(Bahan Diskusi dalam Semnas PKn-AP3KnI, Tahun 2014)
Oleh,
Prof. Dr. Udin S.
Winataputra, M.A.
(Dosen FKIPdan PPs-UT
dan SPs UPI,
Ketua Umum AP3KnI, NCSS
Member)
ABSTRACT
Universally,
civic/citizenship education studies have been undergone continuous changes in
the ideals, instrumentation, and praxis. Those changes coud be conceptually put
in a continum: education of citizenship, education through citizenship, and
education for citizenship. It has to be the case for Indonesian
citizenship/civic education along its six decades of educational history since
1945. This article briefly present a recent conceptual discourses dealing with
the profile of civic education for Indonesian schools as well as for general
educational puposes in university education. It is encouraged that further
responses would enriched this new discourse.
Key
concepts:
education of
citizenship, education through citizenship, education for citizenship, coherent
principle for civic/citizenship education.
A. Mengapa
harus ada Pendidikan Kewarganegaraan?
Mengapa
perlu ada pendidikan kewarganegaraan dalam sistem pendidikan nasional? Mengapa
proses pendidikan kewarganegaraan itu perlu diwujukan dalam kurikulum dan
pembelajaran pada semua jalur dan jenjang pendidikan. Bagaimana pendidikan
kewarganegran seyogyanya dirancang, dikembangkan, dilaksanakan, dan dievaluasi
dalam konteks pengejawantahan tujuan pendidikan nasional. Ketiga pertanyaan
tersebut merupakan landasan dan kerangka pikir untuk memahami profil mata
kuliah/mata pelajaran Pendidikan kewarganegaraan.
Secara
konstitusional, upaya sistemik dan berkelanjutan untuk mencerdaskan kehidupan
bangsa merupakan imperatif yang tersurat dalam alinea keempat Pembukaan, dan
Pasal 31 Undang-Undang dasar Negara Republik Indonesia, Selanjutnya secara
instrumental dijabarkan dalam Pasal 2, 3, 37 Undang Undang Nomor 20 Tahun 2003.
Lebih tegas lagi secara operasional dalam Penjelasan pasal 37 dinyatakan bahwa:
“...pendidikan kewarganegaraan dimaksudkan untuk membentuk peserta didik
menjadi manusia yang memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah air”. Yang
dimaksud dengan pendidikan kewarganegaraan dalam UndangUndang tersebut mencakup
substansi dan proses pendidikan nilai ideologis Pancasila dan pendidikan
kewarganegaraan yang menekankan pada pendidikan kewajiban dan hak warganegara.
Selanjutnya dalam Pasal 56 Undang-Undang Nomor 12 tahun 2012 Tentang Pendidikan
Tinggi kembali dikukuhkan wajib adanya mata kuliah Pancasila dan
kewarganegaraan, yang masing-masing merupakan entitas utuh
psikopedagogis/andragogis.
Eksistensi
mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan sebagai matapelaaran pada jenjang
pendidikan dasar dan menengah, dan sebagai mata kuliah di perguruan tinggi
secara yuridis berpijak pada ketentuan sebagai berikut.
1. Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia tahun 1945
2. Undang-Undang Sistim Pendidikan
Nasional Nomor 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas Pasal 2, 3, 4 dan 37
3. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012
Tentang Pendidikan Tinggi, Pasal 56
4. Undang Undang nomor 17 tahun 2007
tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang 2005-2025
5. Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 yang telah diubah dengan Peraturan Pemerintah
Nomor 32 Tahun 2013 Tentang Standar Nasional Pendidikan.
6. Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 5 Tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Nasional 2010-2014
B. Bagaimana
Dasar Epistemologis Pendidikan Kewarganegaraan?
Secara
epistemologis pendidikan kewarganegaraan perlu dipahami dalam konteks konsep civic/citizenship education dalam wacana
pendidikan kewarganegaraan demokratis sebagaimana pemikiran tersebut berkembang
di berbagai belahan dunia. Hal itu dapat kita maknai, bahwa pendidikan (education=educare) merupakan upaya
manusia yang sadar-tujuan untuk menumbuh-kembangkan potensi individu agar
menjadi anggota masyarakat, putra bangsa, dan warganegara yang dewasa. Oleh
karena itu pendidikan, termasuk pendidikan kewarganegaraan merupakan wahana
pedagogis dan sosialkultural, yang diterima sebagai unsur peradaban kemanusiaan
yang memberikan kontribusi signifikan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa,
dan bernegara.
Sebagaimana
telah dipahami publik akademik universal, civic/citizenship education secara
universal "Citizenship
education" (UK), termasuk di dalamnya "civic education" (USA) atau disebut juga pendidikan
kewarganegaraan (Indonesia), atau "ta'limatul
muwwatanahlat tarbiyatul al watoniyah (Timur Tengah) atau "educacion civicas" (Mexico),
atau "Sachunterricht"
(Jerman) atau "civics"
(Australia) atau "social
studies" (New Zealand) atau "Life
Orientation” (Afrika Selatan) atau "People
and society" (Hungary), atau "Civics
and moral education" (Singapore) (Kerr: 1999; Winataputra:2001),
merupakan wahana pendidikan karakter (character education) yang bersifat
multidimensional (Cogan and Derricott: 1998) yang dimiliki oleh kebanyakan
negara di dunia.
Sebagai
pendidikan karakter yang bersifat multidimensional "citizenship education" mengemban visi dan missi utuh
pengembangan "civic
competencies". Didalam kemampuan tersebut terkandung sasaran
pengembangan: "civic knowledge,
civic dispositions, civic skills, civic competence, civic confidence, civic
committment" yang bermuara pada kemampuan integratif "wellinformed and reasoned decision
making". Secara praksis kesemua dimensi kemampuan itu sangat
diperlukan oleh individu agar dapat berperan sebagai "participative and responsible citizen" (CCE: 1996) atau
warganegara Indonesia yang cerdas dan baik (Winataputra: 2001).
Bila
ditakar dengan fokus pengembangan kemampuan tersebut, dalam konteks
internasional (Kerr: 1999; CIVITAS: 2000) "civic
education" di Asia Tenggara, termasuk pendidikan kewarganegaraan di
Indonesia, termasuk kategori "minimal" dengan ciri "thin, exclusive, elitist, content-led,
knowledge-based, didactic transmission, easier to achieve, civic
education". Sementara itu Eropa Utara, USA, dan New Zealand, termasuk
kategori "maximal" dengan
ciri "thick, inclusive, activist, participative, process-led,
value-based, interactive, more difficult to achieve, citizenship
education". Sedangkan yang termasuk kategori diantara dua kutub itu,
yang disebut "moderate"
adalah Eropa Tengah, Selatan, dan Timur, serta Australia. Dalam kategori ini
walaupun masih terkesan "exclusive
and formal" sudah mulai beranjak ke
"process-led, valuebased, participative, and interactive".
Jika
dilihat dalam pemikiran paradigmatik democracy education atau pendidikan
demokrasi (APCEK: 2000, Winataputra: 2001) ketiga posisi konseptual tersebut
dapat digambarkan secara kontinum-konsentris "education about democracy" (Minimal), "education in
democracy" (Moderate), dan "education
for democracy" (Maximal). Secara seingkat "education about democracy" hanya dapat menghasilkan
orang tahu demokrasi tetapi tidak mampu bersikap dan berprilaku demokratis. Sementara
itu "education in democracy"
dapat menghasilkan orang yang tahu, mau, dan mampu hidup berdemokrasi.
Sedangkan "education for
democracy" sangat potensial menghasilkan orang yang bukan saja tahu,
mau, dan mampu hidup berdemokrasi, tetapi juga mau dan mampu memperbaiki
kehidupan demokrasi secara terus menerus. Secara psiko-pedagogis dan
sosio-kultural perubahan paradigma kontinumkonsentris tersebut berlangsung
secara "developmental"
dalam arti bertahap berkelanjutan.
Secara
konseptual, dalam konteks perkembangan struktur keilmuan, pendidikan
kewarganegaraan merupakan suatu wahana pendidikan demokrasi yang mengandung
tiga dimensi konseptual interaktif, yakni "kajian ilmiah kewarganegaraan,
program kurikuler kewarganegaraan, dan aktivitas sosio-kultural
kewarganegaraan" (Winataputra: 2001). Oleh karena itu pendidikan kewarganegaraan
seyogyanya dikembangkan sebagai pendidikan demokrasi konstitusional Indonesia
yang religius dan mencerdaskan (sesuai amanat UUD 1945 dan UU No.20 Tahun 2003)
dan bersifat multidimensional dan ditangani secara profesional karena diyakini
bahwa "democracy cannot teach itself
and it is not inherrited - it is learned as a life-long learningptrocess" (Gandal
and Finn: 1996, Winataputra: 2001).
Untuk
Indonesia tampaknya pendidikan kewarganegaraan yang bersifat "exclusive and formal" dalam
dunia persekolahan dan pendidikan tinggi masih perlu dipertahankan, namun harus
mulai dikembangkan menjadi program pendidikan yang mensintesiskan secara
harmonis pendekatan "content-related"
dan "process-led" serta
"value-based", yang berarti
juga meminimumkan modus "didactic
transmission" dan mengoptimalkan penerapan prinsip "participative
and interactive".
Harus
diakui bahwa PKn Indonesia yang kini bersifat "minimal" itu seyogyanya dikembangkan menjadi PKn yang "moderate", sehingga ia
berubah dari paradigma "education
about democracy" menjadi "education
in democracy". Dalam konteks itu maka kelas PKn seyogyanya
dikembangkan sebagai "laboratory for
democracy" dan masyarakat sebagai "open
global classroom". Dalam konteks itu berbagai kegiatan "co-curricular" dan kegiatan "extra curricular" seperti
debat publik, praktik belajar, kajian sosial, aksi sosial, dan simulasi dengan
pendapat seyogyanya digalakkan. Secara psiko-pedagogis dan sosio-kultural semua
kegiatan dan pengalaman belajar yang tercipta sangat potensial mengembangkan
karakter warganegara yang cerdas, partisipatif, dan bertanggungjawab melalui
pengembangan aneka ragam "instructional
effects" dan "nururanteffects" (Winataputra: 1998; 2001,
Joyce and Weill: 1986).
Perubahan
paradigma tersebut tidak akan terjadi dengan sendirinya. Karena itu diperlukan
fasilitasi sistematik dan sistemik untuk terwujudnya perubahan paradigmatik PKn
dari kategori "minimal" ke "moderate", banyak hal yang
diperlukan untuk itu. Kurikulum PKn yang selama ini terkesan terlalu berbasis
substansi atau content-based, harus
dikembangnkan menjadi kurikulum yang berbasis karakter. Orintasi baru
diperlukan untuk menghasilkan "civic
intelligence, civic participation, and civic responsibility" dalam konteks
kehidupan demokrasi konstitusional Indonesia. Berbagai pendekatan strategi,
metode, teknik/taktik, serta dan model belajar dan pembelajaran memerlukan
keterpaduan kegiatan intra, ko, dan ekstra kurikuler dalam konstelasi utuh
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara Indonesia. Dengan demikian
akan tercipta iklim pembelajaran PKn yang mencerminkan sebagai kelas global
yang terbuka (open global classroom).
Akses yang luas bagi para siswa, mahasiswa, dan pemuda terhadap berbagai sumber
informasi tercetak, terrekam, tersiar, dan elektronik. Wawasan, sikap, dan
kemampuan para guru, tutor, dosen dalam konteks kehidupan demokrasi
konstitusional Indonesia yang sehat.
Bertolak
dari semua argumentasi tersebut di muka, maka dapat dikatakan bahwa PKn dalam
makna "citizenship
education"/"civic education" merupakan salah satu alternatif
pedagogis dan sosio-kultural potensial yang perlu dikembangkan dan ditangani
secara profesional, dikembangkan secara terus menerus dengan sinergis antar
semua pemangku kepentingan guna memberikan kontribusi yang bermakna dalam
mengatasi krisis masyaraakat, bangsa, dan negara Indonesia secara
bertahapberkelanjutan.
C. Bagaimana
Visi dan Missi Pendidikan Kewarganegaraan Indonesia?
Konsisten
dan koheren dengan esensi dan arah dari filosofi pendidikan nasional, seperti
dimandatkan secara konstitusional, maka secara filosofis pendidikan
kewarganegaraan juga dengan sendirinya memiliki visi holistik-eklektis yang memadukan secara serasi pandangan perenialisme, esensialisme, progresifisme,
dan sosiorekonstruksionisme dalam konteks keindonesiaan. (Dewantara:1930;
Brameld:1965, Somantri: 1970; Winataputra 2001; Kemendikbud: 2013).Secara
sosiopolitik dan kultural pendidikan kewarganegaraan memiliki visi pendidikan
untuk mencerdaskan kehidupan bangsa yakni menumbuhkembangkan kecerdasan
kewarganegaraan (civic intelligence)
merupakan prasarat untuk pembangunan demokrasi dalam arti luas, yang
mempersyaratkan terwujudnya budaya kewarganegaraan atau civic culture sebagai salah satu dterminan tumbuh-kembangnya negara
demokrasi.
Bertolak
dari visinya tersebut, maka pendidikan kewarganegaraan mengemban misi
multidimensional (Cogan: 1996, Winataputra: 2001) yakni: (1) misi
psikopedagogis, yakni pengembangan potensi peserta didik: (2) misi psikososial
penyiapan peserta didik untuk hidup dan berkehidupan dalam masyarakat negara
bangsa, dan (3) misi sosiokultural untuk menbangun budaya kewarganegaraan
sebagai salah satu determinan kehidupan yang Demokratis. Bagi dunia akademik,
selain ketiga misi tersebut dikembangkan misi penelitian dan pengembangan (research and/or development) untuk
membangun pendidikan kewarganegaraan sebagai integrated knowledge system
(Hartonian: 1970) atau synthetic
discipline (Somantri: 1996) yang dikembangkan secara perseorangan dan/atau
komunitas dan melalui program magister dan doktor pendidikan kewarganegaraan.
D. Kemana
Arah Tujuan Pendidikan Kewarganegaraan?
Secara
holistik pendidikan kewarganegaraa bertujuan agar setiap warganegara muda (young citizens) memiliki rasa kebangsaan
dan cinta tanah air dalam konteks nilai dan moral Pancasila, nilai dan norma
Undang-Undang dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, nilai dan komitmen
Bhinneka tunggal Ika, dan komitmen bernegarakesatuan Republik Indonesia. Oleh
karena itu secaraecara sadar dan terencana peserta didik sesuai dengan
perkembangan psikologis dan konteks kehidupannya secara sistemik difasilitasi
untuk belajar berkehidupan demokrasi secara utuh, yakni belajar tentang
demokrasi (learning about democracy),
belajar dalam iklim dan melalui proses demokrasi (learning through democracy), dan belajar untuk membangun demokrasi
(learning for democracy).
Dalam
konstelasi konseptual tersebut di muka, maka pendidikan kewarganegaraan secara
psikopedagogis/andragogis dan sosiokultural harus dirancang, dilaksanakan, dan
dievaluasi dalam konteks pengembangkan kecerdasan kewarganegaraan (civic intelligence) yang secara
psikososial tercermin dalam penguasaan pengetahuan kewarganegaraan (civic knowledge), perwujudan sikap
kewarganegaraan (civic dispositions),
penampilan keterampilan kewarganegaraan (civic
skills), pemilikan komitmen kewarganegaraan (civic committment), pemilikan keteguhan kewarganegaraan (civic confidence), dan penampilan
kecakapan kewarganegaraan (civic
competence) yang kesemua itu memancar dari dan mengkristal kembali menjadi
kebajikan/keadaban kewarganegaraan (civic
virtues/civility) (CCE; 1994, Winataputra:2001). Keseluruhan kemampuan itu
merupakan pembekalan bagi setiap warganegara untuk secara sadar melakukan
partisipasi kewarganegaraan (civic participation)
sebagai perwujudan dari tanggung jawab kewarganegaraan (civic responsibility).
Untuk
mewujudkan tujuan pendidikan kewarganegaraan sebagai wahana pendidikan untuk
mencerdaskan kehidupan bangsa dalam arti utuh dan luas, maka untuk jenjang
pendidikan dasar dan pendidikan menengah nama mata pelajaran Pendidikan
Kewarganegaraan disesuaikan menjadi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan,
yang bertujuan untuk membentuk peserta didik menjadi manusia yang secara utuh
memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah air yang dijiwai oleh nilai-nilai
Pancasila, Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, semangat
Bhinneka Tunggal Ika dan komitmen Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Karena
itu revitalisasi mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) menjadi
Pendidikan Pancasila dan kewarganegaraan (PPKn) untuk jenjang pendidikan dasar
dan jenjang pendidikan menengah, maka tidak relevan lagi adanya pemisahan mata
pelajaran Pendidikan Pancasila dan Pendidikan Kewarganegaraan. Secara idiil dan
instrumental konsep, visi, dan misi serta muatan PPKn tersebut sudah secara
utuh mengintegrasikan filsafat, nilai, dan moral Pancasila dengan keseluruhan
tuntutan psikopedagogis dan sosial-kultural warga negara dalam konteks pembudayaan
Pancasila, UUD NRI 1945, Bhinneka Tunggal Ika, dan NKRI.
Lain
halnya untuk perguruan tinggi sesuai dengan imperatif Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2012, dikemas dan diwadahi dalam dua mata kuliah yakni mata kuliah
Pendidikan Pancasila yang lebih menekankan pada pendekatan filosofis-ideologis
dan sosio-andragogis dalam konteks nilai ideal dan istrumental Pancasila dan
UUD NRI 1945, dan mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan yang lebih menekankan
pada pendekatan psiko-andragogis dan sosio-kultural dalam konteks nilai
instrumental dan praksis Pancasila dan UUD NRI 1945, serta nilai kontemporer
kosmopolitanisme.
Secara
paradigmatik kurikuler irisan antara pendidikan Pancasila dan Pendidikan
Kewarganegaraan di perguruan tinggi dapat digambarkan sebagai berikut.
1. Pancasila ditempatkan dan dimaknai
sebagai entitas inti yang menjadi sumber rujukan dan ukuran keberhasilan dari
keseluruhan ruang lingkup mata kuliah Pendidikan Pancasila dan Pendidikan
Kewarganegaraan.
2. Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, Bhinneka Tunggal Ika dan Negara Kesatuan Republik
Indonesia ditempatkan sebagai bagian integral dari pembangunan kehidupan dan
penyelenggaraan negara yang berdasarkan atas Pancasila.
Dengan
adanya perkembangna baru dalam pengorganisasian pendidikan kewarganegaraan
tersebut, terdapat kebutuhan dan tantangan baru bagi semua Guru PPKn dan semua
dosen Pendidikan Pancasila dan Pendidikan kewarganegaraan.
Penyempurnaan
dan Penguatan PPKn di sekolah, secara komprehensif memberi tantangan sekaligus
menimbulkan implikasi terhadap peningkatan kualifikasi, kompetensi,
sertifikasi, dan kinerja guru PPKn secara berkelanjutan. Guru dituntut
menguasai secara mendalam dan komprehensif latar belakang dan semangat
perubahan tersebut mulai dari nama, misi, substansi, strategi, pembelajaran,
dan penilaian PPKn. Penguatan kurikulum PPKn ini juga menuntut adanya perubahan
pola pikir, pola sikap dan pola tindak, serta budaya profesional guru, terkait
pengembangan secara integratif dimensi pengetahuan kewarganegaraan, sikap
kewarganegaraan, keterampilan kewarganegaraan, keteguhan kewarganegaraan,
komitmen kewarganegaraan, dan kompetensi kewarganegaraan, untuk menghasilkan
pribadi warga negara yang cerdas dan baik.
Penetapan
adanya dua mata kuliah wajib umum (MKWU), yakni Pendidikan Pancasila (PP) dan
Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) di perguruan tinggi memberi tantangan
sekaligus menimbulkan implikasi terhadap penyegaran, pengadaan dosen PP dan
dosen PKn secara berkelanjutan. Semuanya dosen PP dan/atau PKn dituntut untuk
menguasai secara mendalam dan komprehensif latar belakang dan yang terkandung
dalam visi, misi, substansi, strategi, pembelajaran, dan penilaiannya.
Penguatan profesionalisme dosen ini juga menuntut adanya perubahan pola pikir,
pola sikap dan pola tindak, serta budaya profesional dosen terkait proses
pengembangan secara utuh/holistik dimensi pengetahuan kewarganegaraan, sikap
kewarganegaraan, keterampilan kewarganegaraan, keteguhan kewarganegaraan,
komitmen kewarganegaraan, dan kompetensi kewarganegaraan.
E. Bagaimana
Ruang Lingkup Pendidikan Kewarganegaraan?
Ruang
lingkup dalam Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan di sekolah (SD, SMP,SMA,
dan SMK) meliputi:
1. Pancasila, sebagai dasar negara,
pandangan hidup, dan ideologi nasional Indonesia serta etika dalam pergaulan
Internasional.
2. Undang Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 sebagai hukum dasar yang menjadi landasan konstitusional
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
3. Bhinneka Tunggal Ika, sebagai wujud
komitmen keberagaman kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang
utuh dan kohesif secara nasional dan harmonis dalam pergaulan antarbangsa.
4. Negara Kesatuan Republik Indonesia,
sebagai bentuk final Negara Republik Indonesia yang melindungi segenap bangsa
dan tanah tumpah darah Indonesia.
Dalam
paradigma Kurikulum 2013, yang saat ini memasuki tahap implemetasi meluas,
keempat ruang lingkup materi tersebut diorganisasikan secara psikologis dan
sosial kutural dengan menggunakan pendekatan logika substantif dan spiral
lingkungan semakin meluas mulai dari kelas I SD sampai dengan kelas III SMA.
Dengan menggunakan konsepsi adanya integrator kompetensi yang menjadi jembatan
atau tangga mendukung/scafolder dalam mencapai Standar Kompetensi Lulusan
(SKL), yakni Kompetensi Inti (KI), dikembangkan Kompetensi Dasar (KD) yang
tidak lain merupakan kompetensi bermuatan substansi mata pelajaran/mata kuliah.
Sedang
ruang lingkup materi untuk Pendidikan Pancasila dan Pendidikan Kewarganegaraan di
perguruan tinggi mencakup substansi sebagai berikut.
Pendidikan
Pancasila (Dikti:2014-Draf MKWU)
1. Tujuan dan fungsi pendidikan Pancasila
dalam pengembangan kemampuan utuh sarjana atau profesional.
2. Dinamika Pancasila secara historis,
dan merefleksikan fungsi dan kedudukan penting Pancasila dalam perkembangan
Indonesia mendatang
3. Peraturan perundang-undangan dan
kebijakan negara baik yang bersifat praktis-pragmatis maupun jangka panjang
dalam perspektif Pancasila sebagai dasar negara.
4. Perkembangan ideologi besar dunia dan
ideologi-ideologi baru yang muncul dan menjelaskan Pancasila sebagai ideologi
yang cocok untuk Indonesia, serta menganalisis fenomena kehidupan
kemasyarakatan dan kenegaraan dalam perspektif Pancasila sebagai ideologi
5. Hakikat sila-sila Pancasila serta
mengaktualisasikan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya sebagai paradigma
berfikir, bersikap dan berperilaku.
6. Pengertian etika, aliran-aliran etika,
etika Pancasila, dan Pancasila sebagai solusi problem moralitas bangsa.
7. Pancasila sebagai karakter keilmuan
Indonesia
Pendidikan
Kewarganegaraan (Dikti:2014- Draf MKWU)
1. Tujuan dan fungsi pendidikan
kewarganegaraan dalam pengembangan kemampuan utuh sarjana atau profesional.
2. Esensi dan urgensi identitas nasional
sebagai salah satu determinan dalam pembangunan bangsa dan karakter yang
bersumber dari nilai-nilai Pancasila
3. Urgensi integrasi nasional sebagai
salah satu parameter persatuan dan kesatuan bangsa dalam wadah Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
4. Nilai dan norma yang terkandung dalam
konstitusi di Indonesia dan konstitusionalitas ketentuan di bawah UUD dalam
konteks kehidupan bernegarakebangsaan Indonesia.
5. Harmoni kewajiban dan hak negara dan
warga negara dalam tatanan kehidupan demokrasi Indonesia yang bersumbu pada
kedaulatan rakyat dan musyawarah untuk mufakat.
6. Hakikat, instrumentasi, dan praksis
demokrasi Indonesia yang bersumber dari Pancasila dan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai wahana penyelenggaran negara yang
sejahtera dan berkeadilan.
7. Dinamika historis konstitusional,
sosiaL-politik, kultural, serta konteks kontemporer penegakan hukum dalam
konteks pembangunan negara hukum yang berkeadilan.
8. Dinamika historis, dan urgensi Wawasan
Nusantara sebagai konsepsi dan pandangan kolektif kebangsaan Indonesia dalam
konteks pergaulan dunia.
9. Urgensi, dan tantangan ketahanan
nasional bagi Indonesia dalam mebangun komitmen kolektif yang kuat dari seluruh
komponen bangsa untuk mengisi kemerdekaan Indonesia.
F. Bagaimana
Kerangka Pedagogik Pendidikan Kewarganegaraan?
Pembelajaran
Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan di sekolah dilakukan melalui penerapan
berbagai pembelajaran inovatif, kreatif, dan konstekstual sebagai wahana
pembentukan karakter peserta didik secara utuh. Pengalaman belajar diseleksi
dan diorganisasikan dengan menggunakan antara lain: (1) pendidikan nilai dan
moral; (2) pendekatan lingkungan meluas; (3) pembelajaran aktif; (4) pemecahan
masalah; (5) pendekatan kontekstual; (6) pembelajaran terpadu; (7) pembelajaran
kelompok (8) praktik belajar kewarganegaraan; (9) pemberian keteladanan; dan
(10) penciptaan iklim kelas dan budaya sekolah yang berkarakter sesuai dengan
nilai dan moral Pancasila.
Mata
kuliah Pendidikan Pancasila dan Pendidikan Kewarganegaraan di perguruan tinggi
menerapkan pendekatan berbasis proses keilmuan (epistemological /scientific
approach) yang menekankan pada strategi dasar pembelajaran yang mencakup:proses
mengamati, menanya, menggali informasi, menalar, dan mengkomunikasikan dan
selanjutnya bermuara pada internalisasi dan personalisasi nilai dan moral dalam
konteks karakter keindonesiaan, kemanusiaan, dan peradaban dunia. Model
pembelajaran dikembangkan dengan paradigma proses membangun pengetahuan melalui
berbagai penalaran induktif dan/atau deduktif (problem-based learning,
inquiry/discovery learning) dalam bingkai membangun pengetahuan melalui transformasi-building knowledge through
transformation of experiences (Kolb: 1986).
G. Bagaimana
Konsep dan Kerangka Penilaian PKn ?
Penilaian
harus bersifat utuh-menyeluruh-holistic yang harus merupakan bagian intergral
dari konsepsi authentic learning yang menuntut terjadinya authentic instruction dan authentic
assessment. Penilaian menggunakan aneka ragam tes dan nontes yang
dilaksanakan secara terpadu dan berkelanjutan dengan menitikberatkan pada
perwujudan nilai dan moral Pancasila dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga
dapat digunakan instrumen penilaian antara lain: (1) tes obyektif, (2) test essay,
(3) test perbuatan, (4) studi kasus, (5) catatan anekdotal, (6) penilaian
sebaya, (7) penilaian portofolio, (8) hasil projek belajar dan (9) penilaian
proses. Untuk masing-masing penilaian diperlukan kriteria dan prosedur
penilaian yang sesuai dengan ciri khasnya.
H. Penutup
Perubahan
dalam pemikiran dan paradigma pendidikan kewarganegaraan di Indonesia
memerlukan diskursus akademik dari seluluh pemangku kepentingan dari semua
jenjang pendidikan (pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan
tinggi. Peran asosiasi profesional terkait, sangat diperlukan untuk membangun
koherensi pemikiran idiil, instrumental, dan praksis.
DAPTAR PUSTAKA
APCEK
(2000) Report :Workshop Asia Pacific Civic Education Consortium, Penang.
Bahmuller,
C.E.( 1996) The Future of Democracy and Education for Democracy, Calabasas: Center
for Civic Education (CCE).
Banks,
J. A. (1990) Citizenship for a Pluralistic Democratic Society in Rauner, M.
(1999) Civic Education: An Annotated Bibliography, CIVNET Brameld, T. (1965)
Education as Power, USA: Holt, Rinehart and Winston, Inc.
Carr,
W., Kemmis, S. (1986) Becoming Critical: Education, Knowledge and Action Research,
Victoria: Deakin University.
Center
for Civic Education/CCE (1994) Civitas: National Standards for Civics and
Government, Calabasas : CCE
Center
for Indonesian Civic Education (1999) Democratic Citizen in a Civil Society:
Report of the Conference on Civic Education for Civil Society, Bandung:CICED
Civitas
International (1998) International Partnership for Civic Awareness Conference
Report, Strasbourg : Civitas International.
Cogan,
1. J, (1999) Developing the Civil Society : The Role of Civic Education,
Bandung : CICED
Derricott,
R., Cogan, J. J. (1998) Citizenship for the 2t" Century: An International
Perspective on Education, London : Kogan Page.
Dewantara
,K.H. (1970) Pendidikan, Jogyakarta: Majelis luhur Taman Siswa.
Gandal,
M., Finn, Jr. C. E. (1992) Freedom Papers: Teaching Democracy, USA: United
States Information Agency.
Hahn,.
C.L. dan Torney-Purta,J. (1999) The lEA Civic Education Project: National and
International Perspectives, dalam Social Education, 63,7:425-431.
Hartonian,H..M.(1992)
The Social Studies and Project 2061: An Opportunities for Harmony, dalam The
Social Studies, 83;4:160-163.
http://www.civsoc.com/index.htm.
(2002)The Nature of Civic Culture.
Joyce,
B.E. dan Weil. M (1986) Models of teaching, New York: Routledge.
Kerr,
D.(1999) Citizenship Education: an International Comparison, London: National
Foundation for Educational Research-NFER.
Kuhn,
T.S. (1970) The Structure of Scientific Revolution, Chicago: The University of
Chicago Press.
Lickona,
T. (1991) Educating for Character: How our Schools can Teach Respect and
Responsibility, New York: Bantam Books.
Qualifications
and Curriculum Authority-QCA (1998) Education for citizenship and the teaching
of democracy in schools, London: Department of Education and Employment-DfEE
Quigley, C. N., Buchanan, Jr. J. H., Bahmueller, C. F. (1991) Civitas: A
Frameworkfor Civic Education, Calabasas : Center for Civic Education
Republik
Indonesia (2002) Undang-Undang Dasar 1945 setelah Amandemen Keempat, Jakarta:
Majelis Permusyawaratan Rakyat.
___________
(2003) Undang-Undang RI No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas),
Jakarta: Fokus Media.
___________
(2012) Undang-Undang RI No. 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, Jakarta:
Fokus Media.
___________
(2013) Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005, Sebagaimana telah diubah
dengan Peraturan Pemerintah Nomor 032 tahun 2013 tentang Standar Nasional
Pendidikan, Jakarta.
___________(2013)
Permendikbud Nomor 54 tahun 2013 tentang Standar Kompetensi Lulusan, Jakarta.
___________(2013)
Undang-Undang RI No. 66 tahun 2013 tentang Kerangka Dasar dan Struktur
Kurikulum Pendidikan Dasar, Jakarta: Fokus Media.
___________
2003) Undang-Undang RI No. 67 tahun 2013 tentang Kerangka Dasar dan Struktur
Kurikulum Pendidikan Menengah, Jakarta: Fokus Media Somantrie, H. dan Ibrahim
D. (1999) Indonesian School Civic Education: Practioner's Visions, Bandung :
CICED.
Somantri,
N. (1993) Beberapa Pokok Pikiran Tentang : Penelusuran Filsafah Ilmu Tentang
Pendidikan IPS dan Kaitan Struktural-Fungsionalnya dengan Disiplin Ilmu-Ilmu
Sosial, Ujung Pandang: Panitia Forum Komunikasi IV Pimpinan FPIPS IKIP dan JIPS-FKIP
Universitas.
Winataputra,
U.S. (1990). Konsep dan Strategi Pendidikan Moral Pancasila di Sekolah
Menengah: Suatu Penelitian Kepustakaan, Jakarta: P2LPTK ,Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan.
___________(2001).
Jatidiri Pendidikan Kewarganegaraan sebagai Pendidikan Demokrasi, Bandung,
Program Pascasarjana UPI (Disertasi).
___________(2012).
Pendidikan Kewarganegaraan Dalam Konteks Pendidikan untuk Mencerdaskan
Kehidupan Bangsa, Bandung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar