1. Konsep Paradigma
Istilah paradigma pada awalnya
berkembang dalam dunia ilmu pengetahuan terutama yang kaitannya dengan filsafat
ilmu pengetahuan. Tokoh yang mengembangkan istilah tersebut dalam dunia ilmu
pengetahuan adalah Thomas S. Kuhn
dalam bukunya yang berjudul “The Structure of Scientific Revolution”
(1970:49). Inti sari pengertian paradigm adalah suatu asumsi-asumsi dasar dan
asumsi-asumsi teoritis yang umum (merupakan suatu sumber nilai) sehingga
merupakan suatu sumber hukum-hukum, metode serta penerapan dalam ilmu pengetahuan
sehingga sangat menentukan sifat, ciri serta karakter ilmu pengetahuan itu
sendiri.
Munculnya sebuah buku “Structure of Scientific Revolutions”
pada tahun 1962, yang dikreasi oleh seorang yang dilahirkan di Cincinnati,
Ohaio. Dia adalah Thomas Kuhn. Pada tahun 1922 Kuhn belajar fisika di Havard
University, kemudian melanjutkan studinya di pascasarjana, dan memutuskan
pindah ke bidang sejarah ilmu. “Structure
of Scientific Revolutions”, banyak mengubah persepsi orang terhadap apa
yang dinamakan ilmu. Jika sebagian orang mengatakan bahwa pergerakan ilmu itu
bersifat linier akumulatif, maka tidak demikian halnya dalam penglihatan Kuhn. Menurut
Kuhn ilmu bergerak melalui tahapan-tahapan yang berpuncak pada kondisi normal
dan kemudian “membusuk” karena telah digantikan oleh ilmu atau paradigma baru.
Demikian selanjutnya Paradigma baru mengancam paradigm lama yang sebelumnya
juga menjadi paradigm baru.
Beberapa pengertian paradigma : (1) Cara
memandang sesuatu (2) Dalam
ilmu pengetahuan : model, pola, ideal. Dari model-model ini fenomena yang
dipandang, dijelaskan (3) Dasar
untuk menyeleksi problem-problem dan pola untuk memecahkan problem-problem
riset. Paradigma merupakan konstruk berpikir
yang mampu menjadi wacana untuk temuan ilmiah : yang dalam konseptualisasi Kuhn
: menjadi wacana untuk temuan ilmiah baru.
Jadi dapat disimpulkan bahwa, paradigma
dapat kita gunakan di dalam ilmu sebagai model, contoh, pola yang dapat
dijadikan dasar untuk menyeleksi berbagai problem-problem serta pola-pola untuk
mencari dan menemukan problem-problem yang ada di dalam ilmu pengetahuan untuk
memecahkan problem-problem riset. Selanjutnya, secara singkat pengertian
paradigma adalah keseluruhan konstelasi kepercayaan, nilai dan teknik yang
dimiliki suatu komunitas ilmiah dalam memandang sesuatu (fenomena). Paradigma
membantu merumuskan tentang apa yang harus di pelajari, persoalan apa yang
harus dijawab dan aturan apa yang harus di ikuti dalam menginterprestasikan
jawaban yang diperoleh.
1 2. Paradigma
Ilmu Pengetahuan Menurut Thomas S. Kuhn
Thomas Samuel Kuhn, mula-mula meniti
karirnya sebagai ahli fisika, tetapi kemudian mendalami sejarah ilmu. Lewat
tulisannya, The Structure of Scientific Revolutions (1962), ia menjadi
seorang penganjur yang gigih yang berusaha meyakinkan bahwa titik pangkal
segala penyelidikan adalah berguru pada sejarah ilmu. Sebagai penulis sejarah
dan sosiolog ilmu Kuhn mendekati ilmu secara eksternal. Kuhn dengan mendasarkan
pada sejarah ilmu, justru berpendapat bahwa terjadinya perubahan-perubahan yang
berarti tidak pernah terjadi berdasarkan upaya empiris untuk membuktikan salah
(falsifikasi) suatu teori atau sistem, melainkan berlangsung melalui
revolusi-revolusi ilmiah. Dengan kata lain, Kuhn berdiri dalam posisi melawan
keyakinan yang mengatakan bahwa kemajuan ilmu berlangsung secara kumulatif. Ia
mengambil posisi alternatif bahwa kemajuan ilmiah pertama-pertama bersifat
revolusioner. Secara sederhana yang dimaksud dengan revolusi ilmiah oleh Kuhn
adalah segala perkembangan nonkumulatif di mana paradigm yang terlebih dahulu
ada (lama) diganti dengan tak terdamaikan lagi, keseluruhan ataupun sebagian
dengan yang baru.
Gagasannya yang sangat radikal dan
progresif tersebut kiranya berasal dari pengalaman ilmiah yang pernah
dihadapinya sendiri. Pada tahun 1947 Kuhn diminta untuk mengajar mekanika
klasik abad ke 17, maka kemudian ia membaca mekanika Aristotelian yang melatar
belakangi perkembangan mekanika Galilei dan Newton. Dia sangat heran dan sering
tidak percaya bahwa mekanika Aristotelian inilah yang mendasari lahirnya
mekanika Galilei dan Newton yang sangat termasyhur abad ke 17, karena ia
melihat betapa mekanika Aristoteles itu mengandung begitu banyak
kesalahan-kesalahan. Pengalaman inilah yang menjadi cikal bakal yang
memunculkan gagasannya mengenai revolusi ilmiah. Revalusi ilmiah di mengerti
oleh Kuhn sebagai episode-episode perkembangan nonkumulatif dimana paradigma
yang lama digantikan seluruhnya atau sebagian oleh paradigma baru yang tidak
dapat didamaikan dengan paradigma sebelumnya.
Jadi dapat disimpulkan dengan
penggunaan istilah paradigma itu, Kuhn hendak menunjuk pada sejumlah contoh
praktek ilmiah aktual yang diterima atau diakui dalam lingkungan komunitas
ilmiah, menyajikan model-model yang berdasarkannya lahir tradisi penelitian
ilmiah yang terpadu (koheren). Contoh praktek ilmiah itu mencakup dalil, teori,
penerapan dan instrumentasi. Dengan demikian, para ilmuan yang penelitiannya
didasarkan pada paradigma yang sama, pada dasarnya terikat pada aturan dan
standar yang sama dalam mengemban ilmunya. Keterikatan pada aturan dan standar
ini adalah prasyarat bagi adanya ilmu normal. Jadi, secara umum dapat dikatakan
bahwa paradigma itu adalah cara pandang atau kerangka berpikir yang berdasarkan
fakta atau gejala diinterpretasi dan dipahami.
Paradigma menetapkan kriteria untuk
memilih masalah yang dapat diasumsikan mempunyai solusi. Hanya masalah yang
memenuhi kriteria yang diderivasi dari paradigma saja yang dapat disebut
masalah ilmiah, yang layak digarap oleh ilmuan. Dengan demikian, maka paradigma
menjadi sumber keterpaduan bagi tradisi penelitian yang normal. Aturan
penelitian diderivasi dari paradigma. Namun, menurut Kuhn, tanpa adanya aturan
ini, paradigma saja sudah cukup untuk membimbing penelitian. Jadi, ilmu normal
sebenarnya tidak terlalu memerlukan aturan atau metode yang standar (yang
disepakati oleh komunitas ilmiah). Tanpa aturan dan metode yang baku, ilmu
normal dapat berjalan. Ini berarti bahwa tiap ilmuan dapat menciptakan aturan
dan metode penelitian dan pengkajian sendiri sesuai dengan keperluan, sepanjang
aturan dan metode ini diderivasi dari paradigma yang berlaku. Tetapi, jika
paradigmanya belum mapan, maka perangkat aturan akan diperlukan atau menjadi
penting.
Ilmu yang sudah mapan dianggap oleh
Kuhn dikuasai oleh paradigma tunggal. Paradigma ini membimbing kegiatan ilmiah
dalam masa ilmu normal (normal science), dimana ilmuan berkesempatan
menjabarkan dan mengembangkan paradigma secara rinci dan mendalam. Dalam tahap
ini seorang ilmuan tidak bersikap kritis terhadap paradigma yang membimbing
aktifitas ilmiah lainnya. Tetapi suatu ketika dapat terjadi, dalam
menjalankan risetnya itu, sang ilmuan menjumpai berbagai fenomena yang tidak
bisa diterangkan dengan teorinya. Pada saat inilah terjadi suatu anomali, yang
apabila makin menumpuk kuantitas maupun kualitasnyaakan menimbulkan krisis.
Dalam situasi krisis ini, paradigma yang ada diperiksa dan dipertanyakan, ini
menyebabkan keadaan ilmiah yang keluar dari ilmu normal. Krisis menjadi situasi
yang bisa menyebabkan revolusi ilmiah. Pada masa krisis ini ada kegelisahan
mendalam yang dihadapi komunitas ilmiah.
Dalam upaya mengatasi krisis itu,
sang ilmuan bisa kembali pada cara-cara ilmiah yang lama sambil memperluas
cara-cara itu, atau dapat juga mengembangkan suatu paradigma tandingan yang
bisa memecahkan masalah dan membimbing riset berikutnya. Terobosan yang
terakhir, yaitu proses peralihan komunitas ilmiah dari paradigma lama ke
paradigma baru, itulah yang disebut sebagai revolusi ilmiah. Dikatakan oleh
Kuhn bahwa peralihan tadi tidak semata-mata karena alasan logis rasional,
melainkan mirip dengan proses pertobatan dalam agama. Jadi perkembangan
berlangsung lewat sebuah lompatan-lompatan yang radikal dan revolusioner.
Perubahan sebuah teori bukan hanya
sekedar peningkatan dari teori yang lama, tetapi sudah menyentuh pada perubahan
struktural. Jadi tidak ada lagi tampak sebuah inti yang terlindung dari sebuah
teori ketika dikalahkan oleh sebuah teori tandingan. Demikianlah teori
gravitasi Newton secara structural hancur ketika diserang oleh relativitas
Einstein, sama halnya dengan kejatuhan geosentris Ptolemeus dari heliosentris
Kopernikus. Sehingga teori yang dikalahkan tinggal sebagai pengetahuan sejarah.
3. Pandangan
Kuhn Tentang Perkembangan Ilmu (Open
Ended)
Kuhn melihat adanya
kesalahan-kesalahan fondamental tentang image atau konsep ilmu yang telah
dielaborasi oleh kaum filsafat ortodoks, sebuah konsep ilmu yang dengan
membabi-buta mempertahankan dogma-dogma yang diwarisi dari Empirisme dan
Rasionalisme klasik. Dalam teori Kuhn, faktor Sosiologis Historis serta
Phsikologis mendapat perhatian dan ikut berperan. Kuhn berusaha menjadikan
teori tentang ilmu lebih cocok dengan situasi sejarah. Dengan demikian
diharapkan filsafat ilmu lebih mendekati kenyataan ilmu dan aktifitas ilmiah
sesungguhnya, yang dalam perkembangan ilmu tersebut adalah secara
revolusioner bukan secara kumulatif sebagaimana anggapan kaum rasonalis dan
empiris klasik.
Kuhn memberikan image atau konsep
sains alternatif dalam outline yang ia gambarkan dalam beberapa stage, yaitu : Pra
paradigma-Pra Science-Paradigma Normal Science-Anomali-Krisis
Revolusi-Paradigma Baru-Ekstra Ordinary Science-Revolusi.
a) Tahap Pra Paradigma dan Pra Science
Pada stage ini aktivitas-aktivitas
ilmiah pada stage ini dilakukan secara terpisah dan tidak terorganisir sebab
tidak ada persetujuan tentang subjeck matter, problem-problem dan prosedur di
antara para ilmuwan yang bersaing, karena tidak adanya suatu pandangan
tersendiri yang diterima oleh semua ilmuan tentang suatu teori (fenomena). Dari
sejumlah aliran yang bersaing, kebanyakan mereka mendukung satu atau lain
varian dalam teori tertentu dan di samping itu ada kombinasi dan modifikasi
lain yang masing-masing aliran mendukung teorinya sendiri-sendiri. Sehingga
sejumlah teori boleh dikatakan ada sebanyak jumlah pelaksanaannya di lapangan
dan setiap ahli teori itu merasa wajib memulai dengan yang baru dan membenarkan
pendekatannya sendiri. Hal semacam ini berlangsung selama kurun waktu tertentu
samapai suatu paradigma tunggal diterima oleh semua aliran yang dianut ilmuan
tersebut dan ketika paradigma tunggal diterima, maka jalan menuju normal
science mulai ditemukan.
Dengan kemampuan paradigma dalam membanding
penyelidikan, menentukan teknik memecahkan masalah, dan prosedur-prosedur
riset, maka ia dapat mengatasi ketergantungan observasi pada teori.
b) Tahap Paradigma Normal Science
Pada tahap ini, tidak terdapat
sengketa pendapat mengenai hal-hal fundamental di antara para ilmuan sehingga
paradigma tunggal diterima oleh semuanya. Paradigma tunggal yang telah diterima
tersebut dilindungi dari kritik dan falsifikasi sehingga ia tahan dari berbagai
kritik dan falsifikasi. Hal ini menjadi ciri yang membedakan antara normal
science dan pra science.
Paradigma yang membimbing eksperimen atau riset ilmiah
tersebut didalamnya tercakup :
1.
Komponen tipikal yang secara eksplisit akan
mengemukakan hukum-hukum dan asumsi-asumsi teoritis. Contoh, hukum “gerak”
Newton membentuk sebagian paradigma Newtonian. Dan hukum “persamaan” Maxwell
merupakan sebagian paradigma yang telah membentuk teori elektromagnetik klasik.
2.
Cara yang baku dalam penggunaan hukum-hukum
fundamental untuk berba gai tipe situasi.
3. Instrumentasi dan teknik-tekniknya yang diperlukan
untuk membuat agar hukum-hukum paradigma itu dapat bertahan dalam dunia nyata
dan di dalam paradigma itu sendiri.
4.
Prinsip metafisis yang sangat umum yang membimbing
pekerjaan di dalam suatu paradigma.
5.
Keterangan metodologis yang sangat umum yang
memberikan cara pemecahan teka-teki science.
Normal science melibatkan usaha terperinci dan terorganisasi untuk menjabarkan
paradigma dengan tujuan memperbaiki imbangannya dengan alam (fenomena) dengan
memecahkan teka-teki science, baik
teka-teki teoritis maupun teka-teki eksperimental. Teka-teki teoritis meliputi
perencanaan dan mengembangkan asumsi yang sesuai untuk penterapan statu hukum.
Teka-teki eksperimental meliputi perbaikan keakuratan observasi dan
pengembangan teknik eksperimen sehingga mampu menghasilkan pengukuran yang
dapat dipercaya.
Dalam tahap normal science ini terdapat tiga fokus bagi penelitian sain
faktual, yaitu :
1.
Menentukan fakta yang penting.
2. Menyesuaikan fakta dengan teori. Upaya menyesuaikan
fakta dengan teori ini lebih nyata ketergantungannya pada paradigma. Eksistensi
paradigma itu menetapkan dan menyusun masalah-masalah yang harus dipecahkan; (seringkali
paradigma itu secara implisit terlibat langsung di dalam desain peralatan yang
mampu memecahkan masalah tersebut).
3. Mengartikulasikan teori paradigma dengan memecahkan
beberapa ambiguitasnya yang masih tersisa dan memungkinkan pemecahan masalah
yang sebelumnya hanya menarik perhatian saja.
Jika ilmuan gagal memecahkan
teka-teki science tersebut maka kegagalan tersebut merupakan kegagalan ilmu itu
sendiri bukan kegagalan paradigma. Teka-teki harus ditandai oleh kepastian akan
adanya pemecahannya dari paradigma. Teka-teki yang tidak terpecahkan dipandang
sebagai kelainan (anomali) bukan
sebagai falsifikasi suatu paradigma. Dalam pemecahan teka-teki dan masalah
science normal, jika dijumpai problem, kelainan, kegagalan (anomali) yang tidak
mendasar, maka keadaan ini tidak akan mendatangkan krisis. Sebaliknya jika
sejumlah anomali atau fenomena-fenomena yang tidak dapat dijawab oleh paradigma
muncul secara terus menerus dan secara mendasar menyerang paradigma, maka ini
akan mendatangkan suatu krisis.
Paradigma keilmuan juga sebagai
suatu contoh, model atau pola berpikir, misalnya, merupakan hasil kesepakatan
dari komunitas keilmuan yang berdasarkan pada kode etik dan tradisi keilmuan.
Hasil kesepakatan yang telah menjadi paradigma ini seyogyanya telah menjadi
kerangka pikir, cara pandang, dan prosedur kerja dari anggota komunitas
keilmuan yang sama. Menurut Gardner (1975), kesamaan kerangka pikir ini sangat
penting untuk mengembangkan keilmuan, yakni (1) dalam menetapkan, menjelaskan,
memprediksi realitas dan memecahkan teka-teki yang ada dalam bidang kajian
keilmuan (2) untuk merumuskan pertanyaan atau masalah (3) memfokuskan data yang
perlu dikumpulkan atau dikaji (4) memilih dan menentukan jenis eksperimen,
praktik, dan upaya keilmuan untuk memperoleh data (5) sebagai cara menafsirkan
dan memaknai data dan (6) merumuskan hukum, dalil, prinsip, teori, konsep, dan
atau fakta ilmiah dari disiplin ilmu (pendidikan).
Paradigma sebagai keseluruhan konstelasi
komitmen kelompok (the Constelation of
Group Commitments) ilmuwan tidak lain adalah “matrik disipliner” (Disiplinary matrix), kerangka acuan atau
teknik manipulasi logis dan matematis yang bersifat disipliner, mengikat setiap
anggota komunitas ilmuwan tertentu dalam melakukan setiap proses keilmuan untuk
memecahkan teka-teki ilmu dan mencari kebenaran ilmiah. Komitmen yang
dimaksudkan di sini adalah komunitas keilmuan untuk setiap spesialisasi bidang
keilmuan dan bukan untuk seluruh komunitas ilmuwan. Oleh karena itu, paradigma
dinyatakan sebagai “paradigma parsial” (partial paradigm). Dengan demikian,
setiap disiplin / spesialisasi ilmu memiliki paradigma masing-masing. Disamping
itu, paradigma yang diakui dan diterima sebagai komitmen bersama hanya
paradigma dari sebuah komunitas keilmuan yang dianggap telah mantap atau mapan
(paradigms of a mature scientific
community) yang memiliki otoritas ilmiah untuk mengembangkan paradigma
(Pejares, 2001)
Matriks
disipliner berfungsi sebagai “hukum” dan “definisi”. Atas dasar itu, Khun
menyatakan bahwa kuat tidaknya sebuah konstruk keilmuan suatu disiplin ilmu,
ditentukan oleh : (1) kuantitas dan kualitas matriks disipliner yang dimiliki
dan tersedia, baik sebagai hukum maupun definisi untuk memecahkan teki-teki
ilmu dan menemukan kebenaran ilmiah dan (2) kekuatan komitmen kelompok terhadap
matriks disipliner sebagai kerangka acuan disipliner yang terdiri dari berbagai
unsur yang terstruktur, dan terspesifikasi menurut disiplin-disiplin keilmuan
masing-masing komunitas.
Ada empat jenis paradigma menurut gagasan Kuhn,
(1962) yang tidak mudah diidentifikasi dalam disiplin ilmu pendidikan :
(1) Paradigma simbolik atau generalisasi simbolik,
yakni generalisasi-generalisasi yang menyimbolkan atau melambangkan sebuah
bentuk pendekatan, pemecahan, dan penjelasan atas realialitas atau teki-teki
yang dihadapi dalam suatu pola yang bersifat logis dan matematis. Dalam teori
pendidikan, misalnya dikenal generalisasi simbolik belajar merupakan proses
stimulus dan respon (S-R).
(2) Paradigma metafisis, yakni kepercayaan atau
keyakinan kepada model tertentu yang memungkinkan para ilmuwan membuat dan
menggunakan bentuk analogi-analogi atau metafora tentang realitas yang penuh
dengan teki-teki. Fungsi paradigma ini sama seperti paradigma simbolik ialah
sebagai bentuk pendekatan, pemecahan, dan penjelasan atas realitas atau
teka-teki yang dihadapi. Bedanya paradigma ini lebih berdasarkan pada
kepercayaan dan keyakinan tertentu.
(3) Paradigma sebagai nilai, yakni paradigma yang
didasarkan pada nilai-nilai bersama yang disepakati secara luas oleh seluruh
atau berbagai komunitas disiplin ilmu sebagai kriteria esensial, mendalam dan
mendasar.
(4) “Paradigma sebagai eksemplar, yakni berupa
contoh-contoh bersama tentang “pemecahan masalah nyata” yang dilakukan oleh
seorang ilmuwan, dan “pemecahan masalah teknis” yang ditentukan oleh para
ilmuwan, misalnya berupa jurnal ilmiah.
Merujuk pada jenis
paradigma dari gagasan Kuhn ini, nampaknya tidak mudah untuk menentukan jenis
paradigma tersebut untuk disiplin ilmu pendidikan. Sehingga sejauh perkembangan
disiplin ilmu pendidikan saat ini, belum
ada klaim yang secara eksplisit menyatakan suatu paradigma sebagai konstelasi
komitmen bersama di kalangan pakar disiplin ilmu pendidikan.
Namun sebagai bentuk kerangka
atau sudut pandang yang terbatas, di dalam disiplin ilmu pendidikan sebenarnya
dikenal pula beberapa klasifikasi paradigma yang berbeda dengan jeis paradigma
tersebut meliputi :
(1) Paradigma
perilaku (behaviorsm), obyek kajian
disiplin ilmu pendidikan adalah struktur perilaku lingkungan terkait dan
mengondisikan struktur perilaku lingkungan terkait dan mengondisikan struktur
perilaku siswa. Adapun pokok persoalan yang harus dikaji adalah hubungan
fungsional antara struktur perilaku lingkungan dengan struktur perilaku siswa
sesuai dengan konteksnya.
(2) Paradigma
kemanusiaan (humanism), objek kajian
disiplin ilmu pendidikan adalah struktur dunia perseptual atau struktur
kebutuhan dan dorongan dasar alamiah manusia. Struktur dunia perseptual manusia
terdiri atas persepsi, keyakinan, pikiran, perasaan, kebutuhan, konsep diri
atau tujuan pribadi, sedangkan struktur kebutuhan atau dorongan dasar alamiah,
antara lain berupa rasa ingin tahu (sense
of curiosity), hasrat ingin membuktikan secara nyata (sense of interest), dorongan untuk menemukan (sense of discovery), dorongan berpetualang (sense of adventure), dan dorongan menghadapi tantangan (sense of challenge). Adapun persoalan
pokok yang perlu dikaji menurut paradigma kemanusiaan adalah antarhubungan
antara tindakan manusia dengan struktur dunia perseptual dan struktur kebutuhan
dan dorongan dasar alamiah sesuai dengan konteks pendidikan (Huitt, 2001)
(3) Paradigma
kognitif, objek kajian disiplin ilmu pendidikan adalah struktur kognitif atau
skema kognitif (scheme atau schemata) yang terdapat di dalam setiap
individu. Adapun persoalan pokok kajian adalah antarhubungan antara struktur
kognitif dan pengembangan kemampuan intelektual individu sesuai dengan konteks
pendidikan. Asumsi yang mendasari paradigma kognitif bahwa pada hakikatnya
manusia adalah makhluk berpikir (homo
sapiens). Di dalam dirinya manusia memiliki jiwa intelektual (intelectual soul) yang mampu menentukan
sesuatu yang benar dan membedakan antara yang baik dari yang buruk.
(4) Paradigma
sosial kultural, objek kajian disiplin ilmu pendidikan adalah struktur sosial
dalam kehidupan masyarakat. Yang dimaksud struktur sosial disini adalah
perkembangan masyarkat, budaya masyarakat (seperti nilai, norma),
institusi-institusi masyarakat termasuk institusi keluarga dan sekolah. Adapun
persoalan pokoknya adalah antarhubungan antara struktur sosial dan perkembangan
individu sesuai dengan konteks pendidikan.
a.
Komunitas
Keilmuan (Scientific Communities)
Komunitas keilmuan merupakan
sekelompok orang, organisasi, atau institusi yang menyatukan para ilmuwan,
pakar, ahli, praktisi dari suatu disiplin ilmu (the practitioners of a scientific specialty) berdasar pada
paradigma bersama (shared paradigm)
sehingga mereka memiliki pemahaman terhadap kerangka konsep dan cara pandang
bersama.
Dalam
konteks Indonesia, komunitas keilmuan bidang pendidikan meliputi berbagai
lapisan dan memiliki struktur atau jaringan yang luas. Ada yang saling tumpang
tindih (overlapping), ada yang
mandiri. Lapisan komunitas keilmuan yang beragam tersebut antara lain : (1)
akademisi, peneliti, pengembang, dan praktisi yang berada di perguruan tinggi
baik di tingkat Jurusan, Fakultas, maupun Pascasarjana, (2) akademisi,
peneliti, pengembang, dan praktisi yang berada di lembaga Konsorsium Ilmu
Pendidikan (3) akademisi, peneliti, pengembang, dan praktisi yang berada di
pusat-pusat penelitian dan pengembangan ilmu, teknologi dan seni (seperti,
balitbang diknas, pusat kurikulum, pustekkom) (4) akademisi, peneleiti,
pengembang, dan praktisi yang berada di organisasi ilmuwan dan profesi
pendidikan, seperti Ikatan Sarjana Pendidikan Sosial (ISPS), Himpunan Sarjana
Pendidikan Ilmu Sosial (HISPISI), Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia (ISPI)
dan banyak lagi jenis yang lain baik
yang bersifat independen maupun yang ada di bawah naungan pemerintah.
b.
Etika
atau Kode Etik Keilmuan
Etika atau kode etik
keilmuaan merupakan pedoman, acuan, standar yang dapat berupa sejumlah nilai,
norma, atau kaidah keilmuan mengenai sikap dan perlaku yang dipandang layak,
pantas, baik, jujur dan benar secara etis serta diakui, dijunjung tinggi,
disepakati oleh setiap anggota komunitas keilmuan dalam setiap upaya, karya,
dan ikhtiar keilmuan.
Di Indonesia, masalah etika
atau kode etik keilmuan mulai dirasakan pentingnya namun belum banyaka
komunitas keilmuan yang memilikinya. Hasil kajian dari sejumlah dokumen
perguruan tinggi dan HAKI diidentifikasi ada enam aspek tentang etika atau kode
etik keilmuan sebagai berikut:
1) Etika atau kode etik keilmuan tentang kebebasan
akademik, meliputi kebebasan mimbar dan otonomi keilmuan, seperti seminar,
ceramah, simposium, diskusi panel, konferensi, dan kegiatan akademik lainnya
(PP. NO. 60, Pasal 17-18)
2) Etika atau kode etik dalam melaksanakan tugas
dan tanggung jawab seperti melaksanakan kegiatan pembelajaran, melaksanakan
penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, mengomunikasikan hasil temuan
penelitian atau memublikasikan karya ilmiah serta mengembangkan bidang disiplin
ilmu pendidikan bisezerdasarkan norma dan kaidah keilmuan yang disepakati anggota
komunitas keilmuan.
3) Etika tau kode etik untuk penggunaan,
pengambilan, dan pengumuman dan/ atau perbanyakan sebagian atau keseluruhan
dari karya-karya cipta keilmuan, dengan keharusan untuk menyebutkan sumbernya
secara lengkap, baik untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya
ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan dan atau ceramah
yang semata-mata untuk tujuan pendidikan dan ilmu pengetahuan (UU NO.19/2002,
Pasal 15). Karya-karya cipta keilmuan tersebut meliputi: buku, karya tulis yang
diterbitkan, dan semua hasil karya tulis lain, ceramah, kuliah, alat peraga
(Pasal 12).
4) Etika atau kode etik untuk penerjemah dan
perbanyakan karya-karya keilmuan oleh orang atau pihak lain. Penerjemah bisa
dilakukan atas inisiatif orang atau pihak lain itu sendiri atau Menteri dapat
mewajibkan pemegang hak cipta untuk melaksanakan sendiri, memberi izin atau
menunjuk pihak lain untuk melakukan penerjemahan dan/atau perbanyakan, atas
dasar pertimbngan Dewan Hak Cipta, dalam hal karya tersebut untuk kepentingan
pendidikan ilmu pengetahuan, serta kegiatan penelitian dan pengembangan,
terhadap ciptaan-ciptaan dalam bidang ilmu pengetahuan (Pasal 16:1)
5) Etika atau kode etik tentang tempat
penerjemahan, perbanyakan, dan pemakaiannya. Penerjemah baik dilakukan sendiri
oleh pencipta maupun oleh orang atau pihak lain atas izin pencipta atau karena
diwjibkan oleh pemeintah juga penggunaan atau pemakaian karya-karya hasil
terjemahan dan perbanyakannya tersebut, hanya berlaku di dalam wilayah
Indonesia (UU No.19/2002, Pasal 16:1-4)
6) Etika atau kode etik tentang penerimaan dan
penggunaan gelar akadmik oleh seorang ilmuwan (Sarjana, Magister, Doktor) dari
perguruan tinggi yang memiliki hak dan wewenang untuk menyelenggarakan
pendidikan akademik sesuai dengan bidang keahliannya. Penerimaan dan penggunaan
gelar akademik tersebut juga baru boleh dilakukan setelah mereka dianggap telah
mengikuti dan menyelesaikan semua kewajiban san/ atau tugas yang dibebankan,
dan telah dinyatakan lulus dari perguruan tinngi yang menyelenggarakan
akademik.
Dari uraian di atas, jelas
bahwa seorang ilmuwan berkarya dan berikhtiar bukan semata-mata untuk mencapai
kebenaran empiris dan logis melainkan juga harus mencapai kebenaran etis.
c.
Tradisi
Keilmuan
Tradisi keilmuan (scientific tradition) merupakan suatu
kebiasaan sebagai prestasi keilmuwan warisan suatu generasi komunitas keilmuwan
sebelumnya yang sah, sistematis, dimodifikasi, diakui, dijunjung tinggi dan
dipraktikkan oleh seluruh komunitas keilmuwan yang berlaku dalam disiplin ilmu
tertentu. Menurut Kuhn (1962), tradisi keilmuan yang bersifat ajeg, stabil,
konsisten dan berkesinambungan hasil kesepakatan komunitas keilmuan ini disebut
normal science. Tradisi keilmuan
dibangun dan dikembangkan oleh sejumlah aspek seperti eksemplar-eksemplar,
norma-norma, asumsi-asumsi, pedoman-pedoman, simbol-simbol, metode ilmiah serta
paradigma yang telah disepakati dan dipraktikkan sehingga menjadi kebiasaan
bagi seluruh anggota komunitas keilmuan.
Tradisi keilmuan dibedakan
atas dua jenis, yakni (1) tradisi pokok merupakan tradisi-tradisi utama dan
umum yang berlaku untuk seluruh komunitas keilmuan dan (2) tradisi sekunder
atau teknis (Shils, 1981:14) merupakan tradisi-tradisi keilmuan yang berkaitan
dengan teknik atau cara tertentu untuk memandang, mendekati realitas atau
fenomena atau obyek serta teka-teki yang ada dan hanya berlaku untuk disiplin
ilmu tertentu.
DAFTAR PUSTAKA
Pajares. (2001b). The
Structure of Scientific Revolutions: A Synopsis from the original by
Professor Frank Pajares. Diunduh 15 Desember 2015. http://instruct.westvalley.edu/lafave/kuhn.html.
Thomas S. Kuhn. 1986. The Structure
of Scientific Revolutions (Chicago: Chicago University Press, 1962).
Terjemahannya ke dalam bahasa Indonesia dikerjakan oleh Tjun Surjaman, Peran
Paradigma Dalam Revolusi Sains. Bandung: Remaja Karya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar