Kamis, 27 Oktober 2016

Filsafat Ilmu



Oleh :
Yakob Godlif Malatuny
(Mahasiswa Pendidikan Kewarganegaraan Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia)

Pernyataan
Rendahnya kesadaran spiritual dan motivasi insani masyarakat Indonesia dalam hal baca-tulis, telah membuat masyarakat Indonesia tertinggal hampir di segala aspek kehidupan global, dibanding negara-negara lainnya di dunia. Rendahnya adab (nilai moral), dikarenakan kurangnya kesadaran spiritual akan makna pentingnya membaca dan menulis dalam konteks teori adab-karsa ini, dikarenakan masyarakat kita kehilangan “human motivation” dengan ciri (1) kurang berorientasi ke depan, (2) kurang mempunyai “growth Philosophy”, (3) lebih ‘berpaling’ ke akherat saja, (4) cepat menyerah, dan 95) bergerak lamban (inertia). Masyarakat  Indonesia hanya akan menjadi korban perubahan, selama masih ada dalam adab-rendah dan karsa-lemah. Oleh karena itu, masyarakat Indonesia harus kembali kepada kesadaran spiritual dan menemukan/memperoleh kembali “human motivation” yang telah hilang. Hanya dengan mengarah pada adab-tinggi dan karsa-kuatlah (“freedom in sub-missiveness”), secara bertahap masyarakat Indonesia akan mampu keluar dari posisi lemahnya budaya baca-tulis yang akan mengantarkan masyarakat Indonesia ke arah kualitas yang tinggi dalam masyarakat global.

Pertanyaan:
1.  Kajilah secara filsafati apa makna (membaca) itu sesungguhnya dalam konteks agama yang  menjadikan manusia sebagai khalifah di muka bumi ini.
2. Banyak teori yang menjelaskan akar mula masyarakat Indonesia kehilangan “human  motivation”. Coba anda uraikan teori mana yang dapat menjelaskan hal tersebut.
3.  Profesor Herman Soewardi berpendapat bahwa masyarakat Indonesia dapat menemukan  kembali “human motivation” yang hilang jika dan hanya jika anak didik dibina untuk dapat memperoleh adab-tinggi dan karsa-kuat. Bagaimana hal tersebut dapat dilakukan dan  bagaimana peran PKn baik secara sempit dalam konteks persekolahan maupun yang lebih  luas.

1.    Kajilah secara filsafati apa makna (membaca) itu sesungguhnya dalam konteks agama yang menjadikan manusia sebagai khalifah di muka bumi ini.

Secara naluri dalam fitrahnya, manusia adalah makhluk yang memiliki couricity (rasa ingin tahu) yang sangat tinggi, sehingga semua manusia berusaha untuk mengetahui segala sesuatu yang belum diketahuinya. Membaca sangat erat dengan kemampuan seseorang untuk memahami simbol-simbol sebagai objek bacaan. Sebaliknya mengekspresikan apa yang dibaca yang telah terakumulasi dalam pikiran seseorang untuk dituangkan dalam bentuk simbol-simbol adalah bagian dari pekerjaan menulis. Seseorang yang memiliki ilmu dan kemampuan spesifik akan mampu membaca. Pada dasarnya semua manusia yang telah membaca dalam arti luas secara terstruktur diharapkan dapat menghimpun pengetahuan dan mengaktualisasikannya secara nyata dalam kehidupan sosial dan yang paling penting yaitu menjadikan manusia sebagai khalifah di muka bumi.
Membaca merupakan proses. Membaca bukanlah proses yang tunggal melainkan sintesis dari berbagai proses yang kemudian berakumulasi pada suatu perbuatan tunggal.  Membaca diartikan sebagai pengucapan kata-kata, mengidentifikasi kata dan mencari arti dari sebuah teks. Membaca diawali dari struktur luar bahasa yang terlihat oleh kemampuan visual untuk mendapatkan makna yang terdapat dalam struktur dalam bahasa. Dengan kata lain, membaca berarti menggunakan struktur dalam untuk menginterpretasikan struktur luar yang terdiri dari kata-kata dalam sebuah teks. (Harjasujana, 1996:4).
Secara filsafati makna membaca itu sesungguhnya dalam konteks agama yang menjadikan manusia sebagai khalifah di muka bumi ini, antara lain :
-      Dalam pendekatan theologis membaca adalah bagian esensial dari anjuran agama yang akan menunjukkan jatidiri kemanusiaan. Naluri seseorang untuk melibatkan diri untuk membaca adalah bersifat fitrah insani. Dengan membaca seseorang akan diilhami oleh suatu pola pikir baru yang akan memotivasinya untuk diterapkan pada kesempatan lain. Dan saya yakin, dalam setiap event kita telah memunculkan keinginan untuk menerapkan pola pikir baru kita dari apa yang dapat kita baca.
Alur pikir seperti ini sarat dengan muatan normatif, sehingga semua agama melalui kitab sucinya mengajurkan untuk membaca ajaran kitabnya.
Misalnya, dalam Islam yang telah mem”proklamir”kan bahwa :
Bacalah  dengan nama Tuhan anda yang telah mencipta. Mencipta manusia dari segumpal darah beku. Bacalah dan Tuhan anda Maha Pemurah yang telah mengajarkan menggunakan pena mengajar manusia ilmu yang belum diketahuinya (QS al-Alaq 96: 1-5).
Perintah tersebut adalah babak baru pembebasan manusia dari keterbelakangan, spirit dari firman tersebut adalah menyuruh membaca, belajar menulis dan belajar ilmu pengetahuan. Dalam persfektif bahwa membaca sebagai fitrah insani maka refleksi pemaknaan firman tersebut haruslah dijadikan pendorong spirit syar’i seseorang untuk membaca terus menerus. Karena hal itu adalah perbuatan yang membanggakan dan dapat menjadikan manusia sebagai khalifah (pemimpin orang yang beriman/pemimpin orang-orang mukmin) di muka bumi ini.
-    Menjadikan manusia sebagai khalifah dengan ”membaca”. Perintah membaca  merupakan perintah yang paling berharga bagi pembentukan pemimpin orang yang beriman/pemimpin orang-orang mukmin. Karena, membaca merupakan jalan yang mengantar manusia mencapai derajat kemanusiaannya yang sempurna, “Allah akan mengangkat orang-orang yang beriman dan orang-orang yang memiliki ilmu dengan beberapa derajat yang tinggi”.
-   Membaca dalam Islam merupakan ajaran yang jelas dan tegas. Al-Qur’an secara dini mengisyaratkan pentingnya membaca dan meningkatkan minat baca. Dalam al-Qur’an perintah membaca adalah wahyu pertama dan kata pertama yang diturnkan Allah kepada Nabi Muhammad SAW. Hal itu termuat dalam surat al-‘Alaq ayat 1-5 yang artinya:Bacalah dengan menyebut nama Tuhan-Mu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah dan Tuhanmu yang paling pemurah. Yang mengajar manusia dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya. Quraish Shihab ada benarnya ketika ia mengatakan bahwa kata iqra’ (membaca) demikian penting, sekurangnya perlu Allah mengulang dua kali dalam surat al-‘Alq dimaksud. Terkesan agak aneh, bahwa perintah membaca ditujukan kepada orang-orang yang seumur-umur tidak pandai membaca (QS. Al-Ankabut 29:18), yang artinya: Dan kamu tidak pernah membaca sebelumnya (al-Qur’an) sesuatu kitab pun dan kamu tidak pernah menulis suatu kitab pun dengan tangan kananmu; andai kata (kamu pernah membaca dan menulis), benar-benar ragulah orang-orang yang mengingkarimu. Keanehan dimaksud akan sirna bila dilihat dari tujuan dan arti kata iqra’. Dari aspek tujuan terlihat bahwa perintah ini tidak hanya ditujukan kepada personal Nabi Muhammad SAW semata, melainkan juga untuk seluruh umat manusia. Karena realisasi perintah ini merupakan kunci pembuka jalan kebahagiaan hidup duniawi dan akhiat. Pada pihak lain, kata iqra’, apabila tidak disebut objeknya, maka ia bersifat umum, bisa membaca teks tertulis bisa pula tidak, bisa yang berhuruf bisa pula yang tidak berhuruf, bisa nasib manusia bisa pula alam takambang jadi guru dan lainnya. Hal ini juga sejalan dengan arti iqra’, yakni menyampaikan, menela’ah, meneliti, mendalami, mengetahui dan lain-lain. (Quraish Shihab, 1992: 167-171). Kemudian kata iqra’ yang kedua dapat dikatakan mendorong manusia untuk meningkatkan minat baca. Hal ini dipahami dari kata iqra’ yang dirangkaikan dengan kata rabbuka al-akram yang mengandung arti bahwa Allah akan memberikan ilmu kepada siapa saja yang melakukan kegiatan membaca. Semakin banyak yang dibaca, Allah akan menambah ilmu setiap kegiatan membaca yang dilakukan walaupun yang ia baca objek yang sama. Dari keseluruhan ayat dalam surat al-‘Alaq 1-5 tersebut dapat dikemukakan rangkuman sebagai berikut: 1.Syarat melakukan kegiatan membaca dalam Islam harus dikaitkan dengan nama Tuhan, dan harus pula bacaan itu dipilih bahan-bahan bacaan yang tepat, agar bacaan yang dilakukan tidak merusak baik bagi yang bersangkutan maupun pihak lain. 2.Manfaat membaca yakni penambahan pengetahuan oleh Allah kepada yang melakukan kegiatan baca walaupun yang dibaca adalah objek yang sama. 3.Kegiatan membaca terkait dengan media (alat) dan waktu.

2.    Banyak teori yang menjelaskan akar mula masyarakat Indonesia kehilangan “human motivation”. Coba anda uraikan teori mana yang dapat menjelaskan hal tersebut.

Human motivation adalah kekuatan psikis dalam diri manusia, dengan mana manusia meraih apa yang diinginkannya. Bila motivasi itu hilang, manusia akan melesak ke bawah, kejadian mana kita sebut “tergelincir”. Sebaliknya, bila motivasi itu timbul, manusia akan melejit ke atas, kejadian mana kita sebut “menyongsong” (Herman Soewardi, 2009: 75).
Salah satu penyebab terhadap kemajuan dan kemunduran suatu bangsa hanya terletak pada satu faktor, ialah kebutuhan berprestasi atau “need for achievement”. Hal ini berdampak pula pada hilangannya “human motivation”.
Teori McClelland adalah teori tentang motivasi manusia. Dalam pandangannya, motivasi manusia inilah yang merupakan dorongan kekuatan bagi manusia untuk bergerak mencapai apa yang diinginkannya. Motivasi dari McClelland ini menjadikan orang terlecut untuk bersaing dalam menciptakan prestasi atau berlomba dalam berbuat kebajikan (Herman Soewardi, 2009: 41-42).
Asumsi saya akar mula masyarakat Indonesia kehilangan “human motivation” karena pelecut motivasi tidak berlandaskan pada keagamaan melainkan kuat-lemahnya tergantung pada sifat biologi atau sosial. Dengan demikian, masyarakat Indonesia harus kembali kepada kesadaran spiritual agar dapat memperoleh kembali “human motivation” yang telah hilang.
Selain itu, proses kehilangan human motivation di Indonesia disebabkan; (1) tak ada orientasi ke depan, (2) kurang mempunyai “growth Philosophy”, (3) lebih ‘berpaling’ ke akherat saja, (4) cepat menyerah, dan 5) bergerak lamban atau inertia. (Herman Soewardi, 2009: 76-77).
Teori-teori Motivasi
Beberapa Teori Motivasi yang sering digunakan diantaranya adalah :
  1. Teori Hierarki Maslow
Teori Hierarki ini dikemukakan oleh seorang psikolog yang bernama Abraham Maslow pada tahun 1943. Teori ini mengemukakan 5 kebutuhan hidup manusia berdasarkan Hirarkinya yaitu mulai dari kebutuhan yang mendasar hingga kebutuhan yang lebih tinggi. Teori ini kemudian dikenal dengan Teori Maslow atau Teori Hirarki Kebutuhan. Hirarki kelima Kebutuhan tersebut diantaranya adalah :
  • Kebutuhan Fisiologis (Physiological needs), yaitu kebutuhan terhadap makanan, minuman, air, udara, pakaian, tempat tinggal dan kebutuhan untuk bertahan hidup. Kebutuhan Fisiologis merupakan kebutuhan yang paling mendasar.
  • Kebutuhan Keamanan (Safety needs), yaitu kebutuhan akan rasa aman dari kekerasan baik fisik maupun psikis seperti lingkungan yang aman bebas polusi, perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja serta bebas dari ancaman.
  • Kebutuhan Sosial (Social needs), yaitu kebutuhan untuk dicintai dan mencintai. Manusia merupakan makhluk sosial, Setiap orang yang hidup di dunia memerlukan keluarga dan teman.
  • Kebutuhan Penghargaan (Esteem needs), Maslow mengemukan bahwa setelah memenuhi kebutuhan Fisiologis, Keamanan dan Sosial, orang tersebut berharap diakui oleh orang lain, memiliki reputasi dan percaya diri serta dihargai oleh setiap orang.
  • Kebutuhan Aktualisasi diri (Self-Actualization), Kebutuhan ini merupakan kebutuhan tertinggi menurut Maslow, Kebutuhan Aktualisasi diri adalah kebutuhan atau keinginan seseorang untuk memenuhi ambisi pribadinya.
  1. Teori ERG Alderfer
Pada tahun 1969, Clayton Alderfer mempublikasikan artikel tentang kebutuhan manusia yang berjudul â€Å“An Empirical Test of a New Theory of Human Need. Teori tersebut merupakan Teori Alternatif terhadap Teori Hirarki Maslow. Teori ini mengemukan Tiga kebutuhan Manusia yaitu :
  • Kebutuhan Eksistensi (Existence needs) yaitu kebutuhan akan pemenuhan faktor fisiologis dan Materialistis termasuk kebutuhan akan rasa aman.
  • Kebutuhan Hubungan (Relatedness needs) yaitu kebutuhan untuk memiliki hubungan dengan orang lain.
  • Kebutuhan Pertumbuhan (Growth needs) yaitu kebutuhan atau keinginan untuk bertumbuh dan mencapai potensi diri secara maksmal.
Teori yang dikemukakan oleh Clayton Alderfer ini kemudian dikenal dengan Teori ERG Alderfer yaitu singkatan dari Existance, Relatedness dan Growth.
  1. Teori Kebutuhan McClelland
Seorang Psikolog Amerika Serikat yang bernama David McClelland mengemukan hubungan antara kebutuhan pencapaian, afiliasi dan kekuasaan pada akhir 1940-an. Teori Kebutuhan McClelland diantaranya adalah :
  • Kebutuhan akan Pencapaian (need for achievement)
  • Kebutuhan akan Afiliasi (need for affiliation)
  • Kebutuhan akan kekuasaan (need for power)
  1. Teori Motivator-Hygiene Herzberg
Frederick Herzberg adalah seorang Psikolog Amerika Serikat yang mengemukan Teori Motivator-Hygiene Herzberg. Teori tersebut didapat dari penelitian terhadap 203 akuntan dan teknisi di area Pittsburgh, Amerika Serikat. Dari hasil penelitian tersebut ditemukan dua faktor yang berbeda yaitu kepuasan dan ketidakpuasan dalam bekerja. Teori Motivator-Hygiene Herzberg juga dikenal dengan Teori Dua Faktor.
  • Kepuasan bekerja, yaitu faktor yang berkaitan dengan pengakuan, prestasi, tanggung jawab yang memberikan kepuasan positif. Faktor ini sering disebut juga dengan Faktor Motivator.
  • Ketidakpuasan bekerja, yaitu faktor yang berkaitan dengan gaji, keamanan bekerja dan lingkungan kerja yang seringkali memberikan ketidakpuasan. Faktor ini sering disebut dengan Faktor Hygiene.
  1. Teori Harapan Vroom
Seorang professor Kanada yang bernama Victor Vroom pada tahun 1964 dalam bukunya yang berjudul Work and Motivation mengemukan sebuah Teori Motivasi yang beranggapan bahwa orang-orang termotivasi untuk melakukan sesuatu karena menginginkan suatu hasil yang diharapkan. Teori tersebut kemudian dikenal dengan sebutan Teori Harapan atau Expectancy Theory.
Terdapat 3 konsep Teori Harapan Vroom, yaitu :
  • Harapan (Expectancy), yaitu kepercayaan seseorang bahwa suatu usaha akan menghasilkan kinerja tertentu. Effort (Usaha) Performance (Kinerja).
  • Instrumentally, yaitu kepercayaan seseorang bahwa suatu kinerja akan mendapatkan hasil tertentu. Performance (Kinerja) Outcome (Hasil)
  • Valensi (Valence), yaitu mengarah pada nilai positif dan negatif yang dirujuk oleh orang-orang terhadap sebuah hasil.

4. Profesor Herman Soewardi berpendapat bahwa masyarakat Indonesia dapat menemukan kembali “human motivation” yang hilang jika dan hanya jika anak didik dibina untuk dapat memperoleh adab-tinggi dan karsa-kuat. Bagaimana hal tersebut dapat dilakukan dan bagaimana peran PKn baik secara sempit dalam konteks persekolahan maupun yang lebih luas.

Human Motivation
Motivasi adalah proses yang menjelaskan intensitas, arah, dan ketekunan seorang individu untuk mencapai tujuannya. Tiga elemen utama dalam definisi ini diantaranya adalah intensitas, arah, dan ketekunan. Motivasi dari McClelland ini menjadikan orang terlecut untuk bersaing dalam menciptakan prestasi atau berlomba dalam berbuat kebajikan.
Human motivation adalah kekuatan psikis dalam diri manusia, dengan mana manusia meraih apa yang diinginkannya. Bila motivasi itu hilang, manusia akan melesak ke bawah, kejadian mana kita sebut “tergelincir”. Sebaliknya, bila motivasi itu timbul, manusia akan melejit ke atas, kejadian mana kita sebut “menyongsong” (Herman Soewardi, 2009: 75).

Teori Adab Karsa
Landasan masyarakat islam, sebagaimana diempiriskan oleh Nabi Muhammad s.a.w., adalah “persaudaraan” (Q.49:10) dan “kekuatan” (Q.55:33). Masyarakat Indonesia mengalami pengikisan dari kedua landasan itu. Upaya kearah ini dengan menjalinkan Persaudaraan dan Kekuatan sehingga akan mengetahui bagaimana kaitan antara keduanya. Upaya ini disebut Teori Adab Karsa. Adab mencerminkan peribadatan dan ketundukan kepada Allah S.W.T (yang sejalan dengan Persaudaraan), sedangkan Karsa adalah kekuatan itu.
Dalam upaya mempertautkan Persaudaraan dan Kekuatan ini, maka baik Persaudaraan maupun Kekuatan dilihat dalam bentuk dua kutubnya. Persaudaraan yang kita sebut ADAB TINGGI, adapun kutub yang satunya lagi disebut ADAB RENDAH, sedangkan kekuatan disebut Karsa, dilihat dengan dua kutubnya KARSA KUAT (Qadariah), dan KARSA LEMAH. Maka kita memperoleh 4 kotak : 1). ADAB TINGGI-KARSA KUAT, 2). ADAB RENDAH-KARSA KUAT, 3). ADAB TINGGI-KARSA LEMAH, 4). ADAB RENDAH-KARSA LEMAH.
Kotak A adalah kotaknya Nabi Muhammad s.a.w yang mendirikan negara Madinah sebagai ‘Model’ modernisasi yang diridhoi Allah. Kotak B adalah kotaknya negara/masyarakat Barat Sekuler. Kotak C adalah kotaknya Negara-negara Berkembang tipe “tertib”, namun yang menghadapi masalah pertumbuhan. Kotak D adalah negara-negara berkembang tipe “chaos” tumbuh tetapi mementingkan pembagian pangsa dari pertumbuhan, bukan pertumbuhan itu sendiri. Negara Indonesia dikhawatirkan masuk di kotak D.
Kotak pertama A, kotaknya Nabi Muhammad s.a.w, memiliki keduannya, “Persaudaraan” dan “Kekuatan”. Masyarakat bentukan Nabi Muhammad s.a.w. ini merupakan “model” bagi masyarakat-masyarakat Muslim sekarang, kemana mereka akan melangkah. Kotak kedua B, ialah kotaknya masyarakat Barat, kedalam kotak ini telah sampai masyarakat-masyarakat Macan Asia. Masyarakat ini dari dua tumpuan hanya memiliki satu, ialah “Kekuatan”. Karena itu jiwa orang dari masyarakat ini adalah “insecurity feeling”, masyarakat pelampaiasan nafsu. Yang akhirnya mencelakakan mereka sendiri. Namun dengan kekuatannya, struktur kognisinya menjadi cerdas, dan dapat meraih kemajuan ilmiah yang “spektakuler”. Demikianlah “Kekuatan” tanpa “Persaudaraan”, dan akhirnya mereka sampai pada keadaan “Crisis of Modern Science” dan “Resah, Renggut, Rusak”. Tak patut untuk diteladani oleh masyarakat Muslim. Kotak keempat D, keadaannya lebih buruk dari kotak kedua. Kotak ini tidak memiliki sama sekali dari “Persaudaraan” dan “Kekuatan”. Karena itu sebutan yang pantas untuk masyarakat ini adalah “Freedom in Chaos”, atau kebebasan yang bersifat kesembrawutan. Hukum dominan yang berlaku pada masyarakat itu adalah “Hukum Rimba” yang kuat makan si lemah, dan “menghalalkan segala cara”.
Dengan kemajuan ini, kita harus melaksanakan pembangunan. Pembangunan tak lain adalah memperkuat diri. Bagi kita terbuka dua alternatif: dengan Persaudaraan (ADAB TINGGI) atau tanpa Persaudaraan (ADAB RENDAH). Pembangunan di negara Indonesia harus disertai penerapan nilai-nilai Pancasila, Keagamaan dan nilai-nilai Spiritual sebagai yang berkedudukan sentral. Dalam masalah ini hanya bisa dengan satu jalan saja, ialah memberikan posisi sentral kepada agama dan moralitas dalam pembangunan. Tegasnya kita harus memberikan kedudukan moral dalam membangun.  
Teori Adab Karsa, yang didukung dengan bukti-bukti empirikal, menunjukkan kepada kita bahwa Adab dan Karsa itu sifatnya substitututable, bukan necessary. Kita lebih baik memandang hubungan kausal antara rasionalitas dan Karsa. Rasionalitas itu sendiri merupakan sifat manusia, semua manusia, namun Karsalah yang menunjukkan sampai apa yang dapat dicapai oleh rasionalitas itu. Namun yang perlu dirubah dalam diri para Muslim adalah Karsa yang lemah, agar menjadi kuat. Hal ini akan dicapai bila kita menggeser faham Jabariah manjadi Qadariah. Demikianlah, perubahan Struktur Kognitif benar merupakan prasyarat untuk timbulnya Karsa yang kuat, tapi merubah Struktur Kognitif itu saja tidak cukup untuk menimbulkan Karsa yang kuat. Berupaya menimbulkan Karsa yang kuat merupakan hal tersendiri yang perlu disadari dalam pelaksanaan Pembangunan.
Realita yang ada dalam Negara Idonesia saat ini untuk lapisan atas banyak pelanggaran normatif atau menghalalkan segala cara sedangkan untuk lapisan bawah  kelemah karsaan, sehingga sulit menanjak (Herman Soewadi, 2009: 81).       
Peran Pendidikan Kewarganegaraan
Keberadaan Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) dalam konteks pembinaan generasi muda menjadi seorang warganegara dewasa. Anak adalah warganegara hipotetik, yakni warganegara yang “belum jadi” karena masih harus dididik menjadi warganegara dewasa yang sadar akan hak dan kewajibannya (Budimansyah, 2007: 11).
Oleh karena itu masyarakat sangat mendambakan generasi mudanya dipersiapkan untuk menjadi warganegara yang baik dan dapat berpartisipasi dalam kehidupan masyarakat dan negaranya yang tentu memiliki adab-tinggi dan karsa-kuat.
Sampai saat ini PKn sudah menjadi bagian inheren dari instrumentasi serta praksis pendidikan nasional untuk mencerdaskan kehidupan bangsa Indonesia melalui koridor “value-based education”. Konfigurasi atau kerangka sistemik PKn dibangun atas dasar paradigma sebagai berikut (Budimansyah, 2008:180).
Setiap warga negara dibina untuk dapat memperoleh adab-tinggi dan karsa-kuat. Hal ini dapat dilakukan melalui peran PKn baik secara sempit dalam konteks persekolahan maupun yang lebih luas, antara lain :
Pertama, PKn secara kurikuler dirancang sebagai subjek pembelajaran yang bertujuan untuk mengembangkan potensi individu agar menjadi warga negara Indonesia yang berakhlak mulia, cerdas, partisipatif, dan bertanggung jawab, berperan sebagai wahana pemuliaan dan pemberdayaan anak dan pemuda sesuai dengan potensinya agar menjadi warganegara yang cerdas dan baik (smart and good citizen). Pemikiran ini didasari oleh asumsi bahwa untuk mendidik anak menjadi warganegara yang cerdas dan baik harus dilakukan secara sadar dan terencana dalam suatu proses pembelajaran agar mereka secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Proses pembinaan warganegara yang melibatkan aspek psikopedagogis dengan pendekatan psycho-paedagogical development.
Kedua, PKn secara teoretik dirancang sebagai subjek pembelajaran yang memuat dimensi-dimensi kognitif, afektif, dan psikomotorik yang bersifat konfluen atau saling berpenetrasi dan terintegrasi dalam konteks substansi ide, nilai, konsep, dan moral Pancasila, kewarganegaraan yang demokratis, dan bela negara.
Ketiga, PKn secara programatik dirancang sebagai subjek pembelajaran yang menekankan pada isi yang mengusung nilai-nilai (content-embedding values) dan pengalaman belajar (learning experiences) dalam bentuk berbagai perilaku yang perlu diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari dan merupakan tuntunan hidup bagi warga negara dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara sebagai penjabaran lebih lanjut dari ide, nilai, konsep, dan moral Pancasila, kewarganegaraan yang demokratis, dan bela negara.
Keempat, PKn sebagai gerakan sosio-kultural kewarganegaraan yang berperan sebagai wahana aktualisasi diri warganegara baik secara perorangan maupun kelompok sesuai dengan hak, kewajiban, dan konteks sosial budayanya, melalui partisipasi aktif secara cerdas dan bertanggung jawab. Pemikiran ini didasari oleh asumsi bahwa kewarganegaraan bertalian dengan masyarakat, karena disamping secara historis konsep tersebut tumbuh bersamaan dengan perkembangan identitas manusia sebagai makhluk sosial politik, juga disebabkan oleh adanya usaha mewujudkan orde sosial yang baik dan diharapkan (desirable) melalui penguatan nilai-nilai dalam masyarakat. Karena yang dibangun dalam gerakan sosio-kultural kewarganegaraan itu pranata sosial yang berunsurkan sistem nilai dan norma, maka masyarakat dan komunitas dalam hal ini perlu menyediakan ruang publik bagi warganegara untuk ber-PKn (doing PKn). Analisis sosiologis terhadap perkembangan masyarakat kita dewasa ini menunjukkan bahwa akar dari berbagai masalah sosial budaya ini dapat digolongkan kedalam empat masalah dasar yang perlu menjadi agenda dalam gerakan sosio-kultural kewarganegaraan, yakni masalah kerukunan, kepedulian, kemandirian, dan demokrasi. Proses pembinaan warganegara yang melibatkan pranata sosial yang berunsurkan sistem nilai dan norma ini saya namakan pendekatan socio-cultural Development.
Kelima, PKn sebagai program pendidikan politik kebangsaan bagi para penyelenggara negara, anggota dan pimpinan organisasi sosial dan organisasi politik yang dikemas dalam berbagai bentuk pembinaan pengetahuan kewarganegaraan (civic knowledge), kecakapan kewarganegaraan (civic skills), dan kebajikan kewarganegaraan (civic disposition) yang mengacu pada prinsip konseptual-pedagogis untuk mengembangkan daya nalar (state of mind), bukan wahana indoktrinasi politik, dan sebagai suatu proses pencerdasan. Pemikiran ini didasarkan pada asumsi bahwa peran negara dalam membina warganegara tidak dapat dihilangkan dengan menguatnya masyarakat civil (civil society). Negara sebagai suatu organisasi puncak memiliki kekuasaan untuk meningkatkan partisipasi yang bermutu dan bertanggung jawab dari warganegara dalam kehidupan politik dan masyarakat baik pada tingkat lokal maupun nasional. Partisipasi semacam itu memerlukan penguasaan sejumlah kompetensi kewarganegaraan yang penting diantaranya (1) penguasaan terhadap pengetahuan dan pemahaman tertentu; (2) pengembangan kemampuan intelektual dan partisipatoris; (3) pengembangan karakater dan sikap mental tertentu; dan (4) komitmen yang benar terhadap nilai dan prinsip dasar demokrasi konstitusional. Proses pembinaan warganegara melalui pendidikan politik kebangsaan ini saya namakan pendekatan socio-political intervention.

DAFTAR PUSTAKA

Budimansyah dan Suryadi. 2008. PKn dan Masyarakat Multikultural. Bandung: Program Studi PKn UPI.

Harjasujana, A.S. & Damaianti, V.S. 1996. Membaca dalam Teori dan Praktik. Bandung: Mutiara.

Soewardi, Herman. 2009. Roda Berputar Dunia Bergulir, Kognisi Baru Tentang Timbul Tenggelamnya Sivilisasi. Bandung: Bakti Mandiri.

Tarigan, Henry Guntur. 1984. Membaca Sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa. Bandung: Angkasa.

Winataputra & Budimansyah. 2007. Civic Education : konteks, landasan, bahan ajar dan kultur kelas. Bandung: Prodi PKn SPs UPI.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Comments system

Disqus Shortname