Jumat, 08 September 2017

MENGHORMATI

Orang-orang di masa lalu, menghormati pohon, bukan berarti memuja pohon, tapi mereka menghormati kehidupan, menghormati alam yang berkembang, dan takut pada ketidakseimbangan alam.
Ajaran leluhur kita hampir semuanya berada dalam satu pusaran : "KESEIMBANGAN". Seperti tata kota misalnya "Keseimbangan Tata Ruang", ada kekuasaan di pusat namanya Keraton, ada tempat rakyat berkumpul dan gembira namanya alun alun, ada tempat ibadah besar seperti Masjid Agung, ada tempat berkumpul dan mendengarkan suara rakyat, bermusjawarah dan bermufakat namanya "Pendopo", ada tempat mengirimkan kabar, namanya Kantor Pos besar, di jaman Sultan Agung Kantor Pos sudah ada, mereka mengirim kabar secara berantai dari satu tempat ke tempat lain.
Keseimbangan alam, lingkungan dan pranata sosial adalah makna sesungguhnya kehidupan orang orang di Nusantara ini, seperti Pasar Pasar-pun berputar tempat sesuai urutan hari, agar tidak ada monopoli ekonomi. Semua didasarkan pada nilai nilai kolektif Gotong Royong, kekuasaan Kapital ada di Negara, bukan kaum cukong. Nafsu akan kebendaan dikalahkan untuk menghidupi fungsi fungsi sosial dalam kekuasaan. Inilah kenapa sepanjang sejarah kekuasaan Jawa belum pernah ada saudagar kaya raya yang melampaui kekuasaan para Raja. Dalam tubuh Raja ada simbolik Tri Hita Karana : "Manusia Dengan Tuhan", Manusia Dengan Lingkungan, Manusia Dengan Sesama Manusia". Tiga fundamen dasar inilah yang jadi penentu dimulainya filsafat Gotong Royong, sebuah kerja kolektif ala orang orang Nusantara.
Pergeseran pandangan soal alam Kebendaan yang dibentuk oleh Orde Baru ini harus kembali pelan pelan digeser kembali ke alam Gotong Royong. Di masa Orde Baru, semua nilai nilai adalah Kapital, sama persis seperti apa yang dilakukan di masa ketika VOC mengenalkan sistem moneter dan sistem rente, mengenalkan dasar dasar sistem monetize penyewaan tanah. Disitulah awal dirusaknya manusia Indonesia oleh Uang. Ketika Tri Hita Karana diubah menjadi Kekuatan Uang, ketika ruh manusia Indonesia dirusak dengan ide ide liberal yang berkembang pasca selesainya Perang Diponegoro dan berkembangnya perkebunan perkebunan modal asing, disitu pula pelan pelan Jiwa Nusantara kehilangan wibawanya.
Salah satu tujuan terbentuknya alam Republik ini adalah menghidupkan kembali Wibawa Nusantara, menghidupkan kembali "Tujuan Tujuan Manusia Indonesia menjadi dirinya sendiri". Dari sini Bung Karno di tahun 1959 menemukan apa yang disebut Pemulihan kehidupan, "Menemukan Kembali Revolusi Indonesia".
Revolusi Indonesia pertama tama diarahkan pada "Kondisi Persatuan Nasional" secara absolut dibawah kepemimpinan yang kuat, Kedua Setelah Persatuan Nasional terjadi secara absolut dikembangkan "Revolusi Sosial" dimana alam Liberalisme, Feodalisme berdasarkan Nilai Nilai Kebendaan dan Kapitalisme dihabisi. Kekuatan Kapital berada dalam kendali negara, Pendidikan Pendidikan Murah karena negara bertanggung jawab penuh soal itu, Kesehatan Publik murah, dunia kesehatan tidak dirusak oleh nafsu soal uang, kemudian perumahan dikendalikan sesuai tata lingkungan negara. Bukan diberikan kepada kaum Kapitalis.
Inilah yang disebut sebagai Negara Gotong Royong, dan kenapa dulu Bung Karno memberikan nama "DPRGR", Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong, karena sepenuhnya dalam alam Demokrasi Terpimpin, Gotong Royong menjadi alam filosofis para politisi di Parlemen, bukan orang orang Parlemen diisi oleh pemain pemain proyek anggaran negara. Tapi diisi oleh kaum politisi yang sadar akan nilai gotong royong itu.
Rusaknya manusia Indonesia oleh uang itu bisa dilihat bagaimana modal merampas tanah tanah sakral seperti tanah kaum Sunda Wiwitan yang diurapi secara kebatinan oleh para leluhur kita.
Multikultural bukan sesederhana mengenalkan perbedaan pakaian adat, tapi memahami bahwa tiap bagian manusia, tiap bagian masyarakat memiliki "jalan hidup kebijakannya dari waktu ke waktu" dan itu harus kita hormati, termasuk negara menghormati kebajikan adat yang hidup dalam sejarah negeri ini.
-Anton DH Nugrahanto-.

ARAH POLITIK


Salah satu kelemahan bangsa kita ini adalah selalu berkiblat pada kebanggaan kebanggaan asing. Termasuk dalam membentuk pola mimpi politik.
Dulu kaum politisi kiri mengidolakan Sovjetisme dalam berpolitik dan menguasai keadaan, hal ini kemudian dikoreksi oleh Tan Malaka bahwa keadaan terbaik, pemeriksaan terbaik dalam alam politik harus dikembalikan pada persoalan persoalan lokal, persoalan persoalan bangsa sendiri. Inilah kenapa kemudian Tan Malaka dimusuhi kaum Komintern dan ingin dihabisi. Di sisi lain banyak kaum kanan mengidolakan Amerika Serikat sebagai kekuatan Liberal bahkan paham Liberal menyusup ke segala lini, dari kebudayaan sampai Agama. Bung Karno sendiri sangat membenci paham liberal itu, karena ini yang merusak jiwa bangsa Indonesia sebenarnya yaitu Gotong Royong. Jadi naif misalnya orang berpaham liberal kok mengaku aku Sukarnois. Karena itu sudah Contradictio in Terminis, bentrok dari akarnya. Kecuali memang orang Liberal itu hanya ingin ndompleng nama Sukarno dalam kepentingan politiknya.
Inilah kenapa Bung Karno bila bercerita di podium podium selalu membangga banggakan Nusantara, membangga banggakan Sriwijaya, membangga banggakan Majapahit. Ini bukan soal Chauvinis, tapi mengembalikan alam bawah sadar rakyat ini untuk menemukan kembali kebesarannya, kekuatan dirinya sebagai manusia.
Orang Indonesia itu hebat hebat, tapi tidak pernah sadar bahwa dirinya hebat karena mereka masih saja mengagung agungkan bangsa asing...
Kembalilah ke alam dasar bangsa Indonesia, Gotong Royong dan banggalah pada bangsamu sendiri...

Comments system

Disqus Shortname