidupan masyarakat dan juga sebagai dinamisator masyarakat itu sendiri.
Adapun pengetahuan menurut Hasanah (2007: 104) pada hakikatnya merupakan segenap apa yang kita ketahui tentang suatu obyek tertentu, termasuk ke dalamnya adalah ilmu, jadi ilmu merupakan bagian dari pengetahuan yang diketahui oleh manusia di samping berbagai pengetahuan lainnya seperti seni dan agama. Bahkan seorang anak kecil pun telah mempunyai berbagai pengetahuan sesuai dengan tahap pertumbuhan dan kecerdasannya.
Pengetahuan merupakan khasanah kekayaan mental yang secara langsung atau tak langsung turut memperkaya kehidupan kita. Sukar untuk dibayangkan bagaimana kehidupan manusia seandainya pengetahuan itu tidak ada, sebab pengetahuan merupakan sumber jawaban bagi berbagai pertanyaan yang muncul dalam kehidupan. Setiap jenis pengetahuan mempunyai ciri-ciri yang spesifik sebagaimana Suriasumantri (2007: 105) menjelaskan bahwa mengenai apa (ontology), bagaimana (aksiologi), dan untuk apa (aksiologi) pengetahuan tersebut disusun. Ketiga landasan ini saling berkaitan; jadi ontology ilmu terkait dengan epistemology dan aksiologi ilmu.
Ketika kita berbicara pendidikan maka terbatas pada lingkup tentang pendidikan itu sendiri. Berkaitan dengan itu, pengetahuan tentang pendidikan dikumpulkan oleh ilmu dengan tujuan untuk menjawab permasalahan kehidupan yang sehari-hari dihadapi manusia. Pengetahuan ilmiah alias ilmu dapat diibaratkan sebagai alat bagi manusia dalam memecahkan berbagai persoalan yang dihadapinya khususnya yang berkaitan dengan pendidikan.
Berdasarkan landasan ontology dan aksiologi seperti itu maka bagaimana sebaiknya kita mengembangkan landasan epistemology yang cocok? Khususnya tentang pendidikan. Persoalan utama yang dihadapi oleh epistemology pengetahuan pada dasarnya adalah bagaimana mendapatkan pengetahuan yang benar dengan memperhitungkan aspek ontology dan aksiologi. Demikian halnya dengan masalah yang dihadapi epistemology keilmuan yakni bagaimana menyusun pengetahuan yang benar untuk menjawab permasalahan mengenai dunia pendidikan. Permasalahan ini yang penulis tuangkan dalam bentuk karya tulis makalah dengan judul Pendidikan  Sebagai Ilmu Pengetahuan, KajianOntologis, Epistimologis, dan Aksiologis.

B.     Rumusan Masalah
Filsafat ilmu itu sangat luas, oleh karena itu penulis membatasi rumusan masalah dengan batasan sebagai berikut:
1.      Apa hakikat dari sebuah pendidikan?
2.      Bagaimana ilmu pengetahuan itu diperoleh?
3.      Apa pentingnya ilmu dan pengetahuan dalam kehidupan?
4.  Bagaimana pendidikan di dalam ilmu pengetahuan (ontologism, epistemology, dan aksiologi?

C.    Tujuan Penulisan
1.      Untuk mengetahui hakikat dari sebuah pendidikan.
2.      Untuk mengetahui bagaimana ilmu pengetahuan itu diperoleh manusia.
3.      Untuk mengetahui pentingnya ilmu dan pengetahuan dalam kehidupan.
4.      Untuk mengetahui bagaimana pendidikan di dalam ilmu pengetahuan (ontologism, epistemology, dan aksiologi? 

D.    Metode penulisan
Penulis menggunakan metode penulisan kajian literature, pustaka, dengan pendekatan kualitatif deskriptif. Sehingga akan lebih mudah untuk memaparkan dan menjelaskan materi ini.

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Hakikat Pendidikan
Seseorang dapat dikatakan telah menjadi manusia bila telah memiliki nilai (sifat) kemanusiaan itu sendiri. Itu menunjukan bahwa tidaklah mudah menjadi manusia. Karena itulah sejak dahulu banyak manusia gagal menjadi manusia. Jadi tujuan mendidik ialah memanusiakan manusia. Tafsir (2008: 35).
Filsafat muncul di Yunani semenjak kira-kira abad ke-7 SM. Filsafat muncul ketika orang-orang mulai berpikir-pikir dan berdiskusi akan keadaan alam, dunia, dan lingkungan di sekitar mereka dan tidak menggantungkan diri kepada agama lagi untuk mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini. Banyak yang bertanya-tanya mengapa filsafat muncul di Yunani dan tidak di daerah yang beradab lain kala itu seperti Babilonia, Yudea (Israel) atau Mesir. Jawabannya sederhana: di Yunani, tidak seperti di daerah lain-lainnya tidak ada kasta pendeta sehingga secara intelektual orang lebih bebas. Orang Yunani pertama yang bisa diberi gelar filosof ialah Thales dari Mileta, sekarang di pesisir barat Turki. Tetapi filosof-filosof Yunani yang terbesar tentu saja ialah: Socrates, Plato, dan Aristoteles. Socrates adalah guru Plato sedangkan Aristoteles adalah murid Plato. Bahkan ada yang berpendapat bahwa sejarah filsafat tidak lain hanyalah “komentar-komentar karya Plato belaka”. Hal ini menunjukkan pengaruh Plato yang sangat besar pada sejarah perkembangan filsafat hingga saat ini.
Semua orang mengambil bagian bila yang dibicarakan adalah pendidikan, itu mudah dipahami karena semua orang berkepentingan dengan pendidikan. Orang yang ingin memperbaiki seseorang, sekelompok orang, suatu negara dan bahkan dunia, pasti akan melakukannya langsung atau tidak langsung melalui pendidikan. Alasannya Pertama, fitrah setiap orang menginginkan yang lebih baik. Ia menginginkan pendidikan yang lebih baik seklaipun belum tentu ia tahu mana pendidikan yang lebih baik . Kedua, karena teori pendidikan dan teori pada umumnya selalu ketinggalan oleh kebutuhan masyarakat pada tempat dan waktu tertentu. Menurut Tafsir (2008: 42) bahkan perubahan tempat dan waktu itu ikut pula mengubah sifat manusia. Karena adanya perubahan maka masyarakat merasa tidak puasa dengan teori pendidikan yang ada. Ketiga, karena pengaruh pandangan hidup, pada suatu waktu mungkin seseorang telah puas dengan keadaan pendidikan di tempatnya karena sudah sesuai dengan pandangan hidupnya, seuatu ketika ia terpengaruhi oleh pandangan hidup yang lain. Akibatnya berubah pula pendapatnya tentang pendidikan yang tadinya sudah memuaskan. 

B.   Kajian Ontologis Tentang Objek Ilmu
Pertama-tama pada latar filsafat diperlukan dasar ontologis dari ilmu pendidikan. Adapun aspek realitas yang dijangkau teori dan ilmu pendidikan melalui pengalaman panca indra ialah dunia pengalaman manusia secara empiris. Objek materil ilmu menurut Hasbulloh (2008: 54) pendidikan ialah manusia seutuhnya, manusia yang lengkap aspek-aspek kepribadiannya, yaitu manusia yang berakhlak mulia dalam situasi pendidikan atau diharapkan melampaui manusia sebagai makhluk sosial mengingat sebagai warga masyarakat ia mempunyai ciri warga yang baik (good citizenship).
Ilmu memulai penjelajahannya pada pengalaman manusia dan berhenti dibatas pengalaman manusia, dan ilmu hanya membatasi daripada hal-hal yang berbeda dalam batas pengalaman kita karena terletak pada fungsi ilmu itu sendiri dalam kehidupan manusia: yakni sebagai alat pembantu manusia dalam menanggulangi masalah-masalah yang dihadapinya sehari - hari. Ditegaskan kembali oleh Suriasumantri (2007: 93), bahwa ilmu membatasi lingkup penjelajahannya pada batas pengalaman manusia juga disebabkan metode yang dipergunakan dalam menyusun yang telah teruji kebenarannya secara empiris. Ilmu berkembang dengan sangat pesat dan demikian juga jumlah cabang-cabangnya. Pada dasarnya cabang-cabang ilmu tersebut berkembang dari dua cabang utama yakni filsafat alam yang kemudian menjadi rumpun ilmu-ilmu alam dan filsafat moral yang kemudian berkembang ke dalam cabang ilmu-ilmu social.
Ilmu pendidikan atau Paedagogiek adalah teori pendidikan perenungan tentang pendidikan dalam arti yang luas. Ilmu pendidikan adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari soal-soal yang timbul dalam praktik pendidikan (Hamalik, 2010: 56). Ilmu pendidikan telah berkembang dan memenuhi persyaratan sebagai ilmu pengetahuan yang berdiri sendiri. Ilmu pengetahuan dapat berdiri sendiri apabila telah memenuhi persyaratan yaitu 1) memiliki objek sendiri, 2) metode penyelidikan, 3) sistematika, dan 4) tujuan sendiri. 
Kegiatan pendidikan terjadi dalam hubungan orang tua dengan anak. Orang tua mengajak anak laki-laki pergi kebudayaan ladang, berburu agar anak memiliki ketrampilan berladang dan berburu. Seorang ibu membimbing anak untuk bekerja di lingkungan keluarga, agar anaknya memiliki kemampuan dalam mengurus kehidupan rumah tangga. Masih banyak lagi kegiatan-kegiatan yang lain yang merupakan aktifitas pendidikan berlangsung dalam kehidupan sehari-hari. Dari tinjauan sejarah pendidikan kelahiran ilmu pendidikan diawali dengan lahirnya tokoh-tokoh pemikir dalam bidang pendidikan. Pada abad 18 lahirlah tokoh-tokoh seperti J. A Comeniu, John Locke, Jean Jaques Rousseau, Immanuelkant dan J. J Pestalozzi. Sedangkan tokoh-tokoh pendidikan abad 19 hingga awal abad 20 diantaranya adalah Herbart, Frobel, Montessori, John Dewey dan lain-lain. Bermula dari pemikir-pemikir tersebut maka ilmu pendidikan terus berkembang hingga saat ini.
Manusia dikenal sebagai makhluk berfikir. Hal inilah yang menjadikan manusia istimewa dibandingkan makhluk lainnya. Kemampuan berpikir atau daya nalar manusialah yang menyebabkannya mampu mengembangkan pengetahuan. Dia mengetahui mana yang benar dan mana yang salah, mana yang baik dan mana yang buruk, yang indah dan yang jelek. Secara terus menerus manusia diberikan berbagai pilihan. Dalam melakukan pilihan ini manusia berpegang pada pengetahuan.
Pengetahuan ini mampu dikembangkan manusia disebabkan dua hal utama, yaitu: pertama, manusia mempunyai bahasa yang mampu mengkomunikasikan informasi dan jalan pikiran yang melatarbelakangi informasi tersebut. Kedua, kemampuan berfikir menurut suatu kerangka berfikir tertentu. Kedua faktor diatas sangat berkaitan erat. Terkadang sebagian manusia begitu sulit untuk mengkomunikasikan informasi, pengetahuan dan segala yang ingin dikomunikasikannya. Hal ini salah satunya dikarenakan tidak terstrukturnya kerangka berfikir. Kerangka berfikir akan terstruktur ketika obyek dari apa yang ingin dikomunikasikan jelas. Begitupun ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan memiliki ciri-ciri umum sebagai berikut:
a.       Adanya aktifitas berfikir, meneliti dan menganalisa.
b.      Adanya metode tertentu dan sistematika tertentu.
c.       Adanya obyek tertentu.
Tahap ontologis, membuat manusia terbebas dari kepungan kekuatan-kekuatan gaib, sehingga mampu mengambil jarak dari obyek di sekitarnya, dan dapat menelaahnya. Orang-orang yang tidak mengakui status ontologis obyek-obyek metafisika pasti tidak akan mengakui status-status ilmiah dari ilmu tersebut. Itulah mengapa tahap ontologis dianggap merupakan tonggak ciri awal pengembangan ilmu.
1.  Ilmu Pengetahuan dan Syarat-syaratnya
Menurut Dimyati (2006: 34), ilmu pengetahuan ialah suatu uaraian yang lengkap dan tersusun tentang suatu objek. Sedangkan Hariyanto (2011: 24) mengartikan bahwa ilmu pengetahuan ialah uraian yang sistematis dan metodis tentang suatu hal atau masalah. Adapun syarat-syaratnya adalah:
a)   Objek formal sendiri
b)    Metode penelitian
c)    Sistematika uraian
2.   Kedudukan Ilmu Pendidikan pada Ilmu Pengetahuan
Dari masa ke masa ilmu pendidikan selalu berkembang dan banyak bermunculan ilmu baru yang memisahkan diri dari induknya. Munculnya ilmu baru itu karena telah memenuhi syarat maka ia berhak berdiri sendiri. Untuk dapat di ketahui mana cabang dan mana induk dari ilmu pengetahuan maka perlu diadakannya penggolongan-penggolongan sehingga dapat di ketahui kedudukan masing-masing ilmu. Pendidikan sendiri mempunyai unsur-unsur pembentuk.
“No problem, no science”. Ungkapan O’Neil (2012: 198) ini seolah sederhana namun padat akan makna. Dari ungkapan ini kita bisa mengetahui bahwasanya ilmu pengetahuan muncul dari adanya permasalahan tertentu. Ilmu pengetahuan, menurutnya, diperoleh dari pemecahan suatu masalah keilmuan. Tidak ada masalah, berarti tidak ada solusi. Tidak ada solusi berarti tidak memperoleh metode yang tepat dalam memecahkan masalah. Ada metode berarti ada sistematika ilmiah. Setiap ilmu pengetahuan pasti mempunyai obyek. Obyek dapat dibedakan menjadi dua bagian, yaitu: Obyek material dan obyek formal.
Yang disebut obyek material adalah sasaran material suatu penyelidikan, pemikiran atau penelitian ilmu. Sedangkan menurut Tafsir (2009: 56) obyek material dimaknai dengan suatu bahan yang menjadi tinjauan penelitian atau pembentukan pengetahuan. Obyek material juga berarti hal yang diselidiki, dipandang atau disorot oleh suatu disiplin ilmu. Obyek material mencakup apa saja, baik yang konkret maupun yang abstrak, yang materil maupun yang non-materil. Bisa pula berupa hal-hal, masalah-masalah, ide-ide, konsep-konsep dan sebagainya. Misalnya: objek material dari sosiologi adalah manusia. Contoh lainnya, lapangan dalam logika adalah asas-asas yang menentukan pemikiran yang lurus, tepat, dan sehat. Maka, berpikir merupakan obyek material logika. Istilah obyek material sering juga disebut pokok persoalan (subject matter).
Obyek formal adalah pendekatan-pendekatan secara cermat dan bertahap menurut segi-segi yang dimiliki obyek materi dan menurut kemampuan seseorang. Obyek formal diartikan juga sebagai sudut pandang yang ditujukan pada bahan dari penelitian atau pembentukan pengetahuan itu, atau sudut pandang darimana obyek material itu disorot. Menurut Usman (2008: 13) Obyek formal suatu ilmu tidak hanya memberikan keutuhan ilmu, tetapi pada saat yang sama membedakannya dari bidang-bidang lain. Suatu obyek material dapat ditinjau dari berbagai sudut pandang sehingga menghasilkan ilmu yang berbeda-beda. Ditegaskan lagi oleh Syarifudin (2006: 24) karena itu, akan tergambar lingkup suatu pengetahuan mengenai sesuatu hal menurut segi tertentu.
Misalnya, obyek materialnya adalah “manusia”, kemudian, manusia ini ditinjau dari sudut pandang yang berbeda-beda sehingga ada beberapa ilmu yang mempelajari manusia, diantaranya: psikologi, antropologi, sosiologi dan sebagainya.  
3.      Implikasi Obyek Material dan Obyek Formal 
Persoalan-persoalan umum (implikasi dari obyek material dan obyek formal) yang ditemukan dalam bidang ilmu khusus itu antara lain sebagai berikut:
a.  Sejauh mana batas-batas atau ruang lingkup yang menjadi wewenang masing-masing ilmu khusus itu, dari mana ilomu khusus itu dimulai dan sampai mana harus berhenti.
b.    Apakah persoalan kausalitas (hubungan sebab-akibat yang berlaku dalam ilmu kealam-an juga berlaku juga bagi ilmu-ilmu sosial maupun humaniora.
c. Dimanakah sesungguhnya tempat-tempat ilmu khusus dalam realitas yang  melingkupinya.
d.      Metode-metode yang dipakai ilmu tersebut berlakunya sampai dimana.

C.    Kajian Epistemologi tentang Metode Ilmiah
Metode merupakan hal yang sama pentingnya dalam lapangan ilmu pengetahuan. Tanpa adanya metode yang teratur dan tertentu, penyelidikan atau pembahasan kurang dapat dipertanggungjawabkan dari segi keilmuan. Dari segi metode inilah akan terlihat ilmiah tidaknya suatu penyelidikan atau pembahasan itu.  
Pendidikan merupakan suatu pemikiran yang praktis dan membutuhkan teori dalam menciptakan sistem pendidikan  yang ideal. Oleh sebab itu pendidikan harus berangkat dari filsafat yang khusus dan condong membahas tentang pendidikan. Apalagi jika ada beberapa  pertanyaan radikal tentang pendidikan yang berhubungan dengan ilmu-ilmu sosial dan alam. Berfikir filosofis pada satu sisi dan di pihak lain pengalaman dan penyelidikan empiris berjalan bersama-sama. Maka filsafat merupakan suatu pengetahuan teoritis dan pedagogic merupakan pengetahuan praktis yang menentukan suatu pendidikan itu efektif.
Ilmu pendidikan sebagai ilmu pengetahuan memiliki metode penelitian yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Metode tersebut mencakup metode untuk mengumpulkan data maupun metode untuk mengolah data. Metode pengumpulan data dapat dilakukan melalui observasi, tes, interview, angket dan lain-lain. Metode untuk menganalisis data dapat menggunakan data analisis statistik maupun non statistik. Metode berfikir yang digunakan menganalisis dapat menggunakan metode induktif ataupun deduktif.
Epistimologi berasal dari bahasa Yunani yakni episcmc yang berarti  knowledge, pengetahuan dan logos yang berarti teori. Istilah ini pertama kali dipopulerkan oleh J.F. Ferier tahun 1854 yang membuat dua cabang filsafat yakni epistemology dan ontology (on = being, wujud, apa + logos = teori ), ontology (teori tentang apa).
Secara sederhana dapat dikatakan bahwa filsafat ilmu adalah dasar yang menjiwai dinamika proses kegiatan memperoleh pengetahuan secara ilmiah. Ini berarti bahwa terdapat pengetahuan yang ilmiah dan tidak ilmiah. Adapun yang tergolong ilmiah ialah yang disebut ilmu pengetahuan atau singkatnya ilmu saja, yaitu akumulasi pengetahuan yang telah disistematisasi dan diorganisasi sedemikian rupa; sehingga memenuhi asas pengaturan secara prosedural, metologis, teknis, dan normatif akademis. Dengan demikian teruji kebenaran ilmiahnya sehingga memenuhi kesahihan atau validitas ilmu, atau secara ilmiah dapat dipertanggungjawabkan. Sedang pengetahuan tidak ilmiah adalah yang masih tergolong pra-ilmiah. Dalam hal ini berupa pengetahuan hasil serapan inderawi yang secara sadar diperoleh, baik yang telah lama maupun baru didapat. Di samping itu termasuk yang diperoleh secara pasif atau di luar kesadaran seperti ilham, intuisi, wangsit, atau wahyu (oleh nabi). Jika dikaitkan dengan pendapat yang di sampaikan oleh Ahmad, (2009: 45), filsafat ilmu, pengetahuan manusia dapat terbentuk dari berapa hal seperti yang tergambar pada tabel berikut :
Pengetahuan
Objek
Paradigma
Metode
Kriteria
Sains
Empiris
Sains
Ilmiah
Rasional empiris
Filsafat
Abstrak rasional
Rasional
Rasional
Rasional
Mistis
Abstrak Supra rasional
Mistis
Latihan percaya
Rasa, iman, logis, kadang empiris
Sumber:Ahmad, 2009, Filsafat ilmu
Dari gambaran yang terdapat pada tabel tersebut di atas dapat di ambil sebuah kesimpulan bahwa Pengetahuan ilmiah diperoleh secara sadar, aktif, sistematis, jelas prosesnya secara prosedural, metodis dan teknis, tidak bersifat acak, kemudian diakhiri dengan verifikasi atau diuji kebenaran (validitas) ilmiahnya. Sedangkan pengetahuan yang pra-ilmiah, walaupun sesungguhnya diperoleh secara sadar dan aktif, namun bersifat acak, yaitu tanpa metode, apalagi yang berupa intuisi, sehingga tidak dimasukkan dalam ilmu. Dengan demikian, pengetahuan pra-ilmiah tidak diperoleh secara sistematis-metodologis karena ada yang cenderung menyebutnya sebagai pengetahuan “naluriah”.
Metode ilmiah merupakan prosedur dalam mendapatkan pengetahuan yang disebut ilmu. Jadi ilmu merupakan pengetahuan yang didapatkan lewat metode ilmiah. Tidak semua pengetahuan disebut ilmu sebab ilmu merupakan pengetahuan yang cara mendapatkannya harus memenuhi syarat-syarat tertentu. Syarat-syarat yang harus dipenuhi agar suatu pengetahuan dapat disebut ilmu tercantum dalam apa yang dinamakan dengan metode ilmiah. (Suriasumantri, 2007: 119).
Adapun secara etimologi, metode berasal dari kata Yunani, yakni kata meta (sesudah atau dibalik sesuatu) dan hodos (jalan yang harus ditempuh). Jadi, metode berarti langkah-langkah yang diambil menurut urutan tertentu untuk mencapai pengetahuan, metode berarti suatu tata cara, teknik atau jalan yang ditempuh dan dipakai dalam proses memperoleh pengetahuan jenis apapun. Dictioanry of Behavioral Science memberikan definisi metode sebagai teknik-teknik dan prosedur-prosedur pengamatan dan percobaan yang menyelidiki alam. Teknik dan prosedur yang dimaksud dipergunakan ilmuwan untuk mengolah fakta-fakta, data-data dan penafsirannya sesuai dengan asas-asas atau aturan-aturan tertentu yang sebelumnya telah disepakati ilmuwan. Beilharz, (2008: 102) lebih lanjut menyatakan: metode ilmiah adalah struktur rasional dalam melakukan penyelidikan ilmiah yang disitu pangkal-pangkal duga disusun dan diuji. Dengan demikian dalam bahasa yang sederhana metode ilmiah adalah suatu prosedur atau tata cara tertentu untuk membuktikan benar salahnya suatu dugaan sementara yang ditentukan sebelumnya
1.  Antara Deduktif dan Induktif
Sebelum membahas lebih jauh, disini penulis akan sedikit berbicara mengenai munculnya metode ilmiah. Menurut Tafsir (2008: 24) munculnnya metode ilmiah dalam bingkai filsafat kelihatannya dipengaruhi oleh kondisi alam yang kelihatan begitu dinamik dan teratur. Kondisi alam yang demikian, diduga para filosof karena adanya asas tunggal dari alam yang karena sifatnya seperti itu, manusia akan mampu melakuan proses generalisasi. Lahirnya proses generalisasi itu, dalam kaidah filsafat ilmu karena ada sebuah metode yang disebut metode ilmiah. Oleh Karena itu, tidak salah juga jika metode penelitian awal dan ilmu pengetahuan yang dikembangkan baik oleh filosof maupun ilmuwan cenderung sangat cosmosentris yang menempatkan ketertiban alam sebagai aturan.
Seperti diketahui berpikir adalah kegiatan mental yang menghasilkan pengetahuan, dan metode ilmiah merupakan ekspresi mengenai cara bekerja pikiran. Dengan cara bekerja ini maka pengetahuan yang dihasilkan mempunyai karakteristik-karakteristik tertentu yang diminta oleh pengetahuan ilmiah, yaitu sifat rasional dan teruji yang memungkinkan tubuh pengetahuan yang disusunnya merupakan pengetahuan yang dapat diandalkan. Dalam hal ini maka metode ilmiah mencoba menggabungkan cara berpikir deduktif dan cara berpikir induktif dalam membangun tubuh pengetahuan. Berpikir deduktif memberikan sifat yang rasional kepada pengetahuan ilmiah dan bersifat konsisten dengan pengetahuan yang telah dikumpulkan sebelumnya.
Secara sistematik dan kumulatif pengetahuan ilmiah disusun setahap demi setahap dengan menyusun argumentasi mengenai sesuatu yang baru berdasarkan pengetahuan yang telah ada. Dengan demikian maka ilmu merupakan tubuh pengetahuan yang tersusun dan terorganisasikan dengan baik, sebab penemuan yang tidak teratut dapat diibaratkan sebagai “rumah atau batu bata yang cerai berai”. Secara konsisten dan koheren maka ilmu mencoba memberikan penjelasan yang rasional kepada obyek yang berada dalam fokus penelaahan.
Penjelasan yang bersifat rasional ini dengan  kriteria kebenaran koherensi tidak memberikan kesimpulan yang bersifat final, sebab sesuai dengan hakikat rasionalisme yang bersifat pluralistic, maka dimungkinkan disusunnya berbagai penjelasan terhadap suatu objek pemikiran tertentu. Meskipun argumentasi secara rasional didasarkan kepada premis-premis ilmiah yang telah teruji kebenarannya namun dimungkinkan pula pilihan yang berbeda dari sejumlah premis ilmiah yang tersedia yang dipergunakan dalam penyusunan argumentasi. Oleh sebab itu maka dipergunakan pula cara berpikir induktif yang berdasarkan kriteria kebenaran korespondensi.
Teori korespondensi dalam Arikunto (2013: 45) menyebutkan bahwa suatu pernyataan dapat dianggap benar sekiranya materi yang terkandung dalam pernyataan itu bersesuaian dengan obyek factual yang dituju oleh pernyataan tersebut.
Disinilah pendekatan rasional digabungkan dengan pendekatan empiris dalam langkah-langkah yang disebut metode ilmiah. Secara rasional maka ilmu menyusun pengetahuannya secara konsisten dan kumulatif, sedangkan secara empiris ilmu memisahkan antara pengetahuan yang sesuai dengan fakta dan yang tidak. Secara sederhana menurut Suriasumantri (2008: 90) maka hal ini berarti bahwa semua teori ilmiah harus memenuhi dua syarat utama yakni; (a) harus konsisten dengan teori-teori sebelumnya yang memungkinkan tidak terjadinya kontradiksi dalam teori keilmuan secara keseluruha, (b) harus cocok dengan fakta-fakta empiris sebab teori yang bagaimanapun konsistennya sekiranya tidak didukung oleh pengujian empiris tidak dapat diterima kebenarannya secara ilmiah. Jadi logika ilmiah merupakan gabungan antara logika deduktif dan logika induktif di mana rasionalisme dan empirisisme hidup berdampingan dalam sebuah sistem.
Dalam metode ilmiah, penelitian dituntun dalam proses berpikir yang menggunakan analisa. Karena itu, dalam metode ilmiah hipotesis juga diperlukan. Hipotesis berguna untuk memandu jalan pikiran kearah tujuan yang ingin dicapai atau ingin dibuktikan sehingga hasil yang hendak diperoleh akan mencapai sasaran dengan tepat. Oleh sebab itu maka sebelum teruji kebenarannya secara empiris, semua penjelasan rasional yang diajukan statusnya hanyalah bersifat sementara. Penjelasan sementara ini disebut hipotesis. Hipotesis merupakan dugaan atau jawaban sementara terhadap permasalahan yang sedang  kita hadapi.
Harus kita sadari bahwa hipotesis itu sendiri merupakan penjelasan yang bersifat sementara yang membantu kita dalam melakukan penyelidikan. Sering kita temui kesalahpahaman di mana analisis ilmiah berhenti pada hipotesis ini tanpa upaya selanjutnya untuk melakukan verifikasi apakah hipotesis ini benar atau tidak, kecenderungan ini terdapat pada ilmuwan yang sangat dipengaruhi oleh paham rasionalisme dan melupakan bahwa metode ilmiah merupakan gabungan dari rasionalisme dan empirisisme. Hipotesis ini pada dasarnya disusun secara deduktif dengan mengambil premis-premis dari pengetahuan ilmiah yang sudah diketahui sebelumnya.
Penyusunan seperti ini memungkinkan terjadinya konsistensi dalam mengembangkan ilmu secara keseluruhan dan menimbulkan pula efek kumulatif dalam kemajuan ilmu. Dengan adanya jembatan berupa penyusunan hipotesis ini maka metode ilmiah sering dikenal sebagai proses logico-hypothetico-verifikasi atau menurut Tyndall (O’Nail, 2013: 241) sebagai perkawinan yang berkesinambungan antara deduksi dan induksi. Langkah selanjutnya sesudah penyusunan hipotesis adalah menguji hipotesis tersebut dengan mengkronfontasikannya dengan dunia yang nyata.
Dalam penyelidikan fisika nuklir misalnya, pembuktian ini kadang-kadang memerlukan alat yang rumit sekali, sehingga sering terjadi bahwa suatu hipotesis baru dapat dibuktikan berapa lama kemudian, setelah ditemukan alat yang dapat membantu mengumpulkan fakta yang bersangkutan. Hal ini pulalah yang menyebabkan penelitian ilmiah menjadi sangat mahal, yang disebabkan bukan oleh penyusun teorinya melainkan dalam pembuktiannya.
Pembuktian inilah sebenarnya yang memberi vonis terhadap teori ilmiah apakah pernyataan-penyataan yang dikandungnya dapat diterima kebenarannya atau tidak secara ilmiah. Seorang ilmuwan pada mulanya selalu bersikap skeptis, dia selalu meragukan segala sesuatu. Alur berpikir yang tercakup dalam metode ilmiah menurut Schzumacer (2008: 65) dapat dijabarkan dalam beberapa langkah, yang pada dasarnya terdiri dari langkah-langkah berikut:
1.      Perumusan masalah;
Yang merupakan pertanyaan mengenai obyek empiris yang jelas batasan-batasannya serta dapat diidentifikasikan faktor-faktor yang terkait didalamnya.
2.      Penyusunan kerangka berpikir dalam pengajuan hipotesis;
Yang merupakan argumentasi yang menjelaskan hubungan yang mungkin terdapat antara berbagai faktor yang saling mengkait dan membentuk konstelasi permasalahan. Kerangka berpikir ini disusun secara rasional berdasarkan premis-premis ilmiah yang telah teruji kebenarannya dengan memperhatikan faktor-faktor empiris yang relevan dengan permasalahan.

3.      Perumusan hipotesis;
Yang merupakan jawaban sementara atau dugaan terhadapa penyataan yang diajukan yang materinya merupakan kesimpulan dari kerangka berpikir yang dikembangkan.
4.      Pengujian hipotesis;
Yang merupakan pengumpulan fakta-fakta yang relevan dengan hipotesis yang diajukan untuk memperlihatkan apakah terdapat fakta-fakta yang mendukung hipotesis tersebut atau tidak.
5.      Penarikan kesimpulan;
Yang merupakan penilaian apakah sebuah hipotesis yang diajukan itu ditolak atau diterima. Sekiranya dalam proses pengujian terdapat fakta yang cukup yang mendukung hipotesis maka hipotesis itu diterima. Sebaliknya, sekiranya dalam proses pengujian tidak terdapat fakta yang cukup mendukung hipotesis, maka hipotesis itu ditolak. Hipotesis yang diterima kemudian dianggap menjadi bagian dari  pengetahuan  ilmiah sebab telah memenuhi persyaratan keilmuan yakni mempunyai kerangka penjelasan yang konsisten dengan  pengetahuan ilmiah sebelumnya serta telah teruji kebenarannya.
Metode ilmiah adalah penting bukan saja dalam proses penemuan pengetahuan umum namun lebih-lebih lagi dalam mengkomunikasikan penemuan ilmiah tersebut kepada masyarakat ilmuwan. Perbedaan utama metode ilmiah bila dibandingkan dengan metode-metode lainnya menurut Creswell (2009: 352) adalah hakikat metode ilmiah yang bersifat sistematik dan eksplisit. Sikap eksplisit ini memungkinkan terjadinya komunikasi yang intensif dalam kalangan masyarakat ilmuwan. Ilmu ditemukan secara individual namun dimanfaatkan secara social. Dalam proses tersebut berlangsung logika berpikir secara deduktif, yaitu menarik kesimpulan khusus dari yang umum.
D.    Kajian Aksiologis terhadap Fungsi dan Peranan Pedagogik terhadap Praktek Pendidikan.
Pengertian aksiologi menurut bahasa berasal dari bahasa yunani "axios" yang berarti bermanfaat dan “logos” berarti ilmu pengetahuan atau ajaran (Budimansyah, 2008: 53). Secara istilah, aksiologi adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki hakikat nilai yang ditinjau dari sudut kefilsafatan (Tafsir, 2008: 37). Sedangkan Danim (2012: 22) menyatakan bahwa aksiologi adalah studi tentang hakikat tertinggi, realitas, dan arti dari nilai-nilai (kebaikan, keindahan, dan kebenaran). Dengan demikian aksiologi adalah studi tentang hakikat tertinggi dari nilai-nilai etika dan estetika. Dengan kata lain, apakah yang baik atau bagus itu. Definisi lain mengatakan bahwa aksiologi adalah suatu pendidikan yang menguji dan mengintegrasikan semua nilai tersebut dalam kehidupan manusia dan menjaganya, membinanya di dalam kepribadian peserta didik (Syarifudin, 2006: 69). Dengan demikian aksiologi adalah salah satu cabang filsafat yang mempelajari tentang nilai-nilai atau norma-norma terhadap suatu ilmu.
Telaahan kedua adalah dari segi epistimologi, yaitu meliputi aspek normatif mencapai kesahihan perolehan pengetahuan secara ilmiah, di samping aspek prosedural, metode dan teknik memperoleh data empiris. Kesemuanya itu lazim disebut metode ilmiah, meliputi langkah-langkah pokok dan urutannya, termasuk proses logika berpikir yang berlangsung di dalamnya dan sarana berpikir ilmiah yang digunakannya.  Telaahan ketiga ialah dari segi aksiologi, yang sebagaimana telah disinggung di atas terkait dengan kaidah moral pengembangan penggunaan ilmu yang diperoleh. Dari penjabaran di atas dapat di gambarkan tahapan-tahapan berfikir filsafat secara Ontologi, Epistimologi dan Axiologi sebagai berikut:
Tahapan
Uraian
Ontologi
(hakikat ilmu)
·         Obyek apa yang telah ditelaah ilmu? 
·         Bagaimana wujud yang hakiki dari obyek tersebut? 
·         Bagaimana hubungan antara  obyek tadi dengan daya tangkap manusia (seperti berpikir, merasa, dan mengindera) yang membuahkan pengetahuan? 
·         Bagaimana prosesyang memungkinkan ditimbanya pengetahuan yang berupa ilmu? 
·         Bagaimana prosedurnya?
Epistimologi
(cara mendapatkan pengetahuan)
·         Bagaimana proses yang memungkinkan ditimbanya pengetahuan yang berupa ilmu? 
·         Bagaimana prosedurnya? 
·         Hal-hal apa yang harus diperhatikan agar kita mendapatkan pengetahuan dengan benar? 
·         Apa yang disebut dengan kebenaran itu sendiri? 
·         Apa kriterianya? 
·         Sarana/cara/teknik apa yang membantu kita dalam mendapatkan pengetahuan yang berupa ilmu?
Axiologi
(guna atau manfaat pengetahuan)
·         Untuk apa pengetahuan tersebut digunakan?
·         Bagaiman kaitan antara cara  penggunaan tersebut dengan kaidah-kaidah moral?
·         Bagaimana penetuan obyek  yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral? 
·         Bagaimana kaitan antara teknik prosedural yang merupakan operasionalisasi metode ilmiah dengan norma-norma moral/profesional? 
Sumber: Suriasumantri, 1993
Teori pengetahuan yang bersifat subjektif akan memberikan jawaban ”TIDAK”, kita tidak akan mungkin mengetahui, menemukan hal-hal yang ada di balik pengaman dan ide kita. Sedangkan teori pengetahuan  yang bersifat obyektif  akan memberikan jawaban  ”YA”. Kemanfaatan teori pendidikan tidak hanya perlu sebagai ilmu yang otonom tetapi juga diperlukan untuk memberikan dasar yang sebaik-baiknya bagi pendidikan sebagai proses pembudayaan manusia secara beradab. Oleh karena itu nilai ilmu pendidikan tidak hanya bersifat intrinsic sebagai ilmu seperti seni untuk seni, melainkan juga nilai ekstrinsik dan ilmu untuk menelaah dasar-dasar kemungkinan bertindak dalam praktek melalui kontrol terhadap pengaruh yang negatif dan meningkatkan pengaruh yang positif dalam pendidikan. Implikasinya ialah bahwa ilmu pendidikan lebih dekat kepada ilmu perilaku kepada ilmu-ilmu sosial, dan harus menolak pendirian lain bahwa di dalam kesatuan ilmu-ilmu terdapat unifikasi satu-satunya metode ilmiah (Creswell, 2008: 203).
Dalam pengembangan, ilmu pendidikan memiliki dua tujuan yang ingin dicapai yaitu untuk pengembangan suatu ilmu, yang berorientasi pada kebenaran suatu ilmu itu sendiri. Dengan cara ini akan menghasilkan ilmu teoritis murni yang tidak menghiraukan kegunaannya dalam praktik. Di samping tujuan tersebut ilmu pendidikan mengembangkan ilmu yang selanjutnya dapat digunakan dalam praktik pendidikan sehari-hari. Hal yang demikian ini sering disebut dengan ilmu bersifat praktis. Artinya teori yang ditemukan harus berorientasi pada praktik, atau dapat dipraktikan.
Pedagogik tidak hanya berkutat pada ilmu dan seni mengajar, melainkan ada hubungannya dengan pembentukan generasi baru, yaitu pengaruh pendidikan sebagai sistem yang bermuara pada pengembangan individu atau peserta didik. Pedagogik juga bermakna ilmu pendidikan atau ilmu pengajaran. Kata sifat untuk istilah pedagogi adalah pedagogis. Pedagogis bermakna berrsifat pedagogis atau bersifat mendidik. Makna lebih luas dari pedagogis adalah sadar terhadap arah tujuan dan cirri dasar dari proses pedagogis.
Prayitno (2013: 54) mendefinisikan istilah pedagogis sebagai proses interaksi terus menerus dan saling berasimilasi antara pengetahuan ilmiah dan pengembangan siswa. Asimilasi pengetahuan oleh siswa berkaitan dengan antusiasme mereka untuk mengetahui dalam proses kerja yang intensif dan aktif. Proses pedagogis juga menggamit prinsip bahwa domain kognitif dan afektif tidak bisa berada dalam suasana yang kering. Ini menyiratkan bahwa proses pedagogis harus terstruktur berdasarkan kesatuan dan hubungan antara kondisi manusia; kemungkinan mengetahui sekitarnya dan dunianya sendiri, serta pada saat yang sama perasaan dan tindakan kemungkinan menjadi terpengaruh oleh dunia itu.
Prinsip terakhir dari proses pedagogis adalah bahwa masing-masing subsistem aktivitas, komunikasi dan kepribadian saling tekait satu sama lain. Misalnya, aspek kepribadian dibentuk dan dikembangkan atas aktivitas dan melalui proses komunikasi. Sepanjang seluruh hidupnya, siswa menjalankan sejumlah besar kegiatan dan berkomunikasi terus menerus. Elemen-elemen ini pada dasarnya merupakan proses pendidikan kepribadian.

E.     Generalisasi (Penalaran/ Ramalan dan Fungsi Pendidikan sebagai Kontrol)
Untuk memahami arti dan makna filsafat ilmu, di bawah ini dikemukakan pengertian filsafat ilmu dari beberapa ahli yang terangkum dalam Filsafat Ilmu, yang disusun oleh Ismaun (1993).
1.      Robert Ackerman “philosophy of science in one aspect as a critique of current scientific opinions by comparison to proven past views, but such aphilosophy of science is clearly not a discipline autonomous of actual scientific paractice”. (Filsafat ilmu dalam suatu segi adalah suatu tinjauan kritis tentang pendapat-pendapat ilmiah dewasa ini dengan perbandingan terhadap kriteria-kriteria yang dikembangkan dari pendapat-pendapat demikian itu, tetapi filsafat ilmu jelas bukan suatu kemandirian cabang ilmu dari praktek ilmiah secara aktual.
2.      Lewis White Beck “Philosophy of science questions and evaluates the methods of scientific thinking and tries to determine the value and significance of scientific enterprise as a whole. (Filsafat ilmu membahas dan mengevaluasi metode-metode pemikiran ilmiah serta mencoba menemukan dan pentingnya upaya ilmiah sebagai suatu keseluruhan)
3.      A. Cornelius Benjamin “That philosopic disipline which is the systematic study of the nature of science, especially of its methods, its concepts and presuppositions, and its place in the general scheme of intellectual discipines. (Cabang pengetahuan filsafati yang merupakan telaah sistematis mengenai ilmu, khususnya metode-metodenya, konsep-konsepnya dan praanggapan-praanggapan, serta letaknya dalam kerangka umum cabang-cabang pengetahuan intelektual).
 Sistem adalah susunan persoalan-persoalan yang teratur, sehingga merupakan suatu kesatuan yang organis, sehingga antara satu dengan lainnya saling berhubungan dan tidak dapat terpisahkan. Ilmu pendidikan memiliki persoalan-persoalan yang terssusun secara sistematis sehingga merupakan suatu kesatuan yang saling terkait. Terdapat berbagai variasi dalam komponen sistem pendidikan, namun ada beberapa hal yang selalu ada dalam sistem tersebut adalah (1) tujuan pendidikan, (2) pendidik, (3) peserta didik, (4) interaksi pendidikan, dan(5) lingkungan pendidikan. Suatu ilmu pengetahuan harus memenuhi tiga persyaratan pokok dan beberapa persyaratan tambahan, diantaranya : Persyaratan Pokok
•    Suatu ilmu harus mempunyai objek tertentu
•    Suatu ilmu pengetahuan harus menggunakan metode-metode yang sesuai
•    Suatu ilmu pengetahuan harus menggunakan sitematika tertentu
Persyaratan Tambahan
•    Suatu ilmu pengetahuan harus mempunyai dinamika
•    Suatu ilmu pengetahuan harus praktis
•    Suatu ilmu pengetahuan harus diabdikan untuk kesejahteraan umat manusia
Setelah kita tahu apa yang menjadi persyaratan suatu ilmu pengetahuan, tentunya kita mengetahui bahwa ilmu pendidikan telah memenuhi persyaratan-persyaratan tersebut. Ilmu pendidikan mempunyai objek, metode dan sistematika. Tidak hanya itu, ilmu pendidikan juga telah memenuhi persyaratan tambahan lainnya, seperti praktis, dinamika dan tentunya diabdikan untuk kesejahteraan umat manusia. 
Ilmu pendidikan sebagai Ilmu Normatif, Teoritis dan Praktis Ilmu pendidikan sebagai ilmu pengetahuan dimulaikan dengan meletakkan ilmu pendidikan dalam sistematika ilmu pengetahuan. Menurut sistemnya, Uhbiyati (2009: 34) membagi ilmu pengetahuan dibedakan sebagai berikut :
1.    Ilmu-ilmu Murni : berdiri sendiri lepas dari pada ilmu pengalaman (empiris). Contoh; Matematika
2.    Ilmu-Ilmu Pengalaman (Empiris) : diperoleh berdasarkan pengalaman. Jadi objeknya adalah gejala-gejala kehidupan, baik yang Nampak ataupun yang tidak Nampak.
Ilmu pendidikan termasuk ilmu pengetahuan empiris yang diangkat dari pengalaman pendidikan, kemudian disusun secara teoritis untuk digunakan secara praktis.
Untuk melakukan kegiatan ilmiah secara baik diperlukan sarana berpikir yang baik pula. Tersedianya sarana tersebut memungkinkan dilakukannya penelaahan ilmiah secara teratur dan cermat. Penguasaan sara berpikir ilmiah ini merupakan suatu hal bersipat imperatif bagi seorang mahasiswa.  Tanpa menguasai hal ini maka kegiatan ilmiah yang baik tak dapat dilakukan. Sarana ilmiah pada dasarnya merupakan alat yang membantu kegiatan ilmiah dalam berbagai langkah yang harus ditempuhnya. Pada langkah tertentu biasanya diperlukan sarana yang tertentu pula.  Oleh sebab itulah maka sebelum kita mempelajari sarana-sarana berpikir ilmiah ini seyogyanya kita telah meguasai langkah-langkah dalam kegiatan ilmiah tersebut.
Dengan jalan ini maka kita akan sampai pada hakekat sarana yang sebenarnya yaitu dengan berfikir secara filsafat, sebab hal ini dapat membantu kita dalam mencapai suatu tujuan tertentu, dengan kata lain, sarana ilmiah mempunyai fungsi-fungsi yang khas dalam kaitan kegiatan ilmiah segara menyeluruh. Sarana berpikir ilmiah ini, dalam proses pendidikan kita, merupakan bidang studi tersendiri. Secara lebih tuntas dapat dikatakan bahwa ilmu mempunyai metode tersendiri dalam mendapatkan pengetahuannya yang berbeda dengan sarana berpikir ilmiah. Mempelajari ilmu dimaksudkan untuk mendapatkan pengetahuan yang memungkinkan kita melakukan penelaahan ilmiah secara baik, sedangkan tujuan mempelajari ilmu dimaksudkan untuk mendapatkan pengetahuan yang memungkinkan kita  untuk   bisa memecahkan masalah kita sehari-hari. Dalam hal ini maka sarana berpikir ilmiah merupakan alat bagi cabang-cabang pengetahuan untuk megembangkan materi pengetahuan berdasarkan metode ilmiah dalam melakukan fungsinya secara baik, jelaslah sekarang kiranya mengapa  cara  berpikir ilmiah mempunyai metode tersendiri yang berbeda dengan metode ilmiah dalam mendapatkan pengetahuannya, sebab fungsi sarana ilmiah adalah membantu proses metode ilmiah dan bukan merupakan ilmu itu sendiri.

1.        Ilmu Pendidikan sebagai Ilmu Normatif
Sebagai ilmu pengetahuan normatif, ilmu pendidikan merumuskan kaidah atau pedoman atau ukuran tingkah laku manusia. Sesuatu yang normatif berarti berbicara masalah baik atau buruk dari perilaku manusia. Ilmu Pendidikan merumuskan peraturan-peraturan tentang bertingkah laku manusia untuk mencapai keteraturan hidup.Keteraturan hidup akan menjamin kelangsungan keeratan (kohesi)antarmanusia (hubungan sosial manusia). Ilmu pendidikan itu selalu berurusan dengan soal siapakah “manusia” itu. Pembahasan mengenai siapakah manusia itu biasanya termasuk bidang filsafat, yaitu filsafat antropologi. Pandangan filsafat tentang manusia sangat besar pengaruhnya terhadap konsep serta praktik-praktik pendidikan. Karena pandangan filsafat itu menentukan nilai-nilai luhur yang dijunjung tinggi oleh seorang pendidik atau suatu bangsa yang melakukan pendidikan.
Nilai yang dijunjung tinggi ini dijadikan norma untuk menentukan ciri-ciri manusia yang ingin dicapai melalui praktik pendidikan. Nilai-nilai tidak diperoleh hanya dari praktik dan pengalaman mendidik, tetapi secara normative bersumber dari norma masyarakat, norma filsafat dan pandangan hidup, malah dari keyakinan keagamaan yang dianut oleh seseorang. Karena Ilmu Pendidikan bersifat normatif berarti pula bersifat praktis karena ilmu pendidikan sebagai bahan ajar yang patut diterapkan sehingga pendidik bertugas menanamkan sistem-sistem norma bertingkah laku manusia yang dibanggakan, dihormati, dan dijunjung tinggi oleh masyarakat.

2.        Ilmu Pendidikan sebagai Ilmu yang Bersifat Teoritis dan Praktis
Ilmu Pendidikan termasuk pengetahuan normatif karena berkaitan erat dengan pandangan tentang manusia, nilai dan norma hidup yangmembentuk keperibadian manusia (anak didik).
Ilmu Pendidikan bersifat teoritis dan praktis karena berkaitan dengan strategi tindakan mendidik atau praktek mendidik. Jadi dari praktik-praktik pendidikan disusun pemikiran-pemikiran secara teoritis. Pemikiran-pemikiran teoritis inilah yang disusun dalam satu sistem pendidikan yang biasa disebut Ilmu Mendidik Teoritis.

Terdapat hubungan antara ilmu mendidik teoritis, sistematis dan histories.
Selanjutnya adalah bagaimana hubungan antara ilmu mendidik histories dan ilmu mendidik praktis. Seorang maha guru ilmu mendidik JM. Usman (2008: 13) berkata : teori tanpa praktek adalah baik pada human cerdik cendikiawan dan praktek tanpa teori hanya terdapat pada orang gila dan penjahat – penjahat namun alangkah lebih sempurnanya ilmu pendidikan itu dilakukan dengan cara teori dan praktek secara bersama-sama. Untuk lebih memahami bahwa ilmu pendidikan itu adalah yang memerlukan pemikiran yang teoritis , adalah bahwa setiap pendidik memerlukan kritik- kritik sumbangan pemikiran dari para ahli/ orang lain, ia dapat belajar dari catatan-catatan kritik saran dari orang lain, yang pada akhirnya dapat dikatakan bahwa ia belajar berdasarkan teori.

BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Ilmu pengetahuan harus ada objeknya, adapun objek ilmu pengetahuan adalah obyek material dan formal. Obyek material adalah bahan yang menjadi sasaran suatu ilmu pengetahuan sedangkan obyek formal adalah sudut pembahasan suatu ilmu pengetahuan, misal: ilmu jiwa dan ilmu manusia yang kedua macam ilmu pengetahuan itu mempunyai obek material sama (manusia), akan tetapi obyek formalnya berbeda. Oleh karena itu obyek material ilmu pengetahuan dapat sama sedang obyek formalnya berbeda. Ilmu pengetahuan harus metodis : ilmu pengetahuan dalam mengadakan pembahasan serta penyelidikan untuk suatu ilmu pengetahuan harus menggunakan metode yang ilmiah. Ilmu pengetahuan harus sistematis
Harus mempunyai dinamika: ilmu pengetahuan harus tumbuh dan berkembang untuk mempunyai kesempurnaan. Suatu ilmu pengetahuan harus memenuhi tiga persyaratan pokok dan beberapa persyaratan tambahan, diantaranya: Persyaratan Pokok Suatu ilmu harus mempunyai objek tertentu. Suatu ilmu pengetahuan harus menggunakan metode-metode yang sesuai
Suatu ilmu pengetahuan harus menggunakan sitematika tertentu.
Ilmu pendidikan itu selalu berurusan dengan soal siapakah “manusia” itu. Pembahasan mengenai siapakah manusia itu biasanya termasuk bidang filsafat, yaitu filsafat antropologi. Pandangan filsafat tentang manusia sangat besar pengaruhnya terhadap konsep serta praktik-praktik pendidikan. Karena pandangan filsafat itu menentukan nilai-nilai luhur yang dijunjung tinggi oleh seorang pendidik atau suatu bangsa yang melakukan pendidikan.
Nilai yang dijunjung tinggi ini dijadikan norma untuk menentukan ciri-ciri manusia yang ingin dicapai melalui praktik pendidikan. Nilai-nilai tidak diperoleh hanya dari praktik dan pengalaman mendidik, tetapi secara normative bersumber dari norma masyarakat, norma filsafat dan pandangan hidup, malah dari keyakinan keagamaan yang dianut oleh seseorang.
Karena Ilmu Pendidikan bersifat normatif berarti pula bersifat praktis karena ilmu pendidikan sebagai bahan ajar yang patut diterapkan sehingga pendidik bertugas menanamkan sistem-sistem norma bertingkah laku manusia yang dibanggakan, dihormati, dan dijunjung tinggi oleh masyarakat.
Ilmu filsafat memiliki obyek material dan obyek formal.  Obyek material adalah apa yang dipelajari dan dikupas sebagai bahan (materi) pembicaraan. Objek material adalah objek yang di jadikan sasaran menyelidiki oleh suatu ilmu, atau objek yang dipelajari oleh ilmu itu. Objek material filsafat illmu adalah pengetahuan itu sendiri, yakni pengetahuan ilmiah (scientific knowledge) pengetahuan yang telah di susun secara sistematis dengan metode ilmiah tertentu, sehingga dapat di pertanggung jawabkan kebenarannya secara umum.
Jika di tilik kembali pada tahapan berfikir filsafat mulai dari tahap, Ontologi (hakikat ilmu), Epistimologi (cara memperoleh pengetahuan) dan hingga akhirnya sampai pada tahap Axiologi (kemanfaatan pengetahuan) tersebut bagi kemaslahatan umat, maka runtutan cara berfikir filsafat hendaknya harus senantiasa dilakukan untuk mengimbangi kemampuan penalaran individu secara rasional dalam memecahkan sebuah permasalahan kehidupan yang semakin kompleks ini.
 Obyek formal adalah cara pendekatan yang dipakai atas obyek material, yang sedemikian khas sehingga mencirikan atau mengkhususkan bidang kegiatan yang bersangkutan. Jika cara pendekatan itu logis, konsisten dan efisien, maka dihasilkanlah sistem filsafat ilmu. Jadi, dapat dikatakan bahwa Objek formal adalah sudut pandang dari mana sang subjek menelaah objek materialnya. Yang menyangkut asal usul, struktur, metode,  dan validitas ilmu[1]. Objek formal filsafat ilmu adalah hakikat (esensi) ilmu pengetahuan artinya filsafat ilmu lebih menaruh perhatian terhadap problem mendasar ilmu pengetahuan, seperti apa hakikat ilmu pengetahuan, bagaimana cara memperoleh kebenaran ilmiah dan apa fungsi ilmu itu bagi manusia.
Ilmu pendidikan sebagai ilmu pengetahuan memiliki metode penelitian yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Metode tersebut mencakup metode untuk mengumpulkan data maupun metode untuk mengolah data. Metode pengumpulan data dapat dilakukan melalui observasi, tes, interview, angket dan lain-lain. Metode untuk menganalisis data dapat menggunakan data analisis statistik maupun non statistik. Metode berfikir yang digunakan menganalisis dapat menggunakan metode induktif ataupun deduktif.
Dalam pengembangan ilmu pendidikan memiliki dua tujuan yang ingin dicapai yaitu untuk pengembangan suatu ilmu, yang berorientasi pada kebenaran suatu ilmu itu sendiri. Dengan cara ini akan menghasilkan ilmu teoritis murni yang tidak menghiraukan kegunaannya dalam praktik. Di samping tujuan tersebut ilmu pendidikan mengembangkan ilmu yang selanjutnya dapat digunakan dalam praktik pendidikan sehari-hari. Hal yang demikian ini sering disebut dengan ilmu bersifat praktis. Artinya teori yang ditemukan harus berorientasi pada praktik, atau dapat dipraktikan.
Dengan menempatkan kedudukan ilmu pendidikan di dalam sistematika ilmu pengetahuan, maka uraian selanjutnya adalah ilmu pendidikan sebagai Ilmu Normatif dan Ilmu pendidikan sebagai Ilmu Teoritis dan Praktis.


DAFTAR PUSTAKA

Danim, Sudarwan. 2010. Pedagogi, Andragogi, dan Heutagogi. Bandung: Alfabeta

Hamalik, Oemar. 2010. Kurikulum dan Pembelajaran. Jakarta: Bumi Aksara

Hariyanto, dan Suyono. 2011. Belajar dan Pembelajaran. Bandung: Rosdakarya

Hasanah, Aan. 2013. Pendidikan Karakter Berperspektif Islam. Bandung: Insan Komunika.

Hasbullah. 2009. Dasar-dasar Ilmu Pendidikan. Jakarta: Rajawali Pers.

Mudjiono, dan Dimyati. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta

Uhbiyati, dan Abu. 2009. Ilmu Pendidikan Jakarta: PT Rineka Cipta

Usman, Uzer. 2008. Menjadi Guru Profesional. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Suriasomantri, Jujun S. 1996. Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Syarifudin, Tatang. 2006. Landasan Pendidikan. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia

Tafsir, Ahmad. 2008. Filsafat Pendidikan Islam. Bandung: PT Remaja Rosda Karya.

____________.2009. Filsafat Ilmu,”Mengurai Ontologi, Epestemologi, dan Aksiologi Pengetahuan. Bandung: PT Remaja Rosda Karya

Departemen Pendidikan Nasional, 2002. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka

http://ilmu1set.blogspot.com/2010/06/ilmu-pendidikan-sebagai-ilmu.html

http://www.gudangmateri.com/2010/07/pendidikan-sebagai-ilmu-pengetahuan.html

http://www.scribd.com/doc/51630982/1/Ilmu-Pendidikan-Bersifat-Normatif?query=normatif



Comments system

Disqus Shortname