Oleh :
Yakob Godlif Malatuny
(Mahasiswa Pendidikan Kewarganegaraan Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia)
Rendahnya kesadaran spiritual dan
motivasi insani masyarakat Indonesia dalam hal baca-tulis, telah membuat masyarakat
Indonesia tertinggal hampir di segala aspek kehidupan global, dibanding
negara-negara lainnya di dunia. Rendahnya adab (nilai moral), dikarenakan
kurangnya kesadaran spiritual akan makna pentingnya membaca dan menulis dalam
konteks teori adab-karsa ini, dikarenakan masyarakat kita kehilangan “human
motivation” dengan ciri (1) kurang berorientasi ke depan, (2) kurang mempunyai
“growth Philosophy”, (3) lebih ‘berpaling’ ke akherat saja, (4) cepat menyerah,
dan 95) bergerak lamban (inertia). Masyarakat Indonesia hanya akan menjadi korban perubahan,
selama masih ada dalam adab-rendah dan karsa-lemah. Oleh karena itu, masyarakat
Indonesia harus kembali kepada kesadaran spiritual dan menemukan/memperoleh
kembali “human motivation” yang telah hilang. Hanya dengan mengarah pada
adab-tinggi dan karsa-kuatlah (“freedom
in sub-missiveness”), secara bertahap masyarakat Indonesia akan mampu
keluar dari posisi lemahnya budaya baca-tulis yang akan mengantarkan masyarakat
Indonesia ke arah kualitas yang tinggi dalam masyarakat global.
Pertanyaan:
1. Kajilah secara filsafati apa makna (membaca)
itu sesungguhnya dalam konteks agama yang menjadikan manusia sebagai khalifah
di muka bumi ini.
2. Banyak teori yang menjelaskan akar mula masyarakat
Indonesia kehilangan “human motivation”. Coba anda uraikan teori mana yang
dapat menjelaskan hal tersebut.
3. Profesor Herman Soewardi berpendapat bahwa masyarakat
Indonesia dapat menemukan kembali “human
motivation” yang hilang jika dan hanya jika anak didik dibina untuk dapat memperoleh adab-tinggi dan karsa-kuat. Bagaimana hal tersebut dapat dilakukan
dan bagaimana peran PKn baik secara sempit dalam konteks persekolahan maupun
yang lebih luas.
1.
Kajilah secara filsafati apa makna (membaca) itu sesungguhnya dalam
konteks agama yang menjadikan manusia sebagai khalifah di muka bumi ini.
Secara naluri dalam fitrahnya, manusia adalah makhluk yang memiliki couricity (rasa ingin tahu) yang sangat
tinggi, sehingga semua manusia berusaha untuk mengetahui segala sesuatu yang
belum diketahuinya. Membaca
sangat erat dengan kemampuan seseorang untuk memahami simbol-simbol sebagai
objek bacaan. Sebaliknya mengekspresikan apa yang dibaca yang telah
terakumulasi dalam pikiran seseorang untuk dituangkan dalam bentuk
simbol-simbol adalah bagian dari pekerjaan menulis. Seseorang yang memiliki
ilmu dan kemampuan spesifik akan mampu membaca. Pada dasarnya semua manusia yang telah membaca dalam arti luas secara terstruktur diharapkan dapat
menghimpun pengetahuan dan mengaktualisasikannya secara nyata dalam kehidupan
sosial dan
yang paling penting yaitu menjadikan manusia sebagai khalifah di muka
bumi.
Membaca merupakan proses.
Membaca bukanlah proses yang tunggal melainkan sintesis dari berbagai proses
yang kemudian berakumulasi pada suatu perbuatan tunggal. Membaca
diartikan sebagai pengucapan kata-kata, mengidentifikasi kata dan mencari arti
dari sebuah teks. Membaca diawali dari struktur luar bahasa yang terlihat oleh
kemampuan visual untuk mendapatkan makna yang terdapat dalam struktur dalam
bahasa. Dengan kata lain, membaca berarti menggunakan struktur dalam untuk
menginterpretasikan struktur luar yang terdiri dari kata-kata dalam sebuah teks. (Harjasujana, 1996:4).
Secara filsafati
makna membaca itu sesungguhnya dalam konteks agama yang menjadikan manusia sebagai
khalifah di muka bumi ini, antara lain :
- Dalam pendekatan
theologis membaca adalah bagian esensial dari anjuran agama yang akan
menunjukkan jatidiri kemanusiaan. Naluri seseorang untuk melibatkan diri untuk
membaca adalah bersifat fitrah insani. Dengan membaca seseorang akan diilhami
oleh suatu pola pikir baru yang akan memotivasinya untuk diterapkan pada
kesempatan lain. Dan saya yakin, dalam setiap event kita telah memunculkan
keinginan untuk menerapkan pola pikir baru kita dari apa yang dapat kita baca.
Alur pikir seperti ini sarat dengan muatan
normatif, sehingga semua agama melalui
kitab sucinya mengajurkan untuk membaca ajaran kitabnya.
Misalnya, dalam Islam yang telah mem”proklamir”kan bahwa :
Bacalah dengan nama Tuhan anda yang
telah mencipta. Mencipta manusia dari segumpal darah beku. Bacalah dan Tuhan
anda Maha Pemurah yang telah mengajarkan menggunakan pena mengajar manusia ilmu
yang belum diketahuinya (QS al-Alaq 96: 1-5).
Perintah tersebut adalah babak baru
pembebasan manusia dari keterbelakangan, spirit dari firman tersebut adalah
menyuruh membaca, belajar menulis dan belajar ilmu pengetahuan. Dalam persfektif bahwa
membaca sebagai fitrah insani maka refleksi pemaknaan firman tersebut haruslah
dijadikan pendorong spirit syar’i seseorang untuk membaca terus menerus. Karena
hal itu adalah perbuatan yang membanggakan dan dapat menjadikan manusia sebagai khalifah (pemimpin
orang yang beriman/pemimpin orang-orang mukmin) di muka bumi ini.
- Menjadikan
manusia sebagai khalifah dengan ”membaca”. Perintah membaca merupakan perintah yang paling berharga bagi pembentukan pemimpin orang yang beriman/pemimpin orang-orang
mukmin.
Karena, membaca merupakan jalan yang mengantar manusia mencapai derajat
kemanusiaannya yang sempurna, “Allah akan mengangkat orang-orang yang beriman
dan orang-orang yang memiliki ilmu dengan beberapa derajat yang tinggi”.
- Membaca dalam Islam merupakan ajaran yang jelas dan tegas.
Al-Qur’an secara dini mengisyaratkan pentingnya membaca dan meningkatkan minat
baca. Dalam al-Qur’an perintah membaca adalah wahyu pertama dan kata pertama
yang diturnkan Allah kepada Nabi Muhammad SAW. Hal itu termuat dalam surat
al-‘Alaq ayat 1-5 yang artinya:Bacalah dengan menyebut nama Tuhan-Mu yang
menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah dan
Tuhanmu yang paling pemurah. Yang mengajar manusia dengan perantaraan kalam.
Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya. Quraish Shihab ada
benarnya ketika ia mengatakan bahwa kata iqra’ (membaca) demikian penting,
sekurangnya perlu Allah mengulang dua kali dalam surat al-‘Alq dimaksud.
Terkesan agak aneh, bahwa perintah membaca ditujukan kepada orang-orang yang
seumur-umur tidak pandai membaca (QS. Al-Ankabut 29:18), yang artinya: Dan kamu
tidak pernah membaca sebelumnya (al-Qur’an) sesuatu kitab pun dan kamu tidak
pernah menulis suatu kitab pun dengan tangan kananmu; andai kata (kamu pernah
membaca dan menulis), benar-benar ragulah orang-orang yang mengingkarimu.
Keanehan dimaksud akan sirna bila dilihat dari tujuan dan arti kata iqra’. Dari
aspek tujuan terlihat bahwa perintah ini tidak hanya ditujukan kepada personal
Nabi Muhammad SAW semata, melainkan juga untuk seluruh umat manusia. Karena
realisasi perintah ini merupakan kunci pembuka jalan kebahagiaan hidup duniawi
dan akhiat. Pada pihak lain, kata iqra’, apabila tidak disebut objeknya, maka
ia bersifat umum, bisa membaca teks tertulis bisa pula tidak, bisa yang
berhuruf bisa pula yang tidak berhuruf, bisa nasib manusia bisa pula alam
takambang jadi guru dan lainnya. Hal ini juga sejalan dengan arti iqra’, yakni
menyampaikan, menela’ah, meneliti, mendalami, mengetahui dan lain-lain.
(Quraish Shihab, 1992: 167-171). Kemudian kata iqra’ yang kedua dapat dikatakan
mendorong manusia untuk meningkatkan minat baca. Hal ini dipahami dari kata
iqra’ yang dirangkaikan dengan kata rabbuka al-akram yang mengandung arti bahwa
Allah akan memberikan ilmu kepada siapa saja yang melakukan kegiatan membaca.
Semakin banyak yang dibaca, Allah akan menambah ilmu setiap kegiatan membaca
yang dilakukan walaupun yang ia baca objek yang sama. Dari keseluruhan ayat
dalam surat al-‘Alaq 1-5 tersebut dapat dikemukakan rangkuman sebagai berikut:
1.Syarat melakukan kegiatan membaca dalam Islam harus dikaitkan dengan nama
Tuhan, dan harus pula bacaan itu dipilih bahan-bahan bacaan yang tepat, agar
bacaan yang dilakukan tidak merusak baik bagi yang bersangkutan maupun pihak
lain. 2.Manfaat membaca yakni penambahan pengetahuan oleh Allah kepada yang
melakukan kegiatan baca walaupun yang dibaca adalah objek yang sama. 3.Kegiatan
membaca terkait dengan media (alat) dan waktu.
2.
Banyak teori yang menjelaskan akar mula masyarakat Indonesia kehilangan
“human motivation”. Coba anda uraikan
teori mana yang dapat menjelaskan hal tersebut.
Human motivation adalah
kekuatan psikis dalam diri manusia, dengan mana manusia meraih apa yang
diinginkannya. Bila motivasi itu hilang, manusia akan melesak ke bawah,
kejadian mana kita sebut “tergelincir”. Sebaliknya, bila motivasi itu timbul,
manusia akan melejit ke atas, kejadian mana kita sebut “menyongsong” (Herman
Soewardi, 2009: 75).
Salah satu penyebab terhadap
kemajuan dan kemunduran suatu bangsa hanya terletak pada satu faktor, ialah
kebutuhan berprestasi atau “need for
achievement”. Hal ini berdampak pula pada hilangannya “human motivation”.
Teori McClelland adalah teori
tentang motivasi manusia. Dalam pandangannya, motivasi manusia inilah yang
merupakan dorongan kekuatan bagi manusia untuk bergerak mencapai apa yang
diinginkannya. Motivasi dari McClelland ini menjadikan orang terlecut untuk
bersaing dalam menciptakan prestasi atau berlomba dalam berbuat kebajikan
(Herman Soewardi, 2009: 41-42).
Asumsi saya akar
mula masyarakat Indonesia kehilangan “human
motivation” karena pelecut motivasi tidak berlandaskan pada
keagamaan melainkan kuat-lemahnya tergantung pada sifat biologi atau sosial.
Dengan demikian, masyarakat Indonesia harus kembali kepada
kesadaran spiritual agar dapat memperoleh kembali
“human motivation” yang telah hilang.
Selain itu, proses kehilangan human motivation di Indonesia disebabkan; (1) tak ada orientasi
ke depan, (2) kurang mempunyai “growth Philosophy”, (3) lebih ‘berpaling’ ke
akherat saja, (4) cepat menyerah, dan 5) bergerak lamban atau inertia. (Herman Soewardi, 2009:
76-77).
Teori-teori Motivasi
Beberapa
Teori Motivasi yang sering digunakan diantaranya adalah :
- Teori Hierarki Maslow
Teori
Hierarki ini dikemukakan oleh seorang psikolog yang bernama Abraham Maslow pada
tahun 1943. Teori ini mengemukakan 5 kebutuhan hidup manusia berdasarkan
Hirarkinya yaitu mulai dari kebutuhan yang mendasar hingga kebutuhan yang lebih
tinggi. Teori ini kemudian dikenal dengan Teori Maslow atau Teori Hirarki
Kebutuhan. Hirarki kelima Kebutuhan tersebut diantaranya adalah :
- Kebutuhan Fisiologis (Physiological needs), yaitu kebutuhan terhadap makanan, minuman, air, udara, pakaian, tempat tinggal dan kebutuhan untuk bertahan hidup. Kebutuhan Fisiologis merupakan kebutuhan yang paling mendasar.
- Kebutuhan Keamanan (Safety needs), yaitu kebutuhan akan rasa aman dari kekerasan baik fisik maupun psikis seperti lingkungan yang aman bebas polusi, perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja serta bebas dari ancaman.
- Kebutuhan Sosial (Social needs), yaitu kebutuhan untuk dicintai dan mencintai. Manusia merupakan makhluk sosial, Setiap orang yang hidup di dunia memerlukan keluarga dan teman.
- Kebutuhan Penghargaan (Esteem needs), Maslow mengemukan bahwa setelah memenuhi kebutuhan Fisiologis, Keamanan dan Sosial, orang tersebut berharap diakui oleh orang lain, memiliki reputasi dan percaya diri serta dihargai oleh setiap orang.
- Kebutuhan Aktualisasi diri (Self-Actualization), Kebutuhan ini merupakan kebutuhan tertinggi menurut Maslow, Kebutuhan Aktualisasi diri adalah kebutuhan atau keinginan seseorang untuk memenuhi ambisi pribadinya.
- Teori ERG Alderfer
Pada
tahun 1969, Clayton Alderfer mempublikasikan artikel tentang kebutuhan manusia
yang berjudul â€Å“An Empirical Test of a New Theory of Human Need. Teori
tersebut merupakan Teori Alternatif terhadap Teori Hirarki Maslow. Teori ini
mengemukan Tiga kebutuhan Manusia yaitu :
- Kebutuhan Eksistensi (Existence needs) yaitu kebutuhan akan pemenuhan faktor fisiologis dan Materialistis termasuk kebutuhan akan rasa aman.
- Kebutuhan Hubungan (Relatedness needs) yaitu kebutuhan untuk memiliki hubungan dengan orang lain.
- Kebutuhan Pertumbuhan (Growth needs) yaitu kebutuhan atau keinginan untuk bertumbuh dan mencapai potensi diri secara maksmal.
Teori
yang dikemukakan oleh Clayton Alderfer ini kemudian dikenal dengan Teori ERG
Alderfer yaitu singkatan dari Existance, Relatedness dan Growth.
- Teori Kebutuhan McClelland
Seorang
Psikolog Amerika Serikat yang bernama David McClelland mengemukan hubungan
antara kebutuhan pencapaian, afiliasi dan kekuasaan pada akhir
1940-an. Teori Kebutuhan McClelland diantaranya adalah :
- Kebutuhan akan Pencapaian (need for achievement)
- Kebutuhan akan Afiliasi (need for affiliation)
- Kebutuhan akan kekuasaan (need for power)
- Teori Motivator-Hygiene Herzberg
Frederick
Herzberg adalah seorang Psikolog Amerika Serikat yang mengemukan Teori
Motivator-Hygiene Herzberg. Teori tersebut didapat dari penelitian terhadap 203
akuntan dan teknisi di area Pittsburgh, Amerika Serikat. Dari hasil penelitian
tersebut ditemukan dua faktor yang berbeda yaitu kepuasan dan ketidakpuasan
dalam bekerja. Teori Motivator-Hygiene Herzberg juga dikenal dengan Teori Dua
Faktor.
- Kepuasan bekerja, yaitu faktor yang berkaitan dengan pengakuan, prestasi, tanggung jawab yang memberikan kepuasan positif. Faktor ini sering disebut juga dengan Faktor Motivator.
- Ketidakpuasan bekerja, yaitu faktor yang berkaitan dengan gaji, keamanan bekerja dan lingkungan kerja yang seringkali memberikan ketidakpuasan. Faktor ini sering disebut dengan Faktor Hygiene.
- Teori Harapan Vroom
Seorang
professor Kanada yang bernama Victor Vroom pada tahun 1964 dalam bukunya yang
berjudul Work and Motivation mengemukan
sebuah Teori Motivasi yang beranggapan bahwa orang-orang termotivasi untuk
melakukan sesuatu karena menginginkan suatu hasil yang diharapkan. Teori
tersebut kemudian dikenal dengan sebutan Teori Harapan atau Expectancy
Theory.
Terdapat 3
konsep Teori Harapan Vroom, yaitu :
- Harapan (Expectancy), yaitu kepercayaan seseorang bahwa suatu usaha akan menghasilkan kinerja tertentu. Effort (Usaha) Performance (Kinerja).
- Instrumentally, yaitu kepercayaan seseorang bahwa suatu kinerja akan mendapatkan hasil tertentu. Performance (Kinerja) Outcome (Hasil)
- Valensi (Valence), yaitu mengarah pada nilai positif dan negatif yang dirujuk oleh orang-orang terhadap sebuah hasil.
4. Profesor Herman Soewardi berpendapat bahwa
masyarakat Indonesia dapat menemukan kembali “human motivation” yang hilang
jika dan hanya jika anak didik dibina untuk dapat memperoleh adab-tinggi dan
karsa-kuat. Bagaimana hal tersebut dapat dilakukan dan bagaimana peran PKn baik
secara sempit dalam konteks persekolahan maupun yang lebih luas.
Human Motivation
Motivasi adalah
proses yang menjelaskan intensitas, arah, dan ketekunan seorang individu
untuk mencapai tujuannya. Tiga elemen utama
dalam definisi ini diantaranya adalah intensitas, arah, dan ketekunan. Motivasi dari McClelland ini menjadikan orang terlecut untuk bersaing
dalam menciptakan prestasi atau berlomba dalam berbuat kebajikan.
Human motivation adalah kekuatan psikis dalam diri
manusia, dengan mana manusia meraih apa yang diinginkannya. Bila motivasi itu
hilang, manusia akan melesak ke bawah, kejadian mana kita sebut “tergelincir”.
Sebaliknya, bila motivasi itu timbul, manusia akan melejit ke atas, kejadian
mana kita sebut “menyongsong” (Herman Soewardi, 2009: 75).
Teori Adab Karsa
Landasan masyarakat islam, sebagaimana diempiriskan
oleh Nabi Muhammad s.a.w., adalah “persaudaraan” (Q.49:10) dan “kekuatan”
(Q.55:33). Masyarakat Indonesia mengalami pengikisan dari kedua landasan itu.
Upaya kearah ini dengan menjalinkan Persaudaraan dan Kekuatan sehingga akan mengetahui bagaimana kaitan antara keduanya. Upaya ini disebut
Teori Adab Karsa. Adab mencerminkan peribadatan dan ketundukan kepada Allah
S.W.T (yang sejalan dengan Persaudaraan), sedangkan Karsa adalah kekuatan itu.
Dalam upaya mempertautkan Persaudaraan dan Kekuatan
ini, maka baik Persaudaraan maupun Kekuatan dilihat dalam bentuk dua kutubnya.
Persaudaraan yang kita sebut ADAB TINGGI, adapun kutub yang satunya lagi
disebut ADAB RENDAH, sedangkan kekuatan disebut Karsa, dilihat dengan dua
kutubnya KARSA KUAT (Qadariah), dan KARSA LEMAH. Maka kita memperoleh 4 kotak :
1). ADAB TINGGI-KARSA KUAT, 2). ADAB RENDAH-KARSA KUAT, 3). ADAB TINGGI-KARSA
LEMAH, 4). ADAB RENDAH-KARSA LEMAH.
Kotak A adalah kotaknya Nabi Muhammad s.a.w yang
mendirikan negara Madinah sebagai ‘Model’ modernisasi yang diridhoi Allah.
Kotak B adalah kotaknya negara/masyarakat Barat Sekuler. Kotak C adalah
kotaknya Negara-negara Berkembang tipe “tertib”, namun yang menghadapi masalah
pertumbuhan. Kotak D adalah negara-negara berkembang tipe “chaos” tumbuh tetapi
mementingkan pembagian pangsa dari pertumbuhan, bukan pertumbuhan itu sendiri.
Negara Indonesia dikhawatirkan masuk di kotak D.
Kotak pertama A, kotaknya Nabi Muhammad s.a.w,
memiliki keduannya, “Persaudaraan” dan “Kekuatan”. Masyarakat bentukan Nabi
Muhammad s.a.w. ini merupakan “model” bagi masyarakat-masyarakat Muslim
sekarang, kemana mereka akan melangkah. Kotak kedua B, ialah kotaknya
masyarakat Barat, kedalam kotak ini telah sampai masyarakat-masyarakat Macan
Asia. Masyarakat ini dari dua tumpuan hanya memiliki satu, ialah “Kekuatan”. Karena
itu jiwa orang dari masyarakat ini adalah “insecurity feeling”, masyarakat
pelampaiasan nafsu. Yang akhirnya mencelakakan mereka sendiri. Namun dengan
kekuatannya, struktur kognisinya menjadi cerdas, dan dapat meraih kemajuan
ilmiah yang “spektakuler”. Demikianlah “Kekuatan” tanpa “Persaudaraan”, dan
akhirnya mereka sampai pada keadaan “Crisis of Modern Science” dan “Resah,
Renggut, Rusak”. Tak patut untuk diteladani oleh masyarakat Muslim. Kotak
keempat D, keadaannya lebih buruk dari kotak kedua. Kotak ini tidak memiliki
sama sekali dari “Persaudaraan” dan “Kekuatan”. Karena itu sebutan yang pantas
untuk masyarakat ini adalah “Freedom in Chaos”, atau kebebasan yang bersifat
kesembrawutan. Hukum dominan yang berlaku pada masyarakat itu adalah “Hukum Rimba”
yang kuat makan si lemah, dan “menghalalkan segala cara”.
Dengan kemajuan ini, kita harus melaksanakan
pembangunan. Pembangunan tak lain adalah memperkuat diri. Bagi kita terbuka dua
alternatif: dengan Persaudaraan (ADAB TINGGI) atau tanpa Persaudaraan (ADAB
RENDAH). Pembangunan di negara Indonesia harus disertai penerapan nilai-nilai
Pancasila, Keagamaan dan nilai-nilai Spiritual sebagai yang berkedudukan
sentral. Dalam masalah ini hanya bisa dengan satu jalan saja, ialah memberikan
posisi sentral kepada agama dan moralitas dalam pembangunan. Tegasnya kita
harus memberikan kedudukan moral dalam membangun.
Teori Adab Karsa, yang didukung dengan bukti-bukti
empirikal, menunjukkan kepada kita bahwa Adab dan Karsa itu sifatnya substitututable, bukan necessary. Kita lebih baik memandang
hubungan kausal antara rasionalitas dan Karsa. Rasionalitas itu sendiri
merupakan sifat manusia, semua manusia, namun Karsalah yang menunjukkan sampai
apa yang dapat dicapai oleh rasionalitas itu. Namun yang perlu dirubah dalam
diri para Muslim adalah Karsa yang lemah, agar menjadi kuat. Hal ini akan
dicapai bila kita menggeser faham Jabariah manjadi Qadariah. Demikianlah,
perubahan Struktur Kognitif benar merupakan prasyarat untuk timbulnya Karsa
yang kuat, tapi merubah Struktur Kognitif itu saja tidak cukup untuk
menimbulkan Karsa yang kuat. Berupaya menimbulkan Karsa yang kuat merupakan hal
tersendiri yang perlu disadari dalam pelaksanaan Pembangunan.
Realita
yang ada dalam Negara Idonesia saat ini untuk lapisan atas banyak pelanggaran
normatif atau menghalalkan segala cara sedangkan untuk lapisan bawah kelemah karsaan, sehingga sulit menanjak
(Herman Soewadi, 2009: 81).
Peran Pendidikan Kewarganegaraan
Keberadaan Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) dalam
konteks pembinaan generasi muda menjadi seorang warganegara dewasa. Anak adalah
warganegara hipotetik, yakni warganegara yang “belum jadi” karena masih harus
dididik menjadi warganegara dewasa yang sadar akan hak dan kewajibannya
(Budimansyah, 2007: 11).
Oleh
karena itu masyarakat sangat mendambakan generasi mudanya
dipersiapkan untuk menjadi warganegara yang baik dan dapat berpartisipasi dalam
kehidupan masyarakat dan negaranya yang tentu memiliki adab-tinggi dan karsa-kuat.
Sampai
saat ini PKn sudah menjadi bagian inheren dari instrumentasi serta praksis
pendidikan nasional untuk mencerdaskan kehidupan bangsa Indonesia melalui
koridor “value-based education”.
Konfigurasi atau kerangka sistemik PKn dibangun atas dasar paradigma sebagai
berikut (Budimansyah, 2008:180).
Setiap warga negara dibina untuk dapat memperoleh
adab-tinggi dan karsa-kuat. Hal ini dapat dilakukan melalui peran PKn baik
secara sempit dalam konteks persekolahan maupun yang lebih luas, antara lain :
Pertama, PKn secara
kurikuler dirancang sebagai subjek pembelajaran yang bertujuan untuk
mengembangkan potensi individu agar menjadi warga negara Indonesia yang
berakhlak mulia, cerdas, partisipatif, dan bertanggung jawab, berperan sebagai
wahana pemuliaan dan pemberdayaan anak dan pemuda sesuai dengan potensinya agar
menjadi warganegara yang cerdas dan baik (smart
and good citizen). Pemikiran ini didasari oleh asumsi bahwa untuk mendidik
anak menjadi warganegara yang cerdas dan baik harus dilakukan secara sadar dan
terencana dalam suatu proses pembelajaran agar mereka secara aktif
mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan,
pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan
yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Proses pembinaan warganegara
yang melibatkan aspek psikopedagogis dengan pendekatan psycho-paedagogical development.
Kedua, PKn secara
teoretik dirancang sebagai subjek pembelajaran yang memuat dimensi-dimensi
kognitif, afektif, dan psikomotorik yang bersifat konfluen atau saling
berpenetrasi dan terintegrasi dalam konteks substansi ide, nilai, konsep, dan
moral Pancasila, kewarganegaraan yang demokratis, dan bela negara.
Ketiga, PKn secara
programatik dirancang sebagai subjek pembelajaran yang menekankan pada isi yang
mengusung nilai-nilai (content-embedding
values) dan pengalaman belajar (learning
experiences) dalam bentuk berbagai perilaku yang perlu diwujudkan dalam
kehidupan sehari-hari dan merupakan tuntunan hidup bagi warga negara dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara sebagai penjabaran lebih
lanjut dari ide, nilai, konsep, dan moral Pancasila, kewarganegaraan yang
demokratis, dan bela negara.
Keempat, PKn sebagai
gerakan sosio-kultural kewarganegaraan yang berperan sebagai wahana aktualisasi
diri warganegara baik secara perorangan maupun kelompok sesuai dengan hak,
kewajiban, dan konteks sosial budayanya, melalui partisipasi aktif secara
cerdas dan bertanggung jawab. Pemikiran ini didasari oleh asumsi bahwa
kewarganegaraan bertalian dengan masyarakat, karena disamping secara historis
konsep tersebut tumbuh bersamaan dengan perkembangan identitas manusia sebagai
makhluk sosial politik, juga disebabkan oleh adanya usaha mewujudkan orde
sosial yang baik dan diharapkan (desirable)
melalui penguatan nilai-nilai dalam masyarakat. Karena yang dibangun dalam
gerakan sosio-kultural kewarganegaraan itu pranata sosial yang berunsurkan
sistem nilai dan norma, maka masyarakat dan komunitas dalam hal ini perlu
menyediakan ruang publik bagi warganegara untuk ber-PKn (doing PKn). Analisis
sosiologis terhadap perkembangan masyarakat kita dewasa ini menunjukkan bahwa
akar dari berbagai masalah sosial budaya ini dapat digolongkan kedalam empat
masalah dasar yang perlu menjadi agenda dalam gerakan sosio-kultural
kewarganegaraan, yakni masalah kerukunan, kepedulian, kemandirian, dan
demokrasi. Proses pembinaan warganegara yang melibatkan pranata sosial yang
berunsurkan sistem nilai dan norma ini saya namakan pendekatan socio-cultural Development.
Kelima, PKn sebagai program pendidikan
politik kebangsaan bagi para penyelenggara negara, anggota dan pimpinan
organisasi sosial dan organisasi politik yang dikemas dalam berbagai bentuk
pembinaan pengetahuan kewarganegaraan (civic
knowledge), kecakapan kewarganegaraan (civic
skills), dan kebajikan kewarganegaraan (civic
disposition) yang mengacu pada prinsip konseptual-pedagogis untuk
mengembangkan daya nalar (state of mind),
bukan wahana indoktrinasi politik, dan sebagai suatu proses pencerdasan.
Pemikiran ini didasarkan pada asumsi bahwa peran negara dalam membina
warganegara tidak dapat dihilangkan dengan menguatnya masyarakat civil (civil society). Negara sebagai suatu
organisasi puncak memiliki kekuasaan untuk meningkatkan partisipasi yang
bermutu dan bertanggung jawab dari warganegara dalam kehidupan politik dan
masyarakat baik pada tingkat lokal maupun nasional. Partisipasi semacam itu
memerlukan penguasaan sejumlah kompetensi kewarganegaraan yang penting
diantaranya (1) penguasaan terhadap pengetahuan dan pemahaman tertentu; (2) pengembangan
kemampuan intelektual dan partisipatoris; (3) pengembangan karakater dan sikap
mental tertentu; dan (4) komitmen yang benar terhadap nilai dan prinsip dasar
demokrasi konstitusional. Proses pembinaan warganegara melalui pendidikan
politik kebangsaan ini saya namakan pendekatan socio-political intervention.
DAFTAR PUSTAKA
Budimansyah dan Suryadi. 2008. PKn dan Masyarakat Multikultural. Bandung: Program Studi PKn UPI.
Harjasujana,
A.S. & Damaianti, V.S. 1996. Membaca dalam Teori dan
Praktik. Bandung: Mutiara.
Soewardi, Herman. 2009. Roda Berputar
Dunia Bergulir, Kognisi Baru Tentang Timbul Tenggelamnya
Sivilisasi. Bandung: Bakti
Mandiri.
Tarigan,
Henry Guntur. 1984. Membaca Sebagai Suatu
Keterampilan Berbahasa. Bandung: Angkasa.
Winataputra & Budimansyah. 2007. Civic Education : konteks, landasan, bahan
ajar dan kultur kelas. Bandung: Prodi
PKn SPs UPI.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar