Minggu, 19 November 2017

Indonesian Hoaxes

[BERITA] Mengapa Orang Pintar Bisa Termakan Isu Hoax?
Jakarta - Punya IQ (intelligence quotient) tinggi tidak menjamin bisa lepas dari pengaruh isu hoax. Hal ini dibuktikan oleh studi yang dilakukan oleh University of Illinois, Chicago, Amerika Serikat.
Tomas Stahl, peneliti psikologi sosial dari University of Illinois, melakukan survei kepada 300 partisipan. Para partisipan menjalankan tes IQ lalu diberi beberapa berita yang mengandung unsur hoax.
Hasilnya, ditemukan bahwa tingkat kecerdasan seseorang tidak menjamin ia bebas dari ancaman berita hoax. Menurut Stahl, kepercayaan dan latar belakang seseorang lebih memengaruhi keputusan soal menanggapi berita hoax daripada logika dan kemampuan menganalisis.
"Jika Anda memutuskan sesuatu berdasarkan kepercayaan tanpa logika dan bukti-bukti, maka hasilnya sama saja antara orang dengan kemampuan intelegensia yang tinggi maupun rendah," tutur Stahl, dikutip dari EurekAlert!
Lebih lanjut, Stahl mengatakan tidak semua orang dengan kemampuan intelegensia yang tinggi mampu berpikir kritis. Mereka bisa saja skeptis terhadap suatu kabar atau fenomena, namun tidak mendasarinya dengan logika dan bukti-bukti.
Hal inilah yang membuat fenomena berita hoax dan paranormal masih menjadi bahan perbincangan yang menarik. Dikatakan Stahl, orang-orang dengan kemampuan berpikir kritis biasanya akan mencoba membuktikan sesuatu terlebih dahulu, sebelum mengambil sikap percaya atau tidak percaya.
"Ada juga kalangan yang tidak mempercayai sesuatu tanpa mencoba menganalisisnya terlebih dahulu, dan menganggap apa yang diberitakan atau diperdebatkan ini tidak penting dan tidak relevan," tutupnya.

Sabtu, 18 November 2017

PENGABDIAN SANG GURU


Yakob Godlif Malatuny, S.Pd., M.Pd

Tulisan ini mengupas kisah inspiratif sang guru sekaligus pengawas pendidikan berkelahiran Manglusi yang bernama Leonardus Batkunde, sebagai apresiasi atas hidupnya yang berwarna pengabdian bagi setiap generasi bangsa di Kecamatan Nirunmas, Kabupaten Maluku Tenggara Barat. Jujur, penulis mengakui bahwa jiwa sang guru hidup di masa silam karena masa kini begitu cepat melaju, namun pengabdiannya tak pernah surut ke belakang, tak mengenal kadaluwarsa, bahkan tak lekang oleh waktu.

Baginya mengabdi kepada negara yang bersemboyan Bhinneka Tunggal Ika merupakan tugas mulia yang mesti dituntaskan dengan segenap rasa dan karsa hingga masa purna. Tak heran jika sang guru kerap kali mengutarakan kisahnya di masa silam yang sarat akan inspirasi dan berwarna pengabdian layaknya memutar himne kemenangan yang bisa menyentuh nurani dan membakar spirit setiap anak didiknya untuk selalu memandang lebih jauh, menggapai, dan melampaui asa di masa mendatang. Sebab hidup tanpa orientasi ke depan, doa dan perjuangan tak akan terwujud, hidup akan menjadi dingin, mandul bahkan membosankan.

Hidup sang guru berwarna pengabdian dan lewat motif dingin didikannya melahirkan generasi yang berguna bagi nusa-bangsa pada umumnya dan bagi warga di Kecamatan Nirunmas pada khususnya. Lebih dari itu, ia telah menapak jejak lahirnya anak didik yang bermartabat di era kekinian. Kini maupun masa mendatang anak didiknya satu per satu akan bersaksi tetang sepak terjang pengabdiannya.

Selama pengabdian sang guru yang diberi jabatan pengawas ini kerap kali diterpa oleh tantangan yang berat seperti medan menuju sekolah yang mengharuskan ia berjalan kaki karena tak ada kendaraan roda dua maupun roda empat untuk ditumpangi, cuaca musim yang kadang tak bersahabat, bahkan kondisi guru maupun sekolah yang mengharuskan ia untuk membenahi.

Kini, sang guru yang hidupnya sudah memasuki setengah abad ini menaruh harapan besar di pundak setiap guru seperti berikut. Kesatu, semua guru mestinya lebih semangat mendidik setiap anak didik, terlebih lagi guru tak boleh bolos mendidik anak didik, setiap hari mereka mesti menerima asupan ilmu di kepala. Kedua, semua guru mesti berpacu untuk meningkatkan mutu pendidikan karena realitas membuktikan hanya sebagian guru yang bersemangat meningkatkan mutu pendidikan.

Ketiga, kepala sekolah sebagai pemimpin mestinya lebih piawai dalam memanajemen sistem sekolah agar terjadi peningkatan mutu baik di kalangan guru maupun anak didik. Dan berbagai harapan besar lainnya dari sang guru yang tak dapat ditulis satu per satu dalam halaman ini akan terlihat menjadi perbuatan sepanjang pengabdiannya. Karena sang guru datang ke dunia untuk menuliskan namanya pada wajah pendidikan dengan huruf-huruf pengabdian.

Akhirnya pesan penting dari sang guru yang didiberi jabatan pengawas pendidikan bagi setiap guru di Kecamatan Nirunmas dengan mengutip catatan Najwa Shihab.
Belajar dari Ki Hajar Dewantara.
Tugas guru bukan menjejalkan pelajaran, guru harus menghidupkan pengetahuan. Kebenaran guru bukan hal yang absolut, karena murid bukan kerbau yang harus serba nurut. Kelas bukan untuk menyucikan diktat penuh angka, pengetahuan bukan ayat-ayat penuh dogma. Ilmu jangan hanya obyek hafalan, ilmu untuk memahami dan menuntaskan persoalan.

Sekolah perlu terus membuka diri pada perubahan, guru jangan segan beradaptasi dengan kebaruan. Agar belajar menjadi proses yang menyenangkan, agar kreatifitas terus ditumbuh kembangkan. Siswa niscaya akan haus pengetahuan, ijazah takkan mengakhiri proses pembelajaran. Inilah pengajaran yang memanusiakan manusia, bukan pendidikan yang mengkerdilkan siswa.

Tinggal tunggu waktu lahirnya generasi pencipta, mereka yang akan harumkan Indonesia dengan karya. Hanya pendidikan yang bisa menyelamatkan masa depan, tanpa pendidikan Indonesia tak mungkin bertahan.

Jumat, 10 November 2017

Tulisan ini dipulikasikan dalam :
The 1st International Conference on Social Science Education (ICSSE) dengan tema “Multicultural Transformation in Education, Social Sciences and Wetland Environment”
Universitas Lambung Mangkurat
Banjarmasin, 03 – 04 November 2017

CIVIC SKILL FORMATION THROUGH MASS MEDIA LITERACY
(A Case Study of  Hoax in Mass Media on Civic Education Students of Pattimura  University )
By
Yacob Godlif Malatuny
Student of Civic Education, School of Postgraduate, Indonesia University of Education

ABSTRACT
This paper was based on researcher anxiety of the spread of hoax in mass media in one last decade in Indonesia and in fact, the citizen had  been accustomed  from a long time to receive hoax presented by journalists to mass media. To prevent the trap of hoax, then civic skill is needed which is formed through mass media literacy as the effective way for each citizen.   This study was aimed to study mass media literacy as the basis in civic skill formation in students of civic education in Pattimura University. Mass media literacy become main asset for civic education students to lead various opinions in mass media so saving their commonsense.
Keywords: Civic Education, Civic Skill, Mass Media Literacy

INTRODUCTION
The development in media convergence make information is spread very fast and cannot be stopped by each citizen.  On one side, the growth of media is beneficial because the citizen can know the information about development in many parts of the world, but on the other side, the citizen who does not possess knowledge about media literacy certainly easily consume hoax. No effort to enhance media literacy means letting the tyranny and the dumbing down occurred in front of us (Subiakto, 2005: 4). Literacy equip each citizen to think critically, see and differentiate what is good and what is bad from media (Hobbs, 1998).   Media literacy is learning effort for media public to become public who are able to live in the midst of the world which is called saturated- media (Iriantara 2009, page 13).
The most fatal mistake is when someone feeling right with wrong thinking, in the other word  believing information without confirming is a mistaken thing.  Therefore, knowledge about media literacy must be absolutely possessed by each citizen. So many news about hoax today is caused by mass media integrity which is increasingly decreased.  Media integrity in Indonesia as if  like tied by a string of  very brittle rope. The decrease of media integrity certainly effect on the roles play by the media itself.
The research conducted by Sen and Hill (2001: 45) confirmed that condition that, mass media in Indonesia not reflecting reality, but represent the reality.  Because not reflecting the reality, then media in Indonesia is easily become the instrument to formulate market interest as thought by the powerful people and not as experienced by citizen in general.  The result of study conducted by Prasetiyo (2016: 339) showed that “….the role of mass media had been contaminated by political interest and double standard so only the news which is profitable for certain people which have big portion in its reporting.”
Subiakto (2005: 3) stated that media position public as consumer and not as citizen, because the main goal of media is to give profit to its stakeholder and shareholder, and not to drive in developing active citizen.  The effect of no public contribution  in setting the agenda of media make media become a disaster (Rakhmawati, 2015:  126).  The worsen thing is the condition of mass media in Indonesia, resemble the flight with turbulence , an indication of chaos situation with random movement which is not stabile make the situation become chaos and unpredictable.
 Another crucial thing such as the level of citizen trust on media institution in 2016 tend to decline if compared to in 2015.  Based on survey result of Edelman Trust Barometer shows that the level of citizen trust on media is in the figure of 63 percent from earlier that is 68 percent.  It is a pity if media which  is considered as credible information source experience is less trusted by citizen. Undoubtedly,  this survey result is correlated with citizen judgment toward the role of mass media in one last decade that mass media produce hoax, has low quality, made to become propaganda instrument even sometimes breaking  the law even though its spread is faster. Reflecting on these various problems, then it is necessary to equip each citizen with knowledge about media literacy.
Mass media literacy not only become the focus in developing contemporary citizen, but should be implemented comprehensively along with civic skill.  The author choose civic education students as subject of study due to their encounter with media contain certain learning degree about civic issues. Civic Education students  are thought as important element of young generation.  It is on young generation that the life future of nation is stake (Suryadi, 2005: 77). Therefore, it is necessary to equip each young generation with knowledge of media literacy.  Due to intensity of bad news in mass media which is increasingly increased, but less compensated by understanding that each media message contain manifest and latent function, then they only become passive media consumer. 

METHOD
The approach used in this study was qualitative by using case study method. The reason to choose this approach is to analyze deeply and comprehensively civic skill formation through mass media literacy. It means that researcher want to analyze deeply and completely about the matters which become the object of study based on the facts obtained in field in accord with data analysis result of the study conducted.
Creswell (2010: 20) suggested that case study is research strategy in which the researcher investigate a program, activity, process or a group of individuals thoroughly.  Yin (2011:1) stated that case study is empirical investigation toward contemporary phenomena in the context of real life, particularly when the boundary between phenomena and context is not quite clear. This approach is strongly emphasize data authentic to explain what is become the focus of study. This assertion is reasonable, because researcher conducted the study about Civic Skill Formation Through Mass Media (Case Study of Hoax  in  Mass Media on Civic Education Students of  Pattimura University).
Regarding with that, the researcher use technique such as in-depth interview, observation, and documentation study in the form of data collection or documentation related to this study.  Researcher held interview with Civic Education students to find out civic skill formation through mass media literacy. To obtain clear and qualified informant in answering the problem of study, researcher used purposive sampling technique to determine subject or object of study in accord with the goal of this study itself, by using personal consideration of the researcher himself in accord with the topic of each problem which want to be answered. Data was collected by using observation, interview, and documentation study done by researcher in toward Civic Education students of University of Pattimura, Ambon.
Categorization and data grouping process was done in stage based on information from informant and then is interpreted  in theoretical framework and conceptual perspective in description.
1.      Data reduction
Data reduction is analysis process   to narrow, categorize, and orient the study result  by focusing on the things which are considered important for the researcher, in the other word, data reduction is aimed to obtain understanding about data which had been collected from result of field note by summarizing, clarifying based on problem and the aspects of problem being studied.
2.      Data display
Data display is a collection of information arranged which will give description of study completely, in the other word displaying  data in detail and arranging it by searching its relation pattern.  Data display which is arranged briefly, clearly and  in detail but completely will make easier to understand the descriptions of aspects studied both completely and part by part. Data display next is presented in the form of essay or report in accord with data of study result obtained.
3.      Conclusion and Verification
Conclusion drawing or verification is the effort to search the meaning and explanation toward the data which had been analyzed by searching the important things. This conclusion is arranged in the form of easy and brief statement by referring to the aim of study.  These are procedures the researcher do in conducting this study.  By doing this stages, it is expected that the study done can obtain data which fulfill the criteria of a study, namely reliable and accountable.

RESULT AND DISCUSSION
The Process of Civic Skill Formation in Civic Education Students Through Mass Media Literacy
Each citizen should enhance intellectual skill through mass media literacy (Cholisin, 2004:  18). Furthermore, Komalasari and Budiansyah (2008, page 85) asserted that intellectual skill is the most important part  to create a citizen who is knowledgeable , effective, and responsible such  as critical thinking skill.  In addition, to participate effectively and responsibly in public affairs, it need to possess a set of knowledge and intellectual skill  and effective and responsible participation skill need to be enhanced further through dispositions development which enhance individual ability to play role and in the health political process  (Wahab and Sapriya, 2011: 50).
Media literacy has inseparable relation to civic skill, complete each other like one coin with two different faces.  Media literacy will form and support student intellectual and participation skill of Civic Education students in understanding various information and give contribution to decision making. The study result found that, Civic Education students who posses  intellectual skill are able to differentiate the true news and hoax  in mass media. They refer carefully to  news sources which are credible and has legality in Indonesia, such as Metro TV. TV One, Kompas TV, Net TV, Detik.com, and Ambon Express and Kabar TImur as local print media in Maluku Province. Doing crosscheck toward the credible news source is the right and wise step which is done by each media individual.
According to Ennis (2005), thinking ability aspect is the skill to: (1) determine the credibility of a source, (2) differentiate between the relevant and the irrelevant, (3) differentiate the fact from judgment, (4) identify and evaluate unspoken assumption, (5) identify the existing bias, (6) identity a viewpoint, (7) evaluate the evident offered to support confession.” Furthermore, they can differentiate the true news and untrue news (hoax) in mass media by refer to fact, data, place and time of event, and the actors involved in that event as the news reported by mass media to public.  Correspondence theory assert that if a statement is not accord with or refer to the valid fact, then this statement is  a lie (Suryadi, 2017).  This theory should become preference to each student of Civic Education when conforming a news.
Meanwhile,  active participation of civic education students in living the life of nation and state  is seen from their wise step in posing question directly through interactive telephone, short message sending, and send message through email to mass media staff. There are some who visit web, and use social media, such as facebook or twitter to contact the persons who report that news in mass media. Their skill to pose question to mass media not only  limited in direct way.  The other alternative they use is to pose the question indirectly concerning a news presented by mass media to them.  The question they pose then is answered by themselves based on analysis result of a news in mass media.  Interacting is responding to another citizen.  Interaction means asking, answer, and negotiating politely (Branson, 1998).
Furthermore, Civic Education students have been skillful in communicating with mass media, they often communicate directly with mass media through telephone, email, social media, visiting web/site of that mass media, even meet directly the journalist which cover the news to do check and recheck about the truth of a news.  Besides, there are some Civic Education students who choose to communicate with mass media indirectly. They always pose the questions, then they use the news in mass media to answer various questions they pose.   They asked about the truth of a news by using question words such as what, where, when, who, why and how.  Bearing in mind that information in media mass today give direct effect to public opinion, such as spiral of silence theory which is proposed by Neumaan (1973: 1980) that mass media has very strong effect on public opinion.
The categorization of literacy according to National Leadership Conference on Media Education in communication level is someone is able to communicate the message received from media in various forms to the other persons (Hobbs, 1998).   This step had been practiced by civic education students in which they had explained the news vividly to the other persons.

The Importance of Mass Media Literacy for Civic Education Students
As if that the management staff of  mass media in Indonesia  is more responsible to media owner which invest the capital to media business than the citizen who become mass media public.  Some mass media is controlled by influential companies. It can strongly determine the choice of news, the means to deliver it, and the amount of coverage. In general, these companies aims to get the profit.  Because of this reason, the news which is unprofitable for media owner usually will not be covered.
Therefore, the activities should be prepared to educate media public to become citizen who is literate to various news in mass media. Citizen literacy toward various news in mass media become the main asset to save their commonsense.  Basically, this media literacy is learning effort for media audience so become audience who is able in the midst of the world called media saturated (Iriantara, 2009: 13),  In addition, the important thing is that media literacy can equip each citizen to be able to reject and control each danger of  bad news presented by mass media to public.  The citizen who receive the news in mass media always take lesson.
According to McCombs and Shaws, (1972; 1993)  the main point of  agenda-setting theory  related to learning function of mass media.  The assumption of this theory  that public  not only learn reporting issues, but also learn how big the importance is given to an issue or topic based on the way of mass media giving emphasis on that issue or topic.  The things which is considered important by media, then is considered important by public. In the other word, media agenda then become public agenda.
            Students who posses knowledge about media literacy certainly know agenda of mass media, including hoax presented by mass media.  The study result found that, media literacy is very important for education students as young generation, because they are more easier to understand various message from mass media, filter each news, not consume hoax, think critically and can differentiate hoax and true news. One important aspect of media literacy is a change of view point toward mass media (Buckingham, 2001).
One important aspect of this mass media is s change of view point toward hoax which had been spread in mass media  which must be stopped by each student of civic education in order not to spread to other persons which will invoke negative response by them who are still lack of knowledge  about media literacy.   The way to stop the hoax is by discussing with other people to open their mind about the truth of a story and encourage them  not to spread it to others.
Another step done by civic education students is contacting  mass media to clarify the bad news they present on “screen”. Therefore.media literacy reinforcement is needed in order that there is no more hoax which is like “snowball|” which finally will give large effect in human life aspects.  Mass media, both electronic and print has educative  and non educative function depend on the message content of information  conveyed (Winataputra, 2012: 36-37).  Media literacy become main asset for civic education students in digesting each message content of information from mass media.
Media is believed to has very big power to form opinion and trust, change lifestyle, and form the attitude based on control of public themselves (Bauer, 1960).  More than this, the slogan “back to big power of mass media”  and critical theory which admit that  media has legitimacy power and control and effected on capitalist and bureaucracy interest (Neumann, 1973).
Reflected from various concepts of mass media above, thus civic education students need to have control as mass media consumer. One of right action from them toward various news in mass media is by doing control. This action enable them to prevent the trap of hoax which will impair their reason, due to massive intensity of bad news in some decades in our country. Control toward various news presented by mass media is the wise and right step for each mass media consumer.
In addition, they need to oversee the news in order to lead the true opinion in mass media, but maintaining  the truth of news , and prevent the spread of bad news. Because the journalist also human, they can  make error unintentionally.  Misspelling and grammar error can change the meaning of a sentence. The certain facts maybe not checked in advance.  Because being hurried by the deadline of publication or printing, they also can do error in typing the number.
Public ability which needs to be developed in this case is reinforcement in understanding the media message (literacy). Media literacy in  consumption pattern of popular culture  is a necessity. Public needs to develop their literacy ability as a bargaining position to demand quality mass media.  If media literacy had been deeply rooted in the mind of Civic Education students. then it will become reinforcement medium for them to contribute to media agenda, the content of coverage, and regulation related to media.
The aim of media literacy is to give public control  more than only interpret media text (Potter, 1008).  Media literacy is not categorization but a series of integration. Knowledge and skill in media literacy need to be learned and developed. With multimedia approach, learning tool can be made since early age. Media literacy can be integrated in educational curriculum.

Hoax is Digested by Civic Education Students Without Verification
Speaking about hoax,  today hoax become hot issue for mass media and social media because it is considered make public anxious due to  information which  cannot be  assured.  Hoax is not a new thing. Similar with good news, resent news, even “mystical” news, hoax has been existed since people are fond to send news.  This hobby is rooted on human exclusive ability to speak (Suryadi, 2017).
Now,  hoax always become trending topic in various mass media and social media because it is considered as one instrument which can  break  the unity both among nations and among religious believers in Indonesia. Hoax grow and become rampant in all  Indonesian people.  The result is public are increasingly made confused and ambiguous on how to identify the true news or not hoax. The rapid of communication tool development make public are easier to acquire various information and news as much as possible only in short time. But behind this  ease, there are much false information spread and some people believe it as the truth. 
Hoax had became stowaway in reporting in mass media. However, in its history, hoax had became “stowaway” of democracy (Suryadi, 2017). Multiple verification can prevent people from the trap of hoax. Unfortunately, each media consumer not use multiple verification when watching a news which had became main appetite for them in choosing the need of information. Inevitable, unconsciously they had became passive media consumer.
The study result found that Civic Education students as media consumer sometimes are tempted by hoax in mass media, and unconsciously had drown them into the flow of hoax. They like the news they choose because the news is interesting, give lesson, and suited with their hobby. Each student of Civic Education should be more active to filter and assure that each information stored in their mind is not hoax.  In addition, Civic education students digest the news without confirmation because the assume that the news is derived from credible source and supported by facts, but sometimes they do not confirm the television station which issue that news, even some believe that the television which issue that news is credible one.
It is a big fool if one felling true with wrong thinking, believing information without confirming is a wrong thing, due to integrity of mass media in some decade in our country is increasingly declined, so we often can witness  mass media which had been made to become instrument of propaganda by certain actors.
Frequently, public perception is formed by mass media message, the reality description displayed by news, advertisement and film then form perception of some people on how they view the real world.  According to Baran (2010, page 311) that we never conscious of what most happened in our brain, even though this activity often influence our conscious mind, this is not directly influence another  cognitive process.  Our conscious is act  to oversee this cognitive activity in highest level  but only give  limited and direct control.    

Critical Thinking Skill Formation of Civic Education Students Through Mass Media Literacy
Possessing  critical thinking skill is main asset for each citizen to lead various opinions in mass media, so the news consumed are really valid, not contain religious,  racial  and tribal issue  and intergroup issue even though hoax can divide the elements of nation.  Cogan and Derricot (1998: 116) stated that globalization challenge in 21st century demand each citizen to has characteristic, one of them is critical and systematical thinking ability. Possessing critical thinking, or skillful thinking ability can build democratic individual.  For example, not getting used to be open mind is potentially will invoke the conflict with other people.  People who are trained with good thinking ability, will considered themselves as having best thinking, and consider that other people have bad thinking.  Be careful, the most fatal accident is feeling right with wrong thinking (Sudarma, 2013: 35).
According Yildirim and Ozkahraman (2011) that:
Critical thinking is the process of searching, obtaining, evaluating, analyzing, synthesizing and conceptualizing information as a guide for developing one’s thinking with self-awareness, and the ability to use this information by adding creativity and taking risk.
In addition,  Costa (1985) expressed that critical thinking is thinking activity through complex thinking  to analyze statement or argument and generalization toward special meaning and interpretation, through logical reasoning pattern and assumption understanding.
According Schafersman (1991), someone who think critically will be able to identify the problem, ask something, give answer/argument, find another information.  Skill in interpreting, analyzing, and evaluating a news to become important indicator for civic education students to see deeper about the truth of a news in mass media. The study result found that mass media literacy can make civic education students to think critically various news in mass media.  When watching the news they always refer to credible news sources in Indonesia such as TV One, Kompas TV, I-News TV, detik.com which have legality and its news always refer to fact and data which are the true news source.
Civic education students who are smart and careful always doing check, recheck, and crosscheck. The true news certainly is tested even conformed by another sources.    Then they compare the title and content of each news from these various medias. This effort also can be done by seeing whether or not that media has valid legality, usually stand out under CE or PT which has been registered in Ministry of Law and Human Rights.
Lie is indeed anxious even can harm public interest,  because hoax can result in slander. As proverb say that slander is crueler than murder. Therefore,  a person who make and spread hoax is the one who has bad behavior.  Furthermore, a true news source always report its news in detail, such as cover the fact, data, the place of event, time and had based on confirmation result which has valid information. The credible source news report the news with certain condition, so the information is deserved as a news. These conditions are: news should be fact, news is current event (had not occurred), news should be balanced, should be complete (contain all elements of news), should be interesting and beneficial and arranged systematically.
Civic education students view that the topic of  true news  has clear fact, data and source. In addition, the topic of true news not push aside  someone into awkward position  even though it should report a murder case of someone. The news which perceive reader response contain humane value such as not contain negative sentence and multi interpretation. Meanwhile,  civic education students think that  the content of true news  should contain fact and data, besides clear news source. The content of true news is the news containing fact, data, and not idea containing fake fact and data.
Furthermore. mass media literacy can enhance  skill of analyzing to investigate the truth of the news presented by mass media.  They always compare the news sources in another mass media.  They seek another news source which has similar theme. Usually the actual and factual news is available in some credible print media and portals. In addition, civic education students judgment toward a true news in mass media is that this news should contain fact, its source should be credible and  accountable.  Interestingly, there are some students who stated that press is public representative, so when the news conveyed is wrong then it become “bitter medicine” for public.  If the news conveyed by mass media is true, then it will become “fresh wind” for the public who consume it.
 Public response to a news is important to measure the effectiveness of message conveyed by mass media to public. Furthermore, civic education students conclude a news in mass media as having fact, data and clear news source.  They more refer to fact and data collected from mass media source to find out which is concrete and which is not and not based on certain interest so they can consume it. Meanwhile, some informants more emphasize on topic and content which is more related to the fact in field.  This step is in accord with Branson (1999) that the ability to analyze it will enable someone to differentiate between fact and opinion and between means and end.
It is important to shift the focus and to manage and evaluate the conveying of media content in information  so critical thinking toward media content will be created (Sepherd, 2003).  A citizen can be said think critically if she or he is able to test his/her experience, evaluate knowledge, ideas and consider the argument before obtaining justification (Fisher, in Ismaimuza, 2010).

CONCLUSION
Based on study result and discussion which had been explained above, then the researcher draw conclusion as follow:
1.      The process of civic skill formation of students of Pattimura University through mass media literacy is effective to develop two components of civic skill namely intellectual skill and participatory skill, so civic education students who have intellectual skill are able to differentiate the true news with untrue news or hoax, able to clarify a news. and respond wisely the true news and hoax in mass media.  In addition, participatory skill of civic education students is very clearly seen in which they choose to communicate with mass media to assure the truth of the news, and explain the true news in mass media to other people who had not understand it comprehensively.
2.      Mass media literacy is important for civic education students as main asset for them to prevent the trap of hoax which sometimes inserted behind the news reporting in mass media,  to stop media catastrophe,  and as control instrument toward various messages in mass media.
3.       Hoax is digested by civic education students without verification, because they had believed that this news come from credible source.  However, they like, satisfied and happy with the news they choose with the reason that the news is actual, give knowledge, and meet their need of information so the news is deserved to be consumed by them.
4.      Mass media literacy can form critical thinking skill of Civic Education students. This skill has become main asset for them to bring various opinions in mass media.  This is seen from the skills possessed by Civic Education students in interpreting, analyzing, evaluating a news in right way started from the topic, content until conclusion, so it can save their commonsense from the news containing tribal, racial and religious issues and among classes as well as hoax in mass media.

BIBLIOGRAPHY
Baran, Stanley J. 2010.  The Introduction of Mass Communication: Media Literacy and Culture,  Jakarta: Salemba Humanika.
Bauer, R.A. (1960). Consumer behavior as risk taking”, in Cox, D.F. (Ed.), Risk Taking and Information Handling in Consumer Behavior. Harvard: University Press, Boston, MA.
Branson, M.S, dkk. (1999).  Learning “Civic Education” from America. Yogyakarta: LKIS with support from The Asia Foundaton (TAF).
Branson, M.S. (1998). The Role of Civic Education: A Forthcoming Education Policy Task Force. Position Paper from the Communitarion Network, Calabasas: ECC.
Buckingham, D. (2001). Media Education: A Global Strategy for Development. A Policy Paper for UNESCO Sector of Communication and Information. March. 2001. www.cconline.org.uk/mediacente/Research_Pro-jects/UNESCO_policy.html [18 September 2016].
Cholisin. (2004).  Consolidation of Democracy Through Civic Character Development  Jurnal Civics, 1 (1), page 14-28.
Cogan, J.J. dan Derricott, R. (1998). Citizenship for the 21st Century; An International Perspective on Education. London: Kogan Page.
Costa, A. L. Eds. (1985). Developing Minds; A Resource Book for Teaching Thinking. Virginia: ASDC Publications.
Creswell, John W. 2010. Research Design of Qualitative, Quantitative and Mixed. Yogyakarta : Pustaka Pelajar
Ennis, R. H. (2005). Critical Thinking Test. USA: Bright Minds.
Hobbs, R. (1998). The Seven Great Debates In The Media Literacy Movement. Journal of Communication, 48 (1), hlm. 16-23.
Hobbs, R. (1998). The Seven Great Debates In The Media Literacy Movement. Journal of Communication, 48 (1), hlm. 16-23.
Iriantara, Yosal. (2009).  Media Literacy: What, Why, How. Bandung: Simbiosa Rekatama Media.
Ismaimuza. (2010). The Influence of Problem-Based Learning with Cognitive Conflict Strategy on Mathematical Critical Thinking Ability and Attitude of Junior High School Students. “  Journal of Mathematics Education Vol. 4.  No. 1, page 1-10.
Komalasari, Kokom dan Budimansyah, Dasim. (2008).   The Influence of Contextual Learning in Civic Education of Junior High School Students.   Acta Civicus,  Journal of Civic Education, 2 (1), page. 10-35.
McCombs, Maxwell E. & Shaw, D. L. (1972). The agenda-setting function of mass media. Public Opinion Quarterly 36(2):176-187.
Moleong, L. J (2010). Methodology of Qualitative Study. Bandung: Remaja Rosda Karya.
Noelle-Neumann, E. (1973). Return to the concept of powerful mass media. In G. C. Wilhoit and H. de Bock, eds., Studies of Broadcasting: An Internasional Annual of Broadcasting Science. Tokyo: Nippon Hoso Kyokai.
Noelle-Neumann, E. (1980). Mass media and social change in developed societies. In G. C. Wilhoit and H. de Bock, eds., Mass Communication Review Yearbook. Beverly Hills, Calif: Sage.
Potter, W. James. (1998). Media Literacy. California: Sage Publications.
Prasetiyo, W. Heru. (2016).   The Emergency of Media Literacy in Digital Citizenship: One Idea toward Information Literate Citizen. Seminar International Proceeding, Civic Education as Scholarship and Educational Program in the Context of Graduates Competiveness Reinforcement.
Schafersman, S.D. (1991). An Introduction to Critical Thinking. Accessed in 10 October 2016 from http://www.freeinquiry. com/critical- thinking.html.
Sen, K. dan Hill, D.T. (2001).  Media, Culture and Politic in Indonesia. Jakarta:  Institute of Information Flow Study.
Subiakto, H. (2005).  Developing Literacy Media Through Media Watch Empowerment.   Paper delivered in Forum of Media Watc Formation and Development Facilitation in Higher Education- Department of Communication and Information of Airlangga University,  Surabaya 23-24 November 2005.
Sudarma, Momon. (2013).   Developing Creative Thinking Skill. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Suryadi, Karim. (2005).  Mass Media and Literacy Politic: The Utilization of Political News among Adolescent of Bandung City. Journal of Communication, page. 77-82.
Vredenbregt, J. (1984).   Civic Education Learning. Jakarta: Bumi Aksara.
Wahab A. Azis dan Sapriya. (2011).  Theory and Foundation of Civic Education. Bandung: Alfabeta.
Winataputra, U.S & Budimansyah, D. (2012).  Civic Education in International Perspective,  Context, Theory and Learning Profile.  Bandung: Widya Aksara Press.
Yildirim, B & Ozkahraman, S. (2011). Critical Thinking in Nursing Process and Education. International Journal of Humanities and Social Science, 1 (13), hlm. 257-262.

Yin, RobertK. (2011). Case Study: Design and Method. Jakarta: Rajagrafindo Persada. 

PENINGKATAN CIVIC KNOWLEDGE PESERTA DIDIK MELALUI MODEL PEMBELAJARAN PROJECT CITIZEN


A. PENDAHULUAN
Pendidikan menjadi jalan vital untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, tanpa pendidikan sebuah bangsa tidak akan bertahan. Tantangan ini memicu segenap kewargaan yang terpelajar untuk berlomba menambah deposito pengetahuan sebagaimana layaknya para pelajar di era kontemporer. Kecerdasan dan kemahiran menjadi kewargaan yang berintelektual menjamin kemajuan negara-bangsa dalam sektor pendidikan. Tidak kalah penting Budimansyah (2016) menegaskan, pendidikan dapat menjadikan anak sebagai warganegara yang baik dan cerdas (smart and good citizen).
Pendidikan yang diselenggarakan secara efektif dapat membangun gagasan dan emosi secara terus-menerus (Malatuny dan Rahmat, 2017: 57). Dalam pasal 3 Undang-undang RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (SISDIKNAS), secara imperatif digariskan bahwa;
Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak dan peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggungjawab.

Pendidikan di Tanah Air dewasa ini terus menyisakan pekerjaan besar yang amat berat bagi guru selaku pendidik untuk terus berusaha maksimal mencerdaskan anak bangsa sesuai dengan amanat undang-undang. Di satu sisi pendidikan sebagai wahana bagi setiap anak bangsa yang terpelajar untuk meningkatkan kercerdasannya, namun di sisi lain muncul kekhawatiran akan generasi muda yang tidak terdidik dengan baik sebagai warganegara (citizen) (Budimansyah, 2016).
Kekhawatiran ini bukan sepenuhnya menjadi tanggung jawab pemerintah untuk mengatasinya, melainkan segenap warga yang terdidik, mengingat pendidikan merupakan tanggung jawab setiap warga yang terdidik, terlebih lagi untuk meningkatkan pengetahuan kewarganegaraan (civic knowledge).
Wahab (2008 : 62) mengatakan bahwa “...kewarganegaraan yang dikembangkan haruslah mengandung pengetahuan (knowledge). Meminjam istilah civic knowledge yang dicetuskan oleh Branson (1999: 8) merupakan salah satu komponen pendidikan kewarganegaraan (civic education) yang perlu dikembangkan. Civic knowledge berkaitan dengan kandungan atau nilai apa yang seharusnya diketahui oleh warga negara.
Aspek ini menyangkut kemampuan akademik-keilmuan yang dikembangkan dari berbagai teori atau konsep politik, hukum dan moral. Lebih lanjut, Kalidjernih (2010: 20) menjelaskan civic knowledge yang berkaitan dengan gagasan dan informasi fundamental diketahui dan digunakan oleh pelajar untuk menjadi warga negara yang efektif dan bertanggung jawab dalam kehidupan yang demokratis.
Secara terperinci, materi civic knowledge meliputi pengetahuan tentang hak dan tanggung jawab warga negara, hak asasi manusia, prinsip-prinsip dan proses demokrasi, lembaga pemerintah dan non-pemerintah, identitas nasional, pemerintahan berdasar hukum (rule of law) dan peradilan yang bebas dan tidak memihak, konstitusi, serta nilai-nilai dan norma-norma dalam masyarakat (Branson, 1999).
Demi peningkatan civic knowledge dalam proses belajar mengajar, maka guru sebagai pendidik mesti melaksanakan tanggung jawab secara optimal. Proses belajar mengajar menjadi terkesan bermakna bagi kehidupan setiap peserta didik jika ditopang oleh model pembelajaran yang bisa memicu mereka untuk semangat menyerap ilmu. Model pembelajaran yang dimaksudkan ialah project citizen.
Project citizen memberikan kesempatan kepada para siswa untuk ambil bagian dalam pemerintahan dan masyarakat sipil sambil mempraktikkan berpikir kritis, dialog, debat, negoyasi, kerja sama, kesantunan, toleransi, membuat keputusan, dan aksi warganegara (civic action) yakni melaksanakan kewajibanya sebagai warga negara untuk kepentingan bersama (CCE, 1998: 1; Baudimansyah, 2008: 1).
Pengembang model pembelajaran project citizen Budimansyah (2009: 1) melalui tulisannya menjelaskan, project citizen merupakan salah satu instructional treatment yang berbasis masalah untuk mengembangkan pengetahuan, kecakapan, dan watak kewarganegaraan demokratis yang memungkinkan dan mendorong keikutsertaan dalam pemerintahan dan masyarakat sipil.
Pendidik mesti menyadari, demi meningkatkan civic knowlede setiap peserta didik, maka model pembelajaran project citizen sangat penting digunakan, untuk itu, penulis memilih menerapkan model pembelajaran project citizen dalam proses belajar mengajar. Karena beberapa hal pokok yang mendasarinya. Pertama, model pembelajaran project citizen bermanfaat untuk meningkatkan civic knowledge peserta didik sehingga membantu mereka untuk berpikir kritis dalam memecahkan masalah kebijakan publik dan memberikan sumbangsih pikir bagi setiap kebijakan publik dalam negara.
Sayangnya, pendidik tidak menerapkan model pembelajaran project citizen secara terus-menerus dalam proses belajar mengajar. Alhasil, keterampilan berpikir kritis (critical thingking skill) belum menjadi merupakan modal utama bagi peserta didik dalam memecahkan masalah pembelajaran maupun masalah yang terjadi pada lingkungan sekitar tempat tinggal mereka. Semestinya, berbagai guru PKn di Indonesia menerapkan model pembelajaran project citizen secara rutin dalam pembelajaran.
Budimansyah, (2008) menjelaskan bahwa project citizen juga sudah diterapkan di tingkat sekolah menengah pertama dan sekolah menengah atas dalam bidang Ilmu Sastra, Social Studies, dan antarberbagai cabang ilmu pengetahuan yang dipelajari siswa pada semua tingkatan dengan jatah waktu pelajaran selama 50 menit, program tersebut diprioritaskan menjadi mata pelajaran dengan jangka waktu enam minggu yang digunakan untuk menambah mata pelajaran yang ada di dalam kerangka satu kurikulum yang standar. Tetapi di Latvia, program tersebut diterapkan sebagai satu kurikulum intensif satu minggu (tujuh hari penuh) dan di negara-negara bagian lainnya di Amerika Serikat sebagai satu mata pelajaran yang berdiri sendiri sepanjang semester.
Branson dalam Budimansyah (2009: 17-19) mengemukakan bahwa dasar pemikiran project citizen terletak pada satu kerangka tentang gagasan pendidikan dan politik. Seperti demokrasi memerlukan pemerintahan sendiri dan karenanya memerlukan keterlibatan aktif dan berpengetahuan warga negara dalam kehidupan berwarga negara. Satu komponen yang sangat diperlukan tentang keterlibatan warga negara adalah partisipasi dalam proses pembuatan kebijakan publik.
Kedua, model pembelajaran project citizen memberikan pengalaman bagi peserta didik dalam menyelesaikan masalah. Namun, pendidik selaku aktor kunci dalam kelas belum menerapkan project citizen secara optimal, sehingga beragam masalah dalam pembelajaran belum mampu dipecahkan. Terlebih lagi, peserta didik lambat merespon beragam masalah dalam pembelajaran dan belum mampu menyelesaikan sendiri tanpa bantuan dari orang terdekat.
Peran pendidik yang utama adalah sebagai instruktur atau fasilitator yang memberi petunjuk pada para siswa tentang sumber-sumber informasi yang baru, membantu mengadakan kontak-kontak, dan membekali para peserta didik dengan saran-saran bermanfaat lainnya pada waktu para peserta didik mengadakan penelitiam bimbingan atau petunjuk guru menerangkan tiap tahap proses penelitian tersebut, memberikan banyak sumber tambahan (sebagai contoh, kiat-kiat memperoleh  sumber informasi yang baiki pedoman untuk mengadakan satu smulasi (silang dengar pendapat), dan para guru juga melengkapi para siswa dengan rubrik-rubrik evaluasi untuk menilai kinerja tulisan dan lisan mereka (Budimansyah, 2008).
Para pendidik juga memberikan panduan khusus kegiatan peserta didik untuk membantu mereka melewati tiap tahap dari program tersebut, kriteria penyelesaian tiap tugas, daftar istilah-istilah, dan lampiran-lampiran untuk membantu menemukan sumber-sumber yang dibutuhkan untuk memecahkan masalah-masalah kebljakan publik secara mendalam.
Ketiga, model pembelajaran project citizen memicu peserta didik untuk menjelaskan secara gamblang terkait masalah yang dihadapi bukan hanya dalam pembelajaran tetapi dalam kehidupan, sayangnya kelompok peserta didik yang beranggung jawab untuk menjelaskan masalah yang telah dipilih untuk diteliti belum mampu menjelaskan secara komprehensif. Karena kemampuan mencerna masalah dan berpikir kritis belum diasah dengan optimal oleh pendidik dalam proses belajar mengajar.
Keempat, tujuan project citizen adalah untuk memotivasi dan memberdayakan para peserta didik dalam menggunakan hak dan tanggung jawab kewarganegaraan yang demokratis melalui penelitian yang intensif mengenai  masalah kebijakan publik di sekolah atau di masyarakat tempat mereka berinteraksi (Budimansyah, 2009). Namun, realita ini tidak ditemukan pada peserta didik yang mengeyam pendidikan pada SMA, dikarenakan penerapan model pembelajaran project citizen oleh pendidik belum optimal.
Implementasi model project citizen sangat berpengaruh terhadap peningkatan pengetahuan kewarganegaraan. Melalui model pembelajaran ini, seluruh rangkaian pembelajaran melibatkan aktivitas dan kreativitas peserta didik. Tidak hanya aspek kognitifnya saja yang diasah tetapi juga aspek afektif dan psikomotoriknya. peserta didik diajak untuk peka terhadap permasalahan-permasalahan sosial yang ada di lingkungan sekitarnya (Jayadiputra, 2015: 17).
Pendidik semestinya memberi stimulus yang kuat agar peserta didik memberi respon yang berarti dalam proses belajar mengajar. Dalam menerapan model pembelajaran project citizen pendidik hendaknya bersemangat demi memberikan suntikan semangat belajar yang kuat bagi peserta didik untuk menyerap semua ilmu yang dipelajari sehingga peningkatan civic knowledge sebagaimana yang diharapkan pendidik dapat terwujud, terlebih lagi berguna untuk memecahkan tantangan yang datang tiada henti dalam kehidupan membangsa dan menegara.
Model pembelajaran project citizen bukan hanya menjadi preferensi bagi setiap pendidik di SMA dalam proses belajar mengajar untuk meningkatkan civic knowledge, melainkan obat mujarab (panacea) bagi pendidik untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis, dialog, debat, negosiasi, kerja sama, kesantunan, toleransi, membuat keputusan, dan aksi warganegara (civic action) dalam melaksanakan kewajibanya sebagai warga negara yang baik dan cerdas (smart and good citizen) untuk kepentingan bersama di tengah banyaknya persoalan sebagai penyakit sosial yang kerap menerpa kehidupan mereka.
Mengingat begitu urgen penerapan model pembelajaran project citizen dalam meningkatkan civic knowlede setiap peserta didik, maka tema dalam penulisan ini amat menarik dan penting untuk dikaji. Karena, penulis yakini bahwa akan terjadi banyak kerugian apabila tema dalam penulisan ini tidak diteliti dan dicarikan solusi.

B.  PEMBAHASAN 
A.      Pengetahuan Kewarganegaraan (Civic Knowledge)
1.      Hakikat Civic Knowledge
Berdasarkan kompetensi yang perlu dikembangkan, terdapat tiga komponen utama yang perlu dipelajari dalam pendidikan kewarganegaraan yaitu pengetahuan kewarganegaran (civic knowledge), kecakapan kewarganegaraan (civic skill) dan watak kewarganegaraan (civic dispostion). Tiga komponen civic education perlu dimiliki oleh seorang warga negara agar menjadi cerdas, berkarakter dan partisipatif (Branson, dkk. 1999; Winarno, 2014). Civic knowledge (pengetahuan kewarganegaraan), berkaitan dengan apa yang seharusnya diketahui oleh warganegara (Branson (1998: 16). Wahab (2008 : 62) mengatakan bahwa “...kewarganegaraan yang dikembangkan haruslah mengandung pengetahuan, ketrampilan, nilai-nilai, dan disposisi yang idealnya dimiliki warga negara”. Jika warga negara sudah tercerdaskan dalam aspek-aspek tersebut, maka tujuan PKn sudah dapat dikatakan berhasil.
Komponen pengetahuan (civic knowlwdge) mencakup bidang politik, hukum, dan moral. Secara lebih rinci pengetahuan kewarganegara meliputi pengetahun tentang prinsip-prinsip dan proses demokrasi, lembaga pemerintah dan nonpemerintah, identitas nasional, pemerintahan berdasarkan hukum (rule of law) dan peradilan yang bebas dan tidak memihak, konstitusi, sejarah nasional, hak dan tanggung-jawab warganegara, hak asasi manusia, hak sipil dan hak politik (Depdiknas (b), 2002).
Civic knowledge “berkaitan dengan kandungan atau nilai apa yang seharusnya diketahui oleh warga negara” (Branson, 1999: 8). Aspek ini menyangkut kemampuan akademik-keilmuan yang dikembangkan dari berbagai teori atau konsep politik, hukum dan moral. Dengan demikian, mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan merupakan bidang kajian multidisipliner.
Secara lebih terperinci, materi pengetahuan kewarganegaraan meliputi pengetahuan tentang hak dan tanggung jawab warga negara, hak asasi manusia, prinsip-prinsip dan proses demokrasi, lembaga pemerintah dan non-pemerintah, identitas nasional, pemerintahan berdasar hukum (rule of law) dan peradilan yang bebas dan tidak memihak, konstitusi, serta nilai-nilai dan norma-norma dalam masyarakat.
Winataputra dan Dasim Budimansyah (2012: 199) menegaskan, civic knowledge (pengetahuan kewarganegaraan) berkaitan dengan kandungan  atau apa yang seharusnya diketahui oleh warganegara. Komponen pertama ini harus diwujudkan dalam bentuk lima pertanyaan penting yang secara terus-menerus harus diajukan sebagai sumber belajar PKn. Lima pertanyaan yang dimaksud adalah: (1) Apa kehidupan kewarganegaraan politik dan pemerintahan?; (2) Apa dasar-dasar sistem politik Indonesia?; (3) Bagaimana pemerintahan yang dibentuk oleh Konstitusi mengejawantahkan tujuan-tujuan nilai-nilai, dan prinsip-prisip demokrasi Indonesia?; (4) Bagaimana hubungan antara Indonesia dengan negara-negara di dunia?; dan (5) Apa peran warganegara dalam demokrasi Indonesia?.
Cara yang dipilih untuk mengorganisa komponen pengetahuan kewargagaraan ke dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan bukanlah tanpa alasan dan kebetulkan belaka. Demokrasi adalah suatu dialog, suatu diskusi, suatu proses yang disengaja, di mana seluruh warganegara terlibat di dalamnya. Kegunaan pertanyaan-pertanyaan tadi adalah untuk menunjukkan bahwa proses perenungannya tidak pernah berakhir, tempat pemasaran ide-ide, suatu pencarian cara baru dan sebagai cara terbaik untuk merealisasikan cita-cita dernokrasi. Sangatlah penting bahwa setiap orang memiliki. kesempatan untuk merenungkan pertanyaan-pertanyaan pokok mengenai pemerintahan dan masyarakat sipil (civil society) yang akan terus menantang orang-orang yang mau berpikir.
Menggagas pertanyaan pertama, “Apa kehidupan kewarganegaraan, politik, dan pemerintahan’?” membantu warganegara melakukan pertimbangan-pertimbangan yang matang mengenai hakikat kehidupan kewarganegaraan, politik, dan pemerintahan serta mengapa politik dan pemerintahan itu penting; tujuan-tujuan pemerintahan karakter-karakter utama pemerintahan terbatas dan tidak terbatas; hakikat dan tujuan Konstitusi dan cara-cara alternatif mengorganisasikan pemerintahan konstitusional.
Perenungan terhadap pertanyaan ini, hendaknya mengembangkan pemahaman yang lebih besar akan hakikat pentingnya civil society atau jaringan kompleks dan asosiasi-asosiasi politik, sosial dan ekonomi yang dibentuk dengan bebas dan sukarela yang merupakan kompoenen esensial dan demokrasi konstitusional. Civil Society yang vital bukan hanya mampu mencegah penyelewengan atau pemusatan kekuasaan yang berlebihan oleh pemerintah, namun organisasi-organisasi civil society dapat pula berfungsi sebagai laboratorium publik dimana warganegara belajar sambil langsung praktik (learning by doing).
2.      Unsur-Unsur Civic Knowledge
Civic klowlegde memiliki unsur-unsur sebagai berikut;
a.    Politik : a. Manusia sebagai zoon politikon (makhluk sosial); b. Proses terbentuknya masyarakat politik; c. Proses terbentuknya bangsa; d. Asal usul negara; e. Unsur-unsur negara, tujuan negara, dan bentuk-bentuk negara; f. Kewarganegaraan; g. Lembaga politik; h. Model-model sistem politik; i. Lembaga-lembaga Negara; j. Demokrasi Pancasila; k. Globalisasi
b.    Hukum : a. Rule of law (Negara Hukum); b. Konstitusi; c. Sistem hukum; d. Sumber hukum; e. Subyek hukum, obyek hukum, peristiwa hukum, dan sanksi hukum; f. Pembidangan hukum; g. Proses hukum; g. Peradilan
c.    Moral : a. Pengertian nilai, norma, dan moral; b. Hubungan antara nilai, norma dan moral; c. Sumber-sumber ajaran moral; d. Norma-norma dalam masyarakat; e. Implementasi nilai-nilai moral Pancasila.
3.      Pentingya Civic Knowledge
Pentingnya komponen pengetahuan kewarganegaraan yaitu untuk membekali peserta didik agar dapat menjadi warga negara yang demokratis dengan menguasai sejumlah pengetahuan, antara lain :
a.    Memahami tujuan pemerintahan dan prinsip-prinsip dasar konstitusi pemerintahan Republik Indonesia.
b.    Mengetahui struktur, fungsi dan tugas pemerintahan daerah dan nasional serta bagaimana keterlibatan warganegara membentuk kebijaksanaan publik.
c.    Mengetahui hubungan negara dan bangsa Indonesia dengan negara-negara dan bangsa lain serta masalah-masalah dunia dan internasional.
B.  Model Pembelajaran Project Citizen
1.    Hakikat Project Citizen
Dalam ensiklopedi Indonesia (Jilid 4), dijelaskan bahwa model merupakan kata pengecil dari “modo” yang artinya sifat, cara dan representasi kecil dari suatu benda atau keadaan untuk mengembnagkan, menjelaskan atau menemukan sifat-sifat bentuk aslinya. Model yang dimaksud dalam penelitian ini adalah model pembelajaran. Salah satu model pembelajaran yang dapat diterapkan dalam pembelajaran PKn untuk meningkatkan pengetahuan kewargarganegaraan adalah model pembelajaran Project Citizen.
Model Project citizen merupakan salah satu instructional treatment yang berbasis masalah untuk mengembangkan pengetahuan, kecakapan, dan watak kewarganegaraan demokratis yang memungkinkan dan mendorong keikutsertaan dalam pemerintahan dan masyarakat sipil (Budimansyah, 2009: 1). Model ini pertama kali digunakan di California pada tahun 1992 dan kemudian dikembangkan menjadi satu program nasional oleh Center For Civic Education (CCE) dan Konferensi Nasional Badan Pembuat Undang-Undang Negara pada tahun 1995. Selanjutnya secara paradigmatik model ini diadaptasi di Indonesia dari “We the People….Project Citizen” yang dikembangkan oleh Center for Civic Education (CCE) Calabas, dan dalam 15 tahun terakhir ini telah diadaptasi di sekirar 50 negara di dunia.
Di Indonesia model ini dikenal dengan Model Projek Belajar Kewarganegaraan… Kami Bangsa Indonesia (PKKBI), yang mulai dirintis pengembangannya di sekolah dasar dan menengah. Sebagai model pembelajaran, dipilih topik generik “Public Policy” (Kebijakan Publik), yang memang berlaku di negara manapun. Misi dari model ini adalah mendidik para siswa agar mampu menganalisis berbagai dimensi kebijakan publik dalam konteks proses demokrasi, dan dengan kapasitasnya sebagai “young citizen” atau warganegara muda mencoba memberi masukan terhadap kebijakan publik di lingkungannya. Hasil yang diharapkan adalah meningkatnya kualitas warganegara yang “cerdas, kreatif, partisipatif, prospektif, dan bertanggung jawab” (Jayadiputra, 2015: 14).
Misi dari model ini, adalah mendidik peserta didik agar mampu untuk menganalisis berbagai dimensi kebijakan publik, kemudian dengan kapasitasnya sebagai warga negara muda mampu memberikan masukan terhadap kebijakan publik dilingkungannya (Budimansyah, 2010: 159).
Hal ini dapat dipahami bahwa model pembelajaran project citizen membantu warga negara muda untuk berpikir kritis dalam memecahkan masalah kebijakan publik dan memberikan sumbangsih pikir bagi setiap kebijakan publik dalam negara. Lebih lanjut, hasil kajian yang dilakukan oleh Malatuny, dkk (2016) menegaskan bahwa model pembelajaran project citizen secara komperhensip mampu menampung segala komponen kewarganegaraan, baik dari aspek knowledge, skill dan disposition. Model ini pembelajaran ini mampu memberi pengalaman baru bagi peserta didik sebagai bekal mereka dimasa depan dalam menghadapi persaingan global.
Salah satu contoh penerapan model pembelajaran project citizen adalah yang dilakukan oleh Tim Senegal yang mengangkat tema “Acces to clean water”. Peserta didik dari sebuah desa kecil Ross Bethio mengajukan masalah terkait kesulitan air bersih. Mereka melihat keadaan masyarakat yang kesulitan memperoleh air bersih untuk kehidupan sehari-hari. Walaupun ada sumber air, tetapi jaraknya jauh dan itupun tidak sehat karena terkontaminasi oleh berbagai limbah yang rawan menyebabkan berbagai penyakit kolera dan penyakit kulit lainnya (Malatuny, dkk, 2016).
Para peserta didik menyadari bahwa persoalan tersebut perlu dipecahkan melalui survey untuk mencari solusi terbaik. Pertama tim peneliti berkunjung pada tokoh agama setempat untuk memperoleh dukungan, kemudian berkunjung ke otoritas setempat untuk menanyakan apa yang telah dan akan dilakukan pemerintah untuk menanggulangi masalah tersebut. Sebenarnya pemerintah telah membangun tower air untuk menyuplai air ke Ross Bethio, namun proyek tersebut terbengkalai dan tidak kunjung selesai dengan alasan tidak cukup dana.
Kemudian tim mendesak pemerintah agar serius menyelesaikan pembangunan tower air, tim mengorganisasikan sebuah demonstasi damai yang diikuti oleh seluruh peserta didik. Tim meyakinkan kepada pemerintah bahwa solusi terbaik untuk memperoleh akses air bersih adalah penyelesaian pembangunan tower air, akhirnya otoritas setempat memulai mengerjakan proyek tersebut. Model pembelajaran ini memberikan pengalaman peserta didik dalam menyelesaikan masalah. Dengan demikian melalui model pembelajaran project citizen dalam pendidikan kewarganegaraan dapat diterapkan pada berbagai jenjang pendidikan di Indonesia untuk meningkatkan kesadaran sebagai warga negara global.
Pentingnya pendidikan kewarganegaraan untuk membangun kesadaran dan pemahaman sebagai warga negara global, disebabkan munculnya berbagai masalah yang kompleks dan rumit untuk dipecahkan pada era kontemporer, misalnya masalah lintas negara yang mencakup isu-isu global yang menyentuh semua sendi-sendi kehidupan negara di dunia, maka pendekatan yang baru terhadap kewarganegaraan perlu disiapkan (Branson, 1999: 131).
Sebagai suatu inovasi model project citizen dilandasi oleh Empat pilar pendidikan yakni learning to do, learning to know, learning to be, learning to live together); Pandangan Konstruktivisme; Democratic teaching dan beberapa prinsip pembelajaran pendidikan kewarganegaraan yang meliputi Prinsip Belajar Siswa Aktif, Kelompok Belajar Kooperatif, Pembelajaran Partisipatorik, Reactive Teaching (Budimansyah, 2002:4, 8-13).
Fokus perhatian dari model ini adalah pengembangan “civic knowledge (pengetahun kewarganegaraan), civic dispositions (kebajikan kewarganegaraan), civic confidence (kepercayaan diri kewarganegaraan), civic commitment (komitmen kewarganegaraan), civic competence (kompetensi kewargenagaraan)” yang bermuara pada berkembangnya well-informed, reasoned, and responsible decision making (kemampuan mengambil keputusan, berwawasan, bernalar dan bertanggung jawab)”. Langkah-Langkah Pembelajaran Model Project Citizen, yaitu: 1) Mengidentifikasi Masalah, 2) Memilih suatu masalah untuk dikaji oleh kelas, 3) Mengumpulkan informasi yang terakit pada masalah itu, 4) Mengembangkan portofolio kelas, 5) Menyajikan portofolio dihadapan dewan juri, 6) Melakukan refleksi pengalaman belajar.
Dari penelitian lintas negara yang dilaporkan oleh International Democratic Education Institute (Craddock, 2007) mengambil kesimpulan bahwa project citizen memberikan dampak bagi pengetahuan, sikap dan keterampilan kewarganegaraan siswa. Meskipun demikian, ruang lingkup (jangkauan) dan derajat pengaruh ini sangat beragam di antara berbagai kawasan di beberapa negara.
C.    Asal-Usul Project Citizen
Model ini pertama kali digunakan di California pada tahun 1992 dan kemudian dikembangkan menjadi satu program nasional oleh Center For Civic Education (CCE) dan Konferensi Nasional Badan Pembuat Undang-lJndang Negara pada  tahun 1995. Project Citizen adalah satu instructional treatment yang berbasis masalah untuk mengembangkan pengetahuan, kecakapan, dan watak kewarganegaraan demokratis yang memungkinkan dan mendorong kelkutsertaan  dalam pemerintahan dan masyarakat sipil (civil society).
Program tersebut mendorong para siswa untuk terlibat secara  aktif dengan organisasi-organisasi pemerintah dan masyarakat sipil untuk memecahkan satu persoalan di sekolah atau  di masyarakat dan untuk mengasah kecerdasan sosial dan intelektual yang penting bagi kewarganegaraan demokratis  yang bertanggung jawab. Jadi, tujuan Project Citizen adalah untuk memotivasi dan memberdayakan para siswa dalam menggunakan hak dan tanggung jawab kewarganegaraan yang demokratis melalui penelitlan yang intensif mengenai  masalah kebijakan publik di sekolah atau di masyarakat tempat mereka berinteraksi.
Bahan-bahan pelajarannya pun  disusun untuk membantu para siswa belajar mengawasi dan mempengaruhi kebijakan publik, meningkatkan kecakapan yang diperlukan untuk menjadi warga negara yang bertanggung jawab dan efektif serta memiliki rasa percaya diri dalam menggunakan hak dan tanggung jawabnya sebagai warga negara.
Project Citizen memberikan kesempatan kepada para siswa untuk ambil bagian dalam pemerintahan dan masyarakat sipil sambil mempraktikkan berpikir kritis, dialog, debat, negoyasi, kerja sama, kesantunan, toleransi, membuat keputusan, dan aksi warganegara (civic action) yakni melaksanakan kewajibanya sebagai warga negara untuk kepentingan bersama (CCE, 1998: 1; Baudimansyah, 2008: 1).
Meskipun dirancang untuk digunakan oleh para siswa sekolah menengah dalam bidang pelajaran Civic and Government, Project Citizen juga sudah diterapkan di tingkat sekolah menengah pertama dan sekolah menengah atas dalam bidang Ilmu Sastra, Social Studies, dan antarberbagai cabang ilmu pengetahuan yang dipelajari siswa pada semua tingkatan dengan jatah waktu pelajaran selama 50 menit, program tersebut diprioritaskan menjadi mata pelajaran dengan jangka waktu enam minggu yang digunakan untuk menambah mata pelajaran yang ada di dalam kerangka satu kurikulum yang standar. Tetapi di Latvia, program tersebut diterapkan sebagai satu kurikulum intensif satu minggu (tujuh hari penuh) dan di negara-negara bagian lainnya di Amerika Serikat sebagai satu mata pelajaran yang berdiri sendiri sepanjang semester.
Peran guru yang utama adalah sebagai instruktur atau fasilitator yang memberi petunjuk pada para siswa tentang sumber-sumber informasi yang baru, membantu mengadakan kontak-kontak, dan membekali para siswa dengan saran-saran bermanfaat lainnya pada waktu para siswa mengadakan penelitiam bimbingan atau petunjuk guru menerangkan tiap tahap proses penelitian tersebut, memberikan banyak sumber tambahan (sebagai contoh, kiat-kiat memperoleh  sumber informasi yang baiki pedoman untuk mengadakan satu smulasi sidang dengar pendapat), dan para guru juga melengkapi para siswa dengan rubrik-rubrik evaluasi untuk menilai kinerja tulisan dan lisan mereka.
Para guru juga memberikan panduan khusus kegiatan siswa untuk membantu mereka melewati tiap tahap dari program tersebut, kriteria penyelesaian tiap tugas, daftar istilah-istilah, dan lampiran-lampiran untuk membantu menemukan sumber-sumber yang dibutuhkan untuk memecahkan masalah-masalah kebljakan publik secara mendalam.
Bagi banyak kelompok siswa, tahap pertama program Project Citizen, yaitu memilih masalah untuk diteliti, merupakan tahap tersulit (CCE, 1998: xii). Oleh karena itu peran guru sebagai fasilitator hendaknya mampu menyadarkan mereka bahwa masalah-masalah tersebut banyak terdapat di sekitar kita. Mereka dapat diarahkan untu memperhatikan berita yang dimuat pada surat kabar, ulasan berita di televisi, atau mengamati lingkungan masya-rakat sekitar. Ketika kelompok-kelompok siswa telah menemu-kan sejumlah masalah yang potensial untuk dljadikan bahan kajlan kelas, selanjutnya mereka harus meneliti pentlngnya masalah-masalah tersebut dengan mewawancarai anggota masyarakat dan meninjau ulang sumber-sumber informasi dari media mengenai masalah tersebut.
Jika kelompok siswa yakin telah memperoleh informasi yang cukup mengenal masalah-masalah yang sedang dibicarakan untuk membuat keputusan, maka para siswa tersebut dapat memutuskan masalah apa yang akan diteliti. Meskipun bukan merupakan bagian resmi dari kurikulum Project Citizen, banyak guru meminta pada para siswa membuat kriteria untuk memberikan penilaian masalah-masalah yang potensial (sebagai contoh, pentingnya masalah tersebut, kemungkinan dapat ditelitinya masalah tersebut).
Budimansyah (2008), menyatakan setelah memilih satu persoalan penting, kelompok siswa tersebut dibagi menjadi tim-tim riset untuk mengumpulkan informasi dari berbagai sumber, seperti perpustakaan, koran, anggota masyarakat, organisasi kemasyarakatan, lembaga perwakilan rakyat, perwakilan pemerintah, dan sumber-sumber elektronik. Informasi dikumpulkan dengan berbagai carat seperti www (world wide web) atau situs internet, telepon, wawancara perorangan, dan melalui surat.
Hasil pekerjaan itu dituangkan dalam naskah siswa yang memperlihatkan bentuk-bentuk dokumentasi dari tiap sumber, yang disusun untuk mengarahkan analisis informasi yang diperoleh. Setelah itu, kelompok siswa tersebut kembali dibagi menjadi kelompok-kelompok belajar koperatif untuk melaksanakan empat tahap penelitian dan keikutsertaan di dalam proses pembuatan kebijakan publik, yaitu:
1.      Menerangkan masalah. Kelompok ini bertanggung jawab untuk menjelaskan masalah yang telah dipilih oleh kelompok siswa untuk diteliti. Kelompok ini juga harus menjelaskan mengapa masalah tersebut penting dan mengapa pemerintah atau penvakilan pemerintah harus mampu menanganinya.
2.      Mengevaluasi kebijakan-kebljakan alternatif untuk memecahkan masalah. Kelompok ini benanggung jawab untuk mengembang-kan dan membenarkan kebijakan-kebijakan publik alternatif yang diuji dan dievaluasi oleh kelompok siswa.
3.      Membuat satu kebijakan publik yang akan didukung oleh kelompok siswa. Kelompok ini bettanggung jawab mengembangkan dan membenarkan kebijakan-kebijakan publik khusus yang oleh mayoritas kebmpok siswa  disetujui untuk didukung.
4.      Membuat satu rencana aksi untuk mendesak pemerintah menerima kebijakan kelompok siswa tersebut. Kelompok ini bertanggung jawab membuat satu rencana aksi (action plan) yang menunjukkan bagaimana warga negara mempengaruhi pemerintah untuk menyetujui kebijakan yang didukung oleh kelompok siswa tersebut (CCE, 1998: 24-25).
Jika para siswa telah memilih satu kebijakan untuk memecahkan masalah, seluruh anggota kelompok siswa tersebut diminta untuk mempertimbangkan apakah kebijakan yang diusulkan tersebut mengganggu hak-hak individu seperti  kebebasan berbicara, hak mendapat perlindungan atau pembelaan diri, privasi, atau perlindungan yang sama di bawah undang-undang. Para siswa diminta untuk mempertahankan konstitusonalitas kebijakan yang mereka usulkan secara hitam di atas putih.
Hasil kerja kelompok belajar kooperatif tersebut diperlihatkan dalam bentuk satu barang bukti portofolio tayangan (empat bagian) dan binder dokumentasi. Para siswa memasukkan pernyataan tertulis, chart, grafik, dan/atau karya seni  asli pada tiap bagian portofolio dan memuat bukti penelitlan mereka dalam binder dokumentasi. Naskah siswa tersebut menguraikan knteria umum untuk semua bagian portofolio dan kriteria khusus serta saran-saran untuk tiap bagian tersendiri (CCE, 1998: 26-32).
Kegiatan puncak program tersebut adalah simulasi sidang dengar pendapat (show case) dimana para siswa menunjukkan pengetahuan mereka dengan memainkan peran sebagai saksi ahli. Mereka memberikan kesaksian mengenai portofolio yang mereka susun di depan anggota dewan juri, yang memainkan peran sebagai pembuat undang-undang negara.
Format simulasi sidang dengar pendapat tersebut memberikan kesempatan pada para siswa untuk menunjukkan pengetahuan dan pemahaman mereka tentang bagaimana kebijakan publik dirumuskan sambil membekali para guru dengan cara alternatif untuk menilai kinetja siswa. Selama show case, tiap kelompok dengan bagian portofolionya masing-masing mempersiapkan dan mempresentasikan satu pernyataan dalam waktu empat menit pada tiap bagian portofolio. Setelah tiap pernyataan pembuka, para juri yang merupakan anggota masyarakat memiliki waktu enam menit untuk bertanya kepada para siswa untuk tiap penanyaan panel dan menilai mutu dari tiap kerja tim menurut rubrik evaluasl yang diberikan pada tiap juri. Sesuai dengan naskah siswa, terdapat empat tujuan mendasar dari simulasi dengar pendapat ini, yaitu:
1.      Memberitahukan para hadirin akan pentingnya masalah yang teridentifikasi di masyarakat.
2.      Memelaskan dan mengevaluasi kebijakan-kebijakan alternatif sehingga hadirin dapat memahami kelebihan dan kekurangan dari tiap kebiJakan alternatlf tersebut.
3.      Membahas pilihan kelompok siswa tersebut sebagai kebijakan yang "terbaik" untuk memecahkan masalah dan "mengusulkan" kebijakan tu Mengeluarkan dan mendukung pendapat kelompok tersebut bahwa kebijakan yang diusulkan tidak melanggar Undang-Undang Dasar, hukum tata negara, atau undang-undang.
4.      Menunjukkan bagaimana kelompok siswa tersebut mampu meraih dukungan untuk kebijakannya di masyarakat, seperti di badan legislatif dan eksekutif pada tingkat pemerintahan yang tepat (CCE 1998: 33).
Di Amerika Serikat dan di beberapa negara lainnya di seluruh dunia, para guru dan siswa yang terlibat dalam Project Citizen didorong untuk ikut ambil bagian dalam Show-Case tingkat lokal, regional, negara bagian, dan nasional yang bersifat kompetitf. Meskipun bukan satu syarat untuk ambil bagian dalam program tersebut, kompetisi-kompetisi tersebut menjadi cara untuk memotivasi siswa belajar, memberikan penghargaan atas prestasi siswa, dan menarik minat anggota masyarakat dan lembaga-lembaga penyandang dana yang potenslal. Di Indiana, sebagai contoh, terdapat tiga kompetisi regional (di Lafayette, Evansville, dan Indianapolis) dan satu kompetisi negara bagian (di Indianapolis) yang diselenggarakan secara rutin sebagai program tahunan selama enam bulan dalam musim semi.
Beberapa guru yang menerapkan Project Citizen cenderung melakukan Show Case hanya di sekolah dan memilih untuk tidak ambil bagian  dalam satu kompetisi. Banyak dari mereka tu memperlihatkan sikap acuh tak acuh secara umum mengenal kompetisi-kompetisi akademis, sedangkan yang lainnya merasa kesulltan memasukkan kompetisi tersebut ke dalam kurikulum yang sudah padat dan merasa keberatan sehingga dengan cepat berallh ke topik-topik dan soal-soal lainnya.
Keikutsertaan dalam program tersebut bersifat suka rela di Indiana dan di seluruh Amerika Serikat; Project Citizen merupakan satu kegiatan pembelajaran fakultatif di dalam kurikulum sekolah-sekolah di Latvia, Lithuania dan negara- negara pasca-komunis Eropa Tengah dan Timur. Kumpulan bahan-bahan gratis yang terbatas (kumpulan buku pelajaran siswa di kelas, bimbingan guru, dan piagam penghargaan bagi siswa) tersedia dan membantu mendorong keikutsertaan mereka. Tingkat profesionalisme guru sebelum program Project Citizen dilatihkan sangat beragam.
Beberapa guru telah ikut ambil bagian dalam lokakarya-lokakarya singkat (dua jam sampai seharian penuh), sementara yang lainnya telah ambil bagian pada "summer institutes" (diklat yang diadakan pada saat liburan musim panas) yang lebih ekstensif yang berlangsung sampai empat hari. Dalam lokakarya dan lembaga pembinaan profesionaliisme guru lebih ekstensif, para guru secara khusus menjalani versi singkat dari program tersebut. Mereka memperlihatkan satu portofolio dan binder dokumentasi, dan mereka ikut ambil bagian dalam show case.
D.  Implementasi Model Pembelajaran Project Citizen
Pada awalnya project citizen digunakan untuk mata pelajaran Civic and Government di Amerika serikat. sekarang project citizen juga diterapkan di tingkat sekolah menengah pertama dan sekolah menengah atas dalam bidang Sosial Studies. Model Project Citizen dalam pembelajaran pendidikan kewarganegaraan sangatlah cocok diterapkan, hal ini berkaitan dengan Kecakapan kewarganegaraan (civic skill).
Jika warganegara mempraktekkan hak-hak dan menunaikan kewajiban-kewajibannya sebagai anggota masyarakat yang berdaulat, mereka tidak hanya perlu menguasai pengetahuan dasar sebagaimana diwujudkan dalam lima pertanyaan sebagaimana diuraikan, namun mereka pun perlu memiliki kecakapan-kecakapan intelektual dan partisipatoris yang relevan. Kecakapan-kecakapan intelektual meliputi identifying and describing; explaining and analyzing; and evaluating, taking and defending positions on publik issues. Kecakapan-kecakapan partisipatoris mencakup interacting, monitoring and influencing.
Branson dalam Budimansyah (2009: 17-19) mengemukakan bahwa dasar pemikiran project citizen terletak pada satu kerangka yang terdiri atas lima bagian tentang gagasan pendidikan dan politik. Pertama, demokrasi memerlukan pemerintahan sendiri dan karenanya memerlukan keterlibatan aktif dan berpengetahuan warga negara dalam kehidupan berwarga negara. Satu komponen yang sangat diperlukan tentang keterlibatan warga negara adalah partisipasi dalam proses pembuatan kebijakan publik.
Kedua, para siswa harus belajar bagaimana menjadi terlibat dalam kehidupan berwarga negara dengan terlibat di dalamnya, yaitu dengan menyandang kewarganegaraan yang bertanggung jawab dan efektif. Ketiga, karena para siswa tersebut menggali masalah-masalah yang ada di komunitas mereka sendiri, maka mereka mendapat banyak kesempatan untuk mempertimbangkan tentang hal-hal yang mendasar dalam inti demokrasi, seperti hal-hal yang meliputi hak individu dan kepentingan bersama, peraturan yang disepakati kelompok mayoritas dan hak kaum minoritas, dan kebebasan serta persamaan.
Keempat, project citizen dimaksudkan untuk diterapkan terutama oleh para siswa sekolah menengah atau usia-usia remaja pradini (berusia sekitar 10-15 tahun); tetapi program tersebut juga digunakan oleh older adolescents (anak remaja yang menginjak dewasa) di beberapa sekolah. Di usia sekolah menengah dan lebih, para siswa berusaha membentuk identitas mereka sendiri dan mereka juga harus diberikan kesempatan untuk membina hubungan dengan masyarakat. Sebagian besar anak remaja pradini (early adolescents) mulai bergeser dari berpikir konkrit menuju berpikir abstrak dan sering berhadapan dengan masalah baik dan buruk, legitimacy of authority (sah atau tidaknya hak untuk bertindak), dan jawaban-jawaban alternatif atas situasi-situasi yang menyulitkan.
Selama masa remaja, para siswa membentuk sikap dan menerima nilai-nilai yang kemungkinan akan mereka pegang sepanjang hidup. Para siswa remaja cenderung ingin tahu mengenai lingkungan di sekeliling mereka, termasuk komunitas mereka sebagai warga negara dan mereka membutuhkan pengalaman-pengalaman dunia nyata untuk menggali hubungan mereka dengan kehidupan berwarga negara.
Kelima, project citizen menganggap kaum muda sebagai sumber kewarganegaraan, sebagai anggota yang berharga dari komunitasnya yang bernilai gagasan dan tenaganya dapat secara nyata dicurahkan masalah-masalah kebijakan publik. Daripada hanya menyiapkan para siswa untuk peran yang akan mereka emban di kehidupan, project citizen mengharuskan mereka untuk ambil bagian sebagai warga negara.
Menurut para pengembang project citizen, keikutsertaan seperti ini tidak hanya merupakan wahana yang lebih baik untuk meningkatkan pengetahuan, kecakapan, dan watak kewarganegaraan demokrasi, tetapi juga makin baik bagi masyarakat karena para siswa tersebut mempermudah organisasi pemerintahan dan masyarakat madani bekerja melewati masalah-masalah penting di masyarakat. Keikutsertaan dan keterlibatan seperti ini sudah seharusnya membantu kaum muda membina hubungan dengan masyarakat dimana mereka tinggal dan menghargai kontribusi mereka terhadap pemecahan masalah-masalah di masyarakat.
Implementasi model project citizen sangat berpengaruh terhadap peningkatan pengetahuan kewarganegaraan. Melalui model pembelajaran ini, seluruh rangkaian pembelajaran melibatkan aktivitas dan kreativitas siswa. Tidak hanya aspek kognitifnya saja yang diasah tetapi juga aspek afektif dan psikomotoriknya. Siswa diajak untuk peka terhadap permasalahan-permasalahan sosial yang ada di lingkungan sekitarnya (Jayadiputra, 2015: 17).
Model pembelajaran ini dapat meningkatkan civic knowledge. Hal lain yang bisa dicermati bahwa pembelajaran project citizen juga dapat merangkum civic knowledge seperti yang dikemukakan Branson (1999:4) bahwa dalam pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan harus mencakup tiga komponen, yaitu Civic Knowledge (pengetahuan kewarganegaraan), Civic Skills (keterampilan kewargenageraan), dan Civic Disposition (watak kewarganegaraan). Komponen pertama, yaitu civic knowledge berkaitan dengan “nilai apa yang harus diketahui oleh warganegara” (Branson, 1999: 8).
Aspek ini menyangkut kemampuan akademik-keilmuan yang dikembangkan dari berbagai teori atau konsep politik, hukum dan moral. Dengan kata lain pendidikan kewarganegaraan merupakan bidang kajian multidisipliner yang memuat materi pengetahuan kewarganegaraan tentang hak dan tanggung jawab warganegara, hak asasi manusia, prinsip-prinsip dan proses demokrasi, lembaga pemerintah dan non pemerintah, identitas nasional, pemerintahan berdasarkan pada hukum (rule of law) dan peradilan yang bebas dan tidak memihak, konstitusi, serta nilai-nilai dan norma-norma dalam masyarakat.
Menggunakan model project citizen lebih menekankan sikap dan perilaku yang lebih baik dalam proses pembelajaran erat kaitannya dengan kecakapan intelektual. Seperti yang dikemukakan oleh Andriyan, (2007) bahwa intelektualitas, sebagaimana yang selalu kita pahami adalah seperangkat sikap dan perilaku yang lebih bijak, lebih mengarahkan kepada pendekatan otak dan rasional serta selalu menimbang-nimbang apa yang akan diambil berdasarkan resiko yang akan terjadi kemudian.
Pendek kata, orang intelektual adalah orang yang selalu mengedepankan prinsip kehati-hatian dan pertimbangan-pertimbangan yang rasional dibandingkan emosional. Intelektual, selalu akan mencoba menghindari segala hal yang bersifat kekerasan dan irasionalitas yang justru akan merusak sisi intelektualitasnya. Sebab, intelektual selalu mencari cara dan solusi yang lebih baik daripada hanya mengedepankan otot dan perilaku kasar semata.
Lebih dari itu, model pembelajaran project citizen adalah model pembelajaran yang mampu memberikan kesempatan kepada para siswa untuk ambil bagian dalam pemerintahan dan masyarakat sipil sambil mempraktikkan berpikir kritis, dialog, debat, negosiasi, kerja sama, kesantunan, toleransi, membuat keputusan, dan aksi warga negara (civic action) yakni melaksanakan kewajiban sebagai warga negara untuk kepentingan bersama (CCE, 1998; Budimansyah, 2009: 2). Melalui model ini siswa akan terbangun menjadi warga negara muda melalui berbagai macam pengalaman kewarganegaraannya. Pengalaman kewarganegaraan yang dimaksud adalah pengalaman belajar menjadi warga negara muda dalam berbagai bentuk partisipasi.
E.Model Pembelajaran Project Citizen Sebagai Wahana Untuk Meningkatkan Kualitas Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan
Wahab dan Sapriya (2008) menegaskan “selama ini peserta didik beranggapan pelajaran PKn itu tidak menarik dan membosankan”. Kesan ini timbul dikarenakan secara substansif pelajaran PKn kurang menyentuh kebutuhan peserta didik. Guru kurang memunculkan permasalahan aktual yang dihadapi peserta didik sebagai masyarakat muda dan mengarahkan siswa untuk bisa mengembangkan kemampuan berpikirnya agar bisa mengatasi berbagai permasalahan tersebut.
Apabila dicermati lebih mendalam, objek kajian Pendidikan Kewarganegaraan adalah masyarakat dengan segala dinamikanya yang seharusnya menarik dan menantang untuk dipelajari. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, proses pembelajaran yang perlu dikembangkan adalah “critical thinking oriented and problem solving oriented modes” (CCE: 1992-2000). Sebab, siswa yang hanya menguasai konsep saja tanpa disertai dengan kemampuan berpikir kritis terkadang sulit mengkomunikasikan ilmunya kepada orang lain dan mengaplikasikan pengetahuannya dalam kehidupan sehari-hari (Lie: 2002).
Saat ini secara adaptif di Indonesia dikembangkan model praktik belajar kewarganegaraan kami bangsa Indonesia atau biasa disebut Project Citizen yang di dalamnya terdapat portofolio hasil belajar siswa. Project citizen merupakan satu instructional treatment yang berbasis masalah untuk mengembangkan pengetahuan, kecakapan, dan watak kewarganegaraan demokratis yang memungkinkan dan mendorong keikutsertaan dalam pemerintahan dan masyarakat sipil.
Tujuan Project citizen adalah untuk memotivasi dan memberdayakan para siswa dalam menggunakan hak dan tanggung jawab kewarganegaraan yang demokratis melalui penelitian yang intensif mengenai masalah kebijakan publik di sekolah atau di masyarakat tempat mereka berinteraksi (Budimansyah, 2009: 1-2). Pada dasarnya Prozect Citizen dikembangkan dari model pendekatan berpikir kritis atau reflektif sebagaimana dirintis oleh John Dewey (1900) dengan paradigm “how we think” atau model reflective inquiry yang dikemukakan oleh (Barr, dkk 1978 dalam Budimansyah, 2009: 10).
Mengacu pada berbagai teori yang telah dikemukakan di atas, dan berdasarkan berbagai penemuan pada penelitian sebelumnya project citizen merupakan salah satu alternatif yang dapat digunakan untuk memperbaiki kualitas pembelajaran PKn melalui proses belajar konstruktif yang dapat meningkatkan keterampilan berpikir dan membentuk warganegara yang demokratis, smart and good citizen.


DAFTAR PUSTAKA

Abdul Wahab, Solichin (2008). Analisis Kebijaksaan dari Formulasi ke Implementasi Kebijaksanaan Negara. Jakarta : Bumi Aksara.
Azis Wahab, A & Sapriya. (2008). Teori dan Landasan Pendidikan Kewarganegaraan. Bandung: UPI Press Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia.
Branson, M. S., dkk. (1999). Belajar Civic Education dari Amerika. Yogyakarta: LKIS.
Branson, M.S. (1998). The Role of Civic Education: A Forthcoming Education Policy Task Force. Position Paper from the Communitarion Network, Calabasas: ECC.
Budimansyah, Dasim. (2009). Inovasi Pembelajaran Project Citizen. Program Studi Kewarganegaraan: Universitas Pendidikan Indonesia.
Budimansyah, Dasim. (2016). Teori Sosial dan Kewarganegaraan. Bandung: Widya Aksara Press.
CCE. (1998a). We the People: Project Citizen, Teacher’s Guide. Calabasas: CCE
CCE. (1998a). We the People: Project Citizen. Calabasas: CCE.
Cogan, J.J. dan Derricott, R. (1998). Citizenship for the 21st Century; An International Perspective on Education. London: Kogan Page.
Craddock, dkk. (2007). Teaching for Democracy: Assessing Project Citizen in Poland, South Africa”, Research Report.
Depdiknas (b) (2002), Pola Induk Pengembangan Silabus Berbasis Kemampuan Dasar Sekolah Menengah Umum ( SMU), Pedoman Khusus Model 3 PPKn, Jakarta, Direktorat Pendidikan Menengah Umum.
Fajar, Arnie. (2005). Portofolio dalam Pembelajaran IPS. Bandung: Rosda.
Jayadiputra, Eka. (2015). Model Project Citizen Dalam Meningkatkan Keterampilan Berpikir Kritis Siswa. Jurnal Ilmiah Cisoc, Kajian Empiris Pendidikan Ilmu Sosial. Vol. 2. No. 1, hlm. 11-20.
Kalidjernih, F.K. (2010). Kamus Studi Kewarganegaraan, Perspektif Sosiologikal dan Politikal. Bandung: Widya Aksara Press.
Lie, Anita. (2002). Cooperative Learning. Jakarta: Granesindo.
Malatuny, Y. Godlif dan Rahmat. (2017). Pembelajaran Civic Education Dalam Mengembangkan Civic Disposition. Jurnal Pedagogika dan Dinamika Pendidikan. Vol. 6, No. 1, hlm. 56-68.
Malatuny, Y. Godlif, dkk. (2016). Increasing Global Citizens Awareness Through Project Citizen Model. Proceeding Internasional, Seminar Pendidikan Kewarganegaraan Sebagai Bidang Keilmuan dan Program Pendidikan Dalam Konteks Penguatan Daya Saing Lulusan. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia.
Winarno. (2014). Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan: Isi, Strategi dan Penilaian. Jakarta: Bumi Aksara.
Winataputra, U.S & Budimansyah, D. (2012). Pendidikan Kewarganegaraan Dalam Perspektif Internasional, Konteks, Teori, dan Profil Pembelajaran. Bandung: Widya Aksara Press.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Comments system

Disqus Shortname