Minggu, 09 Juli 2017

REVITALISASI PELA GANDONG UNTUK MEWUJUDKAN HARMONISASI DALAM KEBERAGAMAN

Tulisan ini dipublikasikan dalam Seminar Nasional
Program Studi Pendidikan Sejarah
FKIP Universitas Pattimura
dengan Tema :
"SEMANGAT HARI PATTIMURA DAN KEBANGKITAN NASIONAL UNTUK KEBHINEKAAN INDONESIA"
Ambon, 18 Agustus 2017
ISBN 978-602-50012-0-8

Samuel Patra Ritiauw
Direktur Konsorsium Peduli Pendidikan Maluku
pritiauw@gmail.com
Yakob Godlif Malatuny
Mahasiswa Pendidikan Kewarganegaraan
Sekolah Pascasarjana
Universitas Pendidikan Indonesia

PENDAHULUAN
Pela gandong tidak pernah mengenal kadaluwarsa, tidak lekang juga oleh waktu,
karena telah berakar dan tumbuh subur
dalam ladang “hidop orang basudara” (kehidupan bersaudara) di Negeri Para Raja.
SPR-GM

Berbicara tentang harmonisasi, maka setakat ini dalam negara yang bersemboyan Bhinneka Tunggal Ika sedang diuji dengan beragam ancaman, gangguan, hambatan, dan tantangan. Ujian ini layaknya virus yang dapat menyerang dan merusak sel-sel dalam tubuh, sehingga diperlukan tindakan preventif dan represif dari semua elemen bangsa untuk mengatasi serangan virus tersebut. Kita semua jangan tunjuk tangan, tetapi turun tangan, sebab beragam acaman ini jauh dari beres, jika kita semua rajin untuk turun tangan.
Mengingat harmoni hidup menjadi barang yang amat dibutuhkan dalam memelihara keutuhan dan integritas wilayah serta integritas masyarakat Indonesia yang majemuk (Suryadi, 2011: 307). Alih-alih budaya di Negara Indonesia telah ada dan membara dalam dada ratusan jiwa anak bangsa. Beragam budaya menjadi keniscayaan bagi negara Indonesia yang membuka diri untuk menjaga harmonisasi yang kian pudar dalam satu dasawara terakhir.
Kawasan Timur Indonesia menyediakan contoh budaya yang mungkin lebih dapat dipahami sebagai bagian dari sebuah peninggalan masyarakat Austronesia yang lebih tua ketimbang sebuah peninggalan karakter budaya India yang lebih baru (Andaya, 353: 1993). Perbedaan suku, budaya, adat istiadat, agama, ras, gender, strata sosial dan golongan aliansi politik sangat jelas melekat dalam diri masyarakat Indonesia (Zuriah, 2012: 170; Danoebroto, 2012: 95).
Salah satu kebudayaan lokal di Indonesia Timur adalah Pela Gandong. Watloly, (2005, 201-203) Budaya Pela Gandong merupakan identitas, Ruhulessin (2005) sebagai model perdamaian, Ritiauw (2016) sebagai jati diri etnis Maluku yang dalam perjalanan sejarah masih tetap dipertahankan dan dilestarikan. Pela Gandong terjadi dari suatu proses interaksi budaya antara dua atau lebih negeri (desa) yang berbeda latar belakang budaya, dan menghasilkan citra subjektif perilaku masyarakat dari generasi ke generasi (Tutuhatumewa, 2010:2; Ritiauw 2008).
Pela pandong adalah sebuah produk budaya yang terjalin kokoh dalam perjalanan sejarah Maluku hingga kini. Produk budaya yang menjadi sejarah tersebut mencerminkan sebuah transmisi. Argumentasi Harrison (2006: 16) yang menyatakan bahwa budaya bukanlah variabel yang berdiri sendiri, namun selalu dipengaruhi ole faktor-faktor lain, seperti : geografi, iklim, politik, dan tingkah laku sejarah.
Eksistensi pela gandong yang merupakan civic culture dan warisan bagi jujaro-mungare (baca=muda-mudi) Maluku yang wajib dijaga dan dilestarikan, sehingga bisa menjadi modal atau pijakan dalam pembangunan dan selalu terjalin hubungan yang harmonis. Melihat potensi konflik yang ada, nampaknya memang sangat masuk akal apabila kemudian Maluku hancur seperti tragedi pada 1999-2000,  Sulistiyono (2005:9; Misbach 2006:4).
Ikatan pela gandong yang dibanggakan utnuk mengikat persaudaraan, terbukti tidak mampu menahan egoisme kelompok, Sulistiyono (2005:9). Hal ini dapat menyiratkan bahwa bangsa kita belum tahu bagaimana seharusnya memandang perbedaan yang ada, bagaimana menghormati, dan bagaimana mengatasi konflik yang akan timbul, karena tidak pernah ada mekanisme untuk belajar menghadapinya di dunia nyata (Misbach, 2006: 4).
Padahal, pela gandong, merupakan budaya yang benar-benar mencerminkan pola hubungan yang harmonis yang baik. Oleh karena itu, masyarakat di Maluku perlu menyadari bahwa selain derasnya arus modernisasi, beragamnya komunitas yang berada di Maluku, dan potensi konflik yang ada saat ini, saya merasa rasa pela gandong dapat berperan sebagai peredam yang mampu mengurangi gejolak sosial yang bernuansa primordial.
Dengan demikian pela gandong yang telah ada dalam dada ratusan jiwa anak bangsa di Maluku mesti dihidup-hidupkan kembali demi merawat bangunan ke-Maluku-an yang pernah hancur pada 19 tahun yang silam.

PEMBAHASAN
Hakikat Budaya Pela Gandong
Secara filosofi, pela bukan sekedar berhubungan yang dimaknai sebagai ikatan geneologis. Namun lebih dari pada itu merupakan ikatan sosial yang melintasi batas-batas kesukuan maupun agama (Islam atau Kristen) dari tiap-tiap desa/negeri yang ber­Pela. Lokollo (1997:5) mengatakan Pela-gandong ialah perserikatan antara satu negeri di pulau-pulau Ambon-Lease dengan satu atau beberapa negeri lain di Pulau Seram. Perserikatan didasarkan pada hubungan persaudaraan sekandung sejati, dengan isi dan tata laku perserikatan yang diatur dalam perjanjian baik lisan maupun tulisan, di mana para pihak berjanji untuk tunduk kepada perjanjian dimaksud sebagai dasar hukum bagi implementasinya dari waktu ke waktu.
Pendapat Lokollo (1997:5) diperkuat oleh Watloly, (2005:208), pela sesungguhnya mencirikan wacana kontekstual (local genius) masyarakat Maluku yang memberi petunjuk tentang mesteri kehidupan manusia yang hidup dan berkembang di Maluku yang bersifat antropormorphis dan sosia religius.  Bahkan daya eksis manusia Maluku merupakan bukti autentik bahwa imajinasi adat dan religius yang berkembang mampu memproduksi serta menghadirkan identitas manusia Maluku untuk memahami dan mentransformasi eksistensi sejarahnya yang khas melalui budaya pela. Berdasarkan hasil wawancara bersama salah satu tokoh masyarakat dan sejarawan asal Maluku Bapak Sem Touwe [April, 2017] menjelaskan bahwa:

“Pela adalah hubungan antara satu atau dua atau tiga negeri di Maluku yang terjadi karena ada peristiwa sejarah yang dialami oleh masyarakat negeri itu, atau pela itu sumpah dan janji atau ikatan perjanjian antar negeri-negeri. Pela terbagi atas tiga yakni Pela Darah, pela ini terjadi karena adanya peperangan, Pela Tampa Sirih, terjadi karena sebuah peristiwa sejarah yang pernah dialami misalnya pela antara orang Batu Merah dan Orang Paso, dan Pela Gandong, hubungan antara negeri satu dengan negeri yang lain karena ada hubungan geneologi atau pertalian darah”.

Pendapat di atas, sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Pattikayhatu, (2005:2-3) pada dasarnya, ada tiga jenis pela, yaitu (1) pela keras, (2) pela gandong atau bungsu (baca;bongso) (3) pela tempat (baca; tampa) sirih. Pela keras (baca;karas) bermula karena adanya peristiwa besar tertentu, biasanya berkaitan dengan perang, seperti pertumpahan darah, pertempuran yang tidak berakhir, atau bantuan luar biasa yang diberikan oleh satu desa kepada desa lain. Pela Gandong, didasarkan pada ikatan keturunan keluarga; yaitu, satu atau beberapa suku/marga di desa-desa yang berbeda mengklaim memiliki leluhur yang sama. Pela tampa sirih dihasilkan setelah peristiwa kecil, seperti untuk memulihkan kedamaian, setelah ada pertikaian kecil atau setelah satu negeri memberi bantuan kepada negeri lain.
Ruhulessin, (2005:148) dalam disertasinya mengemukakan tiga macam pengertian pela yang dipengaruhi oleh lingkungan kebahasaan.  Pertama, dalam lingkungan kebahasaan daerah Uli Hatuhaha di Pulau Haruku (Pelauw, Kailolo, Kabaue, Rohomoni dan Hulaliu) kata pela berarti “sudah” ini terlihat pada pengalimatan, “Ale Pamana Pela” yang artinya apakah kamu sudah makan. Kedua, lingkungan kebahasaan Uli Solimata di Pulau Ambon (Tulehu, Tenggah-tenggah, dan Tial), Pela berarti “cukup”, contoh penggunaan bahasa terlihat dalam kalimat  “Mahaya Taha Pela” yang artinya makanan tidak cukup. Istilah Peia sama dengan istilah “pela nia” yang berarti sampe jua atau berhentilah.
Ketiga, dalam lingkungan bahasa mayarakat di Seram di aksarakan dengan kata “peia” yang  menujuk pada pengertian “saudara” yang terambil dari tradisi kakehan. Tradisi kakehan tidak menujuk pada hubungan yang berdasarkan faktor genelogis melainkan anggota suku. tetapi selain pengertian-pengertian di atas ada juga asumsi bahwa kata “pela” berasal dari kata “Pila”, yang berarti “buatlah sesuatu untuk kita bersama-sama”. Kadang-kadang kata pila diberi akhiran “tu” menjadi pilatu. Pilatu berarti menguatkan, mengamankan atau mengusahakan sesuatu benda tidak mudah rusak atau pecah. Kemudian itu berubah artinya, yaitu dari sesuatu usaha untuk mengamankan atau menyelamatkan, (Panitia Khusus Panas Pela,1971:2).
Dalam implementasinya, hakikat Pela Gandong dapat terlihat dari lagu-lagu/kapata daerah Maluku yang sering dinyayikan misalnya;


Judul Lagu: Gandong

Gandong, la mari gandong..Mari jua ale o Beta mau bilang ale Katong dua satu gandong Hidup ade deng kaka Sungguh manis lawang e Ale rasa beta rasa Katong dua satu gandong.
Reff.
Gandong e sio gandong e … Mari beta gendong, beta gendong ale jua, Katong dua cuma satu gandong e Satu hati satu jantong e.

Selain nyayian, hakikat Pela juga dapat terlihat dari penggalan “Sumpah Pela” yang dilaksanakan pada upacara adat “Panas Pela” antara Negeri Hunitetu dan Negeri Lohiatala di pulau Seram.

Sumpa (baca=Sumpah):

“...Mata sakalale pelene kinu kwate kurule, pelekurule; saka mimise, noa mimise, saka nunu rupu kena patu, patu rupu kena nunuee, nunu pale tolase, tolase pali nunuee, hioooo…..!!

Artinya:
Kami sedang minum sumpah abadi, sumpah kekuatan; perhatikanlah, ingatlah; kita harus bersatu sekuat pohon beringan dengan karang terjal, sama seperti karang terjal ditumbuhi pohon beringin, seperti sebatang pohon (tolase) yang tumbuh bersama pohon beringan, hiooo………….!

Hakikat sumpah adat akan selalu mengikat masyarakat negeri-negeri yang berPela, serta menjadi pedoman dalam membangun masyarakat yang lebih baik. Bakri, (2015:56) menjelaskan salah satu isi “Sumpa Adat” antara Negeri Batu Merah [Agama Islam] dan Negeri Paso [Agama Kristen] yang sampai dengan sekarang ini diterapkan dalam kehidupan masyarakat. Adapun berbunyi sumpah adat tersebut yakni:

Demi Allah yang menguasai jagat raya ini, kami bersumpah mulai saat ini, kami mengangkat orang-orang Batu Merah sebagai pela kakak kandong e dan berlanjut sampai generasi penerus kami dan bila batu karang ini terbalik seperti semula,maka barulah putus hubungan kami”.

Dalam hubungan pela gandong tersebut terdapat perjanjian antara dua negeri yaitu:

1.     Orang Passo dan orang Batu Merah tidak boleh baku kawin.
2.     Orang Passo dan orang Batu Merah tidak boleh baku musuh.
3.     Orang Passo dan Orang Baru Merah harus saling tolong menolong satu sama lain.

Pentingnya sumpah adat bagi negeri-negeri berPela, mengisyaratkan bahwa masyarakat mampu membangun kehidupan yang diselaranskan dengan nilai budaya dan aturan hukum yang berlaku dalam negara. Berdasarkan hasil wawancara bersawa akademisi Universitas Pattimura bapak Th. Frans [April, 2017] yang mengaskan bahwa:
Amat penting sumpah adat menurut pandangan masyarakat Maluku karna merupakan suatu proses komunikasi/peristiwa sakral antara anak cucu dengan datuk-datuk yang telah mematri hubungan itu, memiliki kekuatan sakal magis dan mengandung nilai-nilai transedental. Nilai itu diyakini dan tidak pernah goyah dari dulu sampai sekarang.

Sementara hasil wawancara bersama salah sato tokoh agama Kristen, Bapak Riko Rikumahu [Mei, 2017] menjelaskan bahwa:

Sumpah adat itu dilakukan pertam kali saat belum ada agama resmi, karena itu disebut sumpah adat. Sumpah itu dilakukan atas dasar Tuhan, yang dalam perspektif orang Maluku Tengah waktu itu disebut Upu Lanite tidak bisa disebut sekarang seperti Yesus.  jadi dalam upacara adat ada nama-nama atau gelar-gelar yang dianggap tinggi dan dinggap setara Tuhan misalnya Upu Lanite, sebutan kepada Tuhan sebenarnya dan alamat sumpah itu disampaikan, karena itu ia memiliki kekuatan legitimasi religius sama dengan sumpah orang-orang Kristen saat ini, karena memiliki pemaknaan yang sama bahwa bersumpah atas nama Tuhan, masyarakat dilarang untuk melanggar. Jadi semua orang yang terikat di dalam sumpah itu melakukan perjanjian untuk tidak boleh saling melanggar. Pengingkaran terhadap sumpah dalam tradisi pela gandong memiliki makna pengingkaran terhadap janji kepada Tuhan atau Upu Lanite. Dalam perjanjian-perjanjian yang berkaitan dengan relasi antar manusia untuk hidup bersama, juga ditemukan simbol atau tanda bagi orang untuk mengakat suatu perjanjian misalnya darah, siri pinang, sopi. Simbol-simbol ini tidaklah penting, jika tidak ada satu “akta sumpah” yang melegitimasi alat-alat itu. Di situ letak pentingnya sumpah adat di dalam negeri-negeri yang membangun relasi pela.

Rangkaian sumpah adat dan kapata merupakan simbol sejarah, dalam membangun kesepakatan untuk hidup bersama yang didalamnya terkandung nilai-nilai luhur dan riskan apabila dilanggar karena memiliki nilai ritual dan telah berlangsung turun temurun (Thomas, 2010: 172). Nilai-nilai luhur yang diwariskan lewat adat budaya warga masyarakat diles-tarikan untuk menjalin persatuan dan kesatuan bangsa, terbangunnya hubungan keseimbangan antarumat beragama. Makna dibalik sumpa adat dan kapata atau nyayian daerah Maluku, secara gambalang mengisyaratkan makna persaudaraan sejati (ale rasa beta rasa) yang harus tetap terpelihara walaupun badai dan gelombang terus menerpa kehidupan sosial budaya masyarakat Maluku sebagai dampak dari perkembangan globalisasi dunia.

Menjaga Harmonisasi Masyarakat Maluku Melalui Pela Gandong
Penduduk Indonesia sangat heterogen dalam etnis, bahasa, adat-istiadat, budaya, dan agama. Kondisi tersebut mendorong dinamika saling berinteraksi, dan kerjasama dalam kehidupan membangsa dan menegara. Sebaliknya dengan pilihan kehidupan demokrasi dan reformasi berpotensi terjadi disharmonisasi (konflik) bangsa, apalagi jika masyarakat lemah dalam mengelola harmonisasi dengan baik. Di saat harmonisasi bagaikan barang yang amat langkah dijumpai dalam satu dasawarsa terakhir di negara yang bersemboyan Bhinneka Tunggal Ika, muncul “...Pela Gandong sebagai civic culture di Negeri Raja-Raja (Maluku) yang mampu menjadi semen perekat hidop orang basudara (kehidupan bersaudara) sehingga memperkuat bangunan ke-Indonesiaan”, (Malatuny, 2016:32).
Setiap konflik diikuti dengan resolusi yang berarti upaya menemu-kenali sebab-sebab konflik, menyelesaikan konflik, sekaligus juga upaya agar konflik yang pernah terjadi tidak terulang lagi. Hal tersebut karena konflik terbuka yang terjadi telah merusak harta benda dan menelan korban jiwa yang sia-sia, serta mengganggu harmoni kehidupan bermasyarakat dan berbangsa. Untuk menjembatani disharmoni/konflik tersebut, maka penulis mencoba mengembangkan banguan harmonisasi maryarakat Maluku yang berfungsi untuk mencegah dan menanggulangi amukan konflik sosial generasi ke tiga di Bumi Penghasil Rempah-rempah. Adapun bangunan itu, terdiri dari:
1.  Pemerintah
Menganalisis faktor penyebab konflik oleh Pariela (2008), Ritiauw, (2008), yang menjelaskan bahwa salah satu faktor penyebab konflik sosial tahun 1999 di Maluku yakni tidak meratanya pambangunan. Ketidak merataan pembangunan ini, telah berdampak pada kesenjangan sosial yang semakin menukik dan memberikan ketidak stabilan dalam kehidupan masyarakat.
Untuk mengatasi masalah tersebut, maka 1). Percepatan  pembangunan, yang dilakukan oleh pemerintah daerah merupakan salah satu faktor yang harus diprioritaskan. 2). Penegakan hukum yang seadil-adilnya bagi pelanggar hukum tanpa tebang pilih juga merupakan solusi untuk menghindari disharmonisasi sebagai bentuk reaksi atas ketidak adilan di depan hukum. 3).  Penyediaan lapangan kerja yang memadai oleh pemerintah daerah sebagai bentuk dari pertambahan jumlah penduduk yang semakin pesat di Maluku. 4). Mengimplementasikan visi pemerintah daerah dalam kaitan dengan menghidupkan kembali nilai-nilai Siwalima [Pela Gandong] sebagai wujud dari civic culture masyarakat Maluku melalui pendidikan dan seni, sehingga kelak menghasilkan masyarakat Maluku yang cinta akan persaudaraan melalui slogan “ale rasa beta rasa”. 
2.  Tokoh Agama
Peran tokoh agama dalam menjaga harmonisasi masyarakat Maluku memegang peranan penting. Apalagi akhir-akhir ini “Kebinekaan Yang Tunggal Ika” itu lagi digoncangkan dengan sejumlah hoax dan permainan cantik para aktor politikus yang mepergunakan isu SARA dalam memperoleh kekuasaan dengan menutup mata akan makna keberagaman di Indonesia. Isu ini juga hinggap sampai di Maluku yang pernah luka karena konflik antar agama. Namun, lagi-lagi kesadaran dan kecintaan akan hidupa bersama sebagai “orang basudara” telah menepikan sejumlah hoax dalam bingkai “orang basudara”. Penepian isu-isu tersebut, mendapat penanganan serius dari tokoh agama di Maluku.
Gereja, Mesjid, Pura, Wihara, di Maluku harus dijadikan tempat untuk menyuarakan “civic culture” sebagai wujud “hidup orang basudara”. Tokoh agama harus dapat membangun kerukunan yang dilandasi toleransi, saling pengertian, saling menghormati, menghargai kesetaraan dalam pengamalan ajaran agamanya dan kerjasama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Bentuk-bentuk kegiatan yang dapat dilakukan misalnya; 1). Khotbah di Masjid, Gereja, Pura, Wihara dijadikan tempat penyebaran budaya “Pela Gandong” dalam wujud hidup orang basudara, 2). Pertemuan dan diskusi para tokoh agama dan masyarakat, 3). Pelibatan semua anggota masyarakat lintas agama dalam mendukung agenda-agenda keagamaan di Maluku, misalnya pelaksanaan MTQ dan Pesparawi tingkat Propinsi dan Nasional, 4). Membangun silaturahmi antar sesama pemeluk agama melalui perayaan Idul Fitri, Natal, Waisak, Galungan dan Imlek.
3.  Tokoh Masyarakat
Menjaga bangunan harmonisasi masyarakat Maluku, juga merupakan salah satu peran mutlak yang sudah seharusnya dilakoni oleh tokoh masyarakat. Tokoh masyarakat dalam kajian ini dipersepsikan sebagai sosok yang mempunyai pengaruh yang cukup besar dalam membangun masyarakat Maluku ke arah yang lebih baik misalnya tokoh politik. Paran para tokoh politik sudah sepatutnyan dapat mencerahkan masyarakat, menyatukan masyarakat yang mungkin saja telah terkotak-kotak oleh kepentingan politik yang dimainkan oleh aktor politik itu sendiri. Oleh karena itu, beberapa langkah yang harus dikembangkan diantaranya; 1). Menjadi corong penyampaian aspirasi masyarakat yang berkeadilan, 2). Membangun basis-basis massa yang mengedepankan prinsip “hidup orang basudara” di Maluku, 3). Membangun diskusi lintas partai politik dalam menumbuhkan kehidupan masyarakat yang baik, 4). Menjadi alat negara untuk menyatukan masyarakat dalam bingkai NKRI.
4.  Tokoh Adat
Provinsi Maluku terkenal dengan julukan “Negeri Raja-Raja”. Julukan ini mengisiaratkan bahwa tingkat kepatuhan terhadap adat yang berkembang dalam kehidupan masyarakat Maluku masih sangat tinggi. Kepatuhan pada perintah “raja”, pada aturan adat, serta kepatuhan pada sumpah (baca=sumpa) adat masih ditemukan dalam kehidupan masyarakat. Karena itu, maka peran tokoh adat dalam menjalankan sistem pemerintahan haruslah dapat memberikan kontribusi pikir bagi masyarakat akan pentingnya internalisasi nilai-nilai budaya “pela gandong” yang menyatukan masyarakat tanpa membedakan suku, agama, budaya, status sosial, status ekonomi dalam masyarakat. Untuk itu, maka bangunan harmonisasi yang dapat dikembangkan tokkoh adat diantaranya; 1). Pelaksanaan upacara “Panas Pela” antara negeri-negeri yang berpela dalam kurun waktu tertentu, sebagai wujud internalisasi nilai budaya pela, 2). Pembiasaan budaya “Masohi” [gotong royong], “Pattita”, “Badati” antar negeri-negeri sebagai wujud “hidup orang basudara”, 3). Pertemuan para tokoh-tokoh adat di Maluku untuk mewujudkan Maluku yang terAdat.
5.  Peran Media Massa
Media massa telah menjadi budaya mainstream (arus utama) dalam melaporkan informasi tentang pelaksanaan pela gandong di Maluku. Informasi yang dilaporkan media massa harus aktual, tajam, terpercaya, dan telah diverifikasi terlebih dahulu agar dapat menjembatani antara pemerintah, tokoh agama, tokoh masyarakat, dan tokoh adat demi mewujudkan bangunan harmonisasi masyarakat di Maluku.

Berdasarkan hasil wawancara dengan Rudi Fofid [Maret, 2017] bahwa;
Demi mencegah jebakan kabar bohong maka verifikasi berganda menjadi jurus penyelamat.

Informasi tentang budaya pela gandong yang dilaporkan media harus diverifikasi berulang-ulang, mengingat media massa mempunyai dampak yang sangat kuat pada opini publik (Neumaan, 1973; 1980). Opini yang dibangun di media massa tidak boleh keliru, sehingga tidak menimbulkan anomali dan chaos di kalangan pemerintah, tokoh agama, tokoh masyarakat, dan tokoh adat.
6.  Pendidikan
Pendidikan merupakan jantung pewarisan nilai-nilai budaya dalam masyarakat, karena pendidikan sesungguhnya merupakan proses mengantarkan manusia dari kondisi apa adanya, kepada kondisi bagaimana seharusnya manusia itu hidup dan berkembang sebagai makhluk sosial. Karena itu, sangatlah penting lembaga pendidikan di Maluku menginternalisasikan nilai-nilai budaya pela gandong dalam mewujudkan cita-cita “hidup orang basudara”. Kadir, (2012, hlm. 61) bahwa “Budaya Siwa Lima di Maluku dalam proses kemunculannya kembali dianggap mempunyai nilai pasifikasi serta rasa persatuan dalam menjaga perdamaian di Ambon pascakonflik”. Selain hal itu pendidikan juga diharapkan berfungsi sebagai alat atau wahana untuk mempercepat perubahan sosial, alat komunikasi publik, serta sebagai alat meminimalisasi berkembangnya konflik. Sebagai alat komunikasi, pendidikan harus dapat membantu pemerintah, tokoh agama, tokoh masyarakat dan tokoh adat dalam mengkomunikasikan nilai-nilai sosial yang merupakan konsensus bersama dalam mewujudkan keseimbangan soaial dalam masyarakat. Dalam hal ini, pendidikan memegang kunci utama dalam membangun masyarakat damai yang berbasis pada budaya “pela gandong”. 


KESIMPULAN

Perawatan terhadap harmonisasi dalam Negara Kebangsaan Pancasila tidak pernah steril dari pahit getirnya serangan virus radikal yang merusak harmonisasi itu sendiri. Di kawasan Timur Nusantara ada pela gandong yang sangat menjanjikan sebagai salah satu keunggulan budaya bangsa yang penting untuk diwariskan kepada generasi muda Maluku, sehingga tujuan bangsa dalam mewujudkan harmonisasi dapat terlihat dalam irama “hidup orang basudara”.
Hidup orang basudara dalam konsep pela gandong sesungguhnya mengisyaratkan akan hidup saling cinta, menghargai, menghormati, menjaga tanpa membedakan suku, agama, ras, budaya, status sosial, status ekonomi di dalam masyarakat. Hal ini telah berdampak pada berkembangnya bangunan harmonisasi masyarakat Maluku yang berbasis pada nilai-nilai budaya pela gandong. Karena itu, nilai-nilai pela gandong/civic culture menjadi mutlak dihidup-hidupkan kembali melalui peran pemerintah, tokoh adat, tokoh masyarakat, media massa,  dan pendidikan sebagai lembaga pewarisan nilai-nilai budaya bangsa.
Namun yang tidak kalah penting, revitalisasi nilai budaya bangsa melalui pendidikan dapat diwujudkan melalui implementasi pembelajaran yang berbasis pada nilai-nilai budaya yang berkembang dalam masyarakat. Karena itu, penting bagi setiap guru baik guru mata pelajaran matematika, IPA, IPS, Bahasa Indonesia, PPKn untuk memahami dengan baik nilai budaya yang berkembang dalam masyarakat dan mengintegrasikannya dalam setiap rigid pembelajaran di kelas. 

UCAPAN TERIMA KASIH KEPADA
1.  Prof. Dr. Th. Frans, M.Pd (Guru Besar Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia-FKIP Universitas Pattimura).
2.  Dr. Sem Touwe, M.Pd (Sejarawan Maluku)
3.  Drs. S.H. Maelissa, M.Hum (Tokoh Masyarakat)
4.   Dr. Lisye Salamor, M.Pd (Ketua Program Studi Pendidikan Kewarganegaraan –FKIP Universitas Pattimura).
5.   Pdt. Rico Rikumahu, S.Th (Tokoh Agama)
6.  Rudi Fofid (Sastrawan Maluku)

DAFTAR PUSTAKA
Buku
Andaya, Leonard Y. (1993). The Word of Maluku: Eastern Indonesian in Early Modern Period. Honolulu: University of Hawai Press.
Banawiratma, JB. (2000). Berteologi Lintas Ilmu. Yogyakarta: Kanisius.
Bartels, Dieter. (1989). Moluccans in exile: a struggle for ethnic survival, centr for study of social conflict, faculty of social sciences university of leiden, Utrecht.
Black, A, James, dan Champion. (1999). Penelitian Sosial. Bandung : Rafika Aditama.
Bogdan, B, C Dan Biklen, S, K. (1982). Qualitative Research for Education An Introduction to Theory and Methods. Boston: Allyn and Bacon.
Budimansyah, D dan Suryadi, K. (2008). PKn dan Masyarkat Multikultural. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia.
Cooley, Frank. L. (1962). Ambonese Adat : A General Description, Yale University, New Haven.
Creswell, W, John. (1998). Qualitative Inquiry And Research Desing: Choosing Among Five Traditions. London : SAGE Publications.
Geertz, Clifford. (1973). Interpretation of culture, basic books, New York.
Guba, G, E dan Lincoln, S. (1985). Naturalistic Inquiry. London : Sega Publications. Bavery.
Hubert, Th. M. Jacobs, S. J. (1971). A Treatise On The Moluccas, Arti Grafiche Citta Di Castello, St. Louis.
Huntington P. Samuel. (2004). Benturan Antarperadaban dan Massa Depan Politik Dunia. Yogyakarta: Qalam.
Keuning, J. (1973). Sejarah Ambon Sampai Pada Akhir Abad Ke-17. Jakarta: Bhratara.
Kymlicka, Will. (1995). Multicultural Citizenship. New York:  Oxford University.
Latif Yudi. (2014). Mata Air Keteladanan; Pancasila Dalam Perbuatan. Jakarta: Mizan.
Lawrence Harrison. (2006). Developing Culture. Routledge: London.
Leirissa, Richard. (1975). Maluku Dalam Perjuangan Nasional Indonesia. Jakarta: Lembaga Sejarah Fakultas Sastra Universitas Indonesia.
Lerissa, R.Z, dkk. (1999). Sejarah Kebudayaan Maluku, Depdikbud. Jakarta: Ilham Bangun Karya.
Lokollo, J.E. at.al. (1997). Seri Budaya Pela-Gandong dari Pulau Ambon. Ambon: Lembaga Kebudayaan Daerah Maluku.
Miles, B, Matthew dan Huberman. Michael. A. (1992). Analisis Data Kualirarif. Jakarta : Universitas Indosesia Press.
Noelle-Neumann, E. (1973). Return to the concept of powerful mass media. In G. C. Wilhoit and H. de Bock, eds., Studies of Broadcasting: An Internasional Annual of Broadcasting Science. Tokyo: Nippon Hoso Kyokai.
Noelle-Neumann, E. (1980). Mass media and social change in developed societies. In G. C. Wilhoit and H. de Bock, eds., Mass Communication Review Yearbook. Beverly Hills, Calif: Sage.
Noelle-Neumann, E. (1993). The Spiral of Silence: Public Opinion-Our Social Skin, 2nd ed. Chicago: University of Chicago Press.
Ruhulessin, J. Chr. (2005). Etika Publik – Menggali dari Tradisi Pela di Maluku. Salatiga: Satya Wacana University Press – Program Pascasarjana Program Studi Sosiologi Agama UKSW.
Ruhulessin, John Chr. (2005). Etika Publik: Menggali dari Tradisi Pela di Maluku. Salatiga: Satya Wacana University Press.
Setiadi, Hari dkk, 2007. Ilmu Sosial Budaya Dasar. Jakarta: Kencana.
Tutuhatumewa, A. Robert. 2010. Budaya Pela di Maluku : Sebuah Model Komunikasi Antar Budaya danimplikasinya bagi Pengolahan konflik antar masyarakat, dalam Jurnal Ilmu-ilmu sosial “Badati”. Fakultas Ilmu sosial dan Ilmu Politik UKIM, Ambon.
Uneputty, T. J. A. (1996). Perwujudan Pela Dalam Kehidupan Sosial Budaya Masya rakat Maluku. Ambon: Star Offset – Bagian Proyek Pengkajian dan Pembi naan Nilainilai Budaya Maluku.
Watloly, Aholiab. (2005). Maluku Baru: Bangkitnya Mesin Eksistensi Anak Negeri. Yogyakarta: Kanisius.
Winataputra H. Saripudin. (2002). Pendidikan Kewarganegaraan Dalam Perspektif Pendidikan Untuk Mencerdaskan Kehidupan Bangsa. Bandung: Widya Aksara Press.
Winataputra, U. S. dan Budimansyah. 2012. Pendidikan Kewarganegaraan dalam Perspektif Internasional (Konteks, Teori, dan Profil Pembelajaran). Bandung: Widya Aksara Press.
Jurnal
Danoebroto, S. Wulandari (2012). “Model Pembelajaran Matematika Berbasis Pendidikan Multikultural”. 1/1, 5-20.
Frans Thomas. (2010). “Wacana Tradisi Pela Dalam Masyarakat Ambon. 38/2, 50-60.
Hatib Abdul Kadir. (2012). “Sapa Bale Batu, Batu Bale Dia: Politik Revivalisme Tradisi Siwa lima Orang “Ambon” Pasca Konflik”. 1 /1, 61-75.
Hendry Bakri. (2015). Conflict Resolution toward Local Wisdom Approach of Pela Gandong in Ambon City. 1/1, 51-59.
Ibrahim, F. Wajdi. (2012). “Pembentukan Masyarakat Madani Di Indonesia Melalui Civic Education”. 8/1, 130-149.
Jati, R. Walisongo. (2013). “Kearifan Lokal Sebagai Resolusi Konflik Keagamaan”. 21/2, 35-45.
Mahardika, I. W. Trisna dan Darmawan Cecep. (2016). “Civic Culture Dalam Nilai-Nilai Budaya Dan Kearifan Lokal Masyarakat Bali Aga Desa Trunyan”. 23/1, 12-20.
Nurma Ali Ridwan (2007). “Landasan Keilmuan Kearifan Lokal”. 5/1, 31-40.
Pattikayhatu, J. A., (2005). Budaya Pela dan Gandong di Maluku Tengah. 1/1, 30-45.
Suharianta, G. D, dkk. (2014) “Pengaruh Metode Pembelajaran Simulasi Berbasis Budaya Lokal Terhadap Hasil Belajar”. 2/1, 25-35.
Zuriah, Nurul. (2012). “Kajian Etnopedagogi Pendidikan Kewarganegaraan Sebagai Wahana Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa di Perguruan Tinggi Muhammadiyah Kota Malang Jurnal Humanity”. 8/1, 170-185.
Tesis/Disertasi
Samuel P. Ritiauw. (2008). Peranan Kepemimpinan Masyarakat dalam Penyelesaian Konflik Sosial di Kota Masohi Tahun 1999. Tesis magister pada SPs UPI Bandung: tidak diterbitkan.
Pariela, Tonny, D. (2008). Damai Ditengah Konflik Maluku. reserved Social Capital sebagai Basis Survival Strategy. Disertasi doktor pada Universitas Kristen Satya Wacana Yogyakarta: tidak diterbitkan.
Makalah
Adi Sulistiyono. (2005). Merasionalkan Budaya Musyawarah untuk Mengembangkan Penggunaan Penyelesaian Sengketa Win-win solution. Orasi Ilmiah Dalam Rangka Dies Natalis XXIX Universitas Sebelas Maret. Tanggal 12 Maret.
Malatuny, Y. Godlif. (2016). “Budaya Maluku”. Makalah pada Seminar Nasional Tahun 2016, Bandung.
Misbach, I. (2006). ”Peran Permainan Tradisional yang Bermuatan Edukatif dalam Menyumbang Pembentukan Karakter dan Identitas Bangsa”. Laporan Penelitian. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia. Tidak diterbitkan.
Samuel P Ritiauw, at all. (2016). “Implementasi Pembelajaran Resolusi Konflik Berbasis Nilai Budaya Pela (Analisis Teori Talcott Parson dalam Pembelajaran IPS”.  Prosiding Seminar Nasional Tahun 2016, Jakarta.
Dokumen
Panitia Khusus Panas Pela. (19710. Sama-suru Amalatu [Ameth] Hua Resirehung [Ema], kumpulan dokumen sejarah Pela. Ambon.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Comments system

Disqus Shortname