PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kehidupan manusia pada hakikatnya tidak akan
pernah lepas dari apa yang dinamakan pendidikan. Pendidikan merupakan sesuatu
yang menuntun pengetahuan manusia dari perkara yang belum tahu menjadi tahu.
Dalam pemahaman lain pendidikan dapat diartikan sebagai usaha sadar dan
terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan pembelajaran agar peserta didik
secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spritual,
pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta kecerdasan yang
diperlukan dirinya dan masyarakat.
Dalam proses pengembangan potensi manusia, maka
seyogianya dirumuskanlah atau direncanakan suatu pendidikan yang mampu
memberikan wadah dalam mengupayakan pengembangan potensi setiap individu yang
beraneka ragam. Pada pembahasan ini lebih dikhususkan pada pendidikan anak usia
sekolah dasar. Pendidikan di sekolah dasar maknanya ialah mengembangkan potensi
anak usia sekolah dasar, berkenaan dengan hal ini maka sangatlah utama
diperlukannya suatu ilmu yang melandasi pendidikan pada anak usia sekolah
dasar. Landasan pedagogik merupakan suatu kajian dimana akan membahas perihal
pendidikan bagi anak.
Pentingnya landasan pedagogik dalam perkembangan
pendidikan di Indonesia karena dengan pedagogik akan lebih mudah dalam memahami
objek dan perencanaan upaya berikutnya terhadap objek menjadi lebih efektif. Dalam
penerapanya selama ini, landasan pedagogik telah berusaha memberikan kontribusi
secara maksimal terhadap pendidikan, baik dalam perkembangan teori pendidikan
maupun praktik. Begitu pula dampak atau implikasinya terhadap pendidikan
keguruan dan bagi para tenaga kependidikannya sendiri.
B. Rumusan Masalah
Berangkat
dari sebuah latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, maka penulis
merumuskan permasalahan. Adapun rumusan masalah yang penulis rumuskan adalah
sebagai berikut, bagaimana :
1. Implikasi landasan pedagogik terhadap pengembangan
teori pendidikan di sekolah, keluarga dan masyarakat?
2. Implikasi landasan pedagogik terhadap praktek
pendidikan di sekolah, keluarga dan masyarakat?
3. Implikasi landasan pedagogik terhadap landasan
pendidikan keguruan dan tenaga kependidikan secara nasional dan internasional?
BAB II
KAJIAN TEORI
A.
Pedagogik
Dalam pembelajaran Anak Usia Dini ataupun anak
kecil sering dikenal dengan keilmuan pedagogik. Pedagogik berasal dari bahasa
Yunani kuno, yaitu paedos yang berarti anak dan agogos yang
berarti mengantar, membimbing, atau memimpin. Pedagogik merupakan ilmu yang
mengkaji bagaimana membimbing anak, cara menghadapi anak didik, apa yang tugas
pendidik dan tujuan mendidik anak itu sendiri. Prof. Dr. J. Hoogveld salah satu
tokoh pendidikan di Belanda mengungkapkan bahwa pedagogik adalah ilmu yang
mempelajari masalah membimbing anak kearah tujuan tertentu agar ia mampu secara
mandiri menyelesaikan tugas hidupnya. Istilah pedagogik dikaitkan dengan 2
istilah lain, yakni pedagogia dan pedagogi. Namun ketiganya memiliki perbedaan
arti namun memiliki tujuan yang sama yakni ‘anak’.
Pedagogi terbentuk dari kata paedagogos
yang berarti ‘Orang’, pada zaman Yunani kuno Paedagogos adalah orang
(pelayan atau pembantu) yang bertugas mengantar dan menjemput anak majikannya
ke sekolah selain itu paedagogos juga bertugas membimbing anak
majikannya. Namun istilah ‘pelayan atau pembantu’ tersebut mengalami pergeseran
makna menjadi ‘pendidik atau ahli didik’. Sedangkan Pedagogia (Paedagogia)
berarti pergaulan dengan anak-anak. Pedadogik memiliki peranan penting dalam
praktik pendidikan dengan alasan bahwa pedagogik merupakan landasan bagi
praktik pendidikan anak, pedagogik dipercaya menjadi kriteria keberhasilan
praktik pendidikan anak.( Syaripudin dan Kurniasih, 2014:2)
Dalam disimpulkan bahwasanya, pedagogik merupakan
suatu ilmu tentang bagaimana mendidik anak. Mendidik anak yang seperti apa?,
mendidik anak yang sesuai dengan karakteristik yang dimiliki oleh setiap anak
dan sesuai dengan perkembangannya baik secara fisik maupun kejiwaan ( psikis ).
Dimana dalam proses pendidikan memang seyogianya haruslah tepat pada berbagai
aspek. Pendidikan bagi anak memang sudah seharusnya dilandaskan daripada
pedagogik, karena di dalam pedagogik terdapat berbagai unsur apa-apa saja yang
seharusnya diberikan kepada anak, bagaimana penerapannya, dan pemahaman
terhadap karakteristik para peserta didik.
Pedagogik dapat dikelompokkan menjadi 2 yaitu
pedagogik teoritis dan pedagogik praktis. Menurut M.J. Langeveld Madjid Noor
dan J.M. Daniel (1987 : 27) dalam Tatang Syaripudin dan Kurniasih (2014)
struktur pedagogik dibagi menjadi :
1. Pedagogik teoritis. Pedagogik teoritis terdiri
dari pedagogik sistematis dan pedagogik historis. Pedagogik historis terdiri
dari sejarah pendidikan (sejarah teori pendidikan dan sejarah praktik
pendidikan) dan pedagogik komparatif.
2. Pedagogik praktis, terdiri atas pedagogik
dikeluarga, sekolah, maupun masyarakat.
B.
Teori
Pendidikan
Runes , dalam Sadulloh ( 2007:2) mengemukakan
bahwa teori ialah “(a) Hypothesis, more loosely; supposition, whatever is
problematic verified. (b) As opposed to practice: systematically organized
knowledge of relatively high generallity. (c) As opposed to low and
observation;explanation. The deduction of axsioms and theorems of one system
from assertions (not necessarity verified) from another system and of
relatively less problematic and more intelligible.
Dari pendapat yang dikemukakan oleh Runes, dapat dimaknai
bahwa istilah teori memiliki tiga pengertian : (a) bahwa teori merupakan suatu
hipotesis tentang segala masalah, dapat diuji, akan tetapi tidak perlu diuji.
(b) kedua, yakni teori merupakan lawan dari praktik, dan merupakan pengetahuan
yang disusun secara sistematis dari kesimpulan umum relatif. (c) ketiga, teori
diartikan sebagai lawan dari hukum-hukum dan observasi, suatu deduksi dari
aksioma-aksioma dan teorema-teorema suatu sistem yang pasti (tidak perlu
diuji), secara relatif kurang problematis dan lebih banyak diterima atau
diyakini.
Menurut teori koherensi, kebenaran suatu teori
bukan bersesuaian dengan realitas, melainkan kesesuaian harmonis dengan
pengetahuan atau teori yang telah dimiliki atau dipahami, kesesuaian dengan
asumsi-asumsi yang berlaku atau dalil yang berlaku. Definisi teori berdasarkan
cara berfikir rasional deduktif maknanya bahwa teori merupakan
seperangkat prinsip yang berkaitan erat sebagai petunjuk praktis, dalam arti
teori bukan sekedar penjelasan akan suatu fenomena tetapi sebagai petunjuk
untuk membangun dan mengontrol pengalaman.( Sadulloh, 2007:4)
Berdasarkan pendapat yang dikemukakan oleh para
ahli mengenai pengertian dari teori, maka penulis menarik kesimpulan bahwasanya
teori merupakan suatu landasan yang terbentuk dari sebuah kesimpulan empirisme
yang dapat dijadikan dasar dalam pelaksanaan suatu praktik. Dalam hal ini ialah
praktik pendidikan, lebih detail lagi praktik pendidikan anak. Dan suatu teori
pendidikan tidak selalu sejalan dengan praktik dilapangan, akan tetapi sangat
bermanfaat sebagai pijakan awal seseorang dalam mendidik, selebihnya bergantung
kepada pendidik. Karena suatu teori pendidikan yang berhasil diterapkan di
suatu negara, akan berhasil pula di negara lain.
Maka, dalam terselenggaranya suatu pendidikan,
tentunya tidak terlepas dari sebuah teori yang mendasarinya. Dalam dunia
pendidikan sampai pada saat ini telah menganut berbagai macam teori pendidikan.
Berbagai macam teori tersebut ialah sebagai berikut ( Sukarjo dan Komarudin,
2009:33)
1.
Behaviorisme
Kerangka
kerja teori pendidikan behaviorisme adalah empirisme. Asumsi filosofis dari
behaviorisme adalah nature of human being (manusia tumbuh secara alami).
Latar belakang empirisme adalah How we know what we know (bagaimana kita
tahu apa yang kita tahu).
Menurut
paham ini pengetahuan pada dasarnya diperoleh dari pengalaman (empiris). Aliran
behaviorisme didasarkan pada perubahan tingkah laku yang dapat diamati. Oleh
karena itu aliran ini berusaha mencoba menerangkan dalam pembelajaran bagaimana
lingkungan berpengaruh terhadap perubahan tingkah laku. Dalam aliran ini
tingkah laku dalam belajar akan berubah kalau ada stimulus dan respon. Stimulus
dapat berupa prilaku yang diberikan pada siswa, sedangkan respons berupa
perubahan tingkah laku yang terjadi pada siswa. Jadi, berdasarkan teori behaviorisme
pendidikan dipengaruhi oleh lingkungan. Tokoh aliran behaviorisme antara lain :
Pavlov, Watson, Skinner, Hull, Guthrie, dan Thorndike.
2.
Kognitivisme
Kerangka
kerja atau dasar pemikiran dari teori pendidikan kognitivisme adalah dasarnya
rasional. Teori ini memiliki asumsi filosofis yaitu the way in which we
learn (Pengetahuan seseorang diperoleh berdasarkan pemikiran) inilah yang
disebut dengan filosofi rasionalisme. Menurut aliran ini, kita belajar
disebabkan oleh kemampuan kita dalam menafsirkan peristiwa atau kejadian yang
terjadi dalam lingkungan. Teori kognitivisme berusaha menjelaskan dalam belajar
bagaimanah orang-orang berpikir. Oleh karena itu dalam aliran kognitivisme
lebih mementingkan proses belajar dari pada hasil belajar itu sendiri.karena
menurut teori ini bahwa belajar melibatkan proses berpikir yang kompleks. Jadi,
menurut teori kognitivisme pendidikan dihasilkan dari proses berpikir. Tokoh
aliran Kognitivisme antara lain : Piaget, Bruner, dan Ausebel.
3.
Konstruktivisme
Menurut
teori konstruktivisme yang menjadi dasar bahwa siswa memperoleh pengetahuan
adalah karena keaktifan siswa itu sendiri. Konsep pembelajaran menurut teori
konstruktivisme adalah suatu proses pembelajaran yang mengkondisikan siswa
untuk melakukan proses aktif membangun konsep baru, dan pengetahuan baru
berdasarkan data. Oleh karena itu proses pembelajaran harus dirancang dan
dikelola sedemikian rupa sehinggah mampu mendorong siswa mengorganisasi
pengalamannya sendiri menjadi pengetahuan yang bermakna. Jadi, dalam pandangan
konstruktivisme sangat penting peranan siswa. Agar siswa memiliki kebiasaan
berpikir maka dibutuhkan kebebasan dan sikap belajar.
Menurut
teori ini juga perlu disadari bahwa siswa adalah subjek utama dalam penemuan
pengetahuan. Mereka menyusun dan membangun pengetahuan melalui berbagai
pengalaman yang memungkinkan terbentuknya pengetahuan. Mereka harus menjalani
sendiri berbagai pengalaman yang pada akhirnya memberikan pemikiran tentang
pengetahuan-pengetahuan tertentu. Hal terpenting dalam pembelajaran adalah
siswa perlu menguasai bagaimana caranya belajar. Dengan itu ia bisa menjadi
pembelajar mandiri dan menemukan sendiri pengetahuan-pengetahuan yang ia
butuhkan dalam kehidupan. Tokoh aliran ini antara lain : Von Glasersfeld, dan Vico.
4.
Humanistik
Teori
ini pada dasarnya memiliki tujuan untuk ,memanusiakan manusia. Oleh karena itu
proses belajar dapat dianggap berhasil apabila si pembelajar telah memahami
lingkungannya dan dirinya sendiri. Dengan kata lain si pembelajar dalam proses
belajarnya harus berusaha agar lambat laun ia mampu mencapai aktualisasi diri
dengan sebaik-baiknya. Tujuan utama para pendidik adalah membantu siswa untuk
mengembangkan dirinya yaitu membantu masing-masing individu untuk mengenal diri
mereka sendiri sebagai manusia yang unik dan membantu dalam mewujudkan
potensi-potensi yang ada dalam diri mereka.
Menurut
aliran Humanistik para pendidik sebaiknya melihat kebutuhan yang lebih tinggi
dan merencanakan pendidikan dan kurikulum untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan
ini. Beberapa psikolog humanistik melihat bahwa manusia mempunyai keinginan
alami untuk berkembang untuk menjadi lebih baik dan belajar. Secara singkat
pendekatan humanistik dalam pendidikan menekankan pada perkembangan positif.
Pendekatan yang berfokus pada potensi manusia untuk mencari dan menemukan
kemampuan yang mereka punya dan mengembangkan kemampuan tersebut. Hal ini
mencakup kemampuan interpersonal sosial dan metode untuk mengembangkan diri
yang ditujukan untuk memperkaya diri,menikmati keberadaan hidup dan juga
masyarakat. Keterampilan atau kemampuan membangun diri secara positif ini
menjadi sangat penting dalam pendidikan karena keterkaitannya dengan
keberhasilan akademik. Dalam teori humanistik belajar dianggap berhasil apabila
pembelajar memahami lingkungannya dan dirinya sendiri.
Akhirnya
, dapat disimpulkan pendidikan merupakan syarat mutlak apabila manusia ingin
tampil dengan sifat-sifat hakikat manusia yang dimilikinya. Dan untuk bisa
bersosialisasi antar sesama manusia inilah manusia perlu pendidikan. Definisi
tentang pendidikan banyak sekali ragamnya dengan definisi yang satu dapat
berbeda dengan yang lainnya. Hal ini dipengaruhi oleh sudut pandang
masing-masing. Pendidikan, seperti sifat sasarannya yaitu manusia, mengandung
banyak aspek dan sifatnya sangat kompleks. Karena sifatnya yang kompleks itu,
maka tidak ada satu batasan pun secara gamblang dapat menjelaskan arti
pendidikan. Batasan tentang pendidikan yang dibuat oleh para ahli beraneka
ragam dan kandungannya dapat berbeda yang satu dengan yang lain. Perbedaan itu
bisa karena orientasinya, konsep dasar yang digunakannya, aspek yang menjadi
tekanan, atau karena falsafah yang melandasinya. Yang terpenting dari semua itu
adalah bahwa pendidikan harus dilaksanakan secara sadar, mempunyai tujuan yang
jelas, dan menjamin terjadinya perubahan ke arah yang lebih baik.
C.
Praktik
Pendidikan
Menurut Redja M, dalam Sadulloh ( 2007:2)
mengemukakan bahwa praktik pendidikan merupakan seperangkat kegiatan bersama
yang bertujuan membantu pihak lain agar mengalami perubahan tingkah laku yang
diharapkan. Dapat dimaknai bahwasnya praktik pendidikan merupakan suatu usaha
bersama antara pendidik dengan peserta didik dalam mencapai tujuan yang
diharapkan dalam pendidikan tersebut.
Bagan 2.1 Tiga Aspek
Praktik Pendidikan
Keterangan :
1.
Tujuan
Praktik Pendidikan
Tujuan dari praktik pendidika ialah membantu pihak
lain mengalami perubahan tingkah laku fundamental yang diharapkan.
2.
Proses
Proses merupakan seperangkat kegiatan sosial,
berusaha menciptakan peristiwa pendidikan dan mengarahkannya secara sadar
dengan berlandaskan prinsip-prinsip pendidikan.
3.
Motivasi
Motivasi disini muncul karena dirasakan adanya
kewajiban untuk menolong orang lain.
Dalam upaya pelaksanaan praktik pendidikan tentunya
dilakukan dalam suatu lingkungan sosial. Lingkungan merupakan segala sesuatu yang ada di luar diri
individu. Lingkungan dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu lingkungan alam
dan lingkungan sosial budaya.
Lingkungan pendidikan adalah suatu tempat dengan
situasi dan kondisi sosial budaya yang ada dimana pergaulan pendidikan berlangsung. Setiap
orang yang berada pada lingkungan Secara garis besar, lingkungan pendidikan dibedakan menjadi 3 jenis, yaitu
:
1.
Di
Keluarga
Hasbullah (2008:38) mengemukakan Lingkungan
keluarga merupakan lingkungan pendidikan yang pertama, karena berawal dari
inilah anak akan mendapatkan pendidikan
dan bimbingan, juga merupakan suatu lingkungan pendidikan yang utama
dimana anak akan mendapatkan pendidikan
sebagian besar di lingkungan keluarga.
Keluarga memiliki tugas utama dalam pendidikan
anak yakni sebagai peletak dasar terhadap pendidikan akhlak dan dasar agama.
Indrakusuma dalam Hasbullah (2008:38) menyatakan bahwa sifat dan tabiat anak
adalah sebagian besar diambil dari kedua orang tuanya dan kerabat disekitarnya.
a.
Fungsi
keluarga
Syaripudin dan Kurniasih ( 2014:84 ) menyatakan
bahwa keluarga memiliki
berbagai fungsi, antara lain fungsi biologis, fungsi ekonomi, fungsi edukatif,
fungsi religius, fungsi sosialisasi, fungsi rekreasi, fungsi orientasi dll.
Sedangkan George Petter Murdock mengemukakan empat fungsi keluarga :
1.)
Sebagai
pranata yang membenarkan hubungan seksual antara pria dan wanita dewasa
berdasarkan pernikahan.
2.)
Mengembangkan
keturunan
3.)
Melaksanakan
pendidikan
4.)
Sebagai
kesatuan ekonomi
b.
Orang
tua sebagai pengemban tangung jawab pendidikan anak
Salah satu fungsi keluarga yang yang bersifat
universal adalah melaksanakan pendidikan. Dalam hal ini orang tua adalah
pengemban tanggung jawab pendidikan bagi anak-anaknya. Orang yang berperan
sebagai pendidik bagi anak di dalam keluarga utamanya adalah ayah dan ibu.
c.
Keluarga
merupakan lingkungan pendidikan yang bersifat wajar atau informal.
Pendidikan di dalam keluarga dilaksanakan atas
dasar tanggung jawab kodrati dan atas dasar kasih sayang yang secara naluriyah
muncul pada diri orang tua. Sejak anaknya lahir orang tua sudah terpanggil
untuk menolongnya, melindunginya, dan membantunya. Di dalam keluarga
pelaksanaan pendidikan berlangsung tidak dengan cara-cara yang artificial,
melainkan bersifat wajar.
d.
Keluarga
sebagai peletak dasar pendidikan anak
Pendidikan yang dilakukan si dalam keluarga sejak
anak masih kecil akan menjadi dasar bagi pendidikan dan kehidupannya di masa
datang. Hal ini sebagaimana dikemukakan M.I. Soelaeman (1985) bahwa :
“pengalaman dan perlakuan yang didapat anak dari lingkungannya masih kecil dari
keluarganya menggariskan semacam pola hidup bagi kehidupan selanjutnya.
e.
Tujuan
dan isi pendidikan dalam keluarga.
Tujuan pendidikan dalam keluarga adalah agar anak
menjadi pribadi yang mantab, beragama, bermoral, dan menjadi anggota masyarakat
yang baik dan bertanggung jawab. Adapun isi pendidikan dalam keluarga biasanya
meliputi nilai agama, nilai budaya, nilai moral dan keterampilan.
f.
Fungsi
pendidikan dalam keluarga
1.)
Sebagai
peletak dasar pendidikan anak.
2.)
Sebagai
persiapan kearah kehidupan anak dalam masyarakatnya.
g.
Faktor-faktor
yang menentukan kualitas pendidikan di dalam keluarga.
Jenis keluarga, gaya kepemimpinan orang tua, kedudukan anak dalam urutan keangotaan keluarga, fasilitas yang
ada dalam keluarga, hubungan keluarga dengan dunia luar, status social ekonomi
orang tua, akan turut mempengaruhi perkembangan pribadi anak.
h.
Karakteristik
pendidikan di dalam keluarga
1.)
Pendidikan
di dalam keluarga lebih menekankan pada pengembangan karakter
2.)
Peserta
didiknya bersifat heterogen
3.)
Isi
pendidikannya tidak terprogram secara formal/tidak ada kurikulum tertulis
4.)
Tidak
berjenjang
5.)
Waktu
pendidikan tidak terjadwal secara ketat, relative lama.
6.)
Cara
pelaksanaan pendidikan bersifat wajar
7.)
Evaluasi
pendidikan tidak sistematis dan incidental
8.)
Credentials
tidak ada dan tidak penting.
2.
Di
Sekolah
Hasbullah ( 2008: 46) bependapat bahwa pendidikan di
sekolah merupakan pendidikan yang diperoleh oleh seseorang di Sekolah secara teratur,
sistematis, bertingkat, dan dengan mengikuti syarat-syarat yang jelas dan
ketat.
Rasyidin dan Soelaeman mengemukakan bahwa sekolah
adalah suatu satuan unit sosial atau lembaga sosial yang kekhusussan tugasnya
ialah melaksanakan proses pendidikan.( Odang Muchtar, dalam Syaripudin dan
Kurniasih, 2014:89).
a.
Komponen
sekolah
Komponen sekolah antara lain terdiri atas :
1)
Tujuan
pendidikan
2)
Sumber daya
manusia seperti guru/pendidik, murid/siswa, laboran, pustakawan, tenaga
administrasi, petugas kebersihan, dst.
3)
Kurikulum
(isi pendidikan)
4)
Media
pendidikan dan teknologi pendidikan,
5)
Sarana,
prasarana, dan fasilitas
6)
Pengelola
sekolah
Tiga komponen utama sekolah yaitu :
1)
peserta didik
2)
guru
3)
kurikulum
b.
Fungsi
pendidikan sekolah
1)
Fungsi
transmisi (konservasi) kebudayaan masyarakat
2)
Fungsi
sosialisasi (memilih dan mengajarkan peranan social)
3)
Fungsi
integrasi sosial
4)
Fungsi
mengembangkan kepribadian anak didik
5)
fungsi
mempersiapkan anak didik untuk suatu pekerjaan
6)
Fungsi
inovasi/mentransformasi masyarakat dan kebudayaannya.
c.
Tujuan dan
fungsi pendidikan sekolah
Secara umum sekolah memiliki tujuan pendidikan
sejalan dengan fungsi-fungsi sekolah. Implikasinya, maka isi pendidikan di
sekolah akan disesuaikan dengan jenjang dan jenis sekolah yang bersangkutan.
Adapun tujuan dan isi pendidikan masing-masing sekolah tentunya telah
terumuskan secara tertulis (formal) di dalam kurikulumnya.
d.
Sekolah
sebagai lembaga pendidikan formal
Sekolah merupakan kesatuan kegiatan-kegiatan
menyelenggarakan pembelajaran yang dilakukan oleh para petugas khusus dengan
cara-cara terencana dan teratur menurut tatanan nilai dan norma yang telah
ditentukan untuk mencapai tujuan pendidikan yang telah ditetapkan.
e.
Formalitas
sekolah merembes ke dalam kurikulum dan pembelajaran
Formalitas sekolah berakar pada status para
individu yang menjadi komponennya, serta system nilai dan norma yang serba
resmi. Perlu kita sadari bahwa selanjutnya formalitas tersebut merembes ke
dalam kurikulum dan cara-cara pembelajaran.
f.
Karakteristik
pendidikan di sekolah
1)
Secara faktual,
pendidikan di sekolah lebih menekankan kepada pengembangan kemampuan
intelektual
2)
Peserta
didiknya bersifat homogen
3)
Isi
pendidiknya terprogram secara formal/kurikulumnya tertulis
4)
Berjenjang
dan berkesinambungan
5)
Waktu
pendidikan terjadwal secara ketat, relative lama.
6)
Cara
pelaksanaan pendidikan bersifat formal dan artifisial
7)
Evaluasi
pendidikan dilaksanakan secara sistematis
8)
Credentials
ada dan penting.
3.
Di
Masyarakat
Masyarakat adalah sekelompok manusia yang
berintegrasi secara terorganisasi, menempati daerah tertentu, dan mengikuti
suatu cara hidup atau budaya tertentu. Masyarakat dapat dibedakan menjadi 2,
yaitu : masyarakat pedesaan dan masyarakat perkotaan.
a.
Fungsi masyarakat
sebagai lingkungan pendidikan
Di dalam lingkungan masyarakat, anak akan
memperoleh pengalaman tentang berbagai hal, antara lain berkenaan dengan
lingkungan alamnya, seperti flora dan fauna. Di lingkungan masyarakat anak pun
akan memperoleh pengaruh dari orang-orang yang ada di sekitarnya, baik dari
teman sebaya, maupun orang dewasa. Anak juga akan memperoleh pengaruh dari
hasil karya masyarakat. Di dalam masyarakat
anak belajar tentang nilai-nilai dan peranan-perana yang seharusnya
mereka lakukan. Anak memperoleh pengalaman bergaul dengan teman-temannya di
luar rumah dan di luar lingkungan Sekolah. Karena itu pendidikan anak dalam
lingkungan masyarakat dapat berfungsi sebagai pelengkap, penambah, dan mungkin
juga pengembang pendidikan di dalam keluarga dan sekolah, bahkan dapat
berfungsi sebagai pengganti pendidikan di sekolah.
b.
Tanggung
jawab pendidikan di lingkungan masyarakat.
Selain menjadi tanggung jawab pemerintah,
pendidikan di lingkungan masyarakat harus menjadi tangung jawab bersama para
orang dewasa yang ada di lingkungan masyarakat yang bersangkutan.
c.
Pendidikan
informal dalam masyarakat
Pendidikan informal dalam masyarakat antara lain
dapat berlangsung melalui adapt kebiasaan, pergaulan anak sebaya, upacara adat,
pergaulan di lingkungan kerja, permainan, pagelaran kesenian, dan bahkan
percakapan biasa sehari-hari. Dalam konteks ini pendidikan merupakan pewaris
sosial yang berfungsi untuk melestarikan nilai-nilai budaya masyarakat.
d.
Pendidikan
nonformal di dalam masyarakat
1.)
Definisi.
Pendidikan nonformal adalah jalur pendidikan di
luar pendidikan formal yang dapat dilaksanakan secara terstruktur dan
berjenjang (Pasal 1 ayat (12) UU RI No. 20 Tahun 2003).
2.)
Fungsi.
Pendidikan nonformal berfungsi mengembangkan
potensi peserta didik dengan penekanan pada penguasan pengetahuan dan
keterampilan fungsional serta pengembangan sikap dan kepribadian professional.
3.)
Lingkup.
Pendidikan nonformal meliputi pendidikan kecakapan
hidup, pendidikan anak usia dini, pendidikan kepemudaan, pendidikan pemberdayaan
perempuan, pendidikan keaksaraan, serta pendidikan lain yang ditunjukan untuk
mengembangkan kemampuan peserta didik.
4.)
Satuan
Pendidikan.
Satuan pendidikan nonformal terdiri atas lembaga
kursus, pelatihan, kelompok belajar, pusat kegiatan belajar masyarakat, dan
majelis taklim serta satuan pendidikan yang sejenis.
e.
Karakteristik
pendidikan di masyarakat.
1.)
Secara faktual
tujuan pendidikannya lebih menekankan pada pengembangan keterampilan praktis
2.)
Peserta
didiknya bersifat heterogen.
3.)
Isi
pendidikannya ada yang terprogram secara tertulis, ada pula yang tidak
terprogram secara tidak tertulis.
4.)
Dapat
berjenjang dan berkesinambungan dan dapat pula tidak berjenjang dan tidak
berkesinambungan.
5.)
Waktu
pendidikan terjadwal secara ketat atau tidak terjadwal, lama pendidikannya
relative singkat
6.)
Cara
pelaksanaan pendidikan mungkin bersifat artifisial mungkin pula bersifat wajar.
7.)
Evaluasi
pendidikan mungkin dilaksanakan secara sistematis dapat pula tidak sistematis.
8.)
Credentials
mungkin ada dan mungkin pula tidak ada.
D.
Landasan
Pendidikan Keguruan dan Tenaga Kependidikan
Berbagai hal yang melandasi dalam pendidikan telah
dirumuskan, karena landasan pendidikan merupakan hal yang utama dalam upaya
penyelenggaraan pendidikan. Sebagaimana bangunan berdiri tentunya dibuatlah
pondasi terlebih dahulu. Landasan pendidikan tersebut, sebagai berikut (
Syamsul, 2007) :
1.
Landasan
Filosofis
Filsafat pendidikan nasional Indonesia berakar
pada nilai-nilai budaya yang terkandung pada Pancasila. Nilai Pancasila
tersebut harus ditanamkan pada peserta didik melalui penyelenggaraan pendidikan
nasional dalam semua level dan tingkat dan jenis pendidikan. Nilai-nilai
tersebut bukan hanya mewarnai muatan pelajaran dalam kurikulum tetapi juga
dalam corak pelaksanaan.Rancangan penanaman nilai budaya bangsa tersebut dibuat
sedemikian rupa sehingga bukan hanya dicapai penguasaan kognitif tetapi lebih
penting pencapaian afektif.Lebih jauh lagi pencapaian nilai budaya sebagai
landasan filosofis bertujuan untuk mengembangkan bakat, minat kecerdasan dalam
pemberdayaan yang seoptimal mungkin.
Dua hal yang dipertimbangkan dalam menentukan
landasan filosofis dalam pendidikan nasional Indonesia. Pertama, adalah
pandangan tentang manusia Indonesia. Filosofis pendidikan nasional memandang
manusia Indonesia sebagai:
a.
Makhluk Tuhan
Yang Maha Esa dengan segala fitrahnya.
b.
Sebagai
makhluk individu dengan segala hak dan kewajibannya.
c.
Sebagai
makhluk sosial dengan segala tanggung jawab yang hidup di dalam masyarakat yang
pluralistik baik dari segi lingkungan sosial budaya, lingkungan hidup dan segi
kemajuan Negara kesatuan Republik Indonesia di tengah-tengah masyarakat global
yang senantiasa berkembang dengan segala tantangannya.
Kedua, pandangan filosofis pendidikan nasional dipandang sebagai pranata sosial
yang selalu berinteraksi dengan kelembagaan sosial lain dalam masyarakat.
Karena kedua pandangan filosofis tersebut
menjadikan pendidikan nasional harus ditanggung oleh semua fihak sehingga
pendidikan dibangun oleh semua unsur bangsa sehingga berkontribusi terhadap
unsur pranata sosial lainnya.Secara mendasar dapat ditegaskan bahwa landasan
filosofis Pancasila menyimpulkan bahwa sistem pendidikan nasional menempatkan
peserta didik sebagai makhuk yang khas dengan segala fitrahnya dan tugasnya
menjadi agen pembangunan yang berharkat dan bermartabat.Oleh karena itu manusia
Indonesia dipandang sebagai individu yang mampu menjadi manusia Indonesia yang
berakhlak mulia.Karenanya pendidikan harus mampu mengembangkan menjadi manusia
yang memegang norma-norma keagamaan dalam kehidupan sehari-hari sebagai makhluk
Tuhan, Makhluk sosial, dan makhluk individu.
Landasan filosofis pendidikan nasional memberikan
penegsan bahwa penyelenggaraan pendidikan nasional di Indonesia hendaknya mengimplementasikan
ke arah:
a. Sistem
pendidikan nasional Indonesia yang bertumpu pada norma persatuan bangsa dari
segi sosial, budaya, ekonomi dan memlihara keutuhan bangsa dan negara.
b. Sistem
pendidikan nasional Indonesia yang proses pendidikannya memberdayakan semua
institusi pendidikan agar individu dapat menghargai perbedaan individu lain,
suku, ras, agama, status sosial, ekonomi dan golongan sebagai manifestasi rasa
cinta tanah air. Dalam hal ini pendidikan nasional dipandang sebagai bagian
dari upaya pembentukan karakter bangsa bagi bangsa Indonesia.
c. Sistem
pendidikan nasional Indonesia yang bertumpu pada norma kerakyatan dan
demokrasi. Pendidikan hendaknya memberdayakan pendidik dan lembaga pendidikan
untuk terbentuknya peserta didik menjadi warga yang memahami dan menerapkan
prinsip kerakyatan dan demokrasi dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Prinsip kerakyatan dan demokrasi harus tercermin dalam input-proses
penyelenggaraan pendidikan Indonesia.
d. Sistem
pendidikan nasional Indonesia yang bertumpu pada norma keadilan sosial untuk
seluruh warga negara Indonesia. Perencanaan dan pelaksanaan pendidikan menjamin
pada penghapusan bentuk diskriminatif dan menjamin terlaksananya pendidikan
untuk semua warga negara tanpa kecuali.
e. Sistem
pendidikan nasional yang menjamin terwujudnya manusia seutuhnya yang beriman
dan bertaqwa, menjunjung tinggi hak asasi manusia, demokratis, cinta tanah air
dan memiliki tanggungjawab sosial yang berkeadilan. Dengan demikian Pancasila
menjadi dasar yang kokoh sekaligus ruh pendidikan nasional Indonesia.
2.
Landasan Sosiologis
Lembaga pendidikan harus diberdayakan bersama
dengan lembaga sosial lainnya.Dalam hal ini pendidikan disejajarkan dengan
lembaga ekonomi, politik sebagai pranata kemasyarakatan, pembudayaan masyarakat
belajar (society learning) harus dijadikan sarana rekonstruksi sosial.Apabila
perencanaan pendidikan yang melibatkan masyarakat bisa tercapai maka patologi
sosial setidaknya terkurangi.Hasrat masyarakat belajar saat ini masih
rendah.Hal ini ditandai rendahnya angka partisipasi masyarakat dalam sekolah
terutama dalam membangung masyarakat belajar.
Sistem pendidikan nasional tidak mungkin selalu
bertumpu pada pemerintah sebab dengan adanya krisis pemerintah semakin tidak
mampu membiayai pendidikan, demikian pula apabila pendidikan hanya terarah pada
tujuan pembelajaran murni pada aspek kognitif, afektif tanpa mengaitkan dengan
kepentingan sosial, politik dan upaya pemecahan problem bangsa maka pendidikan
tidak akan mampu dijadikan sebagai sarana rekonstruksi sosial. Dalam kaitannya
dengan perluasan fungsi pendidikan lebih jauh, maka diperlukan pengembangan
sistem pendidikan nasional yang didasarkan atas kesadaran kolektif bangsa dalam
kerangka ikut memecahkan problem sosial.
Pendidikan nasional yang berlandaskan sosiologis
dalam penyelenggaraannya harus memperhatikan aspek yang berhubungan dengan
sosial baik problemnya maupun emografisnya.Masalah yang kini sedang dihadapi
bangsa adalah masalah perbedaan sosial ekonomi sehingga pendidikan dirancang
untuk mengurangi beban perbedaan tersebut. Aspek sosial lainnya seperti
ketidaksamaan mengakses informasi yang konsekuensinya akan mempertajam
kesenjangan sosial dapat dieleminir melalui pendidikan.
3.
Landasan
Kultural (Sosio Budaya)
Landasan Pendidikan yang ketiga adalah Landasan
Kultural. Pendidikan selalu terkait dengan manusia, sedangkan setiap manusia
selalu menjadi anggota masyarakat dan pendukung kebudayaan tertentu. Oleh
karena itu dalam Undang-undang RI no. 20 Tahun 2003 Pasal 1 ayat 2 ditegaskan
bahwa, pendidikan nasional adalah pendidikan yang berdasar Pancasila dan
undang-undang Dasar Negara republik Indonesia Tahun 1945, yang berakar pada
nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap perubahan
zaman. Kebudayaan dan pendidikan mempunyai hubungan timbal balik, kebudayaan
dapat diwariskan dengan jalan meneruskan kepada generasi penerus melalui
pendidikan.Sebaliknya pelaksanaan pendidikan ikut ditentukan oleh kebuadayaan
masyarakat dimana proses pendidikan berlangsung.
4.
Landasan
Psikologis
Landasan Pendidikan yang keempat adalah landasan
Psikologis. Pendidikan selalu melibatkan aspek kejiwaan manusia, sehingga
psikologis merupakan salah satu landasan yang penting dalam pendidikan.Memahami
peserta didik dari aspek psikologis merupakan salah satu faktor keberhasilan
pendidikan.Oleh karena itu hasil kajian dalam penemuan psikologis sangat
diperlukan penerapannya dalam bidang pendidikan, umpamanya pengetahuan tentang
urutan perkembangan anak.Setiap individu memiliki bakat, minat, kemampuan,
kekuatan, serta tempo dan irama perkembangan yang berbeda dengan yang lainnya.
Sebagai implikasinya pendidikan tidak mungkin memperlakukan sama kepada peserta
didik. Penyusunan kurikulum harus berhati-hati dalam menentukan jenjang
pengalaman belajar yang akan dijadikan garis-garis besar program pengajaran
serta tingkat keterincian bahan belajar yang digariskan.
5.
Landasan
Ilmiah dan Teknologi
Landasan Pendidikan yang kelima adalah Landasan Ilmiah
dan Teknologi.Pendidikan serta ilmu pengetahuan dan teknologi mempunyai kaitan
yang erat. Seperti diketahui IPTEK menjadi isi kajian di dalam pendidikan
dengan kata lain pendidikan berperan sangat penting dalam pewarisan dan
pengembangan iptek. Dari sisi lain setiap perkembangan iptek harus segera
diimplementasikan oleh pendidikan yakni dengan segera memasukkan hasil
pengembangan IPTEK ke dalam isi bahan ajar. Sebaliknya, pendidikan sangat
dipengaruhi oleh cabang-cabang IPTEK (psikologi, sosiologi, antropologi).Seiring
dengan kemajuan IPTEK pada umumnya ilmu pengetahuan juga berkembang sangat
pesat.
6.
Landasan
Yuridis
Landasan Pendidikan yang terakhir adalah Landasan
Yuridis.Sebagai penyelenggaraan pendidikan nasional yang utama, perlu
pelaksanaannya berdasarkan undang-undang. Hal ini sangat penting karena
hakikatnya pendidikan nasional adalah perwujudan dari kehendak UUD 1945
utamanya pasal 31 tentang Pendidikan dan Kebudayaan, pasal 31:
1)
Setiap warga
negara berhak mendapatkan pendidikan.
2)
Setiap warga
negara wajib mengikuti pendidikan dasar pemerintah wajib membiayainya.
3) Pemerintah
mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang
meningkatkan keimanan dan ketkwaan serta akhlak yang mulia dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang.
4)
Negara
memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari
anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan
belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.
5) Pemerintah
memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai
agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat
manusia.
Pentingnya undang-undang sebagai tumpuan bangunan
pendidikan nasional di samping untuk menunjukkan bahwa pendidikan sangat
penting sebagai penjamin kelangsungan hidup bangsa Indonesia, juga dapat
dipedomani bagi pennyelenggaran pendidikan secara utuh yang berlaku untuk
seluruh tanah air.
Landasan yuridis bukan semata-mata landasan bagi
penyelenggaraan pendidikan namun sekaligus dijadikan alat untuk mengatur
sehingga penyelenggaraan pendidikan yang menyimpang, maka dengan landasan
yuridis tersebut dikenakan sanksi. Dalam praktek penyelenggraan pendidikan
tidak sedikit ditemukan penyimpangan.Memang penyimpangan tersebut tidak begitu
langsung tetapi dalam jangka panjang bahkan dalam skala nasional dapat
menimbulkan kerugian bukan hanya secara material tapi juga spiritual.
Penyelenggaraan pendidikan yang sangat komersial dan instan dapat merusak
pendidikan sebagai proses pembentukan watak dan kepribadian bangsa sehingga
dalam jangka panjang menjadikan pendidikan bukan sebagai sarana rekonstruksi
sosial tetapi dekonstruksi sosial. Itulah sebabnya di samping dasar regulasi
sangat penting juga harus pula dilandasi dengan dasar yuridis untuk sanksi.
BAB III
PEMBAHASAN
A. Implikasi
Landasan Pedagogik Terhadap Pengembangan Teori Pendidikan Di Sekolah, Keluarga
dan Masyarakat.
Burhanudin salam (2011: 215) menjelaskan definisi
dari implikasi, Implikasi sebagai suatu akibat langsung atau konsekuensi dari
suatu keputusan. Jadi sesuatu yang merupakan tindak lanjut dari suatu kebijakan
atau keputusan.
Menganalisis perihal seberapa besar implikasi
suatu landasan pedagogik terhadap pengembangan teori pendidikan, dapat penulis
kategorikan cukup besar keterlibatan daripada pedagogik dalam pengembangan
teori pendidikan baik di Indonesia maupun di tingkat internasional. Tentunya
pada lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat.
1.
Pengembangan
teori pendidikan di keluarga
Pedagogik merupakan ilmu mendidik anak, hal ini
telah menunjukan bahwa pedagogik berimplikasi terhadap suatu teori pendidikan
anak di dalam keluarga. Keluarga memiliki fungsi, tujuan, juga peran dalam
upaya mendidik anak dalam hal ini ialah orang tua yang memiliki kewajiban
mendidik dan membimbing anak dari buaian sampai liang lahat. Dalam menjalankan
bimbingannya orang tua seyogianya memilki dasar atau pengetahuan perihal anak,
dari karakteristik anak sampai dengan metode pembelajaran apa yang tepat dan
dalam mengupayakan hal ini maka diperlukannya suatu teori-teori sebagai dasar
atau landasan dalam pengaplikasiannya.
2.
Pengembangan
teori pendidikan di sekolah
Sekolah merupakan suatu lembaga pendidikan yang
formal, dimana dalam lembaga tersebut disusun secara sistemastis dan
berlandaskan tata tertib. Pedagogik atau ilmu mendidik anak berimplikasi
terhadap berbagai pengembangan teori dalam pendidikan di sekolah. Misalkan
dalam suatu penyususnan kurikulum ketika proses penyusunan tersebut tentunya
melalui analisis yang dalam terhadap kondisi tiap satuan pendidikan di suatu
daerah. Karena agar sesuai dengan potensi yang dimiliki oleh masing-masing anak
dalam suatu daerah tersebut, dengan memperhatikan beberapa komponen. Maka , hal
ini membuktikan bahwa implikasi dari pedagogik
terhadap teori pendidikan di sekolah telah memiliki hubungan kesalingan
yang baik.
Sekolah memang sebuah lembaga formal, akan tetapi
dibalik keformalitasannya tersebut jangan sampai mengurangi makna pendidikan yakni
membantu anak menuju kedewasaan. Dan tidak melenceng dari tujuan pendidikan
yakni memanusiakan manusia.
3.
Pengembangan
teori pendidikan di masyarakat
Masyarakat merupakan salah satu lingkungan dimana
setiap individu mendapatkan pendidikan di dalamnya. Pendidikan di sini sering
dimaksud dengan pendidikan non-formal, dimana memiliki karakteristik salah
satunya ialah memiki tujuan yang akan lebih mengembangkan tentang hal-hal yang
praktis. Masyarakat pula merupakan tempat berlangsungnya pendidikan bagi anak.
Akan tetapi, di dalam masyarakat juga terdapat potensi yang dapat memberikan
dampak yang kurang baik bagi pendidikan anak. Seyogianya dalam upaya
meminimalisir dampak negatif dari masyarakat, maka keterlibatan warga
masyarakat sangat diperlukan dengan tujuan agar anak dapat mempeoroleh
pendidikan yang baik.
Maka dari uraian di atas tersebut, yang merupakan implikasi dari
pedagogik terhadap perkembangan teori di masyarakat ialah, ketika dalam suatu
masyarakat tersebut meyakini suatu teori yang dijadikan dasar dalam mendidik
dan ketika dalam memberikan bimbingan tidak sejalan teori yang dianutnya maka
langkah berikutnya ialah memikirkan teori-teori berikutnya.
B. Implikasi
Landasan Pedagogik Terhadap Praktek Pendidikan Di Sekolah, Keluarga dan Masyarakat.
Berdasarkan kajian teori sebelumnya perihal konsep
dari pedagogi dan pedagogik. Pedagogi merupakan praktek pendidikan anak
sedangkan pedagogik ialah ilmu pendidikan anak. Maknanya ialah pedagogi
menunjukan suatu praktek atau merupakan suatu praktek mendidik anak. Sedangkan
pedagogik merupakan suatu sistem teori mengenai pendidikan anak. Akan tetapi
pada realita di lapangan menunjukan bahwa terkadang apa yang telah terumuskan
sebagai sistem teori pendidikan, tidak selalu berbanding lurus dengan penerapannya.
Karena terkadang ketika suatu teori berhasil diterapkan di suatu lingkungan,
belum tentu dilingkungan lainnya akan mendapatkan hasil yang sama.
Penerapan dilingkungan sekolah, keluarga, dan
masyarakat tentunya akan memiliki dasar atau sistem teori yang berbeda. Karena
lingkungan tersebut berbeda, tentunya memiliki karakteristik yang berbeda dan pada
aspek lainnya juga berbeda. Maka dari itu pedagogik sangat besar
keterlibatannya dalam praktik pendidikan, meskipun terkadang suatu teori
tersebut tidak sesuai atau tidak cocok ketika diterapkan di lapangan. Akan
tetapi, ensensi dari suatu teori ialah
dijadikan suatu landasan atau dasar berpijak dalam pengaplikasian di
lapangan, terlepas dari tepat tidaknya suatu teori tersebut. Pada hakikatnya
suatu teori tidak terlepas dari praktek, sebab dibalik suatu praktek selalu
terdapat pikiran yang teoritis. Teori bersumber dan dibangun atas dasar
praktek, begitu sebaliknya bahwa suatu praktek akan lebih sempurna apabila
didasari oleh suatu teori.
Dalam lingkungan sekolah, keluarga , ataupun di
masyarakat, pentingnya kita memahami akan karakteristik lingkungan pendidikan.
Hal ini merupakan salah satu kajian daripada pedagodik, dengan memahami
berbagai macam karakteristik lingkungan berimplikasi terhadap praktik
pendidikan yang selaras, serasi, dan sesuai dengan tujuan pendidikan. Agar
kelak manusia yang terdidik akan menjadi manusia yang bermoral dan berakhlakul
karimah.
C. Implikasi
Landasan Pedagogik Terhadap Landasan Pendidikan Keguruan dan Tenaga Kependidikan
Secara Nasional.
1. Implikasi Bagi Guru
Apabila kita konsekuen terhadap upaya
memprofesionalkan pekerjaan guru maka filsafat pendidikan merupakan landasan
berpijak yang mutlak. Artinya, sebagai pekerja professional, tidaklah cukup
bila seorang guru hanya menguasai apa yang harus dikerjakan dan bagaimana
mengerjakannya. Kedua penguasaan ini baru tercermin kompetensi seorang tukang.
Disamping penguasaan terhadap apa dan bagaimana
tentang tugasnya, seorang guru juga harus menguasai mengapa ia melakukan setiap
bagian serta tahap tugasnya itu dengan cara tertentu dan bukan dengan cara yang
lain. Jawaban terhadap pertanyaan mengapa itu menunjuk kepada setiap tindakan
seorang guru didalam menunaikan tugasnya, yang pada gilirannya harus dapat
dipulangkan kepada tujuan-tujuan pendidikan yang mau dicapai, baik
tujuan-tujuan yang lebih operasional maupun tujuan-tujuan yang lebih abstrak.
Oleh karena itu maka semua keputusan serta perbuatan instruksional serta
non-instruksional dalam rangka penunaian tugas-tugas seorang guru dan tenaga
kependidikan harus selalu dapat
dipertanggungjawabkan secara pendidikan (tugas professional, pemanusiaan dan
civic) yang dengan sendirinya melihatnya dalm perspektif yang lebih luas dari
pada sekedar pencapaian tujuan-tujuan instruksional khusus.
Perlu digarisbawahi di sini adalah tidak
dikacaukannya antara bentuk dan hakekat. Segala ketentuan prasarana dan sarana
sekolah pada hakekatnya adalah bentuk yang diharapkan mewadahi hakekat proses
pembudayaan subjek didik. Oleh karena itu maka gerakan ini hanya berhenti pada
“penerbitan” prasarana dan sarana sedangkan transaksi personal antara subjek
didik dan pendidik, antara subjek didik yang satu dengan subjek didik yang lain
dan antara warga sekolah dengan masyarakat di luarnya masih belum dilandasinya, maka tentu saja proses
pembudayaan tidak terjadi. Seperti telah diisyaratkan dimuka, pemberian bobot
yang berlebihan kepada kedaulatan subjek didikakan melahirkan anarki sedangkan
pemberian bobot yang berlebihan kepada otoritas pendidik akan melahirkan
penjajahan dan penjinakan. Kedua orientasi yang ekstrim itu tidak akan
menghasilkan pembudayaan manusia.
2. Implikasi bagi Pendidikan Guru dan Tenaga
Kependidikan
Tidaklah berlebihan kiranya bila dikatakan bahwa
di Indonesia kita belum punya teori tentang pendidikan guru dan tenaga
kependidikan.Hal ini tidak mengherankan karena kita masih belum saja
menyempatkan diri untuk menyusunnya. Bahkan salah satu prasaratnya yaitu teori
tentang pendidikan sebagiamana diisyaratkan pada bagian-bagian sebelumnya, kita
masih belum berhasil memantapkannya. Kalau kita terlibat dalam berbagi kegiatan
pembaharuan pendidikan selama ini maka yang diperbaharui adalah pearalatan
luarnya bukan bangunan dasarnya.
Hal tersebut dikemukakan tanpa samasekali didasari
oleh anggapan bahwa belum ada diantara kita yang memikirkan masalah pendidikan guru itu. Pikiran-pikiran yang
dimaksud memang ada diketengahkan orang tetapi praktis tanpa kecuali dapat
dinyatakan sebagi bersifat fragmentaris, tidak menyeluruh. Misalnya, ada yang
menyarankan masa belajar yang panjang (atau, lebih cepat, menolak
program-program pendidikan guru yang lebih pendek terutama yang diperkenalkan
didalam beberapa tahun terakhir ini) ; ada yang menyarankan perlunya
ditingkatkan mekanisme seleksi calon guru dan tenaga kependidikan; ada yang
menyoroti pentingnya prasarana dan sarana pendidikan guru; dan ada pula yang
memusatkan perhatian kepada perbaikan sistem imbalan bagi guru sehingga bisa
bersaing dengan jabtan-jabatan lain dimasyarakat. Tentu saja semua saran-saran
tersebut diatas memiliki kesahihan, sekurang-kurangnya secara partial, akan
tetapi apabila di implementasikan, sebagian atau seluruhnya, belum tentu dapat
dihasilkan sistem pendidikan guru dan tenaga kependidikan yang efektif.
Sebaiknya teori pendidikan guru dan tenaga
kependidikan yang produktif adalah yang memberi rambu-rambu yang memadai
didalam merancang serta mengimplementasikan program pendidikan guru dan tenaga
kependidikan yang lulusannya mampu
melaksanakan tugas-tugas keguruan didalam konteks pendidikan (tugas
professional, kemanusiaan dan civic). Rambu-rambu yang dimaksud disusun dengan
mempergunakan bahan-bahan yang diperoleh dari tiga sumber yaitu: pendapat ahli,
termasuk yang disangga oleh hasil penelitian ilmiah, analisis tugas kelulusan
serta pilihan nilai yang dianut masyarakat. Rambu-rambu yang dimaksud yang
mencerminkan hasil telaahan interpretif, normative dan kritis itu, seperti
telah diutarakan didalam bagian uraian dimuka, dirumuskan kedalam perangkat
asumsi filosofis yaitu asumsi-asumsi yang memberi rambu-rambu bagi perancang
serta implementasi program yang dimaksud. Dengan demikian, perangkat
rambu-rambu yang dimaksud merupakan batu ujian didalam menilai perancang dan
implementasi program, maupun didalam “mempertahankan” program dari
penyimpngan-penyimpangan pelaksanaan ataupun dari serangan-serangan konseptual.
D. Implikasi
Landasan Pedagogik Terhadap Landasan Pendidikan Keguruan dan Tenaga
Kependidikan Internasional.
Pada prinsipnya sama antara pendidikan di tingkat nasional
dan internasional, yakni memiliki maksud dan tujuan yang sama. Dimana sama-sama
memiliki tujuan untuk memanusiakan manusia, yakni membimbing manusia menuju
kedewasaan tanpa merampas daripada karakteristik anak. Menganlisa tentang
implikasi pedagogik terhadap landasan pendidikan keguruan di internasional pada
hakikatnya sama, pendidikan keguruan di tingkat internasional juga memiliki
landasan filosofis, sosiologis, psikologis, kultural, dll.
Pertanyaannya mengapa pendidikan yang bertaraf
internasional dirasa lebih maju dibandingkan dengan pendidikan ditingkat
nasional. Berkenaan dengan hal ini maka penulis kembalikan kepada konsep dari
pedagogi dan pedagogik. Pedagogi dan pedagogik merupakan dua hal yang tidak
dapat dipisahkan satu sama lain, karena memiliki hubungan yang saling
membutuhkan, yakni ketika melaksanakan suatu praktik pendidikan tentunya kita
harus memiliki dasar atau teori yang mendasari. Akan tetapi penulis menganalisa
ketika suatu teori diterapkan di suatu negara misal Finlandia apakah
kemungkinan besar dapat berhasil ketika diterapkan di Indonesia.
Akan tetapi, penulis lebih menarik kesimpulan
bahwa maju atau tidaknya suatu pendidikan tentunya adanya korrdinasi yang baik
antar berbagai aspek. Guru atau tenaga kependidikan merupakan komponen penting
dalam kemajuan pendidikan. Misalkan ; Guru-guru di Finlandia untuk sekolah
dasar harus sudah bersertifikasi S2 (Magister). Sedangkan di Indonesia, masih
S1 bahkan ada yang latar belakang pendidikannya tidak sesuai dengan pendidikan
di sekolah dasar. Finlandia mungkin saat ini pendidikan masih nomer satu di
dunia, namun penulis menganalisa juga bahwa Finlandia hanya memiliki warga
seikitar 5 juta jiwa mendiami lebih dari 330.000 km2, sehingga
sekolah dibebaskan biaya. Dengan kondisi seperti ini juga akan mempengaruhi
akan kemajuan pendidikan. Namun , hal terpenting saat ini yang saharusnya
dilakukan ialah dengan mengoptimalkan keprofesionalan guru dalam mendidik
meskipun dengan segala keterbatasan. Insya Alloh dengan usaha yang optimal
dengan disertai doa, semoga pendidikan di Indonesia lebih baik lagi.
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari berbagai pembahasan yang telah diuraikan
sebelumnya, maka penulis menarik kesimpulan bahwa pedagogi merupakan praktek
pendidikan anak sedangkan pedagogik ialah ilmu pendidikan anak. Maknanya ialah
pedagogi menunjukan suatu praktek atau merupakan suatu praktek mendidik anak.
Sedangkan pedagogik merupakan suatu sistem teori mengenai pendidikan anak. Akan
tetapi pada realita di lapangan menunjukan bahwa terkadang apa yang telah
terumuskan sebagai sistem teori pendidikan, tidak selalu berbanding lurus
dengan penerapannya. Karena terkadang ketika suatu teori berhasil diterapkan di
suatu lingkungan, belum tentu dilingkungan lainnya akan mendapatkan hasil yang
sama.
Implikasi pedagogik terhadap landasan pendidikan
keguruan ialah ketika seseorang memahami tentang ilmu mendidik anak khususnya
pada pendidikan keguruan , maka tepatlah keterlibatan pedagogik. Sedangkan
terhadap tenaga kependidikan (guru) sangat tepat ketika seorang guru memahami
akan pedagodik sehingga guru akan mampu mendidik sesuai dengan karakteristik
anak. Baik secara nasional maupun internasional hakikatnya memiliki landasan
yang sama, yang membedakan ialah kondisi dan keprofesionalan pendidik.
DAFTAR PUSTAKA
Hasbullah. 2008. Dasar-dasar Ilmu
Pendidikan. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.
Madyo Ekosusilo dan R.B. Kasihadi. Dasar-dasar
Pendidikan. Semarang: Effhar Publising.
Miarso, Yusufhadi. 2004. Menyemai
Benih Teknologi Pendidikan. Jakarta : Kencana Prenada Media Group.
Pidarta, Made. 1997. Landasan
Kependidikan. Yakarta : Rineka Cipta.
Prawiradilaga, Dewi Salma dan
Eveline Siregar. 2007. Mozaik Teknologi Pendidikan. Jakarta :
Universitas Negeri Jakarta.
Rubino Rubiyanto, dkk (2003). Landasan
Pendidikan. Muhammadiyah University Press.
Sadulloh, Uyoh. 2007. Filsafat
Pendidikan. Bandung : Cipta Utama.
Seels, Barbara B dan Richey, Rita C.
1994.Teknologi Pembelajaran Definis dan Kawasannya. Jakarta :
Universitas Negeri Jakarta.
Sukardjo, M. dan Komarudin. 2009. Landasan
Pendidikan konsep dan aplikasinya. Jakarta : Raja Grafindo Persada.
Syaripudin, Tatang dan Kurniasih.
2014. Pedagogik Teoritis Sistematis. Bandung : Percikan Ilmu.
Undang-undang Republik Indonesia
Nomor 20 Tahun 2003. tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Bahri, Syamsul. 2007. Landasan
Pendidikan. http://www.wordpress.com/syamsulbolg.html. diakses
tanggal 9 Desember 2015.
Nurmida, Andini. 2012. Konsep
Dasar Pedagogik. http://bukanmilikandini.blogspot.com/2012/11/konsep-dasar-pedagogik.html
. diakses 9/12/2015.
PTS Online. 2007. Pentingnya
Landasan Filsafat Ilmu Pendidikan. http://www.pts.co.id/filsafat.asp.
diakses tanggal 9 Desember 2015.
Sulastri. 2012. Sekilas Mengenal
Pedagogik. http://allamandakathriya.blogspot.com/2012/04/sekilas-mengenal-pedagogik.html
. diakses 9/12/2015.
Sip, terima kasih atas informasinya.
BalasHapusthank you,sangat membantu
BalasHapus