BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Pendidikan
adalah suatu proses mentransfer ilmu dari pendidik kepada peserta didik.
Ilmu yang ditransfer umumnya ilmu pengetahuan yang bersifat memberi pengetahuan peserta didik dengan harapan peserta didik mampu mengetahui segala macam keadaan alam, sosial dan kebudayaan yang ada di dunia. Misalnya pada pendidikan formal atau sekolah, obyek utama dalam proses pendidikan adalah ilmu pengetahuan.
Ilmu yang ditransfer umumnya ilmu pengetahuan yang bersifat memberi pengetahuan peserta didik dengan harapan peserta didik mampu mengetahui segala macam keadaan alam, sosial dan kebudayaan yang ada di dunia. Misalnya pada pendidikan formal atau sekolah, obyek utama dalam proses pendidikan adalah ilmu pengetahuan.
Pendidikan
merupakan sebagian dari kehidupan masyarakat dan juga sebagi dinamisator masyarakat
itu sendiri. Memang kita semua mengatahui betapa sektor pendidikan selalu
terbelakang dalam berbagai sektor pembangunan lainnya, bukan saja karena sektor
itu lebih dilihat sebagi sektor konsumtif, juga karena “by definition”
pendidikan adalah penjaga status quo masyarakat itu sendiri.
Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia pendidikan yang berarti “education” adalah
proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha
mendewasakan manusia melalui pengajaran dan pelatihan. Sedangkan pengetahuan
adalah segala sesuatu yang diketahui berkenaan dengan hal (mata pelajaran).
Pendidikan adalah aktivitas dan usaha manusia untuk meningkatkan kepribadiannya
dengan jalan membina potensi-potensi pribadinya. Sedangkan pengetahuan adalah objek
dari pada manusia melakukan proses pendidikan itu sendiri. Pendidikan merupakan
sebagian dari kehidupan masyarakat dan juga sebagai dinamisator masyarakat itu
sendiri.
Adapun
pengetahuan menurut Hasanah (2007: 104) pada hakikatnya merupakan segenap apa
yang kita ketahui tentang suatu obyek tertentu, termasuk ke dalamnya adalah
ilmu, jadi ilmu merupakan bagian dari pengetahuan yang diketahui oleh manusia
di samping berbagai pengetahuan lainnya seperti seni dan agama. Bahkan seorang
anak kecil pun telah mempunyai berbagai pengetahuan sesuai dengan tahap
pertumbuhan dan kecerdasannya.
Pengetahuan
merupakan khasanah kekayaan mental yang secara langsung atau tak langsung turut
memperkaya kehidupan kita. Sukar untuk dibayangkan bagaimana kehidupan manusia
seandainya pengetahuan itu tidak ada, sebab pengetahuan merupakan sumber
jawaban bagi berbagai pertanyaan yang muncul dalam kehidupan. Setiap jenis
pengetahuan mempunyai ciri-ciri yang spesifik sebagaimana Suriasumantri (2007:
105) menjelaskan bahwa mengenai apa (ontology), bagaimana (aksiologi),
dan untuk apa (aksiologi) pengetahuan tersebut disusun. Ketiga landasan
ini saling berkaitan; jadi ontology ilmu terkait dengan epistemology
dan aksiologi ilmu.
Ketika
kita berbicara pendidikan maka terbatas pada lingkup tentang pendidikan itu
sendiri. Berkaitan dengan itu, pengetahuan tentang pendidikan dikumpulkan oleh
ilmu dengan tujuan untuk menjawab permasalahan kehidupan yang sehari-hari
dihadapi manusia. Pengetahuan ilmiah alias ilmu dapat diibaratkan sebagai alat
bagi manusia dalam memecahkan berbagai persoalan yang dihadapinya khususnya
yang berkaitan dengan pendidikan.
Berdasarkan
landasan ontology dan aksiologi seperti itu maka bagaimana
sebaiknya kita mengembangkan landasan epistemology yang cocok? Khususnya
tentang pendidikan. Persoalan utama yang dihadapi oleh epistemology
pengetahuan pada dasarnya adalah bagaimana mendapatkan pengetahuan yang benar
dengan memperhitungkan aspek ontology dan aksiologi. Demikian halnya
dengan masalah yang dihadapi epistemology keilmuan yakni bagaimana
menyusun pengetahuan yang benar untuk menjawab permasalahan mengenai dunia
pendidikan. Permasalahan ini yang penulis tuangkan dalam bentuk karya tulis
makalah dengan judul Pendidikan
Sebagai Ilmu Pengetahuan, Kajian ”Ontologis,
Epistimologis, dan Aksiologis.
B.
Rumusan Masalah
Filsafat ilmu itu sangat luas, oleh
karena itu penulis membatasi rumusan masalah dengan batasan sebagai berikut:
1.
Apa hakikat dari sebuah pendidikan?
2.
Bagaimana ilmu pengetahuan itu
diperoleh?
3.
Apa pentingnya ilmu dan pengetahuan
dalam kehidupan?
4. Bagaimana pendidikan di dalam ilmu
pengetahuan (ontologism, epistemology, dan aksiologi?
C.
Tujuan Penulisan
1. Untuk
mengetahui hakikat dari sebuah pendidikan.
2. Untuk
mengetahui bagaimana ilmu pengetahuan itu diperoleh manusia.
3. Untuk
mengetahui pentingnya ilmu dan pengetahuan dalam kehidupan.
4. Untuk
mengetahui bagaimana pendidikan di dalam ilmu pengetahuan (ontologism,
epistemology, dan aksiologi?
D.
Metode penulisan
Penulis
menggunakan metode penulisan kajian literature, pustaka, dengan pendekatan
kualitatif deskriptif. Sehingga akan lebih mudah untuk memaparkan dan
menjelaskan materi ini.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Hakikat
Pendidikan
Seseorang dapat dikatakan telah menjadi manusia
bila telah memiliki nilai (sifat) kemanusiaan itu sendiri. Itu menunjukan bahwa
tidaklah mudah menjadi manusia. Karena itulah sejak dahulu banyak manusia gagal
menjadi manusia. Jadi tujuan mendidik ialah memanusiakan manusia. Tafsir (2008:
35).
Filsafat muncul di Yunani semenjak kira-kira
abad ke-7 SM. Filsafat muncul ketika orang-orang mulai berpikir-pikir dan
berdiskusi akan keadaan alam, dunia, dan lingkungan di sekitar mereka dan tidak
menggantungkan diri kepada agama lagi untuk mencari jawaban atas
pertanyaan-pertanyaan ini. Banyak yang bertanya-tanya mengapa filsafat muncul
di Yunani dan tidak di daerah yang beradab lain kala itu seperti Babilonia,
Yudea (Israel) atau Mesir. Jawabannya sederhana: di Yunani, tidak seperti di
daerah lain-lainnya tidak ada kasta pendeta sehingga secara intelektual orang
lebih bebas. Orang Yunani pertama yang bisa diberi gelar filosof ialah Thales
dari Mileta, sekarang di pesisir barat Turki. Tetapi filosof-filosof Yunani
yang terbesar tentu saja ialah: Socrates, Plato, dan Aristoteles. Socrates
adalah guru Plato sedangkan Aristoteles adalah murid Plato. Bahkan ada yang
berpendapat bahwa sejarah filsafat tidak lain hanyalah “komentar-komentar karya
Plato belaka”. Hal ini menunjukkan pengaruh Plato yang sangat besar pada
sejarah perkembangan filsafat hingga saat ini.
Semua orang mengambil bagian bila yang
dibicarakan adalah pendidikan, itu mudah dipahami karena semua orang
berkepentingan dengan pendidikan. Orang yang ingin memperbaiki seseorang,
sekelompok orang, suatu negara dan bahkan dunia, pasti akan melakukannya
langsung atau tidak langsung melalui pendidikan. Alasannya Pertama,
fitrah setiap orang menginginkan yang lebih baik. Ia menginginkan pendidikan
yang lebih baik seklaipun belum tentu ia tahu mana pendidikan yang lebih baik .
Kedua, karena teori pendidikan dan teori pada umumnya selalu ketinggalan
oleh kebutuhan masyarakat pada tempat dan waktu tertentu. Menurut Tafsir (2008:
42) bahkan perubahan tempat dan waktu itu ikut pula mengubah sifat manusia.
Karena adanya perubahan maka masyarakat merasa tidak puasa dengan teori
pendidikan yang ada. Ketiga, karena pengaruh pandangan hidup, pada suatu
waktu mungkin seseorang telah puas dengan keadaan pendidikan di tempatnya
karena sudah sesuai dengan pandangan hidupnya, seuatu ketika ia terpengaruhi
oleh pandangan hidup yang lain. Akibatnya berubah pula pendapatnya tentang
pendidikan yang tadinya sudah memuaskan.
B. Kajian Ontologis Tentang Objek Ilmu
Pertama-tama pada latar filsafat
diperlukan dasar ontologis dari ilmu pendidikan. Adapun aspek realitas yang
dijangkau teori dan ilmu pendidikan melalui pengalaman panca indra ialah dunia
pengalaman manusia secara empiris. Objek materil ilmu menurut Hasbulloh (2008:
54) pendidikan ialah manusia seutuhnya, manusia yang lengkap aspek-aspek
kepribadiannya, yaitu manusia yang berakhlak mulia dalam situasi pendidikan
atau diharapkan melampaui manusia sebagai makhluk sosial mengingat sebagai
warga masyarakat ia mempunyai ciri warga yang baik (good citizenship).
Ilmu memulai penjelajahannya pada pengalaman
manusia dan berhenti dibatas pengalaman manusia, dan ilmu hanya membatasi daripada
hal-hal yang berbeda dalam batas pengalaman kita karena terletak pada fungsi
ilmu itu sendiri dalam kehidupan manusia: yakni sebagai alat pembantu
manusia dalam menanggulangi masalah-masalah yang dihadapinya sehari - hari.
Ditegaskan kembali oleh Suriasumantri (2007: 93), bahwa ilmu membatasi lingkup
penjelajahannya pada batas pengalaman manusia juga disebabkan metode yang
dipergunakan dalam menyusun yang telah teruji kebenarannya secara empiris. Ilmu
berkembang dengan sangat pesat dan demikian juga jumlah cabang-cabangnya. Pada
dasarnya cabang-cabang ilmu tersebut berkembang dari dua cabang utama yakni
filsafat alam yang kemudian menjadi rumpun ilmu-ilmu alam dan filsafat moral
yang kemudian berkembang ke dalam cabang ilmu-ilmu social.
Ilmu pendidikan atau Paedagogiek adalah teori
pendidikan perenungan tentang pendidikan dalam arti yang luas. Ilmu pendidikan
adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari soal-soal yang timbul dalam praktik
pendidikan (Hamalik, 2010: 56). Ilmu pendidikan telah berkembang dan memenuhi
persyaratan sebagai ilmu pengetahuan yang berdiri sendiri. Ilmu pengetahuan
dapat berdiri sendiri apabila telah memenuhi persyaratan yaitu 1) memiliki
objek sendiri, 2) metode penyelidikan, 3) sistematika, dan 4) tujuan
sendiri.
Kegiatan pendidikan terjadi dalam hubungan
orang tua dengan anak. Orang tua mengajak anak laki-laki pergi kebudayaan
ladang, berburu agar anak memiliki ketrampilan berladang dan berburu. Seorang
ibu membimbing anak untuk bekerja di lingkungan keluarga, agar anaknya memiliki
kemampuan dalam mengurus kehidupan rumah tangga. Masih banyak lagi
kegiatan-kegiatan yang lain yang merupakan aktifitas pendidikan berlangsung
dalam kehidupan sehari-hari. Dari tinjauan sejarah pendidikan kelahiran ilmu
pendidikan diawali dengan lahirnya tokoh-tokoh pemikir dalam bidang pendidikan.
Pada abad 18 lahirlah tokoh-tokoh seperti J. A Comeniu, John Locke, Jean Jaques
Rousseau, Immanuelkant dan J. J Pestalozzi. Sedangkan tokoh-tokoh pendidikan
abad 19 hingga awal abad 20 diantaranya adalah Herbart, Frobel, Montessori,
John Dewey dan lain-lain. Bermula dari pemikir-pemikir tersebut maka ilmu
pendidikan terus berkembang hingga saat ini.
Manusia dikenal sebagai
makhluk berfikir. Hal inilah yang menjadikan manusia istimewa dibandingkan makhluk lainnya. Kemampuan berpikir atau daya nalar manusialah yang menyebabkannya
mampu mengembangkan pengetahuan. Dia mengetahui mana yang benar dan mana yang
salah, mana yang baik dan mana yang buruk, yang indah dan yang jelek. Secara
terus menerus manusia diberikan berbagai pilihan. Dalam melakukan pilihan ini
manusia berpegang pada pengetahuan.
Pengetahuan ini mampu
dikembangkan manusia disebabkan dua hal utama, yaitu: pertama, manusia
mempunyai bahasa yang mampu mengkomunikasikan informasi dan jalan
pikiran yang melatarbelakangi informasi tersebut. Kedua, kemampuan
berfikir menurut suatu kerangka berfikir tertentu. Kedua faktor diatas
sangat berkaitan erat. Terkadang sebagian manusia begitu sulit untuk
mengkomunikasikan informasi, pengetahuan dan segala yang ingin
dikomunikasikannya. Hal ini salah satunya dikarenakan tidak terstrukturnya
kerangka berfikir. Kerangka berfikir akan terstruktur ketika obyek dari apa
yang ingin dikomunikasikan jelas. Begitupun ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan memiliki ciri-ciri umum sebagai berikut:
a.
Adanya aktifitas berfikir,
meneliti dan menganalisa.
b.
Adanya metode tertentu dan
sistematika tertentu.
c.
Adanya obyek tertentu.
Tahap
ontologis, membuat manusia terbebas dari kepungan kekuatan-kekuatan gaib,
sehingga mampu mengambil jarak dari obyek di sekitarnya, dan dapat menelaahnya.
Orang-orang yang tidak mengakui
status ontologis obyek-obyek metafisika pasti tidak akan mengakui status-status
ilmiah dari ilmu tersebut. Itulah mengapa tahap ontologis dianggap merupakan
tonggak ciri awal pengembangan ilmu.
1. Ilmu Pengetahuan dan Syarat-syaratnya
Menurut Dimyati
(2006: 34), ilmu pengetahuan ialah suatu uaraian yang lengkap dan tersusun
tentang suatu objek. Sedangkan Hariyanto (2011: 24) mengartikan bahwa ilmu
pengetahuan ialah uraian yang sistematis dan metodis tentang suatu hal atau
masalah. Adapun syarat-syaratnya adalah:
a) Objek formal sendiri
b) Metode penelitian
c)
Sistematika uraian
2. Kedudukan Ilmu Pendidikan pada Ilmu
Pengetahuan
Dari masa ke
masa ilmu pendidikan selalu berkembang dan banyak bermunculan ilmu baru yang
memisahkan diri dari induknya. Munculnya ilmu baru itu karena telah memenuhi
syarat maka ia berhak berdiri sendiri. Untuk dapat di ketahui mana cabang dan
mana induk dari ilmu pengetahuan maka perlu diadakannya
penggolongan-penggolongan sehingga dapat di ketahui kedudukan masing-masing
ilmu. Pendidikan sendiri mempunyai unsur-unsur pembentuk.
“No problem, no science”. Ungkapan O’Neil (2012: 198) ini seolah sederhana namun padat akan makna. Dari ungkapan ini kita bisa
mengetahui bahwasanya ilmu pengetahuan muncul dari adanya permasalahan
tertentu. Ilmu pengetahuan, menurutnya, diperoleh dari pemecahan
suatu masalah keilmuan. Tidak ada masalah, berarti tidak ada solusi. Tidak ada
solusi berarti tidak memperoleh metode yang tepat dalam memecahkan masalah. Ada
metode berarti ada sistematika ilmiah. Setiap ilmu
pengetahuan pasti mempunyai obyek. Obyek dapat dibedakan menjadi dua bagian,
yaitu: Obyek material dan obyek formal.
Yang disebut obyek
material adalah sasaran material suatu penyelidikan, pemikiran atau
penelitian ilmu. Sedangkan menurut Tafsir (2009:
56) obyek material dimaknai dengan suatu bahan yang menjadi tinjauan
penelitian atau pembentukan pengetahuan. Obyek material juga berarti hal yang
diselidiki, dipandang atau disorot oleh suatu disiplin ilmu. Obyek material
mencakup apa saja, baik yang konkret maupun yang abstrak, yang materil
maupun yang non-materil. Bisa pula berupa hal-hal, masalah-masalah,
ide-ide, konsep-konsep dan sebagainya. Misalnya: objek material dari sosiologi adalah manusia. Contoh lainnya, lapangan
dalam logika adalah asas-asas yang menentukan pemikiran yang lurus,
tepat, dan sehat. Maka, berpikir merupakan obyek material logika. Istilah obyek material sering juga disebut pokok persoalan (subject
matter).
Obyek formal adalah pendekatan-pendekatan secara cermat dan bertahap menurut segi-segi
yang dimiliki obyek materi dan menurut kemampuan seseorang. Obyek formal
diartikan juga sebagai sudut pandang yang ditujukan pada bahan dari penelitian
atau pembentukan pengetahuan itu, atau sudut pandang darimana obyek material
itu disorot. Menurut Usman (2008: 13) Obyek formal suatu ilmu tidak hanya memberikan keutuhan ilmu, tetapi pada
saat yang sama membedakannya dari bidang-bidang lain. Suatu obyek material
dapat ditinjau dari berbagai sudut pandang sehingga menghasilkan ilmu yang
berbeda-beda. Ditegaskan lagi oleh Syarifudin (2006: 24) karena itu, akan tergambar lingkup suatu pengetahuan mengenai sesuatu hal
menurut segi tertentu.
Misalnya, obyek
materialnya adalah “manusia”, kemudian, manusia ini ditinjau dari sudut pandang
yang berbeda-beda sehingga ada beberapa ilmu yang mempelajari manusia,
diantaranya: psikologi, antropologi, sosiologi dan sebagainya.
3.
Implikasi Obyek Material
dan Obyek Formal
Persoalan-persoalan umum
(implikasi dari obyek material dan obyek formal) yang ditemukan dalam bidang
ilmu khusus itu antara lain sebagai berikut:
a. Sejauh mana batas-batas
atau ruang lingkup yang menjadi wewenang masing-masing ilmu khusus itu, dari
mana ilomu khusus itu dimulai dan sampai mana harus berhenti.
b. Apakah persoalan
kausalitas (hubungan sebab-akibat yang berlaku dalam ilmu kealam-an juga
berlaku juga bagi ilmu-ilmu sosial maupun humaniora.
c. Dimanakah sesungguhnya
tempat-tempat ilmu khusus dalam realitas yang melingkupinya.
d.
Metode-metode yang dipakai
ilmu tersebut berlakunya sampai dimana.
C.
Kajian
Epistemologi tentang Metode Ilmiah
Metode merupakan hal yang
sama pentingnya dalam lapangan ilmu pengetahuan. Tanpa adanya metode yang
teratur dan tertentu, penyelidikan atau pembahasan kurang dapat dipertanggungjawabkan
dari segi keilmuan. Dari segi metode inilah akan terlihat ilmiah tidaknya suatu
penyelidikan atau pembahasan itu.
Pendidikan merupakan suatu pemikiran yang praktis dan
membutuhkan teori dalam menciptakan sistem pendidikan yang ideal. Oleh
sebab itu pendidikan harus berangkat dari filsafat yang khusus dan condong
membahas tentang pendidikan. Apalagi jika ada beberapa pertanyaan radikal
tentang pendidikan yang berhubungan dengan ilmu-ilmu sosial dan alam. Berfikir
filosofis pada satu sisi dan di pihak lain pengalaman dan penyelidikan empiris
berjalan bersama-sama. Maka filsafat merupakan suatu pengetahuan teoritis dan
pedagogic merupakan pengetahuan praktis yang menentukan suatu pendidikan itu
efektif.
Ilmu pendidikan sebagai ilmu pengetahuan
memiliki metode penelitian yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Metode tersebut mencakup metode untuk mengumpulkan data maupun metode untuk
mengolah data. Metode pengumpulan data dapat dilakukan melalui observasi, tes,
interview, angket dan lain-lain. Metode untuk menganalisis data dapat
menggunakan data analisis statistik maupun non statistik. Metode berfikir yang
digunakan menganalisis dapat menggunakan metode induktif ataupun deduktif.
Epistimologi
berasal dari bahasa Yunani yakni episcmc yang berarti knowledge, pengetahuan dan logos yang
berarti teori. Istilah ini pertama kali dipopulerkan oleh J.F. Ferier tahun
1854 yang membuat dua cabang filsafat yakni epistemology dan ontology (on
= being, wujud, apa + logos = teori ), ontology (teori tentang apa).
Secara
sederhana dapat dikatakan bahwa filsafat ilmu adalah dasar yang menjiwai
dinamika proses kegiatan memperoleh pengetahuan secara ilmiah. Ini berarti
bahwa terdapat pengetahuan yang ilmiah dan tidak ilmiah. Adapun yang tergolong
ilmiah ialah yang disebut ilmu pengetahuan atau singkatnya ilmu saja, yaitu
akumulasi pengetahuan yang telah disistematisasi dan diorganisasi sedemikian
rupa; sehingga memenuhi asas pengaturan secara prosedural, metologis, teknis,
dan normatif akademis. Dengan demikian teruji kebenaran ilmiahnya sehingga
memenuhi kesahihan atau validitas ilmu, atau secara ilmiah dapat
dipertanggungjawabkan. Sedang pengetahuan tidak ilmiah adalah yang masih
tergolong pra-ilmiah. Dalam hal ini berupa pengetahuan hasil serapan inderawi
yang secara sadar diperoleh, baik yang telah lama maupun baru didapat. Di
samping itu termasuk yang diperoleh secara pasif atau di luar kesadaran seperti
ilham, intuisi, wangsit, atau wahyu (oleh nabi). Jika dikaitkan dengan pendapat
yang di sampaikan oleh Ahmad, (2009: 45), filsafat ilmu, pengetahuan manusia
dapat terbentuk dari berapa hal seperti yang tergambar pada tabel berikut :
Pengetahuan
|
Objek
|
Paradigma
|
Metode
|
Kriteria
|
Sains
|
Empiris
|
Sains
|
Ilmiah
|
Rasional
empiris
|
Filsafat
|
Abstrak
rasional
|
Rasional
|
Rasional
|
Rasional
|
Mistis
|
Abstrak Supra
rasional
|
Mistis
|
Latihan
percaya
|
Rasa, iman,
logis, kadang empiris
|
Sumber:Ahmad, 2009, Filsafat ilmu
Dari
gambaran yang terdapat pada tabel tersebut di atas dapat di ambil sebuah
kesimpulan bahwa Pengetahuan ilmiah diperoleh secara sadar, aktif, sistematis,
jelas prosesnya secara prosedural, metodis dan teknis, tidak bersifat acak,
kemudian diakhiri dengan verifikasi atau diuji kebenaran (validitas)
ilmiahnya. Sedangkan pengetahuan yang pra-ilmiah, walaupun sesungguhnya
diperoleh secara sadar dan aktif, namun bersifat acak, yaitu tanpa metode,
apalagi yang berupa intuisi, sehingga tidak dimasukkan dalam ilmu. Dengan
demikian, pengetahuan pra-ilmiah tidak diperoleh secara sistematis-metodologis
karena ada yang cenderung menyebutnya sebagai pengetahuan “naluriah”.
Metode ilmiah merupakan prosedur dalam
mendapatkan pengetahuan yang disebut ilmu. Jadi ilmu merupakan pengetahuan yang
didapatkan lewat metode ilmiah. Tidak semua pengetahuan disebut ilmu sebab ilmu
merupakan pengetahuan yang cara mendapatkannya harus memenuhi syarat-syarat
tertentu. Syarat-syarat yang harus dipenuhi agar suatu pengetahuan dapat
disebut ilmu tercantum dalam apa yang dinamakan dengan metode ilmiah.
(Suriasumantri, 2007: 119).
Adapun
secara etimologi, metode berasal dari kata Yunani, yakni kata meta
(sesudah atau dibalik sesuatu) dan hodos (jalan yang harus ditempuh).
Jadi, metode berarti langkah-langkah yang diambil menurut urutan tertentu untuk
mencapai pengetahuan, metode berarti suatu tata cara, teknik atau jalan yang
ditempuh dan dipakai dalam proses memperoleh pengetahuan jenis apapun. Dictioanry
of Behavioral Science memberikan definisi metode sebagai teknik-teknik dan
prosedur-prosedur pengamatan dan percobaan yang menyelidiki alam. Teknik dan
prosedur yang dimaksud dipergunakan ilmuwan untuk mengolah fakta-fakta,
data-data dan penafsirannya sesuai dengan asas-asas atau aturan-aturan tertentu
yang sebelumnya telah disepakati ilmuwan. Beilharz, (2008: 102) lebih lanjut menyatakan:
metode ilmiah adalah struktur rasional dalam melakukan penyelidikan ilmiah yang
disitu pangkal-pangkal duga disusun dan diuji. Dengan demikian dalam bahasa
yang sederhana metode ilmiah adalah suatu prosedur atau tata cara tertentu
untuk membuktikan benar salahnya suatu dugaan sementara yang ditentukan
sebelumnya
1. Antara
Deduktif dan Induktif
Sebelum
membahas lebih jauh, disini penulis akan sedikit berbicara mengenai munculnya
metode ilmiah. Menurut Tafsir (2008: 24) munculnnya metode ilmiah dalam bingkai
filsafat kelihatannya dipengaruhi oleh kondisi alam yang kelihatan begitu
dinamik dan teratur. Kondisi alam yang demikian, diduga para filosof karena
adanya asas tunggal dari alam yang karena sifatnya seperti itu, manusia akan
mampu melakuan proses generalisasi. Lahirnya proses generalisasi itu, dalam
kaidah filsafat ilmu karena ada sebuah metode yang disebut metode ilmiah. Oleh
Karena itu, tidak salah juga jika metode penelitian awal dan ilmu pengetahuan
yang dikembangkan baik oleh filosof maupun ilmuwan cenderung sangat
cosmosentris yang menempatkan ketertiban alam sebagai aturan.
Seperti
diketahui berpikir adalah kegiatan mental yang menghasilkan pengetahuan, dan
metode ilmiah merupakan ekspresi mengenai cara bekerja pikiran. Dengan cara
bekerja ini maka pengetahuan yang dihasilkan mempunyai
karakteristik-karakteristik tertentu yang diminta oleh pengetahuan ilmiah,
yaitu sifat rasional dan teruji yang memungkinkan tubuh pengetahuan yang
disusunnya merupakan pengetahuan yang dapat diandalkan. Dalam hal ini maka
metode ilmiah mencoba menggabungkan cara berpikir deduktif dan cara berpikir
induktif dalam membangun tubuh pengetahuan. Berpikir deduktif memberikan sifat
yang rasional kepada pengetahuan ilmiah dan bersifat konsisten dengan
pengetahuan yang telah dikumpulkan sebelumnya.
Secara
sistematik dan kumulatif pengetahuan ilmiah disusun setahap demi setahap dengan
menyusun argumentasi mengenai sesuatu yang baru berdasarkan pengetahuan yang
telah ada. Dengan demikian maka ilmu merupakan tubuh pengetahuan yang tersusun
dan terorganisasikan dengan baik, sebab penemuan yang tidak teratut dapat
diibaratkan sebagai “rumah atau batu bata yang cerai berai”. Secara konsisten
dan koheren maka ilmu mencoba memberikan penjelasan yang rasional kepada obyek
yang berada dalam fokus penelaahan.
Penjelasan
yang bersifat rasional ini dengan
kriteria kebenaran koherensi tidak memberikan kesimpulan yang bersifat
final, sebab sesuai dengan hakikat rasionalisme yang bersifat pluralistic, maka
dimungkinkan disusunnya berbagai penjelasan terhadap suatu objek pemikiran
tertentu. Meskipun argumentasi secara rasional didasarkan kepada premis-premis
ilmiah yang telah teruji kebenarannya namun dimungkinkan pula pilihan yang
berbeda dari sejumlah premis ilmiah yang tersedia yang dipergunakan dalam
penyusunan argumentasi. Oleh sebab itu maka dipergunakan pula cara berpikir
induktif yang berdasarkan kriteria kebenaran korespondensi.
Teori
korespondensi dalam Arikunto (2013: 45) menyebutkan bahwa suatu pernyataan
dapat dianggap benar sekiranya materi yang terkandung dalam pernyataan itu
bersesuaian dengan obyek factual yang dituju oleh pernyataan tersebut.
Disinilah
pendekatan rasional digabungkan dengan pendekatan empiris dalam langkah-langkah
yang disebut metode ilmiah. Secara rasional maka ilmu menyusun pengetahuannya
secara konsisten dan kumulatif, sedangkan secara empiris ilmu memisahkan antara
pengetahuan yang sesuai dengan fakta dan yang tidak. Secara sederhana menurut
Suriasumantri (2008: 90) maka hal ini berarti bahwa semua teori ilmiah harus
memenuhi dua syarat utama yakni; (a) harus konsisten dengan teori-teori
sebelumnya yang memungkinkan tidak terjadinya kontradiksi dalam teori keilmuan
secara keseluruha, (b) harus cocok dengan fakta-fakta empiris sebab teori yang
bagaimanapun konsistennya sekiranya tidak didukung oleh pengujian empiris tidak
dapat diterima kebenarannya secara ilmiah. Jadi logika ilmiah merupakan
gabungan antara logika deduktif dan logika induktif di mana rasionalisme dan
empirisisme hidup berdampingan dalam sebuah sistem.
Dalam
metode ilmiah, penelitian dituntun dalam proses berpikir yang menggunakan
analisa. Karena itu, dalam metode ilmiah hipotesis juga diperlukan. Hipotesis
berguna untuk memandu jalan pikiran kearah tujuan yang ingin dicapai atau ingin
dibuktikan sehingga hasil yang hendak diperoleh akan mencapai sasaran dengan
tepat. Oleh sebab itu maka sebelum teruji kebenarannya secara empiris, semua
penjelasan rasional yang diajukan statusnya hanyalah bersifat sementara.
Penjelasan sementara ini disebut hipotesis. Hipotesis merupakan dugaan atau
jawaban sementara terhadap permasalahan yang sedang kita hadapi.
Harus
kita sadari bahwa hipotesis itu sendiri merupakan penjelasan yang bersifat
sementara yang membantu kita dalam melakukan penyelidikan. Sering kita temui
kesalahpahaman di mana analisis ilmiah berhenti pada hipotesis ini tanpa upaya
selanjutnya untuk melakukan verifikasi apakah hipotesis ini benar atau tidak,
kecenderungan ini terdapat pada ilmuwan yang sangat dipengaruhi oleh paham
rasionalisme dan melupakan bahwa metode ilmiah merupakan gabungan dari
rasionalisme dan empirisisme. Hipotesis ini pada dasarnya disusun secara
deduktif dengan mengambil premis-premis dari pengetahuan ilmiah yang sudah
diketahui sebelumnya.
Penyusunan
seperti ini memungkinkan terjadinya konsistensi dalam mengembangkan ilmu secara
keseluruhan dan menimbulkan pula efek kumulatif dalam kemajuan ilmu. Dengan
adanya jembatan berupa penyusunan hipotesis ini maka metode ilmiah sering
dikenal sebagai proses logico-hypothetico-verifikasi atau menurut Tyndall
(O’Nail, 2013: 241) sebagai perkawinan yang berkesinambungan antara deduksi
dan induksi. Langkah selanjutnya sesudah penyusunan hipotesis adalah menguji
hipotesis tersebut dengan mengkronfontasikannya dengan dunia yang nyata.
Dalam
penyelidikan fisika nuklir misalnya, pembuktian ini kadang-kadang memerlukan
alat yang rumit sekali, sehingga sering terjadi bahwa suatu hipotesis baru
dapat dibuktikan berapa lama kemudian, setelah ditemukan alat yang dapat
membantu mengumpulkan fakta yang bersangkutan. Hal ini pulalah yang menyebabkan
penelitian ilmiah menjadi sangat mahal, yang disebabkan bukan oleh penyusun
teorinya melainkan dalam pembuktiannya.
Pembuktian
inilah sebenarnya yang memberi vonis terhadap teori ilmiah apakah pernyataan-penyataan
yang dikandungnya dapat diterima kebenarannya atau tidak secara ilmiah. Seorang
ilmuwan pada mulanya selalu bersikap skeptis, dia selalu meragukan segala
sesuatu. Alur berpikir yang tercakup dalam metode ilmiah menurut Schzumacer
(2008: 65) dapat dijabarkan dalam beberapa langkah, yang pada dasarnya terdiri
dari langkah-langkah berikut:
1.
Perumusan
masalah;
Yang merupakan pertanyaan mengenai obyek empiris yang jelas
batasan-batasannya serta dapat diidentifikasikan faktor-faktor yang terkait didalamnya.
2.
Penyusunan
kerangka berpikir dalam pengajuan hipotesis;
Yang merupakan argumentasi yang menjelaskan hubungan yang mungkin
terdapat antara berbagai faktor yang saling mengkait dan membentuk konstelasi
permasalahan. Kerangka berpikir ini disusun secara rasional berdasarkan
premis-premis ilmiah yang telah teruji kebenarannya dengan memperhatikan
faktor-faktor empiris yang relevan dengan permasalahan.
3.
Perumusan
hipotesis;
Yang merupakan jawaban sementara atau dugaan terhadapa penyataan
yang diajukan yang materinya merupakan kesimpulan dari kerangka berpikir yang
dikembangkan.
4.
Pengujian
hipotesis;
Yang merupakan pengumpulan fakta-fakta yang relevan dengan
hipotesis yang diajukan untuk memperlihatkan apakah terdapat fakta-fakta yang
mendukung hipotesis tersebut atau tidak.
5.
Penarikan
kesimpulan;
Yang merupakan
penilaian apakah sebuah hipotesis yang diajukan itu ditolak atau diterima.
Sekiranya dalam proses pengujian terdapat fakta yang cukup yang mendukung
hipotesis maka hipotesis itu diterima. Sebaliknya, sekiranya dalam proses
pengujian tidak terdapat fakta yang cukup mendukung hipotesis, maka hipotesis
itu ditolak. Hipotesis yang diterima kemudian dianggap menjadi bagian dari pengetahuan
ilmiah sebab telah memenuhi persyaratan keilmuan yakni mempunyai
kerangka penjelasan yang konsisten dengan
pengetahuan ilmiah sebelumnya serta telah teruji kebenarannya.
Metode ilmiah adalah penting bukan
saja dalam proses penemuan pengetahuan umum namun lebih-lebih lagi dalam
mengkomunikasikan penemuan ilmiah tersebut kepada masyarakat ilmuwan. Perbedaan
utama metode ilmiah bila dibandingkan dengan metode-metode lainnya menurut
Creswell (2009: 352) adalah hakikat metode ilmiah yang bersifat sistematik dan
eksplisit. Sikap eksplisit ini memungkinkan terjadinya komunikasi yang intensif
dalam kalangan masyarakat ilmuwan. Ilmu ditemukan secara individual namun
dimanfaatkan secara social. Dalam proses tersebut berlangsung logika berpikir
secara deduktif, yaitu menarik kesimpulan khusus dari yang umum.
D.
Kajian
Aksiologis terhadap Fungsi dan Peranan Pedagogik terhadap Praktek Pendidikan.
Pengertian aksiologi menurut bahasa berasal
dari bahasa yunani "axios" yang berarti bermanfaat dan “logos”
berarti ilmu pengetahuan atau ajaran (Budimansyah, 2008: 53). Secara istilah, aksiologi
adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki hakikat nilai yang ditinjau dari sudut
kefilsafatan (Tafsir, 2008: 37). Sedangkan Danim (2012: 22) menyatakan bahwa
aksiologi adalah studi tentang hakikat tertinggi, realitas, dan arti dari
nilai-nilai (kebaikan, keindahan, dan kebenaran). Dengan demikian aksiologi
adalah studi tentang hakikat tertinggi dari nilai-nilai etika dan estetika.
Dengan kata lain, apakah yang baik atau bagus itu. Definisi lain mengatakan
bahwa aksiologi adalah suatu pendidikan yang menguji dan mengintegrasikan semua
nilai tersebut dalam kehidupan manusia dan menjaganya, membinanya di dalam
kepribadian peserta didik (Syarifudin, 2006: 69). Dengan demikian aksiologi
adalah salah satu cabang filsafat yang mempelajari tentang nilai-nilai atau
norma-norma terhadap suatu ilmu.
Telaahan kedua adalah dari segi
epistimologi, yaitu meliputi aspek normatif mencapai kesahihan perolehan
pengetahuan secara ilmiah, di samping aspek prosedural, metode dan teknik
memperoleh data empiris. Kesemuanya itu lazim disebut metode ilmiah, meliputi
langkah-langkah pokok dan urutannya, termasuk proses logika berpikir yang
berlangsung di dalamnya dan sarana berpikir ilmiah yang digunakannya. Telaahan ketiga ialah dari segi aksiologi,
yang sebagaimana telah disinggung di atas terkait dengan kaidah moral
pengembangan penggunaan ilmu yang diperoleh. Dari penjabaran di atas dapat di
gambarkan tahapan-tahapan berfikir filsafat secara Ontologi, Epistimologi dan
Axiologi sebagai berikut:
Tahapan
|
Uraian
|
Ontologi
(hakikat
ilmu)
|
·
Obyek
apa yang telah ditelaah ilmu?
·
Bagaimana
wujud yang hakiki dari obyek tersebut?
·
Bagaimana
hubungan antara obyek tadi dengan daya
tangkap manusia (seperti berpikir, merasa, dan mengindera) yang membuahkan
pengetahuan?
·
Bagaimana
prosesyang memungkinkan ditimbanya pengetahuan yang berupa ilmu?
·
Bagaimana
prosedurnya?
|
Epistimologi
(cara
mendapatkan pengetahuan)
|
·
Bagaimana
proses yang memungkinkan ditimbanya pengetahuan yang berupa ilmu?
·
Bagaimana
prosedurnya?
·
Hal-hal
apa yang harus diperhatikan agar kita mendapatkan pengetahuan dengan
benar?
·
Apa
yang disebut dengan kebenaran itu sendiri?
·
Apa
kriterianya?
·
Sarana/cara/teknik
apa yang membantu kita dalam mendapatkan pengetahuan yang berupa ilmu?
|
Axiologi
(guna
atau manfaat pengetahuan)
|
·
Untuk
apa pengetahuan tersebut digunakan?
·
Bagaiman
kaitan antara cara penggunaan tersebut
dengan kaidah-kaidah moral?
·
Bagaimana
penetuan obyek yang ditelaah
berdasarkan pilihan-pilihan moral?
·
Bagaimana
kaitan antara teknik prosedural yang merupakan operasionalisasi metode ilmiah
dengan norma-norma moral/profesional?
|
Sumber: Suriasumantri, 1993
Teori
pengetahuan yang bersifat subjektif akan memberikan jawaban ”TIDAK”, kita tidak
akan mungkin mengetahui, menemukan hal-hal yang ada di balik pengaman dan ide
kita. Sedangkan teori pengetahuan yang
bersifat obyektif akan memberikan
jawaban ”YA”. Kemanfaatan
teori pendidikan tidak hanya perlu sebagai ilmu yang otonom tetapi juga
diperlukan untuk memberikan dasar yang sebaik-baiknya bagi pendidikan sebagai
proses pembudayaan manusia secara beradab. Oleh karena itu nilai ilmu
pendidikan tidak hanya bersifat intrinsic sebagai ilmu seperti seni
untuk seni, melainkan juga nilai ekstrinsik dan ilmu untuk menelaah
dasar-dasar kemungkinan bertindak dalam praktek melalui kontrol terhadap
pengaruh yang negatif dan meningkatkan pengaruh yang positif dalam pendidikan.
Implikasinya ialah bahwa ilmu pendidikan lebih dekat kepada ilmu perilaku
kepada ilmu-ilmu sosial, dan harus menolak pendirian lain bahwa di dalam
kesatuan ilmu-ilmu terdapat unifikasi satu-satunya metode ilmiah (Creswell,
2008: 203).
Dalam
pengembangan, ilmu pendidikan memiliki dua tujuan yang ingin dicapai yaitu
untuk pengembangan suatu ilmu, yang berorientasi pada kebenaran suatu ilmu itu
sendiri. Dengan cara ini akan menghasilkan ilmu teoritis murni yang tidak
menghiraukan kegunaannya dalam praktik. Di samping tujuan tersebut ilmu
pendidikan mengembangkan ilmu yang selanjutnya dapat digunakan dalam praktik
pendidikan sehari-hari. Hal yang demikian ini sering disebut dengan ilmu
bersifat praktis. Artinya teori yang ditemukan harus berorientasi pada praktik,
atau dapat dipraktikan.
Pedagogik tidak hanya berkutat pada ilmu dan
seni mengajar, melainkan ada hubungannya dengan pembentukan generasi baru,
yaitu pengaruh pendidikan sebagai sistem yang bermuara pada pengembangan
individu atau peserta didik. Pedagogik juga bermakna ilmu pendidikan atau ilmu
pengajaran. Kata sifat untuk istilah pedagogi adalah pedagogis. Pedagogis
bermakna berrsifat pedagogis atau bersifat mendidik. Makna lebih luas dari
pedagogis adalah sadar terhadap arah tujuan dan cirri dasar dari proses
pedagogis.
Prayitno (2013: 54) mendefinisikan istilah
pedagogis sebagai proses interaksi terus menerus dan saling berasimilasi antara
pengetahuan ilmiah dan pengembangan siswa. Asimilasi pengetahuan oleh siswa
berkaitan dengan antusiasme mereka untuk mengetahui dalam proses kerja yang
intensif dan aktif. Proses pedagogis juga menggamit prinsip bahwa domain
kognitif dan afektif tidak bisa berada dalam suasana yang kering. Ini
menyiratkan bahwa proses pedagogis harus terstruktur berdasarkan kesatuan dan
hubungan antara kondisi manusia; kemungkinan mengetahui sekitarnya dan dunianya
sendiri, serta pada saat yang sama perasaan dan tindakan kemungkinan menjadi
terpengaruh oleh dunia itu.
Prinsip terakhir dari proses pedagogis adalah
bahwa masing-masing subsistem aktivitas, komunikasi dan kepribadian saling
tekait satu sama lain. Misalnya, aspek kepribadian dibentuk dan dikembangkan
atas aktivitas dan melalui proses komunikasi. Sepanjang seluruh hidupnya, siswa
menjalankan sejumlah besar kegiatan dan berkomunikasi terus menerus.
Elemen-elemen ini pada dasarnya merupakan proses pendidikan kepribadian.
E.
Generalisasi
(Penalaran/ Ramalan dan Fungsi Pendidikan sebagai Kontrol)
Untuk memahami arti dan makna
filsafat ilmu, di bawah ini dikemukakan pengertian filsafat ilmu dari beberapa
ahli yang terangkum dalam Filsafat Ilmu, yang disusun oleh Ismaun (1993).
1.
Robert
Ackerman “philosophy of science in one aspect as a critique of current
scientific opinions by comparison to proven past views, but such aphilosophy of
science is clearly not a discipline autonomous of actual scientific paractice”.
(Filsafat ilmu dalam suatu segi adalah suatu tinjauan kritis tentang
pendapat-pendapat ilmiah dewasa ini dengan perbandingan terhadap
kriteria-kriteria yang dikembangkan dari pendapat-pendapat demikian itu, tetapi
filsafat ilmu jelas bukan suatu kemandirian cabang ilmu dari praktek ilmiah
secara aktual.
2.
Lewis
White Beck “Philosophy of science questions and evaluates the methods of
scientific thinking and tries to determine the value and significance of
scientific enterprise as a whole. (Filsafat ilmu membahas dan mengevaluasi
metode-metode pemikiran ilmiah serta mencoba menemukan dan pentingnya upaya
ilmiah sebagai suatu keseluruhan)
3.
A.
Cornelius Benjamin “That philosopic disipline which is the systematic study of
the nature of science, especially of its methods, its concepts and
presuppositions, and its place in the general scheme of intellectual
discipines. (Cabang pengetahuan filsafati yang merupakan telaah sistematis
mengenai ilmu, khususnya metode-metodenya, konsep-konsepnya dan
praanggapan-praanggapan, serta letaknya dalam kerangka umum cabang-cabang
pengetahuan intelektual).
Sistem
adalah susunan persoalan-persoalan yang teratur, sehingga merupakan suatu
kesatuan yang organis, sehingga antara satu dengan lainnya saling berhubungan
dan tidak dapat terpisahkan. Ilmu pendidikan memiliki persoalan-persoalan yang
terssusun secara sistematis sehingga merupakan suatu kesatuan yang saling
terkait. Terdapat berbagai variasi dalam komponen sistem pendidikan, namun ada
beberapa hal yang selalu ada dalam sistem tersebut adalah (1) tujuan
pendidikan, (2) pendidik, (3) peserta didik, (4) interaksi pendidikan, dan(5)
lingkungan pendidikan. Suatu ilmu pengetahuan harus memenuhi tiga persyaratan
pokok dan beberapa persyaratan tambahan, diantaranya : Persyaratan Pokok
• Suatu ilmu harus mempunyai objek tertentu
• Suatu ilmu pengetahuan harus menggunakan
metode-metode yang sesuai
•
Suatu ilmu pengetahuan harus menggunakan sitematika tertentu
Persyaratan
Tambahan
• Suatu ilmu pengetahuan harus mempunyai dinamika
• Suatu ilmu pengetahuan harus praktis
• Suatu ilmu pengetahuan harus diabdikan untuk kesejahteraan umat manusia
• Suatu ilmu pengetahuan harus mempunyai dinamika
• Suatu ilmu pengetahuan harus praktis
• Suatu ilmu pengetahuan harus diabdikan untuk kesejahteraan umat manusia
Setelah
kita tahu apa yang menjadi persyaratan suatu ilmu pengetahuan, tentunya kita
mengetahui bahwa ilmu pendidikan telah memenuhi persyaratan-persyaratan
tersebut. Ilmu pendidikan mempunyai objek, metode dan sistematika. Tidak hanya
itu, ilmu pendidikan juga telah memenuhi persyaratan tambahan lainnya, seperti
praktis, dinamika dan tentunya diabdikan untuk kesejahteraan umat manusia.
Ilmu
pendidikan sebagai Ilmu Normatif, Teoritis dan Praktis Ilmu pendidikan sebagai
ilmu pengetahuan dimulaikan dengan meletakkan ilmu pendidikan dalam sistematika
ilmu pengetahuan. Menurut sistemnya, Uhbiyati (2009: 34) membagi ilmu
pengetahuan dibedakan sebagai berikut :
1. Ilmu-ilmu Murni : berdiri sendiri lepas dari
pada ilmu pengalaman (empiris). Contoh; Matematika
2. Ilmu-Ilmu Pengalaman (Empiris) : diperoleh berdasarkan pengalaman. Jadi objeknya adalah gejala-gejala kehidupan, baik yang Nampak ataupun yang tidak Nampak.
Ilmu pendidikan termasuk ilmu pengetahuan empiris yang diangkat dari pengalaman pendidikan, kemudian disusun secara teoritis untuk digunakan secara praktis.
2. Ilmu-Ilmu Pengalaman (Empiris) : diperoleh berdasarkan pengalaman. Jadi objeknya adalah gejala-gejala kehidupan, baik yang Nampak ataupun yang tidak Nampak.
Ilmu pendidikan termasuk ilmu pengetahuan empiris yang diangkat dari pengalaman pendidikan, kemudian disusun secara teoritis untuk digunakan secara praktis.
Untuk
melakukan kegiatan ilmiah secara baik diperlukan sarana berpikir yang baik
pula. Tersedianya sarana tersebut memungkinkan dilakukannya penelaahan ilmiah
secara teratur dan cermat. Penguasaan sara berpikir ilmiah ini merupakan suatu
hal bersipat imperatif bagi seorang mahasiswa.
Tanpa menguasai hal ini maka kegiatan ilmiah yang baik tak dapat
dilakukan. Sarana ilmiah pada dasarnya merupakan alat yang membantu kegiatan
ilmiah dalam berbagai langkah yang harus ditempuhnya. Pada langkah tertentu
biasanya diperlukan sarana yang tertentu pula.
Oleh sebab itulah maka sebelum kita mempelajari sarana-sarana berpikir
ilmiah ini seyogyanya kita telah meguasai langkah-langkah dalam kegiatan ilmiah
tersebut.
Dengan
jalan ini maka kita akan sampai pada hakekat sarana yang sebenarnya yaitu
dengan berfikir secara filsafat, sebab hal ini dapat membantu kita dalam
mencapai suatu tujuan tertentu, dengan kata lain, sarana ilmiah mempunyai
fungsi-fungsi yang khas dalam kaitan kegiatan ilmiah segara menyeluruh. Sarana
berpikir ilmiah ini, dalam proses pendidikan kita, merupakan bidang studi
tersendiri. Secara lebih tuntas dapat dikatakan bahwa ilmu mempunyai metode
tersendiri dalam mendapatkan pengetahuannya yang berbeda dengan sarana berpikir
ilmiah. Mempelajari ilmu dimaksudkan untuk mendapatkan pengetahuan yang
memungkinkan kita melakukan penelaahan ilmiah secara baik, sedangkan tujuan
mempelajari ilmu dimaksudkan untuk mendapatkan pengetahuan yang memungkinkan
kita untuk bisa memecahkan masalah kita sehari-hari.
Dalam hal ini maka sarana berpikir ilmiah merupakan alat bagi cabang-cabang
pengetahuan untuk megembangkan materi pengetahuan berdasarkan metode ilmiah
dalam melakukan fungsinya secara baik, jelaslah sekarang kiranya mengapa cara
berpikir ilmiah mempunyai metode tersendiri yang berbeda dengan metode
ilmiah dalam mendapatkan pengetahuannya, sebab fungsi sarana ilmiah adalah
membantu proses metode ilmiah dan bukan merupakan ilmu itu sendiri.
1.
Ilmu
Pendidikan sebagai Ilmu Normatif
Sebagai ilmu pengetahuan normatif, ilmu pendidikan merumuskan
kaidah atau pedoman atau ukuran tingkah laku manusia. Sesuatu yang normatif
berarti berbicara masalah baik atau buruk dari perilaku manusia. Ilmu
Pendidikan merumuskan peraturan-peraturan tentang bertingkah laku manusia untuk
mencapai keteraturan hidup.Keteraturan hidup akan menjamin kelangsungan
keeratan (kohesi)antarmanusia (hubungan sosial manusia). Ilmu pendidikan itu
selalu berurusan dengan soal siapakah “manusia” itu. Pembahasan mengenai
siapakah manusia itu biasanya termasuk bidang filsafat, yaitu filsafat
antropologi. Pandangan filsafat tentang manusia sangat besar pengaruhnya
terhadap konsep serta praktik-praktik pendidikan. Karena pandangan filsafat itu
menentukan nilai-nilai luhur yang dijunjung tinggi oleh seorang pendidik atau
suatu bangsa yang melakukan pendidikan.
Nilai yang dijunjung tinggi ini dijadikan norma untuk menentukan
ciri-ciri manusia yang ingin dicapai melalui praktik pendidikan. Nilai-nilai
tidak diperoleh hanya dari praktik dan pengalaman mendidik, tetapi secara
normative bersumber dari norma masyarakat, norma filsafat dan pandangan hidup,
malah dari keyakinan keagamaan yang dianut oleh seseorang. Karena Ilmu
Pendidikan bersifat normatif berarti pula bersifat praktis karena ilmu
pendidikan sebagai bahan ajar yang patut diterapkan sehingga pendidik bertugas
menanamkan sistem-sistem norma bertingkah laku manusia yang dibanggakan,
dihormati, dan dijunjung tinggi oleh masyarakat.
2.
Ilmu
Pendidikan sebagai Ilmu yang Bersifat Teoritis dan Praktis
Ilmu Pendidikan termasuk pengetahuan normatif karena berkaitan erat
dengan pandangan tentang manusia, nilai dan norma hidup yangmembentuk
keperibadian manusia (anak didik).
Ilmu Pendidikan bersifat teoritis dan praktis karena berkaitan dengan strategi tindakan mendidik atau praktek mendidik. Jadi dari praktik-praktik pendidikan disusun pemikiran-pemikiran secara teoritis. Pemikiran-pemikiran teoritis inilah yang disusun dalam satu sistem pendidikan yang biasa disebut Ilmu Mendidik Teoritis.
Ilmu Pendidikan bersifat teoritis dan praktis karena berkaitan dengan strategi tindakan mendidik atau praktek mendidik. Jadi dari praktik-praktik pendidikan disusun pemikiran-pemikiran secara teoritis. Pemikiran-pemikiran teoritis inilah yang disusun dalam satu sistem pendidikan yang biasa disebut Ilmu Mendidik Teoritis.
Terdapat hubungan antara ilmu mendidik teoritis, sistematis dan
histories.
Selanjutnya adalah bagaimana hubungan antara ilmu mendidik histories dan ilmu mendidik praktis. Seorang maha guru ilmu mendidik JM. Usman (2008: 13) berkata : teori tanpa praktek adalah baik pada human cerdik cendikiawan dan praktek tanpa teori hanya terdapat pada orang gila dan penjahat – penjahat namun alangkah lebih sempurnanya ilmu pendidikan itu dilakukan dengan cara teori dan praktek secara bersama-sama. Untuk lebih memahami bahwa ilmu pendidikan itu adalah yang memerlukan pemikiran yang teoritis , adalah bahwa setiap pendidik memerlukan kritik- kritik sumbangan pemikiran dari para ahli/ orang lain, ia dapat belajar dari catatan-catatan kritik saran dari orang lain, yang pada akhirnya dapat dikatakan bahwa ia belajar berdasarkan teori.
Selanjutnya adalah bagaimana hubungan antara ilmu mendidik histories dan ilmu mendidik praktis. Seorang maha guru ilmu mendidik JM. Usman (2008: 13) berkata : teori tanpa praktek adalah baik pada human cerdik cendikiawan dan praktek tanpa teori hanya terdapat pada orang gila dan penjahat – penjahat namun alangkah lebih sempurnanya ilmu pendidikan itu dilakukan dengan cara teori dan praktek secara bersama-sama. Untuk lebih memahami bahwa ilmu pendidikan itu adalah yang memerlukan pemikiran yang teoritis , adalah bahwa setiap pendidik memerlukan kritik- kritik sumbangan pemikiran dari para ahli/ orang lain, ia dapat belajar dari catatan-catatan kritik saran dari orang lain, yang pada akhirnya dapat dikatakan bahwa ia belajar berdasarkan teori.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Ilmu
pengetahuan harus ada objeknya, adapun objek ilmu pengetahuan adalah obyek
material dan formal. Obyek material adalah bahan yang menjadi sasaran suatu
ilmu pengetahuan sedangkan obyek formal adalah sudut pembahasan suatu ilmu
pengetahuan, misal: ilmu jiwa dan ilmu manusia yang kedua macam ilmu
pengetahuan itu mempunyai obek material sama (manusia), akan tetapi obyek
formalnya berbeda. Oleh karena itu obyek material ilmu pengetahuan dapat sama
sedang obyek formalnya berbeda. Ilmu pengetahuan harus metodis : ilmu
pengetahuan dalam mengadakan pembahasan serta penyelidikan untuk suatu ilmu
pengetahuan harus menggunakan metode yang ilmiah. Ilmu pengetahuan harus
sistematis
Harus mempunyai dinamika: ilmu pengetahuan harus tumbuh dan berkembang untuk mempunyai kesempurnaan. Suatu ilmu pengetahuan harus memenuhi tiga persyaratan pokok dan beberapa persyaratan tambahan, diantaranya: Persyaratan Pokok Suatu ilmu harus mempunyai objek tertentu. Suatu ilmu pengetahuan harus menggunakan metode-metode yang sesuai
Suatu ilmu pengetahuan harus menggunakan sitematika tertentu.
Harus mempunyai dinamika: ilmu pengetahuan harus tumbuh dan berkembang untuk mempunyai kesempurnaan. Suatu ilmu pengetahuan harus memenuhi tiga persyaratan pokok dan beberapa persyaratan tambahan, diantaranya: Persyaratan Pokok Suatu ilmu harus mempunyai objek tertentu. Suatu ilmu pengetahuan harus menggunakan metode-metode yang sesuai
Suatu ilmu pengetahuan harus menggunakan sitematika tertentu.
Ilmu
pendidikan itu selalu berurusan dengan soal siapakah “manusia” itu. Pembahasan
mengenai siapakah manusia itu biasanya termasuk bidang filsafat, yaitu filsafat
antropologi. Pandangan filsafat tentang manusia sangat besar pengaruhnya
terhadap konsep serta praktik-praktik pendidikan. Karena pandangan filsafat itu
menentukan nilai-nilai luhur yang dijunjung tinggi oleh seorang pendidik atau
suatu bangsa yang melakukan pendidikan.
Nilai yang dijunjung tinggi ini dijadikan norma untuk menentukan ciri-ciri manusia yang ingin dicapai melalui praktik pendidikan. Nilai-nilai tidak diperoleh hanya dari praktik dan pengalaman mendidik, tetapi secara normative bersumber dari norma masyarakat, norma filsafat dan pandangan hidup, malah dari keyakinan keagamaan yang dianut oleh seseorang.
Karena Ilmu Pendidikan bersifat normatif berarti pula bersifat praktis karena ilmu pendidikan sebagai bahan ajar yang patut diterapkan sehingga pendidik bertugas menanamkan sistem-sistem norma bertingkah laku manusia yang dibanggakan, dihormati, dan dijunjung tinggi oleh masyarakat.
Nilai yang dijunjung tinggi ini dijadikan norma untuk menentukan ciri-ciri manusia yang ingin dicapai melalui praktik pendidikan. Nilai-nilai tidak diperoleh hanya dari praktik dan pengalaman mendidik, tetapi secara normative bersumber dari norma masyarakat, norma filsafat dan pandangan hidup, malah dari keyakinan keagamaan yang dianut oleh seseorang.
Karena Ilmu Pendidikan bersifat normatif berarti pula bersifat praktis karena ilmu pendidikan sebagai bahan ajar yang patut diterapkan sehingga pendidik bertugas menanamkan sistem-sistem norma bertingkah laku manusia yang dibanggakan, dihormati, dan dijunjung tinggi oleh masyarakat.
Ilmu filsafat
memiliki obyek material dan obyek formal.
Obyek material adalah apa yang
dipelajari dan dikupas sebagai bahan (materi) pembicaraan. Objek material
adalah objek yang di jadikan sasaran menyelidiki oleh suatu ilmu, atau objek
yang dipelajari oleh ilmu itu. Objek material filsafat illmu adalah pengetahuan
itu sendiri, yakni pengetahuan ilmiah (scientific
knowledge) pengetahuan yang telah di susun secara sistematis dengan metode
ilmiah tertentu, sehingga dapat di pertanggung jawabkan kebenarannya secara
umum.
Jika
di tilik kembali pada tahapan berfikir filsafat mulai dari tahap, Ontologi
(hakikat ilmu), Epistimologi (cara memperoleh pengetahuan) dan hingga akhirnya
sampai pada tahap Axiologi (kemanfaatan pengetahuan) tersebut bagi kemaslahatan
umat, maka runtutan cara berfikir filsafat hendaknya harus senantiasa dilakukan
untuk mengimbangi kemampuan penalaran individu secara rasional dalam memecahkan
sebuah permasalahan kehidupan yang semakin kompleks ini.
Obyek formal adalah cara
pendekatan yang dipakai atas obyek material, yang sedemikian khas sehingga
mencirikan atau mengkhususkan bidang kegiatan yang bersangkutan. Jika cara
pendekatan itu logis, konsisten dan efisien, maka dihasilkanlah sistem
filsafat ilmu. Jadi, dapat dikatakan bahwa Objek formal adalah sudut
pandang dari mana sang subjek menelaah objek materialnya. Yang menyangkut asal
usul, struktur, metode, dan validitas
ilmu[1].
Objek formal filsafat ilmu adalah hakikat (esensi) ilmu pengetahuan artinya
filsafat ilmu lebih menaruh perhatian terhadap problem mendasar ilmu
pengetahuan, seperti apa hakikat ilmu pengetahuan, bagaimana cara memperoleh
kebenaran ilmiah dan apa fungsi ilmu itu bagi manusia.
Ilmu pendidikan sebagai ilmu pengetahuan memiliki metode penelitian
yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Metode tersebut mencakup metode
untuk mengumpulkan data maupun metode untuk mengolah data. Metode pengumpulan
data dapat dilakukan melalui observasi, tes, interview, angket dan lain-lain.
Metode untuk menganalisis data dapat menggunakan data analisis statistik maupun
non statistik. Metode berfikir yang digunakan menganalisis dapat menggunakan
metode induktif ataupun deduktif.
Dalam
pengembangan ilmu pendidikan memiliki dua tujuan yang ingin dicapai yaitu untuk
pengembangan suatu ilmu, yang berorientasi pada kebenaran suatu ilmu itu
sendiri. Dengan cara ini akan menghasilkan ilmu teoritis murni yang tidak
menghiraukan kegunaannya dalam praktik. Di samping tujuan tersebut ilmu
pendidikan mengembangkan ilmu yang selanjutnya dapat digunakan dalam praktik
pendidikan sehari-hari. Hal yang demikian ini sering disebut dengan ilmu
bersifat praktis. Artinya teori yang ditemukan harus berorientasi pada praktik,
atau dapat dipraktikan.
Dengan
menempatkan kedudukan ilmu pendidikan di dalam sistematika ilmu pengetahuan,
maka uraian selanjutnya adalah ilmu pendidikan sebagai Ilmu Normatif dan Ilmu
pendidikan sebagai Ilmu Teoritis dan Praktis.
DAFTAR PUSTAKA
Danim,
Sudarwan. 2010. Pedagogi, Andragogi, dan Heutagogi. Bandung: Alfabeta
Hamalik, Oemar.
2010. Kurikulum dan Pembelajaran. Jakarta: Bumi Aksara
Hariyanto, dan
Suyono. 2011. Belajar dan Pembelajaran. Bandung: Rosdakarya
Hasanah, Aan.
2013. Pendidikan Karakter Berperspektif Islam. Bandung: Insan Komunika.
Hasbullah.
2009. Dasar-dasar Ilmu Pendidikan. Jakarta: Rajawali Pers.
Mudjiono, dan
Dimyati. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta
Uhbiyati, dan
Abu. 2009. Ilmu Pendidikan Jakarta: PT Rineka Cipta
Usman, Uzer.
2008. Menjadi Guru Profesional. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Suriasomantri,
Jujun S. 1996. Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan.
Syarifudin,
Tatang. 2006. Landasan Pendidikan. Bandung: Universitas Pendidikan
Indonesia
Tafsir, Ahmad.
2008. Filsafat Pendidikan Islam. Bandung: PT Remaja Rosda Karya.
____________.2009.
Filsafat Ilmu,”Mengurai Ontologi, Epestemologi, dan Aksiologi Pengetahuan. Bandung:
PT Remaja Rosda Karya
Departemen Pendidikan Nasional, 2002. Kamus
Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka
http://ilmu1set.blogspot.com/2010/06/ilmu-pendidikan-sebagai-ilmu.html
http://www.gudangmateri.com/2010/07/pendidikan-sebagai-ilmu-pengetahuan.html
http://www.scribd.com/doc/51630982/1/Ilmu-Pendidikan-Bersifat-Normatif?query=normatif
Tidak ada komentar:
Posting Komentar