Senin, 17 Juli 2017

Hasil Studi Universitas Stanford: Orang Indonesia Malas Jalan Kaki

Macet di kawasan Pancoran. (Foto: Aditia Noviansyah/kumparan)

Orang Indonesia malas jalan kaki. Rata-rata orang Indonesia jalan kaki per-harinya di bawah rata-rata. Kalah jauh dengan warga Hong Kong, atau Ukraina.
Studi terbaru dari Universitas Stanford, Amerika Serikat, menyebutkan bahwa rata-rata orang Indonesia yang melakukan jalan kaki hanya 3.513 langkah per hari. Angka ini jauh di bawah rata rata para pejalan kaki global, yaitu 5 ribu langkah per hari. Hal ini membuat Indonesia masuk dalam kategori negara termalas berjalan kaki.

Dipublikasikan dalam jurnal ilmu pengetahuan alamiah, yang dikutip dari Stanford News, Senin (17/7), penelitian menunjukkan bahwa Hong Kong menjadi negara teraktif di dunia, dengan rata rata 6.880 langkah per hari, disusul oleh China (6.180 langkah per hari) dan Ukraina (6.107 langkah per hari).

Sabtu, 15 Juli 2017

Riset Kominfo dan UNICEF Mengenai Perilaku Anak dan Remaja Dalam Menggunakan Internet

(Jakarta 18 Februari 2014). Menteri Kominfo Tifatul Sembiring pada tangal 18 Februari 2014 telah membuka secara resmi acara “Seminar Sehari Internasional Penggunaan Media Digital di Kalangan Anak dan Remaja di Indonesia”. Acara ini diselenggarakan oleh Badan Litbang SDM Kementerian Kominfo yang dipimpin Basuki Yusuf Iskandar dan bekerjasama dengan UNICEF serta dihadiri oleh Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Linda Agum Gumelar, Kepala Perwakilan UNICEF di Indonesia Angela Kearney, perwakilan Komisi Perlindungan Anak Indonesia, perwakilan Harvard University dan perwakilan dari ITU serta sejumlah Kementerian tersebut menjadi sangat menarik, karena Kementerian Kominfo, Kementerian PPPA bersama UNICEF hari ini meluncurkan hasil studi ground-breaking yang menganalisis aktivitas dan perilaku online dikalangan anak dan remaja. Kegiatan ini merupakan bagian dari Program UNICEF tentang Digital Citizenship and Safety, yang dimaksudkan untuk lebih memahami dan menangani dampak penggunaan teknologi informasi dan komunikasi terhadap gaya hidup anak-anak dan kaum muda di negara-negara berkembang.
Studi berjudul "Digital Citizenship Safety among Children and Adolescents in Indonesia" (Keamanan Penggunaan Media Digital pada Anak dan Remaja di Indonesia) bertujuan untuk menyediakan informasi-informasi penting tentang cara-cara kelompok usia tersebut menggunakan media sosial dan teknologi digital, motivasi mereka menggunakan media komunikasi tersebut, dan potensi risiko yang mereka hadapi dalam dunia digital. Indonesia dengan kepemilikan telepon selular mencapai 84 persen dari total penduduk, mendorong UNICEF untuk bermitra dengan Kementerian Kominfo serta Berkman Center for Internet and Society, Harvard University, untuk m elakukan survei ekstensif terhadap perilaku digital generasi muda.
Dalam sambutannya Menteri Kominfo mengatakan: "Kemajuan teknologi informasi dan komunikasi harus dapat dimanfaatkan untuk kesejahteraan masyarakat. Teknoloqi tersebut merupakan alat untuk mewujudkan bangsa yang cerdas dan maju. Internet dapat memberikan manfaat besar bagi pendidikan, penelitian, niaga, dan aspek kehidupan lainnya. Kita harus mendorong anak-anak dan remaja untuk menggunakan internet sebagai alat yang pentinuntuk membantu pendidikan, meningkatkan pengetahuan, dan memperluas kesempatan serta keberdayaan dalam meraih kualitas kehidupan yanglebih baik.Hal serupa juga dikemukakan oleh Angela Kearney, UNICEF Country Representative of Indonesia : "Kaum muda selalu tertarik untuk belajar hal-hal baru, namun terkadang mereka tidak menyadari resiko yang dapat ditimbulkan. Penelitian bersama beberapa mitra ini bertujuan untuk mengumpulkan informasi dan memastikan bahwa ada keseimbangan resiko dan peluang.”
Hasil survei menemukan fakta, bahwa:
  1. Menurut data terbaru, setidaknya 30 juta anak-anak dan remaja di Indonesia merupakan pengguna internet, dan media digital saat ini menjadi pilihan utama saluran komunikasi yang mereka gunakan. Hasil studi menemukan bahwa 80 persen responden yang disurvei merupakan pengguna internet, dengan bukti kesenjangan digital yang kuat antara mereka yang tinggal di wilayah perkotaan dan lebih sejahtera di Indonesia, dengan mereka yang tinggal di daerah perdesaan (dan kurang sejahtera). Di Daerah Istimewa Yogyakarta, Jakarta dan Banten, misalnya, hampir semua responden merupakan pengguna internet. Sementara di Maluku Utara dan Papua Barat, kurang dari sepertiga jumlah responden telah menggunakan internet.
  2. Studi ini merupakan yang pertama diantara penelitian sejenisnya, dengan keunikan data pada golongan anak dan remaja yang belum pernah menggunakan internet. Kesenjangan yang paling jelas terlihat, di daerah perkotaan hanya 13 persen dari anak dan remaja yang tidak menggunakan internet, sementara daerah perdesaan, menyumbang jumlah 87 persen.
  3. Mayoritas dari mereka yang disurvei telah menggunakan media online selama lebih dari satu tahun, dan hampir setengah dari mereka mengaku pertama kali belajar tentang internet dari teman. Studi ini mengungkapkan bahwa 69 persen responden menggunakan komputer untuk mengakses internet. Sekitar sepertiga - 34 persen - menggunakan laptop, dan sebagian kecil - hanya 2 persen - terhubung melalui video game. Lebih dari setengah responden (52 persen) menggunakan ponsel untuk mengakses internet, namun kurang dari seperempat (21 persen) untuk smartphone dan hanya 4 persen untuk tablet.
  4. Penelitian ini mengumpulkan data untuk mengarahkan kebijakan kedepan dalam melindungi hak-hak anak mengakses informasi dan, pada saat yang sama, berbagi informasi dan mengekspresikan pandangan atau ide-ide mereka secara aman.
Studi ini didanai oleh UNICEF dan dilaksanakan oleh Kementerian Kominfo dengan menelusur aktivitas online dari sampel anak dan remaja usia 10-19 (sebanyak 400 responden) yang tersebar di seluruh negeri dan mewakili wilayah perkotaan dan perdesaan. Studi dibangun berdasar pada penelitian sebelumnya sehingga didapatkan gambaran yang paling komprehensif dan terkini tentang penggunaan media digital di kalangan anak-anak dan remaja Indonesia, termasuk motivasi mereka, serta informasi tentang anak remaja berusia 10-19 yang tidak menggunakan media digital. Dengan demikian, penelitian ini baru pertama kali dilakukan dibandingkan penelitian serupa lainnya di Indonesia.
Kesimpulan utama dihasilkan dari studi ini :
  1. Penggunaan media sosial dan digital menjadi bagian yang menyatu dalam kehidupan sehari-hari anak muda Indonesia. Studi ini menemukan bahwa 98 persen dari anak-anak dan remaja yang disurvei tahu tentang internet dan bahwa 79,5 persen diantaranya adalah pengguna internet.
  2. Ada sekitar 20 persen responden yang tidak menggunakan internet, alasan utama mereka adalah tidak memiliki perangkat atau infrastruktur untuk mengakses internet atau bahwa mereka dilarang oleh orang tua untuk mengakses internet.
  3. Perubahan struktur media di Indonesia, terutama dengan meningkatnya penggunaan ponsel, telah mengubah akses dan penggunaan media digital internet di kalangan anak dan remaja, yang cenderung menggunakan: personal ko m puter untuk mengakses internet di warung internet dan laboratorium komputer sekolah; laptop di rumah, dan di atas semua-ponsel atau smartphone selama kegiatan sehari-hari.
  4. Anak-anak dan remaja memiliki tiga motivasi utama untuk mengakses internet: untuk mencari informasi, untuk terhubung dengan teman (lama dan baru) dan untuk hiburan. Pencarian infor m asi yang dilakukan sering didorong oleh tugas-tugas sekolah, sedangkan penggunaan media sosial dan konten hiburan didorong oleh kebutuhan pribadi.
  5. Penelitian terhadap pola komunikasi anak dan remaja melalui internet rnengungkapkan bahwa mayoritas komunikasi mereka dilakukan dengan teman sebaya, diikuti komunikasi dengan guru, dan komunikasi dengan anggota keluarga juga cukup signifikan.
  6. Terkait isu privasi, secara umum studi ini menemukan bahwa ada banyak anak dan remaja yang memberikan informasi pribadi seperti alarnat rurnah, nomor telepon, atau ala m at sekolah.
  7. Sebagian besar dari mereka, m enyadari akan pentingnya password untuk e-mail dan media sosial .
  8. Selain itu, ha m pir se m ua dari m ereka tidak setuju terhadap isi pornografi di internet. Narnun, sejumlah besar anak dan remaja telah terekspos dengan konten pornografi, teruta m a ketika muncul secara tidak sengaja atau dalam bentuk iklan yang me m iliki bernuansa vulgar.
  9. Pihak orangtua mungkin ketinggalan dari anak-anak m ereka dalam hal menguasai dan menggunakan media digital, sedikit dari orangtua yang m engawasi anak-anak mereka ketika mengakses internet, dan sedikit yang menjadi 'teman' anaknya dalam jejaring sosial.
  10. 0rangtua dan guru semakin menyadari manfaat media digital untuk mendukung pendidikan dan pembelajaran anak. Misalnya, se ma kin banyak guru yang menugaskan siswa untuk mengumpulkan informasi dari internet untuk mengerjakan berbagai tugas. Hal ini langkah yang baik untuk meningkatkan pemanfaatan internet sebagai sarana pendidikan.
 Ketika penggunaan media sosial dan media digital berkembang dengan cepat di kalangan muda, dukungan orangtua dan integrasi media digital dalam pendidikan masih tertinggal. Sehingga saatnya untuk mengejar ketinggalan. Rekomendasi utama yang dihasilkan dari studi ini sebagai bahan masukan:
  1. Karena Internet telah menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan sehari-hari anak-anak dan remaja di Indonesia, diperlukan upaya - upaya untuk meningkatkan kesadaran, pengetahuan dan keterampilan mereka dalam kaitannya dengan keamanan berinternet. Hal ini dapat dicapai melalui sosialisasi, pendidikan Iiterasi maupun pelatihan. Pemahaman penggunaan dan keamanan media digital sangat penting - utamanya - dari perspektif anak-anak dan remaja, sebelum merancang program-program informasi tentang keamanan digital. Termasuk memahami tentang cara mereka mengartikan dan menggunakan teknologi digital, komunikasi secara online dan perilaku berisiko atau tidak aman.
  2. Anak-anak dan remaja tertarik untuk belajar tentang keamanan berinternet. Setiap kampanye atau program yang dirancang untuk memenuhi kebutuhan tersebut harus didasarkan pada bukti-bukti empiris dan meIibatkan anak-anak dan remaja itu sendiri sehingga kampanye atau program tersebut tepat sasaran.
  3. Pihak orang tua dan guru harus mengawasi dan mendampingi anak-anak mereka dalam aktivitas digitalnya, dan terlibat didalamnya. Salah satu cara sederhana, contohnya orang tua dapat menjadi 'teman' di akun jejaring sosial anak, karena di sinilah anak-anak dan remaja 'bermain' di dunia maya. Di sini orang tua dapat bergabung dan berkomunikasi secara intensif dengan anak- anak untuk menciptakan lingkungan yang aman dan positif bagi pertumbuhan dan perkembangan anak-anak mereka di dunia cyber.
  4. Pihak-pihak yang bertanggung jawab terhadap keamanan isi internet - ISP dan pemerintah - perlu meningkatkan keamanan konten atau proteksi sehingga dapat menjadikan dunia maya sebagai ruang yang aman dan positif bagi anak anak dan remaja untuk hidup dan tumbuh. Studi ini menemukan bahwa banyak anak-anak yang tidak terlindungi dari konten negatif yang ada di internet, sebagian besar sampai kepada mereka tanpa sengaja melalui pesan pop-up atau melalui link yang menyesatkan.
  5. Perlu perhatian khusus untuk memberikan informasi bagi anak dan remaja tentang resiko bahaya yang mungkin timbul dari pertemuan langsung dengan seseorang yang baru dikenal dari dunia maya.
  6. Para orangtua dan guru perlu mengetahui dan terlibat dalam program keamanan digital bagi anak dan remaja.
  7. Pesan-pesan tentang keamanan digital harus berimbang dengan menekankan pada kemanfaatan internet bagi pendidikan, penelitian, dan perdagangan.
  8. Anak-anak dan remaja harus terus dimotivasi untuk memandang dan menjadikan internet sebagai sumber informasi yang berharga, dan untuk memanfaatkan teknologi digital secara maksimal untuk membantu pendidikan, meningkatkan pengetahuan, memperluas kesempatan dan keberdayaan mereka dalam meraih kualitas kehidupan yang lebih baik.
  9. Perlu dikembangkan cara-cara efektif untuk mengkampanyekan keamanan digital secara online maupun offline melalui segala bentuk saluran media tradisional maupun digital, seperti televisi, radio, websites, atau media sosial yang sering digunakan oleh anak dan remaja.
  10. Dibutuhkan kader-kader muda teladan dalam keamanan berinternet, yang dapat membagikan hal tersebut kepada teman-temannya melalui media digital, melalui sarana audio dan video di media massa, maupun secara offline di sekolah-sekolah maupun kampus.
Kepala Pusat Informasi dan Humas Kementerian Kominfo (Gatot S. Dewa Broto, HP: 0811898504, Email: gatot_b@postel.go.id, Tel/Fax: 021.3504024).
https://kominfo.go.id/index.php/content/detail/3834/Siaran+Pers+No.+17-PIH-KOMINFO-2-2014+tentang+Riset+Kominfo+dan+UNICEF+Mengenai+Perilaku+Anak+dan+Remaja+Dalam+Menggunakan+Internet+/0/siaran_pers

Selasa, 11 Juli 2017

MATINYA UNIVERSITAS

Kompas, 23 Mei 2017
*MATINYA UNIVERSITAS*
------------------------------------------------------
PROF DR SULISTYOWATI IRIANTO
GURU BESAR FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS INDONESIA
23 Mei 2017


Maraknya gerakan politik praktis sektarian di universitas akhir-akhir ini, mengatasnamakan dan membawa panji universitas, dilakukan di dalam maupun di luar kampus oleh sebagian dosen dan mahasiswa; patut dipersoalkan karena menodai marwah universitas dan meresahkan masyarakat luas.
HANDINING
Terlebih, universitas negeri yang kelahirannya melekat dengan sejarah perjuangan bangsa memiliki amanah khusus dalam menjadikan Pancasila sebagai prinsip tertinggi dalam kehidupan berbangsa dan bermasyarakat, dan merujuk Konstitusi sebagai pedoman utama berperilaku. Masyarakat luas kehilangan kepercayaan dan mempertanyakan mengapa hal ini bisa terjadi, ke manakah para otoritas pendidikan tinggi di negeri ini?


Lebih jauh, di manakah di dunia ini, universitas yang tidak membela Konstitusi dan norma tertinggi bangsanya? Dan apabila universitas mengingkari Konstitusi dan roh kebangsaannya sendiri, maka sudah merupakan anomali. Apalagi, universitas (negeri) dibiayai hidupnya oleh pajak rakyatnya; bagaimanakah tanggung jawab universitas terhadap publik?
Gerakan politik sektarian di universitas adalah ahistoris karena menentang raison d’etre berdirinya Republik Indonesia, yang diperjuangkan oleh pendiri bangsa. Deklarasi penting Sumpah Pemuda 1928 mengingatkan kita. Para pemuda/pemudi dari berbagai ”nasion kecil” berbasis kesukubangsaan (Harsya Bachtiar, 1976) bersumpah setia berbangsa, bertanah air, dan berbahasa satu: Indonesia.
Sumpah Pemuda adalah fondasi sangat penting menuju proklamasi kemerdekaan 1945 dan diikuti banyak peristiwa kebangsaan lain; yang perumusan kelangsungan berbangsa dan bernegara selanjutnya dilegalisasi dengan berbagai produk hukum yang berpayung kepada Konstitusi sampai hari ini.
Gerakan tersebut juga mencederai universitas sebagai gerakan moral tempat lahirnya produksi ilmu pengetahuan, yang memiliki otonomi akademik, dan oleh karena itu berkedudukan sangat khusus, tidak bisa disamakan dengan lembaga mana pun, termasuk lembaga politik maupun bisnis. Universitas memegang amanahnya sebagai penjaga gerbang kebenaran, dan para ilmuwan dengan kapasitas intelektual yang ada padanya berkewajiban ikut mengatasi berbagai persoalan masyarakat dan bersikap kritis.
Apabila terjadi pengingkaran terhadap mandat universitas, artinya otonomi akademik telah salah digunakan.
Kebebasan berpendapat, berekspresi, sama halnya dengan kebebasan berpikir, beragama dan berkeyakinan sebagai elemen penting dalam berdemokrasi memang dijamin oleh undang-undang (Pasal 18, Kovenan Hak Sipil dan Politik, diratifikasi oleh Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005). Namun, kebebasan ini menimbulkan kewajiban dan tanggung jawab khusus sampai pada batas untuk menghormati hak/nama baik orang lain, melindungi keamanan nasional/ketertiban umum, atau kesehatan/ moral umum (Pasal 18 Ayat 2).
Terlebih dalam Pasal 20 dinyatakan bahwa: (1) segala propaganda untuk perang harus dilarang oleh hukum, (2) segala tindakan yang menganjurkan kebencian atas dasar kebangsaan, ras, atau agama yang merupakan hasutan untuk melakukan diskriminasi, permusuhan, atau kekerasan harus dilarang oleh hukum.
Universitas kita saat ini
Universitas dan sivitas akademika kita saat ini sibuk menggemakan world class university ranking. Pimpinan struktural di universitas sibuk mengejar capaian prestasi, mengikuti standar universitas dunia, yang dicanangkan oleh kebijakan Kementerian Ristek dan Dikti. Setiap dosen diharuskan berderap mengikuti barisan pencapaian prestasi yang ditandai oleh karya ilmiah, terutama berindeks Scopus, apabila ingin bisa naik pangkat dan mendapatkan remunerasi, dengan segala sanksinya. Selama ini para dosen dan profesor dianggap ”malas”, kurang berprestasi, padahal sudah digaji, sehingga kebijakan yang ketat harus diterapkan.
Tentu saja, adalah keharusan bagi setiap dosen untuk berprestasi bagi universitas dan bangsanya, melalui berbagai temuan ilmiah berkualitas dalam bidang sains, teknologi, ilmu sosial, dan humaniora. Namun, bagaimanakah caranya menumbuhkan budaya kasmaran pada ilmu pengetahuan? Tepatkah mendorong prestasi seorang ilmuwan pemikir, dengan membuat sejumlah peraturan administratif beserta sanksi semata? Bukankah yang dibutuhkan adalah kebijakan yang kondusif dalam mengimplementasikan otonomi universitas dan pembiayaan kegiatan akademik yang tak terkendala aturan administratif, yang pengelolaannya mengedepankan transparansi dan akuntabilitas publik.
Menumbuhkan suatu budaya akademik adalah menumbuhkan dan merawat cara berpikir, berpengetahuan, dan bernorma, yang metodenya tidak bisa instan, seperti yang dilakukan saat ini. Budaya akademik yang esensial harus dimulai dari cinta Tanah Air, kesadaran akan tanggung jawab terhadap kelangsungan hidup kemanusiaan, memastikan kesejahteraan jasmani dan rohani serta keadilan substantif bagi segenap bangsa Indonesia dan umat manusia.
Lupa mandat
Tampaknya, karena kesibukan administratif mengejar ranking dan prestasi kelas dunia itu, universitas lupa mandatnya menanam dan menumbuhkan nilai-nilai kebangsaan, kemanusiaan, serta penghormatan terhadap perbedaan dan keragaman, sebagaimana diamanatkan Konstitusi dan falsafah Pancasila.
Universitas, petinggi kementerian yang paling bertanggung jawab, terkesan membiarkan, atau tidak menganggap penting, keadaan darurat terkoyaknya kebangsaan kita saat ini. Sudah jelas bahwa bangsa Indonesia berdiri di atas keragaman ras, suku bangsa, bahasa, dialek, agama dan keyakinan, golongan politik, kelas, dan jender; bahkan pluralitas menjadi karakternya yang khas yang membedakan dengan bangsa lain.
Keragaman yang memang tecermin miniaturnya dalam kehidupan universitas, di mana dosen dan mahasiswa berasal dari keragaman tersebut. Apabila keragaman itu diingkari, bahkan terancam, universitas sudah kehilangan wibawanya. Bahkan, universitas beserta organ-organ di dalamnya dapat dianggap telah lalai untuk ikut dalam upaya menyelamatkan keutuhan bangsa dan panggilan Tanah Air.
Dalam masyarakat, terdapat silent majority, yang amat resah, gelisah, menyaksikan kegentingan karena memuncaknya kasus-kasus intoleransi dan mayoritarianisme, yang juga sudah merayap sampai ke lembaga-lembaga penegakan hukum Indonesia saat ini (Lindsey & Pausacker, 2016). Masyarakat yang jumlahnya justru mayoritas itu lebih banyak berdiam diri.
Mereka tidak terbiasa menyuarakan aspirasi dan kegundahannya dengan cara-cara pengerahan massa, menyerang dengan kata-kata keras dan kasar, apalagi dengan menginstrumentasi sentimen keagamaan. Hanya sebagian kecil yang berani bersuara di media sosial, tetapi sebagian besarnya lagi memilih diam. Mereka sangat menantikan datangnya kekuatan dari universitas, soko guru kekuatan bangsa, tetapi tidak kunjung hadir, malahan sebagian sivitasnya ikut mempropagandakan gerakan sektarian.
Insan akademik dan masyarakat silent majority harus berani dan bergandengan tangan menyuarakan keberpihakannya kepada keindonesiaan, terlebih ketika negara diam dan abai menyikapi darurat kebinekaan. Para dosen dan mahasiswa harus memperjuangkan merah putih sejak dari pikiran, serta bersedia mendedikasikan pengabdian dan seluruh kehidupan sosialnya hanya untuk keindonesiaan. Dukunglah negerimu, perkuatlah barisan para pemimpinnya agar terbangun dari tidurnya.
Para pemimpin negeri dituntut bersikap tegas membela Konstitusi dan Pancasila, tindakan mana dibenarkan oleh hukum. Bahkan, Pasal 4 Kovenan Hak Sipil dan Politik membolehkan tindakan negara dalam keadaan darurat yang mengancam kehidupan bangsa dan keberadaannya. Setelah diumumkan secara resmi, negara peratifikasi dapat mengambil langkah yang diperlukan berdasarkan hukum, justru sebagai upaya untuk melindungi keragaman ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, atau asal-usul sosial.
Kita harus sampai pada perayaan seratus tahun kemerdekaan pada tahun 2045 serta ikut menyongsong dan menikmati kemakmuran Asia bersama dengan negara-negara Asia lain pada tahun 2050. Ibu Pertiwi, Ibu Tanah Air, wajib kita muliakan selama hayat dikandung badan.
*SULISTYOWATI IRIANTO, GURU BESAR, FAKULTAS HUKUM U.I.*
Dishare dari GWA ASPIKOM


Sebagai kritikan untuk perenungan dan perjuangan demi pembangunan dan perubahan bangsa dan negara kearah kemajuan yang bermartabat & berkemaslahatan untuk semua (universum) umat manusia, makhluk dan alam semesta
x

Minggu, 09 Juli 2017

REVITALISASI PELA GANDONG UNTUK MEWUJUDKAN HARMONISASI DALAM KEBERAGAMAN

Tulisan ini dipublikasikan dalam Seminar Nasional
Program Studi Pendidikan Sejarah
FKIP Universitas Pattimura
dengan Tema :
"SEMANGAT HARI PATTIMURA DAN KEBANGKITAN NASIONAL UNTUK KEBHINEKAAN INDONESIA"
Ambon, 18 Agustus 2017
ISBN 978-602-50012-0-8

Samuel Patra Ritiauw
Direktur Konsorsium Peduli Pendidikan Maluku
pritiauw@gmail.com
Yakob Godlif Malatuny
Mahasiswa Pendidikan Kewarganegaraan
Sekolah Pascasarjana
Universitas Pendidikan Indonesia

PENDAHULUAN
Pela gandong tidak pernah mengenal kadaluwarsa, tidak lekang juga oleh waktu,
karena telah berakar dan tumbuh subur
dalam ladang “hidop orang basudara” (kehidupan bersaudara) di Negeri Para Raja.
SPR-GM

Berbicara tentang harmonisasi, maka setakat ini dalam negara yang bersemboyan Bhinneka Tunggal Ika sedang diuji dengan beragam ancaman, gangguan, hambatan, dan tantangan. Ujian ini layaknya virus yang dapat menyerang dan merusak sel-sel dalam tubuh, sehingga diperlukan tindakan preventif dan represif dari semua elemen bangsa untuk mengatasi serangan virus tersebut. Kita semua jangan tunjuk tangan, tetapi turun tangan, sebab beragam acaman ini jauh dari beres, jika kita semua rajin untuk turun tangan.
Mengingat harmoni hidup menjadi barang yang amat dibutuhkan dalam memelihara keutuhan dan integritas wilayah serta integritas masyarakat Indonesia yang majemuk (Suryadi, 2011: 307). Alih-alih budaya di Negara Indonesia telah ada dan membara dalam dada ratusan jiwa anak bangsa. Beragam budaya menjadi keniscayaan bagi negara Indonesia yang membuka diri untuk menjaga harmonisasi yang kian pudar dalam satu dasawara terakhir.
Kawasan Timur Indonesia menyediakan contoh budaya yang mungkin lebih dapat dipahami sebagai bagian dari sebuah peninggalan masyarakat Austronesia yang lebih tua ketimbang sebuah peninggalan karakter budaya India yang lebih baru (Andaya, 353: 1993). Perbedaan suku, budaya, adat istiadat, agama, ras, gender, strata sosial dan golongan aliansi politik sangat jelas melekat dalam diri masyarakat Indonesia (Zuriah, 2012: 170; Danoebroto, 2012: 95).
Salah satu kebudayaan lokal di Indonesia Timur adalah Pela Gandong. Watloly, (2005, 201-203) Budaya Pela Gandong merupakan identitas, Ruhulessin (2005) sebagai model perdamaian, Ritiauw (2016) sebagai jati diri etnis Maluku yang dalam perjalanan sejarah masih tetap dipertahankan dan dilestarikan. Pela Gandong terjadi dari suatu proses interaksi budaya antara dua atau lebih negeri (desa) yang berbeda latar belakang budaya, dan menghasilkan citra subjektif perilaku masyarakat dari generasi ke generasi (Tutuhatumewa, 2010:2; Ritiauw 2008).
Pela pandong adalah sebuah produk budaya yang terjalin kokoh dalam perjalanan sejarah Maluku hingga kini. Produk budaya yang menjadi sejarah tersebut mencerminkan sebuah transmisi. Argumentasi Harrison (2006: 16) yang menyatakan bahwa budaya bukanlah variabel yang berdiri sendiri, namun selalu dipengaruhi ole faktor-faktor lain, seperti : geografi, iklim, politik, dan tingkah laku sejarah.
Eksistensi pela gandong yang merupakan civic culture dan warisan bagi jujaro-mungare (baca=muda-mudi) Maluku yang wajib dijaga dan dilestarikan, sehingga bisa menjadi modal atau pijakan dalam pembangunan dan selalu terjalin hubungan yang harmonis. Melihat potensi konflik yang ada, nampaknya memang sangat masuk akal apabila kemudian Maluku hancur seperti tragedi pada 1999-2000,  Sulistiyono (2005:9; Misbach 2006:4).
Ikatan pela gandong yang dibanggakan utnuk mengikat persaudaraan, terbukti tidak mampu menahan egoisme kelompok, Sulistiyono (2005:9). Hal ini dapat menyiratkan bahwa bangsa kita belum tahu bagaimana seharusnya memandang perbedaan yang ada, bagaimana menghormati, dan bagaimana mengatasi konflik yang akan timbul, karena tidak pernah ada mekanisme untuk belajar menghadapinya di dunia nyata (Misbach, 2006: 4).
Padahal, pela gandong, merupakan budaya yang benar-benar mencerminkan pola hubungan yang harmonis yang baik. Oleh karena itu, masyarakat di Maluku perlu menyadari bahwa selain derasnya arus modernisasi, beragamnya komunitas yang berada di Maluku, dan potensi konflik yang ada saat ini, saya merasa rasa pela gandong dapat berperan sebagai peredam yang mampu mengurangi gejolak sosial yang bernuansa primordial.
Dengan demikian pela gandong yang telah ada dalam dada ratusan jiwa anak bangsa di Maluku mesti dihidup-hidupkan kembali demi merawat bangunan ke-Maluku-an yang pernah hancur pada 19 tahun yang silam.

PEMBAHASAN
Hakikat Budaya Pela Gandong
Secara filosofi, pela bukan sekedar berhubungan yang dimaknai sebagai ikatan geneologis. Namun lebih dari pada itu merupakan ikatan sosial yang melintasi batas-batas kesukuan maupun agama (Islam atau Kristen) dari tiap-tiap desa/negeri yang ber­Pela. Lokollo (1997:5) mengatakan Pela-gandong ialah perserikatan antara satu negeri di pulau-pulau Ambon-Lease dengan satu atau beberapa negeri lain di Pulau Seram. Perserikatan didasarkan pada hubungan persaudaraan sekandung sejati, dengan isi dan tata laku perserikatan yang diatur dalam perjanjian baik lisan maupun tulisan, di mana para pihak berjanji untuk tunduk kepada perjanjian dimaksud sebagai dasar hukum bagi implementasinya dari waktu ke waktu.
Pendapat Lokollo (1997:5) diperkuat oleh Watloly, (2005:208), pela sesungguhnya mencirikan wacana kontekstual (local genius) masyarakat Maluku yang memberi petunjuk tentang mesteri kehidupan manusia yang hidup dan berkembang di Maluku yang bersifat antropormorphis dan sosia religius.  Bahkan daya eksis manusia Maluku merupakan bukti autentik bahwa imajinasi adat dan religius yang berkembang mampu memproduksi serta menghadirkan identitas manusia Maluku untuk memahami dan mentransformasi eksistensi sejarahnya yang khas melalui budaya pela. Berdasarkan hasil wawancara bersama salah satu tokoh masyarakat dan sejarawan asal Maluku Bapak Sem Touwe [April, 2017] menjelaskan bahwa:

“Pela adalah hubungan antara satu atau dua atau tiga negeri di Maluku yang terjadi karena ada peristiwa sejarah yang dialami oleh masyarakat negeri itu, atau pela itu sumpah dan janji atau ikatan perjanjian antar negeri-negeri. Pela terbagi atas tiga yakni Pela Darah, pela ini terjadi karena adanya peperangan, Pela Tampa Sirih, terjadi karena sebuah peristiwa sejarah yang pernah dialami misalnya pela antara orang Batu Merah dan Orang Paso, dan Pela Gandong, hubungan antara negeri satu dengan negeri yang lain karena ada hubungan geneologi atau pertalian darah”.

Pendapat di atas, sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Pattikayhatu, (2005:2-3) pada dasarnya, ada tiga jenis pela, yaitu (1) pela keras, (2) pela gandong atau bungsu (baca;bongso) (3) pela tempat (baca; tampa) sirih. Pela keras (baca;karas) bermula karena adanya peristiwa besar tertentu, biasanya berkaitan dengan perang, seperti pertumpahan darah, pertempuran yang tidak berakhir, atau bantuan luar biasa yang diberikan oleh satu desa kepada desa lain. Pela Gandong, didasarkan pada ikatan keturunan keluarga; yaitu, satu atau beberapa suku/marga di desa-desa yang berbeda mengklaim memiliki leluhur yang sama. Pela tampa sirih dihasilkan setelah peristiwa kecil, seperti untuk memulihkan kedamaian, setelah ada pertikaian kecil atau setelah satu negeri memberi bantuan kepada negeri lain.
Ruhulessin, (2005:148) dalam disertasinya mengemukakan tiga macam pengertian pela yang dipengaruhi oleh lingkungan kebahasaan.  Pertama, dalam lingkungan kebahasaan daerah Uli Hatuhaha di Pulau Haruku (Pelauw, Kailolo, Kabaue, Rohomoni dan Hulaliu) kata pela berarti “sudah” ini terlihat pada pengalimatan, “Ale Pamana Pela” yang artinya apakah kamu sudah makan. Kedua, lingkungan kebahasaan Uli Solimata di Pulau Ambon (Tulehu, Tenggah-tenggah, dan Tial), Pela berarti “cukup”, contoh penggunaan bahasa terlihat dalam kalimat  “Mahaya Taha Pela” yang artinya makanan tidak cukup. Istilah Peia sama dengan istilah “pela nia” yang berarti sampe jua atau berhentilah.
Ketiga, dalam lingkungan bahasa mayarakat di Seram di aksarakan dengan kata “peia” yang  menujuk pada pengertian “saudara” yang terambil dari tradisi kakehan. Tradisi kakehan tidak menujuk pada hubungan yang berdasarkan faktor genelogis melainkan anggota suku. tetapi selain pengertian-pengertian di atas ada juga asumsi bahwa kata “pela” berasal dari kata “Pila”, yang berarti “buatlah sesuatu untuk kita bersama-sama”. Kadang-kadang kata pila diberi akhiran “tu” menjadi pilatu. Pilatu berarti menguatkan, mengamankan atau mengusahakan sesuatu benda tidak mudah rusak atau pecah. Kemudian itu berubah artinya, yaitu dari sesuatu usaha untuk mengamankan atau menyelamatkan, (Panitia Khusus Panas Pela,1971:2).
Dalam implementasinya, hakikat Pela Gandong dapat terlihat dari lagu-lagu/kapata daerah Maluku yang sering dinyayikan misalnya;


Judul Lagu: Gandong

Gandong, la mari gandong..Mari jua ale o Beta mau bilang ale Katong dua satu gandong Hidup ade deng kaka Sungguh manis lawang e Ale rasa beta rasa Katong dua satu gandong.
Reff.
Gandong e sio gandong e … Mari beta gendong, beta gendong ale jua, Katong dua cuma satu gandong e Satu hati satu jantong e.

Selain nyayian, hakikat Pela juga dapat terlihat dari penggalan “Sumpah Pela” yang dilaksanakan pada upacara adat “Panas Pela” antara Negeri Hunitetu dan Negeri Lohiatala di pulau Seram.

Sumpa (baca=Sumpah):

“...Mata sakalale pelene kinu kwate kurule, pelekurule; saka mimise, noa mimise, saka nunu rupu kena patu, patu rupu kena nunuee, nunu pale tolase, tolase pali nunuee, hioooo…..!!

Artinya:
Kami sedang minum sumpah abadi, sumpah kekuatan; perhatikanlah, ingatlah; kita harus bersatu sekuat pohon beringan dengan karang terjal, sama seperti karang terjal ditumbuhi pohon beringin, seperti sebatang pohon (tolase) yang tumbuh bersama pohon beringan, hiooo………….!

Hakikat sumpah adat akan selalu mengikat masyarakat negeri-negeri yang berPela, serta menjadi pedoman dalam membangun masyarakat yang lebih baik. Bakri, (2015:56) menjelaskan salah satu isi “Sumpa Adat” antara Negeri Batu Merah [Agama Islam] dan Negeri Paso [Agama Kristen] yang sampai dengan sekarang ini diterapkan dalam kehidupan masyarakat. Adapun berbunyi sumpah adat tersebut yakni:

Demi Allah yang menguasai jagat raya ini, kami bersumpah mulai saat ini, kami mengangkat orang-orang Batu Merah sebagai pela kakak kandong e dan berlanjut sampai generasi penerus kami dan bila batu karang ini terbalik seperti semula,maka barulah putus hubungan kami”.

Dalam hubungan pela gandong tersebut terdapat perjanjian antara dua negeri yaitu:

1.     Orang Passo dan orang Batu Merah tidak boleh baku kawin.
2.     Orang Passo dan orang Batu Merah tidak boleh baku musuh.
3.     Orang Passo dan Orang Baru Merah harus saling tolong menolong satu sama lain.

Pentingnya sumpah adat bagi negeri-negeri berPela, mengisyaratkan bahwa masyarakat mampu membangun kehidupan yang diselaranskan dengan nilai budaya dan aturan hukum yang berlaku dalam negara. Berdasarkan hasil wawancara bersawa akademisi Universitas Pattimura bapak Th. Frans [April, 2017] yang mengaskan bahwa:
Amat penting sumpah adat menurut pandangan masyarakat Maluku karna merupakan suatu proses komunikasi/peristiwa sakral antara anak cucu dengan datuk-datuk yang telah mematri hubungan itu, memiliki kekuatan sakal magis dan mengandung nilai-nilai transedental. Nilai itu diyakini dan tidak pernah goyah dari dulu sampai sekarang.

Sementara hasil wawancara bersama salah sato tokoh agama Kristen, Bapak Riko Rikumahu [Mei, 2017] menjelaskan bahwa:

Sumpah adat itu dilakukan pertam kali saat belum ada agama resmi, karena itu disebut sumpah adat. Sumpah itu dilakukan atas dasar Tuhan, yang dalam perspektif orang Maluku Tengah waktu itu disebut Upu Lanite tidak bisa disebut sekarang seperti Yesus.  jadi dalam upacara adat ada nama-nama atau gelar-gelar yang dianggap tinggi dan dinggap setara Tuhan misalnya Upu Lanite, sebutan kepada Tuhan sebenarnya dan alamat sumpah itu disampaikan, karena itu ia memiliki kekuatan legitimasi religius sama dengan sumpah orang-orang Kristen saat ini, karena memiliki pemaknaan yang sama bahwa bersumpah atas nama Tuhan, masyarakat dilarang untuk melanggar. Jadi semua orang yang terikat di dalam sumpah itu melakukan perjanjian untuk tidak boleh saling melanggar. Pengingkaran terhadap sumpah dalam tradisi pela gandong memiliki makna pengingkaran terhadap janji kepada Tuhan atau Upu Lanite. Dalam perjanjian-perjanjian yang berkaitan dengan relasi antar manusia untuk hidup bersama, juga ditemukan simbol atau tanda bagi orang untuk mengakat suatu perjanjian misalnya darah, siri pinang, sopi. Simbol-simbol ini tidaklah penting, jika tidak ada satu “akta sumpah” yang melegitimasi alat-alat itu. Di situ letak pentingnya sumpah adat di dalam negeri-negeri yang membangun relasi pela.

Rangkaian sumpah adat dan kapata merupakan simbol sejarah, dalam membangun kesepakatan untuk hidup bersama yang didalamnya terkandung nilai-nilai luhur dan riskan apabila dilanggar karena memiliki nilai ritual dan telah berlangsung turun temurun (Thomas, 2010: 172). Nilai-nilai luhur yang diwariskan lewat adat budaya warga masyarakat diles-tarikan untuk menjalin persatuan dan kesatuan bangsa, terbangunnya hubungan keseimbangan antarumat beragama. Makna dibalik sumpa adat dan kapata atau nyayian daerah Maluku, secara gambalang mengisyaratkan makna persaudaraan sejati (ale rasa beta rasa) yang harus tetap terpelihara walaupun badai dan gelombang terus menerpa kehidupan sosial budaya masyarakat Maluku sebagai dampak dari perkembangan globalisasi dunia.

Menjaga Harmonisasi Masyarakat Maluku Melalui Pela Gandong
Penduduk Indonesia sangat heterogen dalam etnis, bahasa, adat-istiadat, budaya, dan agama. Kondisi tersebut mendorong dinamika saling berinteraksi, dan kerjasama dalam kehidupan membangsa dan menegara. Sebaliknya dengan pilihan kehidupan demokrasi dan reformasi berpotensi terjadi disharmonisasi (konflik) bangsa, apalagi jika masyarakat lemah dalam mengelola harmonisasi dengan baik. Di saat harmonisasi bagaikan barang yang amat langkah dijumpai dalam satu dasawarsa terakhir di negara yang bersemboyan Bhinneka Tunggal Ika, muncul “...Pela Gandong sebagai civic culture di Negeri Raja-Raja (Maluku) yang mampu menjadi semen perekat hidop orang basudara (kehidupan bersaudara) sehingga memperkuat bangunan ke-Indonesiaan”, (Malatuny, 2016:32).
Setiap konflik diikuti dengan resolusi yang berarti upaya menemu-kenali sebab-sebab konflik, menyelesaikan konflik, sekaligus juga upaya agar konflik yang pernah terjadi tidak terulang lagi. Hal tersebut karena konflik terbuka yang terjadi telah merusak harta benda dan menelan korban jiwa yang sia-sia, serta mengganggu harmoni kehidupan bermasyarakat dan berbangsa. Untuk menjembatani disharmoni/konflik tersebut, maka penulis mencoba mengembangkan banguan harmonisasi maryarakat Maluku yang berfungsi untuk mencegah dan menanggulangi amukan konflik sosial generasi ke tiga di Bumi Penghasil Rempah-rempah. Adapun bangunan itu, terdiri dari:
1.  Pemerintah
Menganalisis faktor penyebab konflik oleh Pariela (2008), Ritiauw, (2008), yang menjelaskan bahwa salah satu faktor penyebab konflik sosial tahun 1999 di Maluku yakni tidak meratanya pambangunan. Ketidak merataan pembangunan ini, telah berdampak pada kesenjangan sosial yang semakin menukik dan memberikan ketidak stabilan dalam kehidupan masyarakat.
Untuk mengatasi masalah tersebut, maka 1). Percepatan  pembangunan, yang dilakukan oleh pemerintah daerah merupakan salah satu faktor yang harus diprioritaskan. 2). Penegakan hukum yang seadil-adilnya bagi pelanggar hukum tanpa tebang pilih juga merupakan solusi untuk menghindari disharmonisasi sebagai bentuk reaksi atas ketidak adilan di depan hukum. 3).  Penyediaan lapangan kerja yang memadai oleh pemerintah daerah sebagai bentuk dari pertambahan jumlah penduduk yang semakin pesat di Maluku. 4). Mengimplementasikan visi pemerintah daerah dalam kaitan dengan menghidupkan kembali nilai-nilai Siwalima [Pela Gandong] sebagai wujud dari civic culture masyarakat Maluku melalui pendidikan dan seni, sehingga kelak menghasilkan masyarakat Maluku yang cinta akan persaudaraan melalui slogan “ale rasa beta rasa”. 
2.  Tokoh Agama
Peran tokoh agama dalam menjaga harmonisasi masyarakat Maluku memegang peranan penting. Apalagi akhir-akhir ini “Kebinekaan Yang Tunggal Ika” itu lagi digoncangkan dengan sejumlah hoax dan permainan cantik para aktor politikus yang mepergunakan isu SARA dalam memperoleh kekuasaan dengan menutup mata akan makna keberagaman di Indonesia. Isu ini juga hinggap sampai di Maluku yang pernah luka karena konflik antar agama. Namun, lagi-lagi kesadaran dan kecintaan akan hidupa bersama sebagai “orang basudara” telah menepikan sejumlah hoax dalam bingkai “orang basudara”. Penepian isu-isu tersebut, mendapat penanganan serius dari tokoh agama di Maluku.
Gereja, Mesjid, Pura, Wihara, di Maluku harus dijadikan tempat untuk menyuarakan “civic culture” sebagai wujud “hidup orang basudara”. Tokoh agama harus dapat membangun kerukunan yang dilandasi toleransi, saling pengertian, saling menghormati, menghargai kesetaraan dalam pengamalan ajaran agamanya dan kerjasama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Bentuk-bentuk kegiatan yang dapat dilakukan misalnya; 1). Khotbah di Masjid, Gereja, Pura, Wihara dijadikan tempat penyebaran budaya “Pela Gandong” dalam wujud hidup orang basudara, 2). Pertemuan dan diskusi para tokoh agama dan masyarakat, 3). Pelibatan semua anggota masyarakat lintas agama dalam mendukung agenda-agenda keagamaan di Maluku, misalnya pelaksanaan MTQ dan Pesparawi tingkat Propinsi dan Nasional, 4). Membangun silaturahmi antar sesama pemeluk agama melalui perayaan Idul Fitri, Natal, Waisak, Galungan dan Imlek.
3.  Tokoh Masyarakat
Menjaga bangunan harmonisasi masyarakat Maluku, juga merupakan salah satu peran mutlak yang sudah seharusnya dilakoni oleh tokoh masyarakat. Tokoh masyarakat dalam kajian ini dipersepsikan sebagai sosok yang mempunyai pengaruh yang cukup besar dalam membangun masyarakat Maluku ke arah yang lebih baik misalnya tokoh politik. Paran para tokoh politik sudah sepatutnyan dapat mencerahkan masyarakat, menyatukan masyarakat yang mungkin saja telah terkotak-kotak oleh kepentingan politik yang dimainkan oleh aktor politik itu sendiri. Oleh karena itu, beberapa langkah yang harus dikembangkan diantaranya; 1). Menjadi corong penyampaian aspirasi masyarakat yang berkeadilan, 2). Membangun basis-basis massa yang mengedepankan prinsip “hidup orang basudara” di Maluku, 3). Membangun diskusi lintas partai politik dalam menumbuhkan kehidupan masyarakat yang baik, 4). Menjadi alat negara untuk menyatukan masyarakat dalam bingkai NKRI.
4.  Tokoh Adat
Provinsi Maluku terkenal dengan julukan “Negeri Raja-Raja”. Julukan ini mengisiaratkan bahwa tingkat kepatuhan terhadap adat yang berkembang dalam kehidupan masyarakat Maluku masih sangat tinggi. Kepatuhan pada perintah “raja”, pada aturan adat, serta kepatuhan pada sumpah (baca=sumpa) adat masih ditemukan dalam kehidupan masyarakat. Karena itu, maka peran tokoh adat dalam menjalankan sistem pemerintahan haruslah dapat memberikan kontribusi pikir bagi masyarakat akan pentingnya internalisasi nilai-nilai budaya “pela gandong” yang menyatukan masyarakat tanpa membedakan suku, agama, budaya, status sosial, status ekonomi dalam masyarakat. Untuk itu, maka bangunan harmonisasi yang dapat dikembangkan tokkoh adat diantaranya; 1). Pelaksanaan upacara “Panas Pela” antara negeri-negeri yang berpela dalam kurun waktu tertentu, sebagai wujud internalisasi nilai budaya pela, 2). Pembiasaan budaya “Masohi” [gotong royong], “Pattita”, “Badati” antar negeri-negeri sebagai wujud “hidup orang basudara”, 3). Pertemuan para tokoh-tokoh adat di Maluku untuk mewujudkan Maluku yang terAdat.
5.  Peran Media Massa
Media massa telah menjadi budaya mainstream (arus utama) dalam melaporkan informasi tentang pelaksanaan pela gandong di Maluku. Informasi yang dilaporkan media massa harus aktual, tajam, terpercaya, dan telah diverifikasi terlebih dahulu agar dapat menjembatani antara pemerintah, tokoh agama, tokoh masyarakat, dan tokoh adat demi mewujudkan bangunan harmonisasi masyarakat di Maluku.

Berdasarkan hasil wawancara dengan Rudi Fofid [Maret, 2017] bahwa;
Demi mencegah jebakan kabar bohong maka verifikasi berganda menjadi jurus penyelamat.

Informasi tentang budaya pela gandong yang dilaporkan media harus diverifikasi berulang-ulang, mengingat media massa mempunyai dampak yang sangat kuat pada opini publik (Neumaan, 1973; 1980). Opini yang dibangun di media massa tidak boleh keliru, sehingga tidak menimbulkan anomali dan chaos di kalangan pemerintah, tokoh agama, tokoh masyarakat, dan tokoh adat.
6.  Pendidikan
Pendidikan merupakan jantung pewarisan nilai-nilai budaya dalam masyarakat, karena pendidikan sesungguhnya merupakan proses mengantarkan manusia dari kondisi apa adanya, kepada kondisi bagaimana seharusnya manusia itu hidup dan berkembang sebagai makhluk sosial. Karena itu, sangatlah penting lembaga pendidikan di Maluku menginternalisasikan nilai-nilai budaya pela gandong dalam mewujudkan cita-cita “hidup orang basudara”. Kadir, (2012, hlm. 61) bahwa “Budaya Siwa Lima di Maluku dalam proses kemunculannya kembali dianggap mempunyai nilai pasifikasi serta rasa persatuan dalam menjaga perdamaian di Ambon pascakonflik”. Selain hal itu pendidikan juga diharapkan berfungsi sebagai alat atau wahana untuk mempercepat perubahan sosial, alat komunikasi publik, serta sebagai alat meminimalisasi berkembangnya konflik. Sebagai alat komunikasi, pendidikan harus dapat membantu pemerintah, tokoh agama, tokoh masyarakat dan tokoh adat dalam mengkomunikasikan nilai-nilai sosial yang merupakan konsensus bersama dalam mewujudkan keseimbangan soaial dalam masyarakat. Dalam hal ini, pendidikan memegang kunci utama dalam membangun masyarakat damai yang berbasis pada budaya “pela gandong”. 


KESIMPULAN

Perawatan terhadap harmonisasi dalam Negara Kebangsaan Pancasila tidak pernah steril dari pahit getirnya serangan virus radikal yang merusak harmonisasi itu sendiri. Di kawasan Timur Nusantara ada pela gandong yang sangat menjanjikan sebagai salah satu keunggulan budaya bangsa yang penting untuk diwariskan kepada generasi muda Maluku, sehingga tujuan bangsa dalam mewujudkan harmonisasi dapat terlihat dalam irama “hidup orang basudara”.
Hidup orang basudara dalam konsep pela gandong sesungguhnya mengisyaratkan akan hidup saling cinta, menghargai, menghormati, menjaga tanpa membedakan suku, agama, ras, budaya, status sosial, status ekonomi di dalam masyarakat. Hal ini telah berdampak pada berkembangnya bangunan harmonisasi masyarakat Maluku yang berbasis pada nilai-nilai budaya pela gandong. Karena itu, nilai-nilai pela gandong/civic culture menjadi mutlak dihidup-hidupkan kembali melalui peran pemerintah, tokoh adat, tokoh masyarakat, media massa,  dan pendidikan sebagai lembaga pewarisan nilai-nilai budaya bangsa.
Namun yang tidak kalah penting, revitalisasi nilai budaya bangsa melalui pendidikan dapat diwujudkan melalui implementasi pembelajaran yang berbasis pada nilai-nilai budaya yang berkembang dalam masyarakat. Karena itu, penting bagi setiap guru baik guru mata pelajaran matematika, IPA, IPS, Bahasa Indonesia, PPKn untuk memahami dengan baik nilai budaya yang berkembang dalam masyarakat dan mengintegrasikannya dalam setiap rigid pembelajaran di kelas. 

UCAPAN TERIMA KASIH KEPADA
1.  Prof. Dr. Th. Frans, M.Pd (Guru Besar Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia-FKIP Universitas Pattimura).
2.  Dr. Sem Touwe, M.Pd (Sejarawan Maluku)
3.  Drs. S.H. Maelissa, M.Hum (Tokoh Masyarakat)
4.   Dr. Lisye Salamor, M.Pd (Ketua Program Studi Pendidikan Kewarganegaraan –FKIP Universitas Pattimura).
5.   Pdt. Rico Rikumahu, S.Th (Tokoh Agama)
6.  Rudi Fofid (Sastrawan Maluku)

DAFTAR PUSTAKA
Buku
Andaya, Leonard Y. (1993). The Word of Maluku: Eastern Indonesian in Early Modern Period. Honolulu: University of Hawai Press.
Banawiratma, JB. (2000). Berteologi Lintas Ilmu. Yogyakarta: Kanisius.
Bartels, Dieter. (1989). Moluccans in exile: a struggle for ethnic survival, centr for study of social conflict, faculty of social sciences university of leiden, Utrecht.
Black, A, James, dan Champion. (1999). Penelitian Sosial. Bandung : Rafika Aditama.
Bogdan, B, C Dan Biklen, S, K. (1982). Qualitative Research for Education An Introduction to Theory and Methods. Boston: Allyn and Bacon.
Budimansyah, D dan Suryadi, K. (2008). PKn dan Masyarkat Multikultural. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia.
Cooley, Frank. L. (1962). Ambonese Adat : A General Description, Yale University, New Haven.
Creswell, W, John. (1998). Qualitative Inquiry And Research Desing: Choosing Among Five Traditions. London : SAGE Publications.
Geertz, Clifford. (1973). Interpretation of culture, basic books, New York.
Guba, G, E dan Lincoln, S. (1985). Naturalistic Inquiry. London : Sega Publications. Bavery.
Hubert, Th. M. Jacobs, S. J. (1971). A Treatise On The Moluccas, Arti Grafiche Citta Di Castello, St. Louis.
Huntington P. Samuel. (2004). Benturan Antarperadaban dan Massa Depan Politik Dunia. Yogyakarta: Qalam.
Keuning, J. (1973). Sejarah Ambon Sampai Pada Akhir Abad Ke-17. Jakarta: Bhratara.
Kymlicka, Will. (1995). Multicultural Citizenship. New York:  Oxford University.
Latif Yudi. (2014). Mata Air Keteladanan; Pancasila Dalam Perbuatan. Jakarta: Mizan.
Lawrence Harrison. (2006). Developing Culture. Routledge: London.
Leirissa, Richard. (1975). Maluku Dalam Perjuangan Nasional Indonesia. Jakarta: Lembaga Sejarah Fakultas Sastra Universitas Indonesia.
Lerissa, R.Z, dkk. (1999). Sejarah Kebudayaan Maluku, Depdikbud. Jakarta: Ilham Bangun Karya.
Lokollo, J.E. at.al. (1997). Seri Budaya Pela-Gandong dari Pulau Ambon. Ambon: Lembaga Kebudayaan Daerah Maluku.
Miles, B, Matthew dan Huberman. Michael. A. (1992). Analisis Data Kualirarif. Jakarta : Universitas Indosesia Press.
Noelle-Neumann, E. (1973). Return to the concept of powerful mass media. In G. C. Wilhoit and H. de Bock, eds., Studies of Broadcasting: An Internasional Annual of Broadcasting Science. Tokyo: Nippon Hoso Kyokai.
Noelle-Neumann, E. (1980). Mass media and social change in developed societies. In G. C. Wilhoit and H. de Bock, eds., Mass Communication Review Yearbook. Beverly Hills, Calif: Sage.
Noelle-Neumann, E. (1993). The Spiral of Silence: Public Opinion-Our Social Skin, 2nd ed. Chicago: University of Chicago Press.
Ruhulessin, J. Chr. (2005). Etika Publik – Menggali dari Tradisi Pela di Maluku. Salatiga: Satya Wacana University Press – Program Pascasarjana Program Studi Sosiologi Agama UKSW.
Ruhulessin, John Chr. (2005). Etika Publik: Menggali dari Tradisi Pela di Maluku. Salatiga: Satya Wacana University Press.
Setiadi, Hari dkk, 2007. Ilmu Sosial Budaya Dasar. Jakarta: Kencana.
Tutuhatumewa, A. Robert. 2010. Budaya Pela di Maluku : Sebuah Model Komunikasi Antar Budaya danimplikasinya bagi Pengolahan konflik antar masyarakat, dalam Jurnal Ilmu-ilmu sosial “Badati”. Fakultas Ilmu sosial dan Ilmu Politik UKIM, Ambon.
Uneputty, T. J. A. (1996). Perwujudan Pela Dalam Kehidupan Sosial Budaya Masya rakat Maluku. Ambon: Star Offset – Bagian Proyek Pengkajian dan Pembi naan Nilainilai Budaya Maluku.
Watloly, Aholiab. (2005). Maluku Baru: Bangkitnya Mesin Eksistensi Anak Negeri. Yogyakarta: Kanisius.
Winataputra H. Saripudin. (2002). Pendidikan Kewarganegaraan Dalam Perspektif Pendidikan Untuk Mencerdaskan Kehidupan Bangsa. Bandung: Widya Aksara Press.
Winataputra, U. S. dan Budimansyah. 2012. Pendidikan Kewarganegaraan dalam Perspektif Internasional (Konteks, Teori, dan Profil Pembelajaran). Bandung: Widya Aksara Press.
Jurnal
Danoebroto, S. Wulandari (2012). “Model Pembelajaran Matematika Berbasis Pendidikan Multikultural”. 1/1, 5-20.
Frans Thomas. (2010). “Wacana Tradisi Pela Dalam Masyarakat Ambon. 38/2, 50-60.
Hatib Abdul Kadir. (2012). “Sapa Bale Batu, Batu Bale Dia: Politik Revivalisme Tradisi Siwa lima Orang “Ambon” Pasca Konflik”. 1 /1, 61-75.
Hendry Bakri. (2015). Conflict Resolution toward Local Wisdom Approach of Pela Gandong in Ambon City. 1/1, 51-59.
Ibrahim, F. Wajdi. (2012). “Pembentukan Masyarakat Madani Di Indonesia Melalui Civic Education”. 8/1, 130-149.
Jati, R. Walisongo. (2013). “Kearifan Lokal Sebagai Resolusi Konflik Keagamaan”. 21/2, 35-45.
Mahardika, I. W. Trisna dan Darmawan Cecep. (2016). “Civic Culture Dalam Nilai-Nilai Budaya Dan Kearifan Lokal Masyarakat Bali Aga Desa Trunyan”. 23/1, 12-20.
Nurma Ali Ridwan (2007). “Landasan Keilmuan Kearifan Lokal”. 5/1, 31-40.
Pattikayhatu, J. A., (2005). Budaya Pela dan Gandong di Maluku Tengah. 1/1, 30-45.
Suharianta, G. D, dkk. (2014) “Pengaruh Metode Pembelajaran Simulasi Berbasis Budaya Lokal Terhadap Hasil Belajar”. 2/1, 25-35.
Zuriah, Nurul. (2012). “Kajian Etnopedagogi Pendidikan Kewarganegaraan Sebagai Wahana Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa di Perguruan Tinggi Muhammadiyah Kota Malang Jurnal Humanity”. 8/1, 170-185.
Tesis/Disertasi
Samuel P. Ritiauw. (2008). Peranan Kepemimpinan Masyarakat dalam Penyelesaian Konflik Sosial di Kota Masohi Tahun 1999. Tesis magister pada SPs UPI Bandung: tidak diterbitkan.
Pariela, Tonny, D. (2008). Damai Ditengah Konflik Maluku. reserved Social Capital sebagai Basis Survival Strategy. Disertasi doktor pada Universitas Kristen Satya Wacana Yogyakarta: tidak diterbitkan.
Makalah
Adi Sulistiyono. (2005). Merasionalkan Budaya Musyawarah untuk Mengembangkan Penggunaan Penyelesaian Sengketa Win-win solution. Orasi Ilmiah Dalam Rangka Dies Natalis XXIX Universitas Sebelas Maret. Tanggal 12 Maret.
Malatuny, Y. Godlif. (2016). “Budaya Maluku”. Makalah pada Seminar Nasional Tahun 2016, Bandung.
Misbach, I. (2006). ”Peran Permainan Tradisional yang Bermuatan Edukatif dalam Menyumbang Pembentukan Karakter dan Identitas Bangsa”. Laporan Penelitian. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia. Tidak diterbitkan.
Samuel P Ritiauw, at all. (2016). “Implementasi Pembelajaran Resolusi Konflik Berbasis Nilai Budaya Pela (Analisis Teori Talcott Parson dalam Pembelajaran IPS”.  Prosiding Seminar Nasional Tahun 2016, Jakarta.
Dokumen
Panitia Khusus Panas Pela. (19710. Sama-suru Amalatu [Ameth] Hua Resirehung [Ema], kumpulan dokumen sejarah Pela. Ambon.

Comments system

Disqus Shortname