Kamis, 27 Oktober 2016

DISKURSUS AKTUAL TENTANG PARADIGMA PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN (PKn) DALAM KONTEKS KURIKULUM 2013



(Bahan Diskusi dalam Semnas PKn-AP3KnI, Tahun 2014)

Oleh,
Prof. Dr. Udin S. Winataputra, M.A.
(Dosen FKIPdan PPs-UT dan SPs UPI,
Ketua Umum AP3KnI, NCSS Member)

ABSTRACT
Universally, civic/citizenship education studies have been undergone continuous changes in the ideals, instrumentation, and praxis. Those changes coud be conceptually put in a continum: education of citizenship, education through citizenship, and education for citizenship. It has to be the case for Indonesian citizenship/civic education along its six decades of educational history since 1945. This article briefly present a recent conceptual discourses dealing with the profile of civic education for Indonesian schools as well as for general educational puposes in university education. It is encouraged that further responses would enriched this new discourse.

Key concepts:
education of citizenship, education through citizenship, education for citizenship, coherent principle for civic/citizenship education.

A.  Mengapa harus ada Pendidikan Kewarganegaraan?
Mengapa perlu ada pendidikan kewarganegaraan dalam sistem pendidikan nasional? Mengapa proses pendidikan kewarganegaraan itu perlu diwujukan dalam kurikulum dan pembelajaran pada semua jalur dan jenjang pendidikan. Bagaimana pendidikan kewarganegran seyogyanya dirancang, dikembangkan, dilaksanakan, dan dievaluasi dalam konteks pengejawantahan tujuan pendidikan nasional. Ketiga pertanyaan tersebut merupakan landasan dan kerangka pikir untuk memahami profil mata kuliah/mata pelajaran Pendidikan kewarganegaraan.

Secara konstitusional, upaya sistemik dan berkelanjutan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa merupakan imperatif yang tersurat dalam alinea keempat Pembukaan, dan Pasal 31 Undang-Undang dasar Negara Republik Indonesia, Selanjutnya secara instrumental dijabarkan dalam Pasal 2, 3, 37 Undang Undang Nomor 20 Tahun 2003. Lebih tegas lagi secara operasional dalam Penjelasan pasal 37 dinyatakan bahwa: “...pendidikan kewarganegaraan dimaksudkan untuk membentuk peserta didik menjadi manusia yang memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah air”. Yang dimaksud dengan pendidikan kewarganegaraan dalam UndangUndang tersebut mencakup substansi dan proses pendidikan nilai ideologis Pancasila dan pendidikan kewarganegaraan yang menekankan pada pendidikan kewajiban dan hak warganegara. Selanjutnya dalam Pasal 56 Undang-Undang Nomor 12 tahun 2012 Tentang Pendidikan Tinggi kembali dikukuhkan wajib adanya mata kuliah Pancasila dan kewarganegaraan, yang masing-masing merupakan entitas utuh psikopedagogis/andragogis.

Eksistensi mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan sebagai matapelaaran pada jenjang pendidikan dasar dan menengah, dan sebagai mata kuliah di perguruan tinggi secara yuridis berpijak pada ketentuan sebagai berikut.
1.   Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945
2. Undang-Undang Sistim Pendidikan Nasional Nomor 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas Pasal 2, 3, 4 dan 37
3.   Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 Tentang Pendidikan Tinggi, Pasal 56
4.   Undang Undang nomor 17 tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang 2005-2025
5. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 yang telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 2013 Tentang Standar Nasional Pendidikan.
6. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2010-2014

B.  Bagaimana Dasar Epistemologis Pendidikan Kewarganegaraan?
Secara epistemologis pendidikan kewarganegaraan perlu dipahami dalam konteks konsep civic/citizenship education dalam wacana pendidikan kewarganegaraan demokratis sebagaimana pemikiran tersebut berkembang di berbagai belahan dunia. Hal itu dapat kita maknai, bahwa pendidikan (education=educare) merupakan upaya manusia yang sadar-tujuan untuk menumbuh-kembangkan potensi individu agar menjadi anggota masyarakat, putra bangsa, dan warganegara yang dewasa. Oleh karena itu pendidikan, termasuk pendidikan kewarganegaraan merupakan wahana pedagogis dan sosialkultural, yang diterima sebagai unsur peradaban kemanusiaan yang memberikan kontribusi signifikan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Sebagaimana telah dipahami publik akademik universal, civic/citizenship education secara universal "Citizenship education" (UK), termasuk di dalamnya "civic education" (USA) atau disebut juga pendidikan kewarganegaraan (Indonesia), atau "ta'limatul muwwatanahlat tarbiyatul al watoniyah (Timur Tengah) atau "educacion civicas" (Mexico), atau "Sachunterricht" (Jerman) atau "civics" (Australia) atau "social studies" (New Zealand) atau "Life Orientation” (Afrika Selatan) atau "People and society" (Hungary), atau "Civics and moral education" (Singapore) (Kerr: 1999; Winataputra:2001), merupakan wahana pendidikan karakter (character education) yang bersifat multidimensional (Cogan and Derricott: 1998) yang dimiliki oleh kebanyakan negara di dunia.

Sebagai pendidikan karakter yang bersifat multidimensional "citizenship education" mengemban visi dan missi utuh pengembangan "civic competencies". Didalam kemampuan tersebut terkandung sasaran pengembangan: "civic knowledge, civic dispositions, civic skills, civic competence, civic confidence, civic committment" yang bermuara pada kemampuan integratif "wellinformed and reasoned decision making". Secara praksis kesemua dimensi kemampuan itu sangat diperlukan oleh individu agar dapat berperan sebagai "participative and responsible citizen" (CCE: 1996) atau warganegara Indonesia yang cerdas dan baik (Winataputra: 2001).

Bila ditakar dengan fokus pengembangan kemampuan tersebut, dalam konteks internasional (Kerr: 1999; CIVITAS: 2000) "civic education" di Asia Tenggara, termasuk pendidikan kewarganegaraan di Indonesia, termasuk kategori "minimal" dengan ciri "thin, exclusive, elitist, content-led, knowledge-based, didactic transmission, easier to achieve, civic education". Sementara itu Eropa Utara, USA, dan New Zealand, termasuk kategori "maximal" dengan ciri "thick, inclusive, activist, participative, process-led, value-based, interactive, more difficult to achieve, citizenship education". Sedangkan yang termasuk kategori diantara dua kutub itu, yang disebut "moderate" adalah Eropa Tengah, Selatan, dan Timur, serta Australia. Dalam kategori ini walaupun masih terkesan "exclusive and formal" sudah mulai beranjak ke "process-led, valuebased, participative, and interactive".

Jika dilihat dalam pemikiran paradigmatik democracy education atau pendidikan demokrasi (APCEK: 2000, Winataputra: 2001) ketiga posisi konseptual tersebut dapat digambarkan secara kontinum-konsentris "education about democracy" (Minimal), "education in democracy" (Moderate), dan "education for democracy" (Maximal). Secara seingkat "education about democracy" hanya dapat menghasilkan orang tahu demokrasi tetapi tidak mampu bersikap dan berprilaku demokratis. Sementara itu "education in democracy" dapat menghasilkan orang yang tahu, mau, dan mampu hidup berdemokrasi. Sedangkan "education for democracy" sangat potensial menghasilkan orang yang bukan saja tahu, mau, dan mampu hidup berdemokrasi, tetapi juga mau dan mampu memperbaiki kehidupan demokrasi secara terus menerus. Secara psiko-pedagogis dan sosio-kultural perubahan paradigma kontinumkonsentris tersebut berlangsung secara "developmental" dalam arti bertahap berkelanjutan.

Secara konseptual, dalam konteks perkembangan struktur keilmuan, pendidikan kewarganegaraan merupakan suatu wahana pendidikan demokrasi yang mengandung tiga dimensi konseptual interaktif, yakni "kajian ilmiah kewarganegaraan, program kurikuler kewarganegaraan, dan aktivitas sosio-kultural kewarganegaraan" (Winataputra: 2001). Oleh karena itu pendidikan kewarganegaraan seyogyanya dikembangkan sebagai pendidikan demokrasi konstitusional Indonesia yang religius dan mencerdaskan (sesuai amanat UUD 1945 dan UU No.20 Tahun 2003) dan bersifat multidimensional dan ditangani secara profesional karena diyakini bahwa "democracy cannot teach itself and it is not inherrited - it is learned as a life-long learningptrocess" (Gandal and Finn: 1996, Winataputra: 2001).

Untuk Indonesia tampaknya pendidikan kewarganegaraan yang bersifat "exclusive and formal" dalam dunia persekolahan dan pendidikan tinggi masih perlu dipertahankan, namun harus mulai dikembangkan menjadi program pendidikan yang mensintesiskan secara harmonis pendekatan "content-related" dan "process-led" serta "value-based", yang berarti juga meminimumkan modus "didactic transmission" dan mengoptimalkan penerapan prinsip "participative and interactive".

Harus diakui bahwa PKn Indonesia yang kini bersifat "minimal" itu seyogyanya dikembangkan menjadi PKn yang "moderate", sehingga ia berubah dari paradigma "education about democracy" menjadi "education in democracy". Dalam konteks itu maka kelas PKn seyogyanya dikembangkan sebagai "laboratory for democracy" dan masyarakat sebagai "open global classroom". Dalam konteks itu berbagai kegiatan "co-curricular" dan kegiatan "extra curricular" seperti debat publik, praktik belajar, kajian sosial, aksi sosial, dan simulasi dengan pendapat seyogyanya digalakkan. Secara psiko-pedagogis dan sosio-kultural semua kegiatan dan pengalaman belajar yang tercipta sangat potensial mengembangkan karakter warganegara yang cerdas, partisipatif, dan bertanggungjawab melalui pengembangan aneka ragam "instructional effects" dan "nururanteffects" (Winataputra: 1998; 2001, Joyce and Weill: 1986).

Perubahan paradigma tersebut tidak akan terjadi dengan sendirinya. Karena itu diperlukan fasilitasi sistematik dan sistemik untuk terwujudnya perubahan paradigmatik PKn dari kategori "minimal" ke "moderate", banyak hal yang diperlukan untuk itu. Kurikulum PKn yang selama ini terkesan terlalu berbasis substansi atau content-based, harus dikembangnkan menjadi kurikulum yang berbasis karakter. Orintasi baru diperlukan untuk menghasilkan "civic intelligence, civic participation, and civic responsibility" dalam konteks kehidupan demokrasi konstitusional Indonesia. Berbagai pendekatan strategi, metode, teknik/taktik, serta dan model belajar dan pembelajaran memerlukan keterpaduan kegiatan intra, ko, dan ekstra kurikuler dalam konstelasi utuh kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara Indonesia. Dengan demikian akan tercipta iklim pembelajaran PKn yang mencerminkan sebagai kelas global yang terbuka (open global classroom). Akses yang luas bagi para siswa, mahasiswa, dan pemuda terhadap berbagai sumber informasi tercetak, terrekam, tersiar, dan elektronik. Wawasan, sikap, dan kemampuan para guru, tutor, dosen dalam konteks kehidupan demokrasi konstitusional Indonesia yang sehat.

Bertolak dari semua argumentasi tersebut di muka, maka dapat dikatakan bahwa PKn dalam makna "citizenship education"/"civic education" merupakan salah satu alternatif pedagogis dan sosio-kultural potensial yang perlu dikembangkan dan ditangani secara profesional, dikembangkan secara terus menerus dengan sinergis antar semua pemangku kepentingan guna memberikan kontribusi yang bermakna dalam mengatasi krisis masyaraakat, bangsa, dan negara Indonesia secara bertahapberkelanjutan.

C.  Bagaimana Visi dan Missi Pendidikan Kewarganegaraan Indonesia?
Konsisten dan koheren dengan esensi dan arah dari filosofi pendidikan nasional, seperti dimandatkan secara konstitusional, maka secara filosofis pendidikan kewarganegaraan juga dengan sendirinya memiliki visi holistik-eklektis yang memadukan secara serasi pandangan perenialisme, esensialisme, progresifisme, dan sosiorekonstruksionisme dalam konteks keindonesiaan. (Dewantara:1930; Brameld:1965, Somantri: 1970; Winataputra 2001; Kemendikbud: 2013).Secara sosiopolitik dan kultural pendidikan kewarganegaraan memiliki visi pendidikan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa yakni menumbuhkembangkan kecerdasan kewarganegaraan (civic intelligence) merupakan prasarat untuk pembangunan demokrasi dalam arti luas, yang mempersyaratkan terwujudnya budaya kewarganegaraan atau civic culture sebagai salah satu dterminan tumbuh-kembangnya negara demokrasi.

Bertolak dari visinya tersebut, maka pendidikan kewarganegaraan mengemban misi multidimensional (Cogan: 1996, Winataputra: 2001) yakni: (1) misi psikopedagogis, yakni pengembangan potensi peserta didik: (2) misi psikososial penyiapan peserta didik untuk hidup dan berkehidupan dalam masyarakat negara bangsa, dan (3) misi sosiokultural untuk menbangun budaya kewarganegaraan sebagai salah satu determinan kehidupan yang Demokratis. Bagi dunia akademik, selain ketiga misi tersebut dikembangkan misi penelitian dan pengembangan (research and/or development) untuk membangun pendidikan kewarganegaraan sebagai integrated knowledge system (Hartonian: 1970) atau synthetic discipline (Somantri: 1996) yang dikembangkan secara perseorangan dan/atau komunitas dan melalui program magister dan doktor pendidikan kewarganegaraan.

D.  Kemana Arah Tujuan Pendidikan Kewarganegaraan?
Secara holistik pendidikan kewarganegaraa bertujuan agar setiap warganegara muda (young citizens) memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah air dalam konteks nilai dan moral Pancasila, nilai dan norma Undang-Undang dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, nilai dan komitmen Bhinneka tunggal Ika, dan komitmen bernegarakesatuan Republik Indonesia. Oleh karena itu secaraecara sadar dan terencana peserta didik sesuai dengan perkembangan psikologis dan konteks kehidupannya secara sistemik difasilitasi untuk belajar berkehidupan demokrasi secara utuh, yakni belajar tentang demokrasi (learning about democracy), belajar dalam iklim dan melalui proses demokrasi (learning through democracy), dan belajar untuk membangun demokrasi (learning for democracy).

Dalam konstelasi konseptual tersebut di muka, maka pendidikan kewarganegaraan secara psikopedagogis/andragogis dan sosiokultural harus dirancang, dilaksanakan, dan dievaluasi dalam konteks pengembangkan kecerdasan kewarganegaraan (civic intelligence) yang secara psikososial tercermin dalam penguasaan pengetahuan kewarganegaraan (civic knowledge), perwujudan sikap kewarganegaraan (civic dispositions), penampilan keterampilan kewarganegaraan (civic skills), pemilikan komitmen kewarganegaraan (civic committment), pemilikan keteguhan kewarganegaraan (civic confidence), dan penampilan kecakapan kewarganegaraan (civic competence) yang kesemua itu memancar dari dan mengkristal kembali menjadi kebajikan/keadaban kewarganegaraan (civic virtues/civility) (CCE; 1994, Winataputra:2001). Keseluruhan kemampuan itu merupakan pembekalan bagi setiap warganegara untuk secara sadar melakukan partisipasi kewarganegaraan (civic participation) sebagai perwujudan dari tanggung jawab kewarganegaraan (civic responsibility).

Untuk mewujudkan tujuan pendidikan kewarganegaraan sebagai wahana pendidikan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dalam arti utuh dan luas, maka untuk jenjang pendidikan dasar dan pendidikan menengah nama mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan disesuaikan menjadi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, yang bertujuan untuk membentuk peserta didik menjadi manusia yang secara utuh memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah air yang dijiwai oleh nilai-nilai Pancasila, Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, semangat Bhinneka Tunggal Ika dan komitmen Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Karena itu revitalisasi mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) menjadi Pendidikan Pancasila dan kewarganegaraan (PPKn) untuk jenjang pendidikan dasar dan jenjang pendidikan menengah, maka tidak relevan lagi adanya pemisahan mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan Pendidikan Kewarganegaraan. Secara idiil dan instrumental konsep, visi, dan misi serta muatan PPKn tersebut sudah secara utuh mengintegrasikan filsafat, nilai, dan moral Pancasila dengan keseluruhan tuntutan psikopedagogis dan sosial-kultural warga negara dalam konteks pembudayaan Pancasila, UUD NRI 1945, Bhinneka Tunggal Ika, dan NKRI.

Lain halnya untuk perguruan tinggi sesuai dengan imperatif Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012, dikemas dan diwadahi dalam dua mata kuliah yakni mata kuliah Pendidikan Pancasila yang lebih menekankan pada pendekatan filosofis-ideologis dan sosio-andragogis dalam konteks nilai ideal dan istrumental Pancasila dan UUD NRI 1945, dan mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan yang lebih menekankan pada pendekatan psiko-andragogis dan sosio-kultural dalam konteks nilai instrumental dan praksis Pancasila dan UUD NRI 1945, serta nilai kontemporer kosmopolitanisme.

Secara paradigmatik kurikuler irisan antara pendidikan Pancasila dan Pendidikan Kewarganegaraan di perguruan tinggi dapat digambarkan sebagai berikut.
1.   Pancasila ditempatkan dan dimaknai sebagai entitas inti yang menjadi sumber rujukan dan ukuran keberhasilan dari keseluruhan ruang lingkup mata kuliah Pendidikan Pancasila dan Pendidikan Kewarganegaraan.
2.   Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Bhinneka Tunggal Ika dan Negara Kesatuan Republik Indonesia ditempatkan sebagai bagian integral dari pembangunan kehidupan dan penyelenggaraan negara yang berdasarkan atas Pancasila.

Dengan adanya perkembangna baru dalam pengorganisasian pendidikan kewarganegaraan tersebut, terdapat kebutuhan dan tantangan baru bagi semua Guru PPKn dan semua dosen Pendidikan Pancasila dan Pendidikan kewarganegaraan.

Penyempurnaan dan Penguatan PPKn di sekolah, secara komprehensif memberi tantangan sekaligus menimbulkan implikasi terhadap peningkatan kualifikasi, kompetensi, sertifikasi, dan kinerja guru PPKn secara berkelanjutan. Guru dituntut menguasai secara mendalam dan komprehensif latar belakang dan semangat perubahan tersebut mulai dari nama, misi, substansi, strategi, pembelajaran, dan penilaian PPKn. Penguatan kurikulum PPKn ini juga menuntut adanya perubahan pola pikir, pola sikap dan pola tindak, serta budaya profesional guru, terkait pengembangan secara integratif dimensi pengetahuan kewarganegaraan, sikap kewarganegaraan, keterampilan kewarganegaraan, keteguhan kewarganegaraan, komitmen kewarganegaraan, dan kompetensi kewarganegaraan, untuk menghasilkan pribadi warga negara yang cerdas dan baik.

Penetapan adanya dua mata kuliah wajib umum (MKWU), yakni Pendidikan Pancasila (PP) dan Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) di perguruan tinggi memberi tantangan sekaligus menimbulkan implikasi terhadap penyegaran, pengadaan dosen PP dan dosen PKn secara berkelanjutan. Semuanya dosen PP dan/atau PKn dituntut untuk menguasai secara mendalam dan komprehensif latar belakang dan yang terkandung dalam visi, misi, substansi, strategi, pembelajaran, dan penilaiannya. Penguatan profesionalisme dosen ini juga menuntut adanya perubahan pola pikir, pola sikap dan pola tindak, serta budaya profesional dosen terkait proses pengembangan secara utuh/holistik dimensi pengetahuan kewarganegaraan, sikap kewarganegaraan, keterampilan kewarganegaraan, keteguhan kewarganegaraan, komitmen kewarganegaraan, dan kompetensi kewarganegaraan.

E.  Bagaimana Ruang Lingkup Pendidikan Kewarganegaraan?
Ruang lingkup dalam Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan di sekolah (SD, SMP,SMA, dan SMK) meliputi:
1. Pancasila, sebagai dasar negara, pandangan hidup, dan ideologi nasional Indonesia serta etika dalam pergaulan Internasional.
2. Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai hukum dasar yang menjadi landasan konstitusional kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
3.  Bhinneka Tunggal Ika, sebagai wujud komitmen keberagaman kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang utuh dan kohesif secara nasional dan harmonis dalam pergaulan antarbangsa.
4.  Negara Kesatuan Republik Indonesia, sebagai bentuk final Negara Republik Indonesia yang melindungi segenap bangsa dan tanah tumpah darah Indonesia.

Dalam paradigma Kurikulum 2013, yang saat ini memasuki tahap implemetasi meluas, keempat ruang lingkup materi tersebut diorganisasikan secara psikologis dan sosial kutural dengan menggunakan pendekatan logika substantif dan spiral lingkungan semakin meluas mulai dari kelas I SD sampai dengan kelas III SMA. Dengan menggunakan konsepsi adanya integrator kompetensi yang menjadi jembatan atau tangga mendukung/scafolder dalam mencapai Standar Kompetensi Lulusan (SKL), yakni Kompetensi Inti (KI), dikembangkan Kompetensi Dasar (KD) yang tidak lain merupakan kompetensi bermuatan substansi mata pelajaran/mata kuliah.

Sedang ruang lingkup materi untuk Pendidikan Pancasila dan Pendidikan Kewarganegaraan di perguruan tinggi mencakup substansi sebagai berikut.
Pendidikan Pancasila (Dikti:2014-Draf MKWU)
1.  Tujuan dan fungsi pendidikan Pancasila dalam pengembangan kemampuan utuh sarjana atau profesional.
2. Dinamika Pancasila secara historis, dan merefleksikan fungsi dan kedudukan penting Pancasila dalam perkembangan Indonesia mendatang
3. Peraturan perundang-undangan dan kebijakan negara baik yang bersifat praktis-pragmatis maupun jangka panjang dalam perspektif Pancasila sebagai dasar negara.
4. Perkembangan ideologi besar dunia dan ideologi-ideologi baru yang muncul dan menjelaskan Pancasila sebagai ideologi yang cocok untuk Indonesia, serta menganalisis fenomena kehidupan kemasyarakatan dan kenegaraan dalam perspektif Pancasila sebagai ideologi
5. Hakikat sila-sila Pancasila serta mengaktualisasikan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya sebagai paradigma berfikir, bersikap dan berperilaku.
6. Pengertian etika, aliran-aliran etika, etika Pancasila, dan Pancasila sebagai solusi problem moralitas bangsa.
7.   Pancasila sebagai karakter keilmuan Indonesia

Pendidikan Kewarganegaraan (Dikti:2014- Draf MKWU)
1.  Tujuan dan fungsi pendidikan kewarganegaraan dalam pengembangan kemampuan utuh sarjana atau profesional.
2. Esensi dan urgensi identitas nasional sebagai salah satu determinan dalam pembangunan bangsa dan karakter yang bersumber dari nilai-nilai Pancasila
3.   Urgensi integrasi nasional sebagai salah satu parameter persatuan dan kesatuan bangsa dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
4.  Nilai dan norma yang terkandung dalam konstitusi di Indonesia dan konstitusionalitas ketentuan di bawah UUD dalam konteks kehidupan bernegarakebangsaan Indonesia.
5. Harmoni kewajiban dan hak negara dan warga negara dalam tatanan kehidupan demokrasi Indonesia yang bersumbu pada kedaulatan rakyat dan musyawarah untuk mufakat.
6.   Hakikat, instrumentasi, dan praksis demokrasi Indonesia yang bersumber dari Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai wahana penyelenggaran negara yang sejahtera dan berkeadilan.
7. Dinamika historis konstitusional, sosiaL-politik, kultural, serta konteks kontemporer penegakan hukum dalam konteks pembangunan negara hukum yang berkeadilan.
8.  Dinamika historis, dan urgensi Wawasan Nusantara sebagai konsepsi dan pandangan kolektif kebangsaan Indonesia dalam konteks pergaulan dunia.
9.   Urgensi, dan tantangan ketahanan nasional bagi Indonesia dalam mebangun komitmen kolektif yang kuat dari seluruh komponen bangsa untuk mengisi kemerdekaan Indonesia.

F.  Bagaimana Kerangka Pedagogik Pendidikan Kewarganegaraan?
Pembelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan di sekolah dilakukan melalui penerapan berbagai pembelajaran inovatif, kreatif, dan konstekstual sebagai wahana pembentukan karakter peserta didik secara utuh. Pengalaman belajar diseleksi dan diorganisasikan dengan menggunakan antara lain: (1) pendidikan nilai dan moral; (2) pendekatan lingkungan meluas; (3) pembelajaran aktif; (4) pemecahan masalah; (5) pendekatan kontekstual; (6) pembelajaran terpadu; (7) pembelajaran kelompok (8) praktik belajar kewarganegaraan; (9) pemberian keteladanan; dan (10) penciptaan iklim kelas dan budaya sekolah yang berkarakter sesuai dengan nilai dan moral Pancasila.

Mata kuliah Pendidikan Pancasila dan Pendidikan Kewarganegaraan di perguruan tinggi menerapkan pendekatan berbasis proses keilmuan (epistemological /scientific approach) yang menekankan pada strategi dasar pembelajaran yang mencakup:proses mengamati, menanya, menggali informasi, menalar, dan mengkomunikasikan dan selanjutnya bermuara pada internalisasi dan personalisasi nilai dan moral dalam konteks karakter keindonesiaan, kemanusiaan, dan peradaban dunia. Model pembelajaran dikembangkan dengan paradigma proses membangun pengetahuan melalui berbagai penalaran induktif dan/atau deduktif (problem-based learning, inquiry/discovery learning) dalam bingkai membangun pengetahuan melalui transformasi-building knowledge through transformation of experiences (Kolb: 1986).

G. Bagaimana Konsep dan Kerangka Penilaian PKn ?
Penilaian harus bersifat utuh-menyeluruh-holistic yang harus merupakan bagian intergral dari konsepsi authentic learning yang menuntut terjadinya authentic instruction dan authentic assessment. Penilaian menggunakan aneka ragam tes dan nontes yang dilaksanakan secara terpadu dan berkelanjutan dengan menitikberatkan pada perwujudan nilai dan moral Pancasila dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga dapat digunakan instrumen penilaian antara lain: (1) tes obyektif, (2) test essay, (3) test perbuatan, (4) studi kasus, (5) catatan anekdotal, (6) penilaian sebaya, (7) penilaian portofolio, (8) hasil projek belajar dan (9) penilaian proses. Untuk masing-masing penilaian diperlukan kriteria dan prosedur penilaian yang sesuai dengan ciri khasnya.

H.  Penutup
Perubahan dalam pemikiran dan paradigma pendidikan kewarganegaraan di Indonesia memerlukan diskursus akademik dari seluluh pemangku kepentingan dari semua jenjang pendidikan (pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi. Peran asosiasi profesional terkait, sangat diperlukan untuk membangun koherensi pemikiran idiil, instrumental, dan praksis.


DAPTAR PUSTAKA
APCEK (2000) Report :Workshop Asia Pacific Civic Education Consortium, Penang.

Bahmuller, C.E.( 1996) The Future of Democracy and Education for Democracy, Calabasas: Center for Civic Education (CCE).

Banks, J. A. (1990) Citizenship for a Pluralistic Democratic Society in Rauner, M. (1999) Civic Education: An Annotated Bibliography, CIVNET Brameld, T. (1965) Education as Power, USA: Holt, Rinehart and Winston, Inc.

Carr, W., Kemmis, S. (1986) Becoming Critical: Education, Knowledge and Action Research, Victoria: Deakin University.

Center for Civic Education/CCE (1994) Civitas: National Standards for Civics and Government, Calabasas : CCE

Center for Indonesian Civic Education (1999) Democratic Citizen in a Civil Society: Report of the Conference on Civic Education for Civil Society, Bandung:CICED

Civitas International (1998) International Partnership for Civic Awareness Conference Report, Strasbourg : Civitas International.

Cogan, 1. J, (1999) Developing the Civil Society : The Role of Civic Education, Bandung : CICED

Derricott, R., Cogan, J. J. (1998) Citizenship for the 2t" Century: An International Perspective on Education, London : Kogan Page.

Dewantara ,K.H. (1970) Pendidikan, Jogyakarta: Majelis luhur Taman Siswa.

Gandal, M., Finn, Jr. C. E. (1992) Freedom Papers: Teaching Democracy, USA: United States Information Agency.

Hahn,. C.L. dan Torney-Purta,J. (1999) The lEA Civic Education Project: National and International Perspectives, dalam Social Education, 63,7:425-431.

Hartonian,H..M.(1992) The Social Studies and Project 2061: An Opportunities for Harmony, dalam The Social Studies, 83;4:160-163.

http://www.civsoc.com/index.htm. (2002)The Nature of Civic Culture.

Joyce, B.E. dan Weil. M (1986) Models of teaching, New York: Routledge.

Kerr, D.(1999) Citizenship Education: an International Comparison, London: National Foundation for Educational Research-NFER.

Kuhn, T.S. (1970) The Structure of Scientific Revolution, Chicago: The University of Chicago Press.

Lickona, T. (1991) Educating for Character: How our Schools can Teach Respect and Responsibility, New York: Bantam Books.

Qualifications and Curriculum Authority-QCA (1998) Education for citizenship and the teaching of democracy in schools, London: Department of Education and Employment-DfEE Quigley, C. N., Buchanan, Jr. J. H., Bahmueller, C. F. (1991) Civitas: A Frameworkfor Civic Education, Calabasas : Center for Civic Education

Republik Indonesia (2002) Undang-Undang Dasar 1945 setelah Amandemen Keempat, Jakarta: Majelis Permusyawaratan Rakyat.

___________ (2003) Undang-Undang RI No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), Jakarta: Fokus Media.

___________ (2012) Undang-Undang RI No. 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, Jakarta: Fokus Media.

___________ (2013) Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005, Sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 032 tahun 2013 tentang Standar Nasional Pendidikan, Jakarta.

___________(2013) Permendikbud Nomor 54 tahun 2013 tentang Standar Kompetensi Lulusan, Jakarta.

___________(2013) Undang-Undang RI No. 66 tahun 2013 tentang Kerangka Dasar dan Struktur Kurikulum Pendidikan Dasar, Jakarta: Fokus Media.

___________ 2003) Undang-Undang RI No. 67 tahun 2013 tentang Kerangka Dasar dan Struktur Kurikulum Pendidikan Menengah, Jakarta: Fokus Media Somantrie, H. dan Ibrahim D. (1999) Indonesian School Civic Education: Practioner's Visions, Bandung : CICED.

Somantri, N. (1993) Beberapa Pokok Pikiran Tentang : Penelusuran Filsafah Ilmu Tentang Pendidikan IPS dan Kaitan Struktural-Fungsionalnya dengan Disiplin Ilmu-Ilmu Sosial, Ujung Pandang: Panitia Forum Komunikasi IV Pimpinan FPIPS IKIP dan JIPS-FKIP Universitas.

Winataputra, U.S. (1990). Konsep dan Strategi Pendidikan Moral Pancasila di Sekolah Menengah: Suatu Penelitian Kepustakaan, Jakarta: P2LPTK ,Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

___________(2001). Jatidiri Pendidikan Kewarganegaraan sebagai Pendidikan Demokrasi, Bandung, Program Pascasarjana UPI (Disertasi).

___________(2012). Pendidikan Kewarganegaraan Dalam Konteks Pendidikan untuk Mencerdaskan Kehidupan Bangsa, Bandung.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Comments system

Disqus Shortname