Tulisan ini dipublikasikan dalam Seminar Nasional
Program Studi Pendidikan Sejarah
FKIP Universitas Pattimura
dengan Tema :
"SEMANGAT HARI PATTIMURA DAN KEBANGKITAN NASIONAL UNTUK KEBHINEKAAN INDONESIA"
Ambon, 18 Agustus 2017
ISBN 978-602-50012-0-8
Samuel Patra Ritiauw
Direktur Konsorsium Peduli Pendidikan Maluku
pritiauw@gmail.com
Yakob Godlif Malatuny
Direktur Konsorsium Peduli Pendidikan Maluku
pritiauw@gmail.com
Yakob Godlif Malatuny
Mahasiswa
Pendidikan Kewarganegaraan
Sekolah Pascasarjana
Universitas Pendidikan Indonesia
Sekolah Pascasarjana
Universitas Pendidikan Indonesia
E-mail: godlief_malatuny@student.upi.edu
PENDAHULUAN
Pela gandong tidak pernah mengenal kadaluwarsa, tidak
lekang juga oleh waktu,
karena telah berakar dan tumbuh subur
dalam ladang “hidop orang basudara” (kehidupan
bersaudara) di Negeri Para Raja.
SPR-GM
Berbicara tentang harmonisasi, maka setakat
ini dalam negara yang bersemboyan Bhinneka Tunggal Ika sedang diuji dengan
beragam ancaman, gangguan, hambatan, dan tantangan. Ujian ini layaknya virus
yang dapat menyerang dan merusak sel-sel dalam tubuh, sehingga diperlukan
tindakan preventif dan represif dari semua elemen bangsa untuk mengatasi serangan
virus tersebut. Kita semua jangan tunjuk tangan, tetapi turun tangan, sebab
beragam acaman ini jauh dari beres, jika kita semua rajin untuk turun tangan.
Mengingat harmoni hidup menjadi barang yang
amat dibutuhkan dalam memelihara keutuhan dan integritas wilayah serta
integritas masyarakat Indonesia yang majemuk (Suryadi, 2011: 307). Alih-alih budaya
di Negara Indonesia telah ada dan membara dalam dada ratusan jiwa anak bangsa. Beragam
budaya menjadi keniscayaan bagi negara Indonesia yang membuka diri untuk
menjaga harmonisasi yang kian pudar dalam satu dasawara terakhir.
Kawasan Timur Indonesia
menyediakan contoh budaya yang mungkin lebih dapat dipahami sebagai bagian dari
sebuah peninggalan masyarakat Austronesia yang lebih tua ketimbang sebuah
peninggalan karakter budaya India yang lebih baru (Andaya, 353: 1993). Perbedaan suku, budaya, adat istiadat, agama, ras, gender, strata sosial
dan golongan aliansi politik sangat jelas melekat dalam diri masyarakat
Indonesia (Zuriah, 2012: 170; Danoebroto, 2012: 95).
Salah satu kebudayaan
lokal di Indonesia Timur adalah Pela Gandong. Watloly,
(2005, 201-203) Budaya Pela Gandong merupakan identitas, Ruhulessin
(2005) sebagai model perdamaian,
Ritiauw (2016) sebagai jati diri etnis Maluku yang dalam perjalanan sejarah masih tetap dipertahankan
dan dilestarikan. Pela Gandong terjadi dari suatu proses interaksi
budaya antara dua atau lebih negeri (desa) yang berbeda latar belakang budaya,
dan menghasilkan citra subjektif perilaku masyarakat dari generasi ke generasi
(Tutuhatumewa, 2010:2; Ritiauw 2008).
Pela pandong adalah sebuah produk
budaya yang terjalin kokoh dalam perjalanan sejarah Maluku hingga kini. Produk
budaya yang menjadi sejarah tersebut mencerminkan sebuah transmisi. Argumentasi Harrison (2006: 16) yang menyatakan bahwa
budaya bukanlah variabel yang berdiri sendiri, namun selalu dipengaruhi ole
faktor-faktor lain, seperti : geografi, iklim, politik, dan tingkah laku
sejarah.
Eksistensi pela gandong yang merupakan civic culture dan warisan bagi jujaro-mungare (baca=muda-mudi) Maluku yang
wajib dijaga dan dilestarikan, sehingga bisa menjadi modal
atau pijakan dalam pembangunan dan selalu terjalin hubungan yang harmonis. Melihat
potensi konflik yang ada, nampaknya memang sangat masuk akal apabila kemudian Maluku
hancur seperti tragedi pada 1999-2000, Sulistiyono (2005:9; Misbach 2006:4).
Ikatan pela gandong yang dibanggakan utnuk
mengikat persaudaraan, terbukti tidak mampu menahan egoisme kelompok, Sulistiyono (2005:9). Hal
ini dapat menyiratkan bahwa bangsa kita belum tahu bagaimana seharusnya
memandang perbedaan yang ada, bagaimana menghormati, dan bagaimana mengatasi
konflik yang akan timbul, karena tidak pernah ada mekanisme untuk belajar
menghadapinya di dunia nyata (Misbach, 2006: 4).
Padahal, pela gandong,
merupakan budaya yang benar-benar mencerminkan pola hubungan yang harmonis yang
baik. Oleh karena itu, masyarakat di Maluku perlu menyadari bahwa selain
derasnya arus modernisasi, beragamnya komunitas yang berada di Maluku, dan
potensi konflik yang ada saat ini, saya merasa rasa pela gandong dapat berperan
sebagai peredam yang mampu mengurangi gejolak sosial yang bernuansa primordial.
Dengan demikian pela
gandong yang telah ada dalam dada ratusan jiwa anak bangsa di Maluku mesti dihidup-hidupkan
kembali demi merawat bangunan ke-Maluku-an yang pernah hancur pada 19 tahun yang
silam.
PEMBAHASAN
Hakikat Budaya Pela Gandong
Secara filosofi, pela bukan
sekedar berhubungan yang dimaknai sebagai ikatan geneologis. Namun
lebih dari pada itu merupakan ikatan sosial yang melintasi batas-batas
kesukuan maupun agama (Islam atau Kristen) dari tiap-tiap desa/negeri yang berPela. Lokollo (1997:5) mengatakan Pela-gandong ialah
perserikatan antara satu negeri di pulau-pulau Ambon-Lease dengan satu
atau beberapa negeri lain di Pulau Seram. Perserikatan didasarkan
pada hubungan persaudaraan sekandung sejati, dengan isi dan tata laku
perserikatan yang diatur dalam perjanjian baik lisan maupun tulisan, di mana
para pihak berjanji untuk tunduk kepada perjanjian dimaksud sebagai dasar hukum
bagi implementasinya dari waktu ke waktu.
Pendapat Lokollo (1997:5) diperkuat oleh Watloly, (2005:208), pela sesungguhnya
mencirikan wacana kontekstual (local genius) masyarakat Maluku yang
memberi petunjuk tentang mesteri kehidupan manusia yang hidup dan berkembang di
Maluku yang bersifat antropormorphis dan sosia religius. Bahkan daya
eksis manusia Maluku merupakan bukti autentik bahwa imajinasi adat dan religius
yang berkembang mampu memproduksi serta menghadirkan identitas manusia Maluku
untuk memahami dan mentransformasi eksistensi sejarahnya yang khas melalui
budaya pela. Berdasarkan hasil
wawancara bersama salah satu tokoh masyarakat dan sejarawan asal Maluku Bapak Sem
Touwe [April, 2017] menjelaskan bahwa:
“Pela adalah hubungan antara satu
atau dua atau tiga negeri di Maluku yang terjadi karena ada peristiwa sejarah
yang dialami oleh masyarakat negeri itu, atau pela itu sumpah dan janji atau
ikatan perjanjian antar negeri-negeri. Pela terbagi atas tiga yakni Pela Darah,
pela ini terjadi karena adanya peperangan, Pela Tampa Sirih, terjadi karena
sebuah peristiwa sejarah yang pernah dialami misalnya pela antara orang Batu
Merah dan Orang Paso, dan Pela Gandong, hubungan antara negeri satu dengan
negeri yang lain karena ada hubungan geneologi atau pertalian darah”.
Pendapat di atas, sejalan dengan apa yang
dikemukakan oleh Pattikayhatu, (2005:2-3) pada dasarnya, ada
tiga jenis pela, yaitu (1) pela keras, (2) pela gandong
atau bungsu (baca;bongso) (3) pela tempat (baca; tampa) sirih.
Pela keras (baca;karas) bermula karena adanya peristiwa besar
tertentu, biasanya berkaitan dengan perang, seperti pertumpahan darah,
pertempuran yang tidak berakhir, atau bantuan luar biasa yang diberikan oleh
satu desa kepada desa lain. Pela Gandong, didasarkan pada ikatan keturunan
keluarga; yaitu, satu atau beberapa suku/marga di desa-desa yang berbeda mengklaim
memiliki leluhur yang sama. Pela tampa sirih dihasilkan setelah peristiwa kecil, seperti untuk memulihkan
kedamaian, setelah ada pertikaian kecil atau setelah satu negeri memberi
bantuan kepada negeri lain.
Ruhulessin, (2005:148) dalam disertasinya mengemukakan
tiga macam pengertian pela yang dipengaruhi oleh lingkungan kebahasaan. Pertama, dalam lingkungan kebahasaan
daerah Uli Hatuhaha di Pulau Haruku (Pelauw, Kailolo, Kabaue, Rohomoni dan
Hulaliu) kata pela berarti “sudah” ini terlihat pada pengalimatan, “Ale
Pamana Pela” yang artinya apakah kamu sudah makan. Kedua, lingkungan kebahasaan Uli Solimata di Pulau Ambon (Tulehu,
Tenggah-tenggah, dan Tial), Pela berarti “cukup”, contoh penggunaan
bahasa terlihat dalam kalimat “Mahaya Taha Pela” yang artinya makanan
tidak cukup. Istilah Peia sama dengan istilah “pela nia” yang
berarti sampe jua atau berhentilah.
Ketiga, dalam lingkungan bahasa mayarakat di Seram di aksarakan dengan kata
“peia” yang menujuk pada pengertian “saudara” yang terambil dari
tradisi kakehan. Tradisi kakehan tidak menujuk pada hubungan
yang berdasarkan faktor genelogis melainkan anggota suku. tetapi selain
pengertian-pengertian di atas ada juga asumsi bahwa kata “pela”
berasal dari kata “Pila”, yang berarti “buatlah sesuatu untuk kita
bersama-sama”. Kadang-kadang kata pila diberi akhiran “tu”
menjadi pilatu. Pilatu berarti menguatkan, mengamankan atau
mengusahakan sesuatu benda tidak mudah rusak atau pecah. Kemudian itu
berubah artinya, yaitu dari sesuatu usaha untuk mengamankan atau menyelamatkan,
(Panitia Khusus Panas Pela,1971:2).
Dalam
implementasinya, hakikat Pela Gandong
dapat terlihat dari lagu-lagu/kapata daerah Maluku yang sering dinyayikan
misalnya;
Judul Lagu: Gandong
Gandong,
la mari gandong..Mari jua ale o Beta mau bilang ale Katong dua satu gandong
Hidup ade deng kaka Sungguh manis lawang e Ale rasa beta rasa Katong dua satu
gandong.
Reff.
Gandong e sio gandong e … Mari beta gendong, beta
gendong ale jua, Katong dua cuma satu gandong e Satu hati satu jantong e.
Selain nyayian, hakikat Pela juga dapat terlihat dari
penggalan “Sumpah Pela” yang dilaksanakan pada upacara adat “Panas Pela” antara
Negeri Hunitetu dan
Negeri Lohiatala di pulau Seram.
Sumpa (baca=Sumpah):
“...Mata sakalale pelene kinu kwate kurule, pelekurule; saka mimise, noa
mimise, saka nunu rupu kena patu, patu rupu kena nunuee, nunu pale tolase, tolase
pali nunuee, hioooo…..!!
Artinya:
Kami
sedang minum sumpah abadi, sumpah kekuatan; perhatikanlah, ingatlah; kita harus
bersatu sekuat pohon beringan dengan karang terjal, sama seperti karang terjal
ditumbuhi pohon beringin, seperti sebatang pohon (tolase) yang tumbuh bersama
pohon beringan, hiooo………….!
Hakikat sumpah adat akan selalu mengikat masyarakat negeri-negeri yang berPela, serta menjadi pedoman dalam
membangun masyarakat yang lebih baik. Bakri,
(2015:56) menjelaskan salah satu isi “Sumpa Adat” antara Negeri Batu Merah [Agama Islam]
dan Negeri Paso [Agama Kristen] yang sampai dengan sekarang ini diterapkan
dalam kehidupan masyarakat. Adapun berbunyi sumpah adat tersebut yakni:
“Demi
Allah yang menguasai jagat raya ini, kami bersumpah mulai saat ini, kami
mengangkat orang-orang Batu Merah sebagai pela kakak kandong e dan berlanjut
sampai generasi penerus kami dan bila batu karang ini terbalik seperti semula,maka
barulah putus hubungan kami”.
Dalam hubungan pela gandong
tersebut terdapat perjanjian antara dua negeri yaitu:
1.
Orang Passo dan orang Batu Merah tidak boleh baku kawin.
2.
Orang Passo dan orang Batu Merah tidak boleh baku musuh.
3. Orang Passo dan Orang Baru Merah
harus saling tolong menolong satu sama lain.
Pentingnya sumpah adat bagi negeri-negeri berPela, mengisyaratkan bahwa masyarakat mampu membangun kehidupan
yang diselaranskan dengan nilai budaya dan aturan hukum yang berlaku dalam
negara. Berdasarkan hasil wawancara bersawa akademisi Universitas Pattimura
bapak Th. Frans [April, 2017] yang mengaskan bahwa:
Amat
penting sumpah adat menurut pandangan masyarakat Maluku karna merupakan suatu
proses komunikasi/peristiwa sakral antara anak cucu dengan datuk-datuk yang telah mematri hubungan itu, memiliki
kekuatan sakal magis dan mengandung nilai-nilai
transedental. Nilai itu diyakini dan tidak pernah goyah dari dulu sampai
sekarang.
Sementara hasil wawancara bersama salah sato tokoh agama Kristen, Bapak Riko Rikumahu
[Mei, 2017] menjelaskan bahwa:
Sumpah adat itu dilakukan pertam kali saat belum ada
agama resmi, karena itu disebut sumpah adat. Sumpah itu dilakukan atas dasar
Tuhan, yang dalam perspektif orang Maluku Tengah waktu itu disebut Upu Lanite
tidak bisa disebut sekarang seperti Yesus.
jadi dalam upacara adat ada nama-nama atau gelar-gelar yang dianggap
tinggi dan dinggap setara Tuhan misalnya Upu Lanite, sebutan kepada Tuhan
sebenarnya dan alamat sumpah itu disampaikan, karena itu ia memiliki kekuatan
legitimasi religius sama dengan sumpah orang-orang
Kristen saat ini, karena memiliki pemaknaan yang sama bahwa bersumpah atas nama
Tuhan, masyarakat dilarang untuk melanggar. Jadi semua orang yang terikat di
dalam sumpah itu melakukan perjanjian untuk tidak boleh saling melanggar.
Pengingkaran terhadap sumpah dalam tradisi pela gandong memiliki makna
pengingkaran terhadap janji kepada Tuhan atau Upu Lanite. Dalam
perjanjian-perjanjian yang berkaitan dengan relasi antar manusia untuk hidup
bersama, juga ditemukan simbol atau tanda bagi orang untuk mengakat suatu
perjanjian misalnya darah, siri pinang, sopi. Simbol-simbol ini tidaklah
penting, jika tidak ada satu “akta sumpah” yang melegitimasi
alat-alat itu. Di situ letak pentingnya sumpah adat di dalam negeri-negeri yang
membangun relasi pela.
Rangkaian sumpah adat dan kapata merupakan simbol sejarah, dalam membangun
kesepakatan untuk hidup bersama yang
didalamnya terkandung nilai-nilai luhur dan riskan
apabila dilanggar karena memiliki nilai ritual dan telah berlangsung turun
temurun (Thomas, 2010: 172). Nilai-nilai
luhur yang diwariskan lewat adat budaya warga masyarakat diles-tarikan untuk
menjalin persatuan dan kesatuan bangsa, terbangunnya hubungan keseimbangan
antarumat beragama. Makna dibalik sumpa adat
dan kapata atau nyayian daerah Maluku, secara gambalang mengisyaratkan makna
persaudaraan sejati (ale rasa beta rasa)
yang harus tetap terpelihara walaupun badai dan gelombang terus menerpa kehidupan
sosial budaya masyarakat Maluku sebagai dampak dari perkembangan globalisasi
dunia.
Menjaga
Harmonisasi Masyarakat Maluku Melalui Pela Gandong
Penduduk Indonesia sangat
heterogen dalam etnis, bahasa, adat-istiadat, budaya, dan agama. Kondisi
tersebut mendorong dinamika saling berinteraksi, dan kerjasama dalam kehidupan membangsa dan menegara. Sebaliknya
dengan pilihan kehidupan demokrasi dan reformasi berpotensi terjadi disharmonisasi (konflik) bangsa, apalagi jika masyarakat lemah dalam mengelola harmonisasi dengan baik. Di saat harmonisasi bagaikan barang yang
amat langkah dijumpai dalam satu dasawarsa terakhir di negara yang bersemboyan
Bhinneka Tunggal Ika, muncul “...Pela Gandong sebagai civic culture di
Negeri Raja-Raja (Maluku) yang mampu menjadi semen perekat hidop orang
basudara (kehidupan bersaudara) sehingga memperkuat bangunan ke-Indonesiaan”,
(Malatuny, 2016:32).
Setiap konflik diikuti dengan resolusi yang berarti upaya
menemu-kenali sebab-sebab konflik, menyelesaikan konflik, sekaligus juga upaya
agar konflik yang pernah terjadi tidak terulang lagi. Hal tersebut karena
konflik terbuka yang terjadi telah merusak harta benda dan menelan korban jiwa
yang sia-sia, serta mengganggu harmoni kehidupan bermasyarakat dan berbangsa. Untuk menjembatani disharmoni/konflik tersebut,
maka penulis mencoba mengembangkan banguan harmonisasi maryarakat Maluku yang berfungsi untuk mencegah dan menanggulangi amukan konflik sosial generasi ke tiga di Bumi Penghasil Rempah-rempah. Adapun
bangunan itu, terdiri dari:
1. Pemerintah
Menganalisis faktor
penyebab konflik oleh Pariela (2008), Ritiauw, (2008), yang menjelaskan bahwa
salah satu faktor penyebab konflik sosial tahun 1999 di Maluku yakni tidak
meratanya pambangunan. Ketidak merataan pembangunan ini, telah berdampak pada
kesenjangan sosial yang semakin menukik dan memberikan ketidak stabilan dalam
kehidupan masyarakat.
Untuk mengatasi
masalah tersebut, maka 1). Percepatan pembangunan,
yang dilakukan oleh pemerintah daerah merupakan salah satu faktor yang harus
diprioritaskan. 2). Penegakan hukum yang seadil-adilnya bagi pelanggar hukum
tanpa tebang pilih juga merupakan solusi untuk menghindari disharmonisasi
sebagai bentuk reaksi atas ketidak adilan di depan hukum. 3). Penyediaan lapangan kerja yang memadai oleh
pemerintah daerah sebagai bentuk dari pertambahan jumlah penduduk yang semakin
pesat di Maluku. 4). Mengimplementasikan visi pemerintah daerah dalam kaitan
dengan menghidupkan kembali nilai-nilai Siwalima [Pela Gandong] sebagai wujud
dari civic culture masyarakat Maluku
melalui pendidikan dan seni, sehingga kelak menghasilkan masyarakat Maluku yang
cinta akan persaudaraan melalui slogan “ale
rasa beta rasa”.
2. Tokoh Agama
Peran tokoh agama dalam menjaga
harmonisasi masyarakat Maluku memegang peranan penting. Apalagi akhir-akhir ini “Kebinekaan Yang Tunggal
Ika” itu lagi digoncangkan dengan sejumlah hoax dan permainan cantik para aktor
politikus yang mepergunakan isu SARA dalam memperoleh kekuasaan dengan menutup
mata akan makna keberagaman di Indonesia. Isu ini juga hinggap sampai di Maluku
yang pernah luka karena konflik antar agama. Namun, lagi-lagi kesadaran dan
kecintaan akan hidupa bersama sebagai “orang basudara” telah menepikan sejumlah
hoax dalam bingkai “orang basudara”. Penepian isu-isu tersebut, mendapat
penanganan serius dari tokoh agama di Maluku.
Gereja, Mesjid, Pura, Wihara, di
Maluku harus dijadikan tempat untuk menyuarakan “civic culture” sebagai wujud “hidup
orang basudara”. Tokoh agama harus dapat membangun kerukunan yang dilandasi
toleransi, saling pengertian, saling menghormati, menghargai kesetaraan dalam
pengamalan ajaran agamanya dan kerjasama dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan
Pancasila dan UUD 1945.
Bentuk-bentuk kegiatan yang dapat
dilakukan misalnya; 1). Khotbah di Masjid, Gereja, Pura, Wihara dijadikan tempat penyebaran
budaya “Pela Gandong” dalam wujud hidup orang basudara, 2). Pertemuan dan
diskusi para tokoh agama dan masyarakat, 3). Pelibatan semua anggota masyarakat
lintas agama dalam mendukung agenda-agenda keagamaan di Maluku, misalnya
pelaksanaan MTQ dan Pesparawi tingkat Propinsi dan Nasional, 4). Membangun
silaturahmi antar sesama pemeluk agama melalui perayaan Idul Fitri, Natal, Waisak, Galungan dan Imlek.
3. Tokoh Masyarakat
Menjaga bangunan harmonisasi
masyarakat Maluku, juga merupakan salah satu peran mutlak yang sudah seharusnya
dilakoni oleh tokoh masyarakat. Tokoh masyarakat dalam kajian ini dipersepsikan
sebagai sosok yang mempunyai pengaruh yang cukup besar dalam membangun
masyarakat Maluku ke arah yang lebih baik misalnya tokoh politik. Paran para
tokoh politik sudah sepatutnyan dapat mencerahkan masyarakat, menyatukan
masyarakat yang mungkin saja telah terkotak-kotak oleh kepentingan politik yang
dimainkan oleh aktor politik itu sendiri. Oleh karena itu, beberapa langkah
yang harus dikembangkan diantaranya; 1). Menjadi corong penyampaian aspirasi
masyarakat yang berkeadilan, 2). Membangun basis-basis massa yang mengedepankan
prinsip “hidup orang basudara” di Maluku, 3). Membangun diskusi lintas partai
politik dalam menumbuhkan kehidupan masyarakat yang baik, 4). Menjadi alat
negara untuk menyatukan masyarakat dalam bingkai NKRI.
4. Tokoh Adat
Provinsi Maluku terkenal dengan julukan “Negeri
Raja-Raja”. Julukan ini mengisiaratkan bahwa tingkat kepatuhan terhadap adat
yang berkembang dalam kehidupan masyarakat Maluku masih sangat tinggi.
Kepatuhan pada perintah “raja”, pada aturan adat, serta kepatuhan pada sumpah
(baca=sumpa) adat masih ditemukan dalam kehidupan masyarakat. Karena itu, maka
peran tokoh adat dalam menjalankan sistem pemerintahan haruslah dapat
memberikan kontribusi pikir bagi masyarakat akan pentingnya internalisasi
nilai-nilai budaya “pela gandong” yang menyatukan masyarakat tanpa membedakan
suku, agama, budaya, status sosial, status ekonomi dalam masyarakat. Untuk itu,
maka bangunan harmonisasi yang dapat dikembangkan tokkoh adat diantaranya; 1).
Pelaksanaan upacara “Panas Pela” antara negeri-negeri yang berpela dalam kurun
waktu tertentu, sebagai wujud internalisasi nilai budaya pela, 2). Pembiasaan
budaya “Masohi” [gotong royong], “Pattita”, “Badati” antar negeri-negeri
sebagai wujud “hidup orang basudara”, 3). Pertemuan para tokoh-tokoh adat di
Maluku untuk mewujudkan Maluku yang terAdat.
5. Peran Media Massa
Media massa telah menjadi budaya mainstream (arus utama) dalam melaporkan
informasi tentang pelaksanaan pela gandong di Maluku. Informasi yang dilaporkan
media massa harus aktual, tajam, terpercaya, dan telah diverifikasi terlebih
dahulu agar dapat menjembatani antara pemerintah, tokoh agama, tokoh
masyarakat, dan tokoh adat demi mewujudkan bangunan harmonisasi masyarakat di
Maluku.
Berdasarkan hasil wawancara dengan Rudi Fofid
[Maret, 2017] bahwa;
Demi mencegah jebakan kabar
bohong maka verifikasi berganda menjadi jurus penyelamat.
Informasi tentang budaya pela gandong yang dilaporkan
media harus diverifikasi berulang-ulang, mengingat media massa mempunyai dampak yang sangat kuat pada opini
publik (Neumaan, 1973; 1980). Opini yang dibangun di media massa tidak boleh
keliru, sehingga tidak menimbulkan anomali
dan chaos di kalangan pemerintah,
tokoh agama, tokoh masyarakat, dan tokoh adat.
6. Pendidikan
Pendidikan merupakan jantung pewarisan nilai-nilai
budaya dalam masyarakat, karena pendidikan sesungguhnya merupakan proses
mengantarkan manusia dari kondisi apa adanya, kepada kondisi bagaimana
seharusnya manusia itu hidup dan berkembang sebagai makhluk sosial. Karena itu,
sangatlah penting lembaga pendidikan di Maluku menginternalisasikan nilai-nilai
budaya pela gandong dalam mewujudkan cita-cita “hidup orang basudara”. Kadir,
(2012, hlm. 61) bahwa “Budaya Siwa Lima di Maluku dalam
proses kemunculannya kembali dianggap mempunyai nilai pasifikasi serta rasa
persatuan dalam menjaga perdamaian di Ambon pascakonflik”. Selain hal itu pendidikan juga
diharapkan berfungsi
sebagai alat atau
wahana untuk mempercepat perubahan sosial, alat
komunikasi publik,
serta sebagai alat meminimalisasi berkembangnya konflik. Sebagai alat komunikasi,
pendidikan harus dapat membantu pemerintah, tokoh agama, tokoh masyarakat dan
tokoh adat dalam mengkomunikasikan nilai-nilai sosial yang merupakan konsensus
bersama dalam mewujudkan keseimbangan soaial dalam masyarakat. Dalam hal ini,
pendidikan memegang kunci utama dalam membangun masyarakat damai yang berbasis
pada budaya “pela gandong”.
KESIMPULAN
Perawatan terhadap harmonisasi dalam Negara
Kebangsaan Pancasila tidak pernah steril dari pahit getirnya serangan virus radikal
yang merusak harmonisasi itu sendiri. Di kawasan Timur Nusantara ada pela
gandong yang sangat menjanjikan sebagai salah satu keunggulan budaya bangsa yang
penting untuk diwariskan kepada generasi muda Maluku, sehingga tujuan bangsa
dalam mewujudkan harmonisasi dapat terlihat dalam irama “hidup orang basudara”.
Hidup orang basudara dalam konsep pela gandong
sesungguhnya mengisyaratkan akan hidup saling cinta, menghargai, menghormati,
menjaga tanpa membedakan suku, agama, ras, budaya, status sosial, status
ekonomi di dalam masyarakat. Hal ini telah berdampak pada berkembangnya
bangunan harmonisasi masyarakat Maluku yang berbasis pada nilai-nilai budaya
pela gandong. Karena itu, nilai-nilai pela gandong/civic culture menjadi mutlak dihidup-hidupkan kembali melalui peran
pemerintah, tokoh adat, tokoh masyarakat, media massa, dan pendidikan sebagai lembaga pewarisan
nilai-nilai budaya bangsa.
Namun yang tidak kalah penting, revitalisasi nilai
budaya bangsa melalui pendidikan dapat diwujudkan melalui implementasi
pembelajaran yang berbasis pada nilai-nilai budaya yang berkembang dalam
masyarakat. Karena itu, penting bagi setiap guru baik guru mata pelajaran matematika,
IPA, IPS, Bahasa Indonesia, PPKn untuk memahami dengan baik nilai budaya yang
berkembang dalam masyarakat dan mengintegrasikannya dalam setiap rigid
pembelajaran di kelas.
UCAPAN TERIMA KASIH KEPADA
UCAPAN TERIMA KASIH KEPADA
1. Prof. Dr. Th. Frans, M.Pd (Guru Besar Pendidikan
Bahasa dan Sastra Indonesia-FKIP Universitas Pattimura).
2. Dr. Sem Touwe, M.Pd (Sejarawan Maluku)
3. Drs. S.H. Maelissa, M.Hum (Tokoh Masyarakat)
4. Dr. Lisye Salamor, M.Pd (Ketua Program Studi
Pendidikan Kewarganegaraan –FKIP Universitas Pattimura).
5. Pdt. Rico Rikumahu, S.Th (Tokoh Agama)
6. Rudi Fofid (Sastrawan Maluku)
6. Rudi Fofid (Sastrawan Maluku)
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Andaya,
Leonard Y. (1993). The Word of Maluku:
Eastern Indonesian in Early Modern
Period. Honolulu: University of Hawai Press.
Banawiratma,
JB. (2000). Berteologi Lintas Ilmu.
Yogyakarta: Kanisius.
Bartels,
Dieter. (1989). Moluccans in exile: a
struggle for ethnic survival, centr for study
of social conflict, faculty of social sciences university of leiden, Utrecht.
Black, A, James, dan Champion. (1999). Penelitian
Sosial. Bandung : Rafika
Aditama.
Bogdan, B, C Dan Biklen, S,
K. (1982). Qualitative Research for Education An Introduction to
Theory and Methods. Boston: Allyn and Bacon.
Budimansyah, D dan Suryadi, K.
(2008). PKn dan Masyarkat Multikultural.
Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia.
Cooley, Frank. L. (1962). Ambonese Adat : A General Description, Yale University, New Haven.
Creswell, W, John. (1998). Qualitative Inquiry And
Research Desing: Choosing Among Five Traditions. London : SAGE
Publications.
Geertz,
Clifford. (1973). Interpretation of
culture, basic books, New York.
Guba, G, E dan Lincoln, S.
(1985). Naturalistic Inquiry. London : Sega Publications. Bavery.
Hubert, Th. M. Jacobs, S. J. (1971). A Treatise
On The Moluccas, Arti Grafiche Citta Di Castello, St. Louis.
Huntington P. Samuel. (2004). Benturan Antarperadaban dan Massa Depan
Politik Dunia. Yogyakarta: Qalam.
Keuning, J. (1973). Sejarah Ambon Sampai Pada
Akhir Abad Ke-17. Jakarta: Bhratara.
Kymlicka, Will. (1995). Multicultural Citizenship. New
York: Oxford University.
Latif Yudi. (2014). Mata Air Keteladanan; Pancasila Dalam
Perbuatan. Jakarta: Mizan.
Lawrence
Harrison. (2006). Developing Culture.
Routledge: London.
Leirissa, Richard. (1975). Maluku Dalam Perjuangan
Nasional Indonesia. Jakarta: Lembaga Sejarah Fakultas Sastra Universitas Indonesia.
Lerissa,
R.Z, dkk. (1999). Sejarah Kebudayaan
Maluku, Depdikbud. Jakarta: Ilham Bangun Karya.
Lokollo, J.E. at.al. (1997). Seri Budaya Pela-Gandong dari Pulau Ambon. Ambon: Lembaga Kebudayaan Daerah Maluku.
Miles, B, Matthew dan
Huberman. Michael. A. (1992). Analisis Data Kualirarif. Jakarta : Universitas Indosesia Press.
Noelle-Neumann, E.
(1973). Return to the concept of powerful mass media. In G. C. Wilhoit and H.
de Bock, eds., Studies of Broadcasting: An Internasional Annual of Broadcasting
Science. Tokyo: Nippon Hoso Kyokai.
Noelle-Neumann, E.
(1980). Mass media and social change in
developed societies. In G. C. Wilhoit and H. de Bock, eds., Mass
Communication Review Yearbook. Beverly Hills, Calif: Sage.
Noelle-Neumann, E.
(1993). The Spiral of Silence: Public
Opinion-Our Social Skin, 2nd ed. Chicago: University of Chicago Press.
Ruhulessin, J. Chr. (2005). Etika Publik – Menggali dari Tradisi Pela di Maluku. Salatiga: Satya Wacana
University Press – Program Pascasarjana Program Studi Sosiologi Agama UKSW.
Ruhulessin, John Chr. (2005).
Etika Publik: Menggali dari
Tradisi Pela di Maluku. Salatiga: Satya Wacana University Press.
Setiadi,
Hari dkk, 2007. Ilmu Sosial Budaya Dasar.
Jakarta: Kencana.
Tutuhatumewa,
A. Robert. 2010. Budaya Pela di Maluku :
Sebuah Model Komunikasi Antar Budaya danimplikasinya bagi Pengolahan konflik
antar masyarakat, dalam Jurnal Ilmu-ilmu sosial “Badati”. Fakultas Ilmu sosial dan Ilmu Politik UKIM, Ambon.
Uneputty, T. J. A. (1996). Perwujudan Pela Dalam Kehidupan Sosial Budaya Masya‐ rakat Maluku. Ambon: Star Offset – Bagian Proyek Pengkajian dan Pembi‐ naan Nilai‐nilai Budaya
Maluku.
Watloly, Aholiab. (2005). Maluku Baru: Bangkitnya Mesin Eksistensi Anak Negeri. Yogyakarta: Kanisius.
Winataputra H. Saripudin. (2002). Pendidikan Kewarganegaraan Dalam Perspektif
Pendidikan Untuk Mencerdaskan Kehidupan Bangsa. Bandung: Widya Aksara Press.
Winataputra, U. S. dan Budimansyah. 2012. Pendidikan Kewarganegaraan dalam Perspektif Internasional (Konteks,
Teori, dan Profil Pembelajaran). Bandung: Widya Aksara Press.
Jurnal
Danoebroto, S. Wulandari (2012).
“Model Pembelajaran
Matematika Berbasis Pendidikan Multikultural”. 1/1, 5-20.
Frans Thomas. (2010). “Wacana Tradisi Pela Dalam
Masyarakat Ambon”. 38/2, 50-60.
Hatib Abdul Kadir. (2012). “Sapa Bale Batu, Batu Bale
Dia: Politik Revivalisme Tradisi Siwa lima Orang “Ambon” Pasca Konflik”. 1 /1,
61-75.
Hendry Bakri. (2015). “Conflict
Resolution toward Local Wisdom Approach of Pela Gandong in Ambon City”. 1/1, 51-59.
Ibrahim, F. Wajdi. (2012). “Pembentukan Masyarakat
Madani Di Indonesia Melalui Civic Education”. 8/1, 130-149.
Jati, R. Walisongo. (2013). “Kearifan Lokal Sebagai
Resolusi Konflik Keagamaan”. 21/2, 35-45.
Mahardika, I. W. Trisna dan Darmawan Cecep. (2016). “Civic
Culture Dalam Nilai-Nilai Budaya Dan Kearifan Lokal Masyarakat Bali Aga Desa
Trunyan”. 23/1, 12-20.
Nurma Ali Ridwan (2007). “Landasan Keilmuan Kearifan Lokal”.
5/1, 31-40.
Pattikayhatu, J. A., (2005). Budaya Pela dan Gandong di Maluku Tengah.
1/1, 30-45.
Suharianta, G. D, dkk. (2014) “Pengaruh Metode
Pembelajaran Simulasi Berbasis Budaya Lokal Terhadap Hasil Belajar”. 2/1, 25-35.
Zuriah, Nurul. (2012). “Kajian Etnopedagogi Pendidikan
Kewarganegaraan Sebagai Wahana Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa di
Perguruan Tinggi Muhammadiyah Kota Malang Jurnal Humanity”. 8/1, 170-185.
Tesis/Disertasi
Samuel P. Ritiauw. (2008). Peranan
Kepemimpinan Masyarakat dalam Penyelesaian Konflik Sosial di Kota Masohi Tahun
1999. Tesis magister pada SPs UPI Bandung: tidak diterbitkan.
Pariela, Tonny, D. (2008). Damai Ditengah Konflik Maluku. reserved Social Capital sebagai Basis
Survival Strategy. Disertasi doktor
pada Universitas
Kristen Satya Wacana Yogyakarta:
tidak diterbitkan.
Makalah
Adi Sulistiyono. (2005). “Merasionalkan Budaya Musyawarah untuk Mengembangkan Penggunaan
Penyelesaian Sengketa Win-win solution”. Orasi Ilmiah Dalam Rangka Dies Natalis XXIX
Universitas Sebelas Maret. Tanggal 12 Maret.
Malatuny,
Y. Godlif. (2016). “Budaya Maluku”. Makalah pada Seminar Nasional Tahun 2016,
Bandung.
Misbach, I. (2006). ”Peran Permainan Tradisional yang Bermuatan Edukatif dalam
Menyumbang Pembentukan Karakter dan Identitas Bangsa”. Laporan Penelitian. Bandung:
Universitas Pendidikan Indonesia. Tidak diterbitkan.
Samuel P Ritiauw, at all. (2016). “Implementasi
Pembelajaran Resolusi Konflik Berbasis
Nilai Budaya Pela (Analisis Teori Talcott Parson dalam Pembelajaran IPS”. Prosiding Seminar Nasional Tahun 2016,
Jakarta.
Dokumen
Panitia Khusus Panas Pela. (19710. Sama-suru Amalatu [Ameth] Hua Resirehung [Ema], kumpulan dokumen sejarah Pela. Ambon.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar