Yakob
Godlif Malatuny
Mahasiswa PKn Sekolah Pascasarjana Universitas
Pendidikan Indonesia
Abstrak
Idealisme
pembentukan watak kewarganegaraan (civic
disposition) menuju peradaban bangsa yang bermartabat dan menjadikan warga
negara yang baik dan cerdas (smart and
good citizen) merupakan misi suci (mission
sacre) dari civic education. Pembelajaran
civic education di Indonesia terlalu
menekankan pada aspek kognitif dan mengabaikan aspek afektif, sehingga hanya
menciptakan warga negara yang cerdas namun kurang memiliki watak yang baik. Penulisan ini bertujuan
untuk menjelaskan tentang hakikat pembelajaran civic education, konsep civic
dispostion dalam civic education dan
pembelajaran civic cducation untuk mengembangkan
civic disposition. Salah satu kunci keberhasilan
yang amat penting dalam mengembangkan civic
disposition dengan menggunakan pendekatan pembelajaran berbasis nilai (value based approach).
Kata kunci : Pembelajaran, Civic Education, Civic
Disposition
PENDAHULUAN
Perkembangan
intelektual dalam peradaban manusia tidak pernah berlangsung dalam satu alur
linier yang berotoritas besar (a mainstream). Alih-alih
dalam perkembangan selalu saja terjadi kritik yang mengundang gejolak, tatkala
pendidikan yang dipandang normal dan berlegitimasi pada masanya gagal menjawab masalah-masalah
baru yang timbul dan selanjutnya hanya akan menerbitkan anomali-anomali saja.
Pendidikan yang
diselenggarakan secara efektif dapat membangun gagasan dan emosi secara
terus-menerus. Dalam pasal 3 Undang-undang RI No. 20 tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional (Sisdiknas), secara imperatif digariskan bahwa, pendidikan
nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak dan peradaban
bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan
untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis dan
bertanggungjawab.
Winataputra dan
Budimansyah (2012: 90) menyatakan bahwa, idealisme pembentukan watak dan
peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa,
dan menjadikan manusia sebagai warga negara yang demokratis dan bertanggung
jawab secara filosofis, sosio-politis dan psikopedagogis merupakan misi suci (mission sacre) dari pendidikan kewarganegaraan.
Secara khusus, seperti dapat dicermati pada Penjelasan Pasal 37 ayat (1)
“Pendidikan kewarganegaraan dimaksudkan untuk membentuk peserta didik menjadi
manusia yang memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah air”. Dalam konteks itu
pendidikan kewarganegaran pada dasarnya merupakan pendidikan kebangsaan atau
pendidikan karakter bangsa. Semua imperatif atau keharusan itu menuntut
perlunya penghayatan baru kita terhadap pendidikan kewarganegaraan sebagai
suatu konsep keilmuan, instrumentasi, dan praksis pendidikan yang utuh, yang pada
gilirannya dapat mengembangkan watak kewaganegaraan (civic dispostion) sebagai anak bangsa dan warga negara Indonesia. Pendidikan
Kewarganegaraan (civic education)
merupakan salah satu bidang kajian yang mengemban misi nasional untuk mecerdaskan
kehidupan bangsa Indonesia melalui koridor “value
based education”.
Konfigurasi atau
kerangka sistemik civic education dibangun
atas dasar paradigma yaitu, Pertama civic
education secara kurikuler dirancang sebagai subjek pembelajaran yang bertujuan
untuk mengembangkan potensi individu agar menjadi warga negara Indonesia yang
berakhlak mulia, cerdas, partisipatif, dan bertanggung jawab. Kedua, civic education secara teoretik
dirancang sebagai subjek pembelajaran yang memuat dimensi-dimensi kognitif,
afekfif, dan psikomotorik yang bersifat konfluen
atau saling berpenetrasi dan terintegrasi dalam konteks substansi ide, nilai,
konsep, dan moral Pancasila, kewarganegaraan yang demokratis, dan bela negara. Ketiga, civic education secara
programatik dirancang sebagai subjek pembelajaran yang menekankan pada isi yang
mengusung nilai-nilai (content embedding
values) dan pengalaman belajar (learning
experiences) dalam bentuk berbagai perilaku yang perlu diwujudkan dalam kehidupan
sehari-hari dan merupakan tuntunan hidup bagi warga negara dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara sebagai penjabaran Iebih lanjut dan
ide, nilai, konsep, dan moral Pancasila, kewarganegaraan yang demokratis, dan
bela negara (Winataputra dan Budimansyah, 2012: 90).
Pembelajaran civic education di Indonesia masih
terdapat banyak kelamahan. Menurut Wahab, (1999) kelamahan dalam pembelajaran civic education salah satunya, terlalu
menekankan pada aspek nilai moral belaka, yakni menempatkan peserta didik
sebagai obyek yang berkewajiban untuk menerima nilai moral tertentu. Sementara
Soemantri, (1992: 10) dalam kajiannya berkesimpulan bahwa; (1) mata pelajaran
ilmu-ilmu sosial, termasuk Pendidikan Kewarganegaraan terlalu dikuasai oleh
hafalan dan pemahaman mengenai fakta-fakta, (2) bahan pelajaran sangat
membosankan dan tidak menarik, karena mengajar dan belajar selalu ada dalam
kedudukan “passive learning”. Selain
berbagai masalah yang telah diuraikan ditemukan juga masalah lainnya yakni
pembelajaran civic education terlalu
menekankan pada aspek kognitif dan mengabaikan aspek afektif, sehingga hanya menciptakan
warga negara cerdas namun kurang memiliki watak yang baik. Untuk itu dalam
merancang semua program pembelajaran, satuan pendidikan harus memperhatikan ranah afektif. Civic disposition merujuk
pada watak atau karakter dan komitmen yang diperlukan untuk memelihara dan
memajukan kewarganegaraan dan pemerintahan (Kalidjernih, 2010: 20).
Menyikapi
kelamahan-kelamahan yang ada, maka pentingnya pembelajaran civic education dalam mengembangkan civic disposition, menilik beberapa hal pokok.
Pertama, civic
disposition merupakan sikap dan kebiasaan berpikir warga negara
yang menopang berkembangnya fungsi sosial yang sehat dan jaminan kepentingan
umum dari sistem demokrasi. Kedua, secara
konseptual, pembelajaran PKn yang menekankan pada civic dipsosition mencakup sejumlah karakteristik kepribadian,
yakni kesopanan yang mencakup penghormatan dan interaksi manusiawi, tanggung
jawab individual, disiplin diri, kepedulian terhadap masyarakat, keterbukaan
pikiran yang mencakup keterbukaan, skeptisisme, pengenalan terhadap kemenduaan,
sikap kompromi yang mencakup prinsip-prinsip konflik dan batas-batas kompromi,
toleransi pada keragaman, kesabaran dan keajekan, keharuan, kemurahan hati, dan
kesetiaan terhadap bangsa dan segala prinsipnya. Pendekatan
pembelajaran dalam pendidikan kewarganegaraan untuk mengembangkan civic disposition salah satunya
menggunakan pendekatan berbasis nilai (value
based approach).
PEMBAHASAN
A. Hakikat Pembelajaran Civic Education
Belajar adalah proses
perubahan yang terjadi sebagai hasil dari pengalaman individu dan bukan karena
proses pertumbuhan fisik. Chance (1979) menyatakan bahwa belajar adalah
perubahan tingkah laku yang disebabkan oleh pengalaman Belajar sering juga
didefinisikan sebagai perubahan yang relatif menetap dalam tingkah laku yang
disebabkan oleh latihan atau pengalaman. Anderson (2000) menyatakan bahwa
belajar adalah suatu proses perubahan yang relatif menetap terjadi dalain
tingkah laku potensial sebagai hasil dan pengalaman. Belajar menurut Gagne
& Briggs dalam Dahar (1989) dapat didefiflisikan sebagai suatu proses
dimana suatu organisme berubah perilakunya sebagai akibat dan pengalaman.
Belajar pada hakikatnya adalah suatu aktivitas yang mengarahkan perubahan
tingkah laku pada diri individu yang sedang belajar (Diknas, 2004).
Dari definisi-definisi
tersebut di atas, terlihat bahwa belajar melibatkan tiga hal pokok. Pertama, belajar mengakibatkan adanya
perubahan tingkah laku. Kedua,
perubahan yang terjadi karena belajar bersifat relatif permanen atau tetap. Ketiga, perubahan tersebut disebabkan
oleh hasil latihan atau pengalaman bukan oleh proses pertumbuhan atau perubahan
kondisi fisik (Winarno, 2014: 72).
Dari konsep belajar
muncul istilah pembelajaran. Degeng (dalam Made Wena, 2009) mengartikan
pembelajaran sebagai upaya membelajarkan peserta didik Gagne dan Briggs
mendefinisian pembelajaran sebagai suatu rangkaian events (kondisi, peristiwa kejadian, dan sebagainya) yang secara
sengaja dirancang untuk memengaruhi pembelajar, sehingga proses belajarnya dapat
berlangsung mudah (Diknas, 2004).
Pembelajaran bukan
hanya terbatas pada kegiatan yang dilakukan guru, seperti halnya dengan konsep
mengajar. Pembelajaran mencakup semua kegiatan yang mungkin mempunyai pengaruh
langsung pada proses belajar manusia. Pembelajaran mencakup pula
kejadian-kejadian yang diturunkan oleh bahan-bahan cetak, gambar, program
radio, televisi, film, slide maupun kombinasi
dan bahan-bahan itu. Bahkan saat ini berkembaflg pembelajaran dengan
pemanfaatan berbagai program komputer untuk pembelajaran atau dikenal dengan e-learning (Winarno, 2014: 72).
Cogan (dalam Somantri, 2001)
menyatakan pembelajaran civic education merupakan proses pendidikan secara
utuh dan menyeluruh terhadap pembentukan karakter individu sebagai warga negara
yang cerdas dan baik. Kaitannya dengan civic
education di Indonesia, Kosasih Djahiri (2006) menyatakan pembelajaran civic education adalah program pendidikan yang secara programatik prosedural
berupaya memanusiakan (humanizing)
dan membudayakan (culturing) serta
memberdayakan (empowering)
manusia/anak didik (diri dan lingkungannya) menjadi warga negara yang baik
dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kerr (dalam Winataputra & Budimansyah, 2007) menyatakan bahwa:
Citizenship
or civics education is construed broadly to encompass the preparation of young
people for their roles and responsibilities as citizens and, in particular, the
role of education (trough schooling, teaching, and learning) in that
preparatory process.
Dari definisi tersebut dapat dijelaskan bahwa Pendidikan
Kewarganegaraan dirumuskan secara luas untuk mencakup proses penyiapan generasi
muda untuk mengambil peran dan tanggung jawabnya sebagai warganegara, dan
secara khusus, peran pendidikan termasuk di dalamnya persekolahan, pengajaran
dan belajar, dalam proses penyiapan warganegara tersebut. Selain itu, menurut Villegas-Reimer (1997) bahwa:
Citizenship education has been described as
‘the contribution of education to the development of those characteristics of being a citizen’ (Cogan
1998:13), and the ‘process of teaching society’s rules, institutions, and
organizations, and the role of citizens in the well-functioning of society.
Artinya, pendidikan kewarganegaraan
digambarkan sebagai “kontribusi pendidikan untuk pengembangan
karakteristik-karakteristik warganegara” (Cogan 1998: 13), dan “proses tentang
aturan pengajaran masyarakat, institusi, dan organisasi-organisasi, dan peran
warganegara dalam masyarakat yang berfungsi secara baik”.
B. Konsep Civic Dispostion Dalam Pendidikan Kewarganegaraan
Berdasarkan
perkembangan mutakhir, dimana tujuan pendidikan kewarganegaraan (civic education) adalah partisipasi yang
bermutu dan bertanggung jawab dari warga negara dalam kehidupan politik dan
masyarakat baik pada tingkat lokal maupun nasional, maka partisipasi semacam
itu memerlukan penguasaan sejumlah kompetensi kewarganegaraan. Dari sejumlah kompotensi
yang diperlukan, yang terpenting adalah (1) penguasaan terhadap pengetahuan dan
pemahaman tertentu; (2) pengembangan kemampuan intelektual dan partisipatoris;
(3) pengembangan karakter dan sikap mental tertentu; dan (4) komitmen yang
benar terhadap nilai dan prinsip dasar dalam konstitusional (Winatapurta dan
Budimansyah, 2012: 198-199).
Berdasarkan
kompetensi yang perlu dikembangkan, terdapat tiga komponen utama yang perlu
dipelajari dalam pendidikan kewarganegaraan yaitu pengetahuan kewarganegaran (civic knowledge), kecakapan kewarganegaraan (civic
skill), dan watak kewarganegaraan (civic
dispostion). Tiga komponen civic
education perlu dimiliki oleh seorang warga negara agar menjadi cerdas,
berkarakter, dan partisipatif (Branson, dkk. 1999; Winarno, 2014).
Winarno, (2014: 177) menyatakan bahwa civic disposition merupakan salah satu komponen pendidikan kewarganegaraan yang terjemahkan sebagai watak, sikap, atau karakter kewarganegaraan. Ada juga yang menyebutnya sebagai nilai kewarganegaraan (civic value). Menurut Setiawan, (2012: 162) “civic disposition merupakan komponen yang berkaitan dengan nilai-nilai (values) yang berontribusi dalam pembentukan karakter warga negara”. Kalidjernih, (2010: 20) mengemukakan bahwa “civic disposition merupakan istilah dalam pendidikan kewarganegaraan yang merujuk pada watak atau karakter (diposition) dan komitmen yang diperlukan untuk memelihara dan memajukan kewarganegaraan dan pemerintahan”.
Branson, (1998) menyatakan sebagai berikut: “The third essensial component of civic education, civic disposition refers to the traits of private and public chararter essensial to the maintenance and improvement of constitusional democracy”. Watak kewarganegaraan (civic disposition) sebagai komponen dasar ketika civic education yang berorientasi pada karakter publik maupun privat yang penting bagi pemeliharaan dan pengembangan demokrasi konstitusional (Branson, 1999; Budimansyah dan Suryadi, 2008; Winarno, 2014).
Watak kewarganegaraan sebagaimana kecakapan kewarganegaraan, berkembang secara perlahan sebagai akibat dari apa yang telah dipelajari dan dialami oleh seseorang di rumah, sekolah, komunitas, dan organisasi-organisasi civic society. Pengalaman-pengalaman demikian hendaknya mengakibatkan pemahaman bahwasanya demokrasi mensyaratkan adanya pemerintahan mandiri yang bertanggung jawab dari tiap individu. Karakter privat seperti tanggung jawab moral, disiplin diri, dan penghargaan terhadap harkat dan martabat manusia dari setiap individu adalah wajib. Karakter publik juga tidak kalah penting. Kepedulian sebagai warga negara, kesopanan, mengindahkan aturan main (role of law), berpikir kritis, dan kemauan untuk mendengar, bernegosiasi dan berkompromi merupakan karakter yang sangat penting diperlukan agar demokrasi berjalan sukses (Branson, 1999: 23).Secara singkat karakter publik dan privat itu dapat dideskripsikan sebagai berikut:
Winarno, (2014: 177) menyatakan bahwa civic disposition merupakan salah satu komponen pendidikan kewarganegaraan yang terjemahkan sebagai watak, sikap, atau karakter kewarganegaraan. Ada juga yang menyebutnya sebagai nilai kewarganegaraan (civic value). Menurut Setiawan, (2012: 162) “civic disposition merupakan komponen yang berkaitan dengan nilai-nilai (values) yang berontribusi dalam pembentukan karakter warga negara”. Kalidjernih, (2010: 20) mengemukakan bahwa “civic disposition merupakan istilah dalam pendidikan kewarganegaraan yang merujuk pada watak atau karakter (diposition) dan komitmen yang diperlukan untuk memelihara dan memajukan kewarganegaraan dan pemerintahan”.
Branson, (1998) menyatakan sebagai berikut: “The third essensial component of civic education, civic disposition refers to the traits of private and public chararter essensial to the maintenance and improvement of constitusional democracy”. Watak kewarganegaraan (civic disposition) sebagai komponen dasar ketika civic education yang berorientasi pada karakter publik maupun privat yang penting bagi pemeliharaan dan pengembangan demokrasi konstitusional (Branson, 1999; Budimansyah dan Suryadi, 2008; Winarno, 2014).
Watak kewarganegaraan sebagaimana kecakapan kewarganegaraan, berkembang secara perlahan sebagai akibat dari apa yang telah dipelajari dan dialami oleh seseorang di rumah, sekolah, komunitas, dan organisasi-organisasi civic society. Pengalaman-pengalaman demikian hendaknya mengakibatkan pemahaman bahwasanya demokrasi mensyaratkan adanya pemerintahan mandiri yang bertanggung jawab dari tiap individu. Karakter privat seperti tanggung jawab moral, disiplin diri, dan penghargaan terhadap harkat dan martabat manusia dari setiap individu adalah wajib. Karakter publik juga tidak kalah penting. Kepedulian sebagai warga negara, kesopanan, mengindahkan aturan main (role of law), berpikir kritis, dan kemauan untuk mendengar, bernegosiasi dan berkompromi merupakan karakter yang sangat penting diperlukan agar demokrasi berjalan sukses (Branson, 1999: 23).Secara singkat karakter publik dan privat itu dapat dideskripsikan sebagai berikut:
a. Menjadi
anggota masyarakat yang independen. Karakter ini meliputi kesadaran secara
pribadi ntuk bertanggung jawab sesuai ketentuan, bukan karena keterpaksaan atau
pengawasan dan luar menerima tanggung jawab akan konsekuensi dan tindakan yang
diperbuat dan memenuhi kewajiban moral dan legal sebagai anggota masyarakat
demokratis.
b. Memenuhi
tanggung jawab personal kewargaanegaraan di bidang ekonomi dan politik. Tanggung
jawab ini meliputi memelihara/menjaga diri, memberi nafkah dan merawat
keluarga, mengasuh dan mendidik anak. Termasuk pula mengikuti informasi tentang
isu-isu publik, menggunakan hak pilih dalam pemilu membayar pajak, menjadi
saksi di pengadilan, kegiatan pelayanan masyarakat, melakukan tugas
kepemimpinan sesuai bakat masing-masing.
c. Menghormati
harkat dan martabat kemanusiaan tiap individu. Menghormati orang lain berarti
mendengarkan pendapat mereka, bersikap sopan, menghargai hak-hak dan
kepentingan-kepentingan sesama warganegara, dan mengikuti aturan musyawarah
mufakan dan prinsip mayoritas namun tetap rnenghargai hak-hak minoritas untuk
berbeda pendapat.
d. Berpartisipasi
dalam unsur-unsur kewarganegaraan secara efektif dan bijaksana. Karakter ini
merupakan bentuk sadar informasi sebelum menentukan pilihan atau berpartisipasi
dalam debat publik, terlibat dalam diskusi yang santun dan serius, serta
memegang kendali dalam kepemimpinan bila diperlukan. Juga membuat evaluasi
tentang kapan saatnya kepentingan pribadi sebagai seorang warganegara harus
dikesampingkan demi memenuhi kepentingan publik dan mengevaluasi kapan
seseorang karena kewajibannya atau prinsip-prinsip konstitusional diharuskan
menolak tuntutan-tuntutan kewarganegaraan tertentu.
e. Mengembangkan
berfungsinya demokrasi konstitusional secara sehat. Karakter ini meliputi sadar
informasi dan kepekaan terhadap urusan-urusan publik, melakukan penelaahan
terhadap nilai-nilai dan prinsip-prinsip konstitusional, memonitor keputusan
para pemimpin politi dan lembaga-lembaga publik pada nilai-nilai dan
prinsip-prinsip tadi serta mengambil langkah-langkah yang diperlukan bila ada
kekurangannya. Karakter ini mengarahkan warganegara agar bekerja dengan
cara-cara yang damai dan legal dalam rangka mengubah undang-undang yang
dianggap tidak adil dan tidak bijaksana.
Pentingnya watak
kewarganegaraan ini jarang sekali ditegaskan. Karakter publik dan privat yang
mendasari demokrasi, dalam jangka panjang, mungkin lebih merupakan dampak dan
pengetahuan atau kecakapan yang dikuasai warganegara. Hakim Learned Hand dalam pidatonya
di New York pada tahun 1994 mengungkapkan pentingnya watak kewarganegaraan dalam
kata-kata yang sekarang menjadi amat populer:
Liberty lies in the hearts of men and
women; when it dies there, no constitution, no law, no court can save it; no constitution,
no law, no court can even do much to
help it. While it lies there, it needs no constitution, no law, no court to
save it (Branson,
1998: 12).
Kebebasan terletak pada hati
manusia, baik pria maupun wanita. Bila ia sima maka tak ada konstitusi, hukum,
dan pengadilan yang dapat menyelamatkannya. Bahkan konstitusi, hukum, dan
pengadilan tak dapat berbuat apa-apa. Namun bila ia masih di sana, maka tak diperlukan
lagi konstitusi, hukum, dan pengadilan untuk menjaganya. Quigley, CN, Buchanan,
H and Bahmuller, CF dalam Civitas: A
Framework for Civic Education, (1991) menyatakan bahwa civic disposition merupakan bagian dari civic virtue. Dikatakan sebagai berikut.
Civic virtue is described in terms of
civic dispositions and civic commitment. Civic dispositions refer to those
attitudes and habits of mind of the citizen that are conducive to the healthy functioning and common good
of the democratic system. Civic commitments refer to the freely given, reasoned
commitment of the citizen to the fundamental values and principles of American
constitutional democracy.
Civic
virtue merupakan kemauan warga negara untuk menempatkan kepentingan
umum diatas kepentingan pribadi. Civic
virtue atau kebajikan kewarganegaraan terdiri atas unsur watak dan komitmen
kewarganearaan. Watak kewarganegaraan merujuk pada sejumlah kebiasaan dan sikap
warga dalam menopang berkembangnya fungsi sosial yang sehat dan jaminan atas kepentingan
umum dalam sistem demokrasi. Komitmen kewarganegaraan merujuk pada kesediaan
secara sadar untuk menerima, memegang teguh nilai dan prinsip demokrasi Amerika.
Civic virtue
dapat dikatakan sebagai tujuan akhir dan pendidikan kewarganegaraan, yaitu
terbentuknya kebajikan kewarganegaraan pada diri setiap warga yang tentu saja
disesuaikan dengan sistem demokrasi konstitisional yang sejalan dengan ideologi
nasional negara yang bersangkutah. Contoh civic
virtue di AS adalah komitmen dan sikap yang sejalan dengan prinsip dan
nilai demokrasi Amerika. Sanusi, (1998) menyatakan bahwa civic virtue itu hendaknya sejalan dengan prinsip demokrasi
Indonesia, sebagaimana yang dicontohkan dengan 10 pilar demokrasi.
C. Pembelajaran Civic Education Untuk Mengembangkan Civic Disposition
Pembelajaran civic education untuk mengembangkan civic
disposition dapat merujuk pada pemikiran Nana Syaodih Sukmadinata (dalam
Winarno, 2014: 197) yang mengemukakan beberapa model pembelajaran afektif yang populer
dan banyak digunakan.
a.
Model
Konsiderasi
Manusia seringkali
bersifat egoistis, lebih memperhatikan, mementingkan, dan sibuk dan sibuk
mengurusi dirinya sendiri. Melalui penggunaan model konsiderasi (consideration model) peserta didik
didorong untuk lebih peduli, lebih memerhatikan orang lain sehingga mereka
dapat bergaul, bekerja sama, dan hidup secara harmonis dengan orang lain.
Langkah-langkah
pembelajaran konsiderasi:
1. menghadapkan
peserta didik pada situasi yang mengandung konsiderasi,
2. meminta
peserta didik menganalisis situasi untuk menemukan isyarat-isyarat yang
tersembunyi berkenaan dengan perasaan, kebutuhan dan kepentingan orang lain,
3. peserta
didik menuliskan responsnya masing-masing,
4. peserta
didik menganalisis respons peserta didik lain,
5. mengajak
peserta didik melihat konsekuesi dan tiap tindakannya, dan
6. meminta
peserta didik untuk menentukan pilihannya sendiri.
b.
Model
Pembentukan Rasional
Dalam
kehidupannya, orang berpegang pada nilai-nilai sebagai standar bagi segala aktivitasnya.
Nilai-nilai ini ada yang tersembunyi, dan ada pula yang dapat dinyatakan secara
eksplisit. Nilai juga bersifat multidimensional, ada yang relatif dan ada yang
absolut. Model pembentukan rasional (rational
building model) bertujuan mengernbangkan kematangan pemikiran tentang
nilai-nilai.
Langkah-langkah
pembelajaran rasional:
1. mengidentifikasi
situasi dimana ada ketidakserasian atau penyimpangan tindakan,
2. menghimpun
informasi tambahan,
3. menganalisis
situasi dengan berpegang pada norma, prinsip atu ketentuan-ketentuan yang
berlaku dalam masyarakat,
4. mencari
alternatif tindakan dengan themikirkan akibat-akibatnya, dan
5. mengambil
keputusan dengan berpegang pada. prinsip atau ketentuan-ketentuan: legal dalam
masyarakat.
c.
Klarifikasi
Nilai
Setiap
orang memiliki sejumlah nilai, baik yang jelas atau terselubung, disadari atau
tidak. Kiarifikasi nilai (value clarification
model) merupakan pendekatan mengajar dengan menggunakan pertanyaan atau
proses menilai (valuing process) dan
membantu siswa menguai keterampilan menilai dalam bidang kehidupan yang kaya nilai.
Penggunaan model ini bertujuan, agar para peserta didik menyadari nilai-nilai
yang mereka miliki, memunculkan dan merefleksikannya sehingga para peserta
didik memiliki keterampilan proses menilai.
Langkah-langkah
pembelajaran klarifikasi nilai antara lain:
1. pemilihan:
peserta didik mengadakan pemilihan tindakan secara bebas, dari sejumlah
alternatif tindakan mempertimbangkan kebaikan dan akibat-akibatnya.
2. menghargai
pemilihan: peserta didik menghargai pilihannya serta memperkuat dan mempertegas
pilihannya, dan
3. berbuat:
peserta didik melakukan perbuatan yang berkaitan dengan pliihannya,
mengulanginya pada hal lainnya.
d.
Pengembangan
Moral Kognitif
Perkembangan
moral manusia berlangsung melalui restrukturalisasi atau reorganisasi kognitif,
berlangsung secara berangsur melalui tahap pra konvensi, konvensi dan pasca konvensi. Model
ini bertujuan membantu peserta didik mengembangkan kemampuan mempertimbangkan
nilai moral secara kognitif.
Berikut
ini adalah langkah-langkah pembelajaran moral kognitif antara lain:
1. menghadapkan
peserta didik pada suatu situasi yang mengandung dilema moral atau pertentangan
nilai,
2. peserta
didik diminta memilih salah satu tindakan yang mengandung nilai moral tertentu,
3. peserta
didik diminta mendiskusikan/menganalisis kebaikan dan kejelekannya,
4. peserta
didik didorong untuk mencari tindakan-tindaka yang lebih baik, dan
5. peserta
didik menerapkan tindakan dalam segi lain.
e.
Model
Nondirektif
Peserta
didik memiliki potensi dan kemampuan untuk berkembang, sendiri. Perkembangan
pribadi yang utuh berlangsung dalam suasana permisif dan kondusif. Guru
hendaknya menghargai potensi dan
kemampuan peserta didik dan berperan sebagai fasilitator/konser dalam
pengembangan kepribadian peserta didik Penggunaan model ini bertujuan membantu peserta
didik mengaktualisasikan dirinya.
Langkah-langkah
pembelajaran nondirekif antara lain:
1. menciptakan
sesuatu yang permisif melalui ekspresi bebas,
2. pengungkapan
peserta didik mengemukakan perasaan, pemikiran dan masalah- masalah yang
dihadapinya, guru menerima dan memberikan klarifikasi,
3. pengembangan
pemahaman (insight), peserta didik mendiskusikan
masalah, guru memberikan dorongan,
4. perencanaan
dan penentuan keputusan, peserta didik merencanakan dan menentukan keputusan,
guru memberikan klarifikasi, dan
5. integrasi,
peserta didik memperoleh pemahaman lebih luas dan mengembangkan
kegiatan-kegiatà n positif.
KESIMPULAN
Berdasakan pembahasan
yang telah diuraikan, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan, sebagai berikut :
1. Pentingnya
pembelajaran civic education menekankan pada proses pendidikan
secara utuh dan menyeluruh terhadap pembentukan karakter individu sebagai warga
negara yang baik dan cerdas (smart and
good citizen), selain itu melaksanakan program pendidikan yang secara
programatik prosedural berupaya memanusiakan (humanizing) dan membudayakan (culturing)
serta memberdayakan (empowering) manusia
atau peserta didik (diri dan lingkungannya) menjadi warga negara yang berkeadaban
dalam Negara Kebangsaan Pancasila.
2. Watak
kewarganegaraan (civic disposition) sebagai salah satu ranah amat
menentukan keberhasilan warga negara dalam
belajar. civic disposition merupakan
salah satu komponen pendidikan kewarganegaraan yang diterjemahkan sebagai
watak, sikap, atau karakter kewarganegaraan, dan komitmen yang diperlukan untuk
memelihara serta memajukan kewarganegaraan maupun pemerintahan. Hal ini dapat
dikembangkan secara optimal melalui pembelajaran civic education pada setiap jenjang pendidikan.
3. Pendekatan
pembelajaran dalam pendidikan kewarganegaraan untuk mengembangkan civic disposition salah satu adalah
pendekatan berbasis nilai (value based
approach). Pembelajaran civic
education untuk mengembangkan civic disposition melalui model
pembelajaran berbasis nilai yang populer dan banyak digunakan, antara lain model
konsiderasi, pembentukan rasional, klarifikasi nilai, pengembangan moral
kognitif, nondirektif. Semua model pembelajaran ini sangat penting dan menjadi
kunci utama dalam membentuk dan mengembangkan watak kewarganegaraan (civic disposition) agar menjadi warga
negara yang baik dan cerdas (smart and
good citizen).
DAFTAR PUSTAKA
Anderson,
J. R. 2000. Learning and Memory. New
York John Willey; Sons, Inc.
Branson,
M.S. 1998. The Role of Civic Education,
A Forthcoming Education Policy Task Force Position Paper from the Communitarian
Network.
Branson,
M.S., dkk. 1999. Belajar Civic Education
dari Amerika. Yogyakarta: LKIS.
Budimansyah,
D dan Suryadi, K. 2008. PKn dan
Masyarakat Multikultural. Bandung: Program Studi PKn SPs UPI.
Chance,
Paul. 1979. Learning and Behavior.
California: Wardworth Publishing Company Inc.
Cogan,
J.J. 1998. Citizenship for the 21st
Century: An Internasional Perspective on Education. London: Cogan Page.
Dahar,
Ratna Wilis. 1989. Teori-teori Belajar.
Jakarta: Erlangga.
Djahiri,
H. A., Kosasih. 2006. Esensi Pendidikan
Nilai Moral dan PKn di Era Globalisasi, Dalam Pendidikan Nilai Moral, Dimensi
PKn menyambut 70 tahun. Bandung: Laboratorium PKn FPIPS UPI.
Kalidjernih,
FK. 2010. Kamus Studi Kewarganegaraan;
Perspektif Sosiologikal dan Politikal. Bandung: Widya Aksara Press.
Keer,
David. 1999. Citizenship Education: An
Internasional Comparrison. England: nfer, QCA.
Quigley
C.N., dkk. 1991. Civitas: A Framework for
Civic Education. Calabasas: CCE.
Sanusi,
A. 1998. Memberdayakan Masyarakat dalam
Pelaksanaan 10 Pilar Demokrasi. Bandung: Panitia Semlok PPKn IKIP Bandung.
Setiawan,
Deny. 2012. Pendidikan Kewarganegaraan
Berbasis Karakter Melalui Penerapan Pendekatan Pembelajaran Aktif, Kreatif,
Efektif, dan Menyenangkan. Makalah disampaikan pada Seminar Internasional
dan Konferensi Internasional Pendidikan Dasar dengan tema “Early-Childhood Education: Active, Creative, Joyful”. Medan:
Universitas Negeri Medan 6-7 Juli 2012.
Soemantri, M. Numan. 2001. Mengagas
Pembaharuan Pendidikan IPS. Bandung: Rosdakarya.
Wahab, A.A. 1999. Pengembangan
Konsep dan Paradigma Pendidikan Kewarganegaraan Baru Indonesia Bagi Terbinanya
Warga Negara Multidimensional. (Makalah). Bandung : CICED.
Wena,
Made. 2009. Strategi Pembelajaran
Inovatif Kontempore: Suatu Tinjauan Konseptual Operasional. Jakarta: Bumi
Aksara.
Winarno.
2014. Pembelajaran Pendidikan
Kewarganegaraan: Isi, Strategi, dan Penilaian. Jakarta: Bumi Aksara.
Winataputra,
U.S. dan Budimansyah, D. 2007. Civic Education, Konteks, Landasan, Bahan
Ajar dan Kultur Kelas. Bandung: SPs PKn UPI.
Winataputra,
U.S. dan Budimansyah, D. 2012. Pendidikan
Kewarganegaraan Dalam Perspektif Internasional: Konteks, Teori, dan Profil
Pembelajaran. Bandung: Widja Aksara Press.
Depdiknas.
2004. Kurikulum dan Hasil Belajar.
Jakarta: Dikmenum.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar