Kamis, 03 Maret 2016

PARADIGMA KEILMUAN (SCIENTIFIC PARADIGM)



1. Konsep Paradigma
Istilah paradigma pada awalnya berkembang dalam dunia ilmu pengetahuan terutama yang kaitannya dengan filsafat ilmu pengetahuan. Tokoh yang mengembangkan istilah tersebut dalam dunia ilmu pengetahuan adalah Thomas S. Kuhn dalam bukunya yang berjudul The Structure of Scientific Revolution” (1970:49). Inti sari pengertian paradigm adalah suatu asumsi-asumsi dasar dan asumsi-asumsi teoritis yang umum (merupakan suatu sumber nilai) sehingga merupakan suatu sumber hukum-hukum, metode serta penerapan dalam ilmu pengetahuan sehingga sangat menentukan sifat, ciri serta karakter ilmu pengetahuan itu sendiri.
Munculnya sebuah buku “Structure of Scientific Revolutions” pada tahun 1962, yang dikreasi oleh seorang yang dilahirkan di Cincinnati, Ohaio. Dia adalah Thomas Kuhn. Pada tahun 1922 Kuhn belajar fisika di Havard University, kemudian melanjutkan studinya di pascasarjana, dan memutuskan pindah ke bidang sejarah ilmu. “Structure of Scientific Revolutions”, banyak mengubah persepsi orang terhadap apa yang dinamakan ilmu. Jika sebagian orang mengatakan bahwa pergerakan ilmu itu bersifat linier akumulatif, maka tidak demikian halnya dalam penglihatan Kuhn. Menurut Kuhn ilmu bergerak melalui tahapan-tahapan yang berpuncak pada kondisi normal dan kemudian “membusuk” karena telah digantikan oleh ilmu atau paradigma baru. Demikian selanjutnya Paradigma baru mengancam paradigm lama yang sebelumnya juga menjadi paradigm baru.
Beberapa pengertian paradigma : (1) Cara memandang sesuatu (2) Dalam ilmu pengetahuan : model, pola, ideal. Dari model-model ini fenomena yang dipandang, dijelaskan (3) Dasar untuk menyeleksi problem-problem dan pola untuk memecahkan problem-problem riset. Paradigma merupakan konstruk berpikir yang mampu menjadi wacana untuk temuan ilmiah : yang dalam konseptualisasi Kuhn : menjadi wacana untuk temuan ilmiah baru. 
Jadi dapat disimpulkan bahwa, paradigma dapat kita gunakan di dalam ilmu sebagai model, contoh, pola yang dapat dijadikan dasar untuk menyeleksi berbagai problem-problem serta pola-pola untuk mencari dan menemukan problem-problem yang ada di dalam ilmu pengetahuan untuk memecahkan problem-problem riset. Selanjutnya, secara singkat pengertian paradigma adalah keseluruhan konstelasi kepercayaan, nilai dan teknik yang dimiliki suatu komunitas ilmiah dalam memandang sesuatu (fenomena). Paradigma membantu merumuskan tentang apa yang harus di pelajari, persoalan apa yang harus dijawab dan aturan apa yang harus di ikuti dalam menginterprestasikan jawaban yang diperoleh.
 
1    2. Paradigma Ilmu Pengetahuan Menurut Thomas S. Kuhn
Thomas Samuel Kuhn, mula-mula meniti karirnya sebagai ahli fisika, tetapi kemudian mendalami sejarah ilmu. Lewat tulisannya, The Structure of Scientific Revolutions (1962), ia menjadi seorang penganjur yang gigih yang berusaha meyakinkan bahwa titik pangkal segala penyelidikan adalah berguru pada sejarah ilmu. Sebagai penulis sejarah dan sosiolog ilmu Kuhn mendekati ilmu secara eksternal. Kuhn dengan mendasarkan pada sejarah ilmu, justru berpendapat bahwa terjadinya perubahan-perubahan yang berarti tidak pernah terjadi berdasarkan upaya empiris untuk membuktikan salah (falsifikasi) suatu teori atau sistem, melainkan berlangsung melalui revolusi-revolusi ilmiah. Dengan kata lain, Kuhn berdiri dalam posisi melawan keyakinan yang mengatakan bahwa kemajuan ilmu berlangsung secara kumulatif. Ia mengambil posisi alternatif bahwa kemajuan ilmiah pertama-pertama bersifat revolusioner. Secara sederhana yang dimaksud dengan revolusi ilmiah oleh Kuhn adalah segala perkembangan nonkumulatif di mana paradigm yang terlebih dahulu ada (lama) diganti dengan tak terdamaikan lagi, keseluruhan ataupun sebagian dengan yang baru.
Gagasannya yang sangat radikal dan progresif tersebut kiranya berasal dari pengalaman ilmiah yang pernah dihadapinya sendiri. Pada tahun 1947 Kuhn diminta untuk mengajar mekanika klasik abad ke 17, maka kemudian ia membaca mekanika Aristotelian yang melatar belakangi perkembangan mekanika Galilei dan Newton. Dia sangat heran dan sering tidak percaya bahwa mekanika Aristotelian inilah yang mendasari lahirnya mekanika Galilei dan Newton yang sangat termasyhur abad ke 17, karena ia melihat betapa mekanika Aristoteles itu mengandung begitu banyak kesalahan-kesalahan. Pengalaman inilah yang menjadi cikal bakal yang memunculkan gagasannya mengenai revolusi ilmiah. Revalusi ilmiah di mengerti oleh Kuhn sebagai episode-episode perkembangan nonkumulatif dimana paradigma yang lama digantikan seluruhnya atau sebagian oleh paradigma baru yang tidak dapat didamaikan dengan paradigma sebelumnya.

Jadi dapat disimpulkan dengan penggunaan istilah paradigma itu, Kuhn hendak menunjuk pada sejumlah contoh praktek ilmiah aktual yang diterima atau diakui dalam lingkungan komunitas ilmiah, menyajikan model-model yang berdasarkannya lahir tradisi penelitian ilmiah yang terpadu (koheren). Contoh praktek ilmiah itu mencakup dalil, teori, penerapan dan instrumentasi. Dengan demikian, para ilmuan yang penelitiannya didasarkan pada paradigma yang sama, pada dasarnya terikat pada aturan dan standar yang sama dalam mengemban ilmunya. Keterikatan pada aturan dan standar ini adalah prasyarat bagi adanya ilmu normal. Jadi, secara umum dapat dikatakan bahwa paradigma itu adalah cara pandang atau kerangka berpikir yang berdasarkan fakta atau gejala diinterpretasi dan dipahami.

Paradigma menetapkan kriteria untuk memilih masalah yang dapat diasumsikan mempunyai solusi. Hanya masalah yang memenuhi kriteria yang diderivasi dari paradigma saja yang dapat disebut masalah ilmiah, yang layak digarap oleh ilmuan. Dengan demikian, maka paradigma menjadi sumber keterpaduan bagi tradisi penelitian yang normal. Aturan penelitian diderivasi dari paradigma. Namun, menurut Kuhn, tanpa adanya aturan ini, paradigma saja sudah cukup untuk membimbing penelitian. Jadi, ilmu normal sebenarnya tidak terlalu memerlukan aturan atau metode yang standar (yang disepakati oleh komunitas ilmiah). Tanpa aturan dan metode yang baku, ilmu normal dapat berjalan. Ini berarti bahwa tiap ilmuan dapat menciptakan aturan dan metode penelitian dan pengkajian sendiri sesuai dengan keperluan, sepanjang aturan dan metode ini diderivasi dari paradigma yang berlaku. Tetapi, jika paradigmanya belum mapan, maka perangkat aturan akan diperlukan atau menjadi penting.

Ilmu yang sudah mapan dianggap oleh Kuhn dikuasai oleh paradigma tunggal. Paradigma ini membimbing kegiatan ilmiah dalam masa ilmu normal (normal science), dimana ilmuan berkesempatan menjabarkan dan mengembangkan paradigma secara rinci dan mendalam. Dalam tahap ini seorang ilmuan tidak bersikap kritis terhadap paradigma yang membimbing aktifitas ilmiah lainnya. Tetapi suatu  ketika dapat terjadi, dalam menjalankan risetnya itu, sang ilmuan menjumpai berbagai fenomena yang tidak bisa diterangkan dengan teorinya. Pada saat inilah terjadi suatu anomali, yang apabila makin menumpuk kuantitas maupun kualitasnyaakan menimbulkan krisis. Dalam situasi krisis ini, paradigma yang ada diperiksa dan dipertanyakan, ini menyebabkan keadaan ilmiah yang keluar dari ilmu normal. Krisis menjadi situasi yang bisa menyebabkan revolusi ilmiah. Pada masa krisis ini ada kegelisahan mendalam yang dihadapi komunitas ilmiah.
Dalam upaya mengatasi krisis itu, sang ilmuan bisa kembali pada cara-cara ilmiah yang lama sambil memperluas cara-cara itu, atau dapat juga mengembangkan suatu paradigma tandingan yang bisa memecahkan masalah dan membimbing riset berikutnya. Terobosan yang terakhir, yaitu proses peralihan  komunitas ilmiah dari paradigma lama ke paradigma baru, itulah yang disebut sebagai revolusi ilmiah. Dikatakan oleh Kuhn bahwa peralihan tadi tidak semata-mata karena alasan logis rasional, melainkan mirip dengan proses pertobatan dalam agama. Jadi perkembangan berlangsung lewat sebuah lompatan-lompatan yang radikal dan revolusioner.
Perubahan sebuah teori bukan hanya sekedar peningkatan dari teori yang lama, tetapi sudah menyentuh pada perubahan struktural. Jadi tidak ada lagi tampak sebuah inti yang terlindung dari sebuah teori ketika dikalahkan oleh sebuah teori tandingan. Demikianlah teori gravitasi Newton secara structural hancur ketika diserang oleh relativitas Einstein, sama halnya dengan kejatuhan geosentris Ptolemeus dari heliosentris Kopernikus. Sehingga teori yang dikalahkan tinggal sebagai pengetahuan sejarah. 
      3. Pandangan Kuhn Tentang Perkembangan Ilmu (Open Ended)
Kuhn melihat adanya kesalahan-kesalahan fondamental tentang image atau konsep ilmu yang telah dielaborasi oleh kaum filsafat ortodoks, sebuah konsep ilmu yang dengan membabi-buta mempertahankan dogma-dogma yang diwarisi dari Empirisme dan Rasionalisme klasik.  Dalam teori Kuhn, faktor Sosiologis Historis serta Phsikologis mendapat perhatian dan ikut berperan. Kuhn berusaha menjadikan teori tentang ilmu lebih cocok dengan situasi sejarah. Dengan demikian diharapkan filsafat ilmu lebih mendekati kenyataan ilmu dan aktifitas ilmiah sesungguhnya,  yang dalam perkembangan ilmu tersebut adalah secara revolusioner bukan secara kumulatif sebagaimana anggapan kaum rasonalis dan empiris klasik.
Kuhn memberikan image atau konsep sains alternatif dalam outline yang ia gambarkan dalam beberapa stage, yaitu : Pra paradigma-Pra Science-Paradigma Normal Science-Anomali-Krisis Revolusi-Paradigma Baru-Ekstra Ordinary Science-Revolusi.
a) Tahap Pra Paradigma dan Pra Science
 Pada stage ini aktivitas-aktivitas ilmiah pada stage ini dilakukan secara terpisah dan tidak terorganisir sebab tidak ada persetujuan tentang subjeck matter, problem-problem dan prosedur di antara para ilmuwan yang bersaing, karena tidak adanya suatu pandangan tersendiri yang diterima oleh semua ilmuan tentang suatu teori (fenomena). Dari sejumlah aliran yang bersaing, kebanyakan mereka mendukung satu atau lain varian dalam teori tertentu dan di samping itu ada kombinasi dan modifikasi lain yang masing-masing aliran mendukung teorinya sendiri-sendiri. Sehingga sejumlah teori boleh dikatakan ada sebanyak jumlah pelaksanaannya di lapangan dan setiap ahli teori itu merasa wajib memulai dengan yang baru dan membenarkan pendekatannya sendiri. Hal semacam ini berlangsung selama kurun waktu tertentu samapai suatu paradigma tunggal diterima oleh semua aliran yang dianut ilmuan tersebut dan ketika paradigma tunggal diterima, maka jalan menuju normal science mulai ditemukan.
Dengan kemampuan paradigma dalam membanding penyelidikan, menentukan teknik memecahkan masalah, dan prosedur-prosedur riset, maka ia dapat mengatasi ketergantungan observasi pada teori.
 
b) Tahap Paradigma Normal Science
Pada tahap ini, tidak terdapat sengketa pendapat mengenai hal-hal fundamental di antara para ilmuan sehingga paradigma tunggal diterima oleh semuanya. Paradigma tunggal yang telah diterima tersebut dilindungi dari kritik dan falsifikasi sehingga ia tahan dari berbagai kritik dan falsifikasi. Hal ini menjadi ciri yang membedakan antara normal science dan pra science.
Paradigma yang membimbing eksperimen atau riset ilmiah tersebut didalamnya tercakup :
1.    Komponen tipikal yang secara eksplisit akan mengemukakan hukum-hukum dan asumsi-asumsi teoritis. Contoh, hukum “gerak” Newton membentuk sebagian paradigma Newtonian. Dan hukum “persamaan” Maxwell merupakan sebagian paradigma yang telah membentuk teori elektromagnetik klasik.
2.    Cara yang baku dalam penggunaan hukum-hukum fundamental untuk berba gai tipe situasi.
3. Instrumentasi dan teknik-tekniknya yang diperlukan untuk membuat agar hukum-hukum paradigma itu dapat bertahan dalam dunia nyata dan di dalam paradigma itu sendiri.
4.    Prinsip metafisis yang sangat umum yang membimbing pekerjaan di dalam suatu paradigma.
5.    Keterangan metodologis yang sangat umum yang memberikan cara pemecahan teka-teki science.
Normal science melibatkan usaha terperinci dan terorganisasi untuk menjabarkan paradigma dengan tujuan memperbaiki imbangannya dengan alam (fenomena) dengan memecahkan teka-teki science, baik teka-teki teoritis maupun teka-teki eksperimental. Teka-teki teoritis meliputi perencanaan dan mengembangkan asumsi yang sesuai untuk penterapan statu hukum. Teka-teki eksperimental meliputi perbaikan keakuratan observasi dan pengembangan teknik eksperimen sehingga mampu menghasilkan pengukuran yang dapat dipercaya.
Dalam tahap normal science ini terdapat tiga fokus bagi penelitian sain faktual, yaitu :
1.    Menentukan fakta yang penting.
2. Menyesuaikan fakta dengan teori. Upaya menyesuaikan fakta dengan teori ini lebih nyata ketergantungannya pada paradigma. Eksistensi paradigma itu menetapkan dan menyusun masalah-masalah yang harus dipecahkan; (seringkali paradigma itu secara implisit terlibat langsung di dalam desain peralatan yang mampu memecahkan masalah tersebut).
3. Mengartikulasikan teori paradigma dengan memecahkan beberapa ambiguitasnya yang masih tersisa dan memungkinkan pemecahan masalah yang sebelumnya hanya menarik perhatian saja.
Jika ilmuan gagal memecahkan teka-teki science tersebut maka kegagalan tersebut merupakan kegagalan ilmu itu sendiri bukan kegagalan paradigma. Teka-teki harus ditandai oleh kepastian akan adanya pemecahannya dari paradigma. Teka-teki yang tidak terpecahkan dipandang sebagai kelainan (anomali) bukan sebagai falsifikasi suatu paradigma. Dalam pemecahan teka-teki dan masalah science normal, jika dijumpai problem, kelainan, kegagalan (anomali) yang tidak mendasar, maka keadaan ini tidak akan mendatangkan krisis. Sebaliknya jika sejumlah anomali atau fenomena-fenomena yang tidak dapat dijawab oleh paradigma muncul secara terus menerus dan secara mendasar menyerang paradigma, maka ini akan mendatangkan suatu krisis.
Paradigma keilmuan juga sebagai suatu contoh, model atau pola berpikir, misalnya, merupakan hasil kesepakatan dari komunitas keilmuan yang berdasarkan pada kode etik dan tradisi keilmuan. Hasil kesepakatan yang telah menjadi paradigma ini seyogyanya telah menjadi kerangka pikir, cara pandang, dan prosedur kerja dari anggota komunitas keilmuan yang sama. Menurut Gardner (1975), kesamaan kerangka pikir ini sangat penting untuk mengembangkan keilmuan, yakni (1) dalam menetapkan, menjelaskan, memprediksi realitas dan memecahkan teka-teki yang ada dalam bidang kajian keilmuan (2) untuk merumuskan pertanyaan atau masalah (3) memfokuskan data yang perlu dikumpulkan atau dikaji (4) memilih dan menentukan jenis eksperimen, praktik, dan upaya keilmuan untuk memperoleh data (5) sebagai cara menafsirkan dan memaknai data dan (6) merumuskan hukum, dalil, prinsip, teori, konsep, dan atau fakta ilmiah dari disiplin ilmu (pendidikan).
Paradigma sebagai keseluruhan konstelasi komitmen kelompok (the Constelation of Group Commitments) ilmuwan tidak lain adalah “matrik disipliner” (Disiplinary matrix), kerangka acuan atau teknik manipulasi logis dan matematis yang bersifat disipliner, mengikat setiap anggota komunitas ilmuwan tertentu dalam melakukan setiap proses keilmuan untuk memecahkan teka-teki ilmu dan mencari kebenaran ilmiah. Komitmen yang dimaksudkan di sini adalah komunitas keilmuan untuk setiap spesialisasi bidang keilmuan dan bukan untuk seluruh komunitas ilmuwan. Oleh karena itu, paradigma dinyatakan sebagai “paradigma parsial” (partial paradigm). Dengan demikian, setiap disiplin / spesialisasi ilmu memiliki paradigma masing-masing. Disamping itu, paradigma yang diakui dan diterima sebagai komitmen bersama hanya paradigma dari sebuah komunitas keilmuan yang dianggap telah mantap atau mapan (paradigms of a mature scientific community) yang memiliki otoritas ilmiah untuk mengembangkan paradigma (Pejares, 2001)

Matriks disipliner berfungsi sebagai “hukum” dan “definisi”. Atas dasar itu, Khun menyatakan bahwa kuat tidaknya sebuah konstruk keilmuan suatu disiplin ilmu, ditentukan oleh : (1) kuantitas dan kualitas matriks disipliner yang dimiliki dan tersedia, baik sebagai hukum maupun definisi untuk memecahkan teki-teki ilmu dan menemukan kebenaran ilmiah dan (2) kekuatan komitmen kelompok terhadap matriks disipliner sebagai kerangka acuan disipliner yang terdiri dari berbagai unsur yang terstruktur, dan terspesifikasi menurut disiplin-disiplin keilmuan masing-masing komunitas.


Ada empat jenis paradigma menurut gagasan Kuhn, (1962) yang tidak mudah diidentifikasi dalam disiplin ilmu pendidikan :
(1) Paradigma simbolik atau generalisasi simbolik, yakni generalisasi-generalisasi yang menyimbolkan atau melambangkan sebuah bentuk pendekatan, pemecahan, dan penjelasan atas realialitas atau teki-teki yang dihadapi dalam suatu pola yang bersifat logis dan matematis. Dalam teori pendidikan, misalnya dikenal generalisasi simbolik belajar merupakan proses stimulus dan respon (S-R).
(2) Paradigma metafisis, yakni kepercayaan atau keyakinan kepada model tertentu yang memungkinkan para ilmuwan membuat dan menggunakan bentuk analogi-analogi atau metafora tentang realitas yang penuh dengan teki-teki. Fungsi paradigma ini sama seperti paradigma simbolik ialah sebagai bentuk pendekatan, pemecahan, dan penjelasan atas realitas atau teka-teki yang dihadapi. Bedanya paradigma ini lebih berdasarkan pada kepercayaan dan keyakinan tertentu.
(3) Paradigma sebagai nilai, yakni paradigma yang didasarkan pada nilai-nilai bersama yang disepakati secara luas oleh seluruh atau berbagai komunitas disiplin ilmu sebagai kriteria esensial, mendalam dan mendasar.
(4) “Paradigma sebagai eksemplar, yakni berupa contoh-contoh bersama tentang “pemecahan masalah nyata” yang dilakukan oleh seorang ilmuwan, dan “pemecahan masalah teknis” yang ditentukan oleh para ilmuwan, misalnya berupa jurnal ilmiah.

        Merujuk pada jenis paradigma dari gagasan Kuhn ini, nampaknya tidak mudah untuk menentukan jenis paradigma tersebut untuk disiplin ilmu pendidikan. Sehingga sejauh perkembangan  disiplin ilmu pendidikan saat ini, belum ada klaim yang secara eksplisit menyatakan suatu paradigma sebagai konstelasi komitmen bersama di kalangan pakar disiplin ilmu pendidikan.
Namun sebagai bentuk kerangka atau sudut pandang yang terbatas, di dalam disiplin ilmu pendidikan sebenarnya dikenal pula beberapa klasifikasi paradigma yang berbeda dengan jeis paradigma tersebut meliputi :
(1)  Paradigma perilaku (behaviorsm), obyek kajian disiplin ilmu pendidikan adalah struktur perilaku lingkungan terkait dan mengondisikan struktur perilaku lingkungan terkait dan mengondisikan struktur perilaku siswa. Adapun pokok persoalan yang harus dikaji adalah hubungan fungsional antara struktur perilaku lingkungan dengan struktur perilaku siswa sesuai dengan konteksnya.
(2)   Paradigma kemanusiaan (humanism), objek kajian disiplin ilmu pendidikan adalah struktur dunia perseptual atau struktur kebutuhan dan dorongan dasar alamiah manusia. Struktur dunia perseptual manusia terdiri atas persepsi, keyakinan, pikiran, perasaan, kebutuhan, konsep diri atau tujuan pribadi, sedangkan struktur kebutuhan atau dorongan dasar alamiah, antara lain berupa rasa ingin tahu (sense of curiosity), hasrat ingin membuktikan secara nyata (sense of interest), dorongan untuk menemukan (sense of discovery), dorongan berpetualang (sense of adventure), dan dorongan menghadapi tantangan (sense of challenge). Adapun persoalan pokok yang perlu dikaji menurut paradigma kemanusiaan adalah antarhubungan antara tindakan manusia dengan struktur dunia perseptual dan struktur kebutuhan dan dorongan dasar alamiah sesuai dengan konteks pendidikan (Huitt, 2001)
(3)   Paradigma kognitif, objek kajian disiplin ilmu pendidikan adalah struktur kognitif atau skema kognitif (scheme atau schemata) yang terdapat di dalam setiap individu. Adapun persoalan pokok kajian adalah antarhubungan antara struktur kognitif dan pengembangan kemampuan intelektual individu sesuai dengan konteks pendidikan. Asumsi yang mendasari paradigma kognitif bahwa pada hakikatnya manusia adalah makhluk berpikir (homo sapiens). Di dalam dirinya manusia memiliki jiwa intelektual (intelectual soul) yang mampu menentukan sesuatu yang benar dan membedakan antara yang baik dari yang buruk. 
(4)  Paradigma sosial kultural, objek kajian disiplin ilmu pendidikan adalah struktur sosial dalam kehidupan masyarakat. Yang dimaksud struktur sosial disini adalah perkembangan masyarkat, budaya masyarakat (seperti nilai, norma), institusi-institusi masyarakat termasuk institusi keluarga dan sekolah. Adapun persoalan pokoknya adalah antarhubungan antara struktur sosial dan perkembangan individu sesuai dengan konteks pendidikan.
a.    Komunitas Keilmuan (Scientific Communities)
Komunitas keilmuan merupakan sekelompok orang, organisasi, atau institusi yang menyatukan para ilmuwan, pakar, ahli, praktisi dari suatu disiplin ilmu (the practitioners of a scientific specialty) berdasar pada paradigma bersama (shared paradigm) sehingga mereka memiliki pemahaman terhadap kerangka konsep dan cara pandang bersama.
            Dalam konteks Indonesia, komunitas keilmuan bidang pendidikan meliputi berbagai lapisan dan memiliki struktur atau jaringan yang luas. Ada yang saling tumpang tindih (overlapping), ada yang mandiri. Lapisan komunitas keilmuan yang beragam tersebut antara lain : (1) akademisi, peneliti, pengembang, dan praktisi yang berada di perguruan tinggi baik di tingkat Jurusan, Fakultas, maupun Pascasarjana, (2) akademisi, peneliti, pengembang, dan praktisi yang berada di lembaga Konsorsium Ilmu Pendidikan (3) akademisi, peneliti, pengembang, dan praktisi yang berada di pusat-pusat penelitian dan pengembangan ilmu, teknologi dan seni (seperti, balitbang diknas, pusat kurikulum, pustekkom) (4) akademisi, peneleiti, pengembang, dan praktisi yang berada di organisasi ilmuwan dan profesi pendidikan, seperti Ikatan Sarjana Pendidikan Sosial (ISPS), Himpunan Sarjana Pendidikan Ilmu Sosial (HISPISI), Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia (ISPI) dan banyak lagi jenis yang lain baik  yang bersifat independen maupun yang ada di bawah naungan pemerintah.
b.   Etika atau Kode Etik Keilmuan
Etika atau kode etik keilmuaan merupakan pedoman, acuan, standar yang dapat berupa sejumlah nilai, norma, atau kaidah keilmuan mengenai sikap dan perlaku yang dipandang layak, pantas, baik, jujur dan benar secara etis serta diakui, dijunjung tinggi, disepakati oleh setiap anggota komunitas keilmuan dalam setiap upaya, karya, dan ikhtiar keilmuan.
Di Indonesia, masalah etika atau kode etik keilmuan mulai dirasakan pentingnya namun belum banyaka komunitas keilmuan yang memilikinya. Hasil kajian dari sejumlah dokumen perguruan tinggi dan HAKI diidentifikasi ada enam aspek tentang etika atau kode etik keilmuan sebagai berikut:
1)    Etika atau kode etik keilmuan tentang kebebasan akademik, meliputi kebebasan mimbar dan otonomi keilmuan, seperti seminar, ceramah, simposium, diskusi panel, konferensi, dan kegiatan akademik lainnya (PP. NO. 60, Pasal 17-18)
2)   Etika atau kode etik dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawab seperti melaksanakan kegiatan pembelajaran, melaksanakan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, mengomunikasikan hasil temuan penelitian atau memublikasikan karya ilmiah serta mengembangkan bidang disiplin ilmu pendidikan bisezerdasarkan norma dan kaidah keilmuan yang disepakati anggota komunitas keilmuan.
3)    Etika tau kode etik untuk penggunaan, pengambilan, dan pengumuman dan/ atau perbanyakan sebagian atau keseluruhan dari karya-karya cipta keilmuan, dengan keharusan untuk menyebutkan sumbernya secara lengkap, baik untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan dan atau ceramah yang semata-mata untuk tujuan pendidikan dan ilmu pengetahuan (UU NO.19/2002, Pasal 15). Karya-karya cipta keilmuan tersebut meliputi: buku, karya tulis yang diterbitkan, dan semua hasil karya tulis lain, ceramah, kuliah, alat peraga (Pasal 12).
4)     Etika atau kode etik untuk penerjemah dan perbanyakan karya-karya keilmuan oleh orang atau pihak lain. Penerjemah bisa dilakukan atas inisiatif orang atau pihak lain itu sendiri atau Menteri dapat mewajibkan pemegang hak cipta untuk melaksanakan sendiri, memberi izin atau menunjuk pihak lain untuk melakukan penerjemahan dan/atau perbanyakan, atas dasar pertimbngan Dewan Hak Cipta, dalam hal karya tersebut untuk kepentingan pendidikan ilmu pengetahuan, serta kegiatan penelitian dan pengembangan, terhadap ciptaan-ciptaan dalam bidang ilmu pengetahuan (Pasal 16:1)
5)      Etika atau kode etik tentang tempat penerjemahan, perbanyakan, dan pemakaiannya. Penerjemah baik dilakukan sendiri oleh pencipta maupun oleh orang atau pihak lain atas izin pencipta atau karena diwjibkan oleh pemeintah juga penggunaan atau pemakaian karya-karya hasil terjemahan dan perbanyakannya tersebut, hanya berlaku di dalam wilayah Indonesia (UU No.19/2002, Pasal 16:1-4)
6)     Etika atau kode etik tentang penerimaan dan penggunaan gelar akadmik oleh seorang ilmuwan (Sarjana, Magister, Doktor) dari perguruan tinggi yang memiliki hak dan wewenang untuk menyelenggarakan pendidikan akademik sesuai dengan bidang keahliannya. Penerimaan dan penggunaan gelar akademik tersebut juga baru boleh dilakukan setelah mereka dianggap telah mengikuti dan menyelesaikan semua kewajiban san/ atau tugas yang dibebankan, dan telah dinyatakan lulus dari perguruan tinngi yang menyelenggarakan akademik.
Dari uraian di atas, jelas bahwa seorang ilmuwan berkarya dan berikhtiar bukan semata-mata untuk mencapai kebenaran empiris dan logis melainkan juga harus mencapai kebenaran etis.
c.    Tradisi Keilmuan
Tradisi keilmuan (scientific tradition) merupakan suatu kebiasaan sebagai prestasi keilmuwan warisan suatu generasi komunitas keilmuwan sebelumnya yang sah, sistematis, dimodifikasi, diakui, dijunjung tinggi dan dipraktikkan oleh seluruh komunitas keilmuwan yang berlaku dalam disiplin ilmu tertentu. Menurut Kuhn (1962), tradisi keilmuan yang bersifat ajeg, stabil, konsisten dan berkesinambungan hasil kesepakatan komunitas keilmuan ini disebut normal science. Tradisi keilmuan dibangun dan dikembangkan oleh sejumlah aspek seperti eksemplar-eksemplar, norma-norma, asumsi-asumsi, pedoman-pedoman, simbol-simbol, metode ilmiah serta paradigma yang telah disepakati dan dipraktikkan sehingga menjadi kebiasaan bagi seluruh anggota komunitas keilmuan.
Tradisi keilmuan dibedakan atas dua jenis, yakni (1) tradisi pokok merupakan tradisi-tradisi utama dan umum yang berlaku untuk seluruh komunitas keilmuan dan (2) tradisi sekunder atau teknis (Shils, 1981:14) merupakan tradisi-tradisi keilmuan yang berkaitan dengan teknik atau cara tertentu untuk memandang, mendekati realitas atau fenomena atau obyek serta teka-teki yang ada dan hanya berlaku untuk disiplin ilmu tertentu.

DAFTAR PUSTAKA
Pajares. (2001b). The Structure of Scientific Revolutions: A Synopsis from the original by Professor Frank Pajares. Diunduh 15 Desember 2015. http://instruct.westvalley.edu/lafave/kuhn.html.
 
Thomas S. Kuhn. 1986. The Structure of Scientific Revolutions (Chicago: Chicago University Press, 1962).  Terjemahannya ke dalam bahasa Indonesia dikerjakan oleh Tjun Surjaman, Peran Paradigma Dalam Revolusi Sains. Bandung: Remaja Karya.
 




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Comments system

Disqus Shortname