Rabu, 19 Oktober 2016

PEMBELAJARAN CIVIC EDUCATION DALAM MENGEMBANGKAN CIVIC DISPOSITION


Yakob Godlif Malatuny
Mahasiswa PKn Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia

Abstrak
Idealisme pembentukan watak kewarganegaraan (civic disposition) menuju peradaban bangsa yang bermartabat dan menjadikan warga negara yang baik dan cerdas (smart and good citizen) merupakan misi suci (mission sacre) dari civic education. Pembelajaran civic education di Indonesia terlalu menekankan pada aspek kognitif dan mengabaikan aspek afektif, sehingga hanya menciptakan warga negara yang cerdas namun kurang memiliki watak yang baik. Penulisan ini bertujuan untuk menjelaskan tentang hakikat pembelajaran civic education, konsep civic dispostion dalam civic education dan pembelajaran civic cducation untuk mengembangkan civic disposition. Salah satu kunci keberhasilan yang amat penting dalam mengembangkan civic disposition dengan menggunakan pendekatan pembelajaran berbasis nilai (value based approach).

Kata kunci : Pembelajaran, Civic Education, Civic Disposition

PENDAHULUAN
Perkembangan intelektual dalam peradaban manusia tidak pernah berlangsung dalam satu alur linier yang berotoritas besar (a mainstream). Alih-alih dalam perkembangan selalu saja terjadi kritik yang mengundang gejolak, tatkala pendidikan yang dipandang normal dan berlegitimasi pada masanya gagal menjawab masalah-masalah baru yang timbul dan selanjutnya hanya akan menerbitkan anomali-anomali saja.
Pendidikan yang diselenggarakan secara efektif dapat membangun gagasan dan emosi secara terus-menerus. Dalam pasal 3 Undang-undang RI No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), secara imperatif digariskan bahwa, pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak dan peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggungjawab.
Winataputra dan Budimansyah (2012: 90) menyatakan bahwa, idealisme pembentukan watak dan peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, dan menjadikan manusia sebagai warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab secara filosofis, sosio-politis dan psikopedagogis merupakan misi suci (mission sacre) dari pendidikan kewarganegaraan. Secara khusus, seperti dapat dicermati pada Penjelasan Pasal 37 ayat (1) “Pendidikan kewarganegaraan dimaksudkan untuk membentuk peserta didik menjadi manusia yang memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah air”. Dalam konteks itu pendidikan kewarganegaran pada dasarnya merupakan pendidikan kebangsaan atau pendidikan karakter bangsa. Semua imperatif atau keharusan itu menuntut perlunya penghayatan baru kita terhadap pendidikan kewarganegaraan sebagai suatu konsep keilmuan, instrumentasi, dan praksis pendidikan yang utuh, yang pada gilirannya dapat mengembangkan watak kewaganegaraan (civic dispostion) sebagai anak bangsa dan warga negara Indonesia. Pendidikan Kewarganegaraan (civic education) merupakan salah satu bidang kajian yang mengemban misi nasional untuk mecerdaskan kehidupan bangsa Indonesia melalui koridor “value based education”.
Konfigurasi atau kerangka sistemik civic education dibangun atas dasar paradigma yaitu, Pertama civic education secara kurikuler dirancang sebagai subjek pembelajaran yang bertujuan untuk mengembangkan potensi individu agar menjadi warga negara Indonesia yang berakhlak mulia, cerdas, partisipatif, dan bertanggung jawab. Kedua, civic education secara teoretik dirancang sebagai subjek pembelajaran yang memuat dimensi-dimensi kognitif, afekfif, dan psikomotorik yang bersifat konfluen atau saling berpenetrasi dan terintegrasi dalam konteks substansi ide, nilai, konsep, dan moral Pancasila, kewarganegaraan yang demokratis, dan bela negara. Ketiga, civic education secara programatik dirancang sebagai subjek pembelajaran yang menekankan pada isi yang mengusung nilai-nilai (content embedding values) dan pengalaman belajar (learning experiences) dalam bentuk berbagai perilaku yang perlu diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari dan merupakan tuntunan hidup bagi warga negara dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara sebagai penjabaran Iebih lanjut dan ide, nilai, konsep, dan moral Pancasila, kewarganegaraan yang demokratis, dan bela negara (Winataputra dan Budimansyah, 2012: 90).
Pembelajaran civic education di Indonesia masih terdapat banyak kelamahan. Menurut Wahab, (1999) kelamahan dalam pembelajaran civic education salah satunya, terlalu menekankan pada aspek nilai moral belaka, yakni menempatkan peserta didik sebagai obyek yang berkewajiban untuk menerima nilai moral tertentu. Sementara Soemantri, (1992: 10) dalam kajiannya berkesimpulan bahwa; (1) mata pelajaran ilmu-ilmu sosial, termasuk Pendidikan Kewarganegaraan terlalu dikuasai oleh hafalan dan pemahaman mengenai fakta-fakta, (2) bahan pelajaran sangat membosankan dan tidak menarik, karena mengajar dan belajar selalu ada dalam kedudukan “passive learning”. Selain berbagai masalah yang telah diuraikan ditemukan juga masalah lainnya yakni pembelajaran civic education terlalu menekankan pada aspek kognitif dan mengabaikan aspek afektif, sehingga hanya menciptakan warga negara cerdas namun kurang memiliki watak yang baik. Untuk itu dalam merancang semua program pembelajaran, satuan pendidikan harus memperhatikan ranah afektif. Civic disposition merujuk pada watak atau karakter dan komitmen yang diperlukan untuk memelihara dan memajukan kewarganegaraan dan pemerintahan (Kalidjernih, 2010: 20).
Menyikapi kelamahan-kelamahan yang ada, maka pentingnya pembelajaran civic education dalam mengembangkan civic disposition, menilik beberapa hal pokok. Pertama, civic disposition merupakan sikap dan kebiasaan berpikir warga negara yang menopang berkembangnya fungsi sosial yang sehat dan jaminan kepentingan umum dari sistem demokrasi. Kedua, secara konseptual, pembelajaran PKn yang menekankan pada civic dipsosition mencakup sejumlah karakteristik kepribadian, yakni kesopanan yang mencakup penghormatan dan interaksi manusiawi, tanggung jawab individual, disiplin diri, kepedulian terhadap masyarakat, keterbukaan pikiran yang mencakup keterbukaan, skeptisisme, pengenalan terhadap kemenduaan, sikap kompromi yang mencakup prinsip-prinsip konflik dan batas-batas kompromi, toleransi pada keragaman, kesabaran dan keajekan, keharuan, kemurahan hati, dan kesetiaan terhadap bangsa dan segala prinsipnya. Pendekatan pembelajaran dalam pendidikan kewarganegaraan untuk mengembangkan civic disposition salah satunya menggunakan pendekatan berbasis nilai (value based approach).

PEMBAHASAN

A.  Hakikat Pembelajaran Civic Education
Belajar adalah proses perubahan yang terjadi sebagai hasil dari pengalaman individu dan bukan karena proses pertumbuhan fisik. Chance (1979) menyatakan bahwa belajar adalah perubahan tingkah laku yang disebabkan oleh pengalaman Belajar sering juga didefinisikan sebagai perubahan yang relatif menetap dalam tingkah laku yang disebabkan oleh latihan atau pengalaman. Anderson (2000) menyatakan bahwa belajar adalah suatu proses perubahan yang relatif menetap terjadi dalain tingkah laku potensial sebagai hasil dan pengalaman. Belajar menurut Gagne & Briggs dalam Dahar (1989) dapat didefiflisikan sebagai suatu proses dimana suatu organisme berubah perilakunya sebagai akibat dan pengalaman. Belajar pada hakikatnya adalah suatu aktivitas yang mengarahkan perubahan tingkah laku pada diri individu yang sedang belajar (Diknas, 2004).
Dari definisi-definisi tersebut di atas, terlihat bahwa belajar melibatkan tiga hal pokok. Pertama, belajar mengakibatkan adanya perubahan tingkah laku. Kedua, perubahan yang terjadi karena belajar bersifat relatif permanen atau tetap. Ketiga, perubahan tersebut disebabkan oleh hasil latihan atau pengalaman bukan oleh proses pertumbuhan atau perubahan kondisi fisik (Winarno, 2014: 72).
Dari konsep belajar muncul istilah pembelajaran. Degeng (dalam Made Wena, 2009) mengartikan pembelajaran sebagai upaya membelajarkan peserta didik Gagne dan Briggs mendefinisian pembelajaran sebagai suatu rangkaian events (kondisi, peristiwa kejadian, dan sebagainya) yang secara sengaja dirancang untuk memengaruhi pembelajar, sehingga proses belajarnya dapat berlangsung mudah (Diknas, 2004).
Pembelajaran bukan hanya terbatas pada kegiatan yang dilakukan guru, seperti halnya dengan konsep mengajar. Pembelajaran mencakup semua kegiatan yang mungkin mempunyai pengaruh langsung pada proses belajar manusia. Pembelajaran mencakup pula kejadian-kejadian yang diturunkan oleh bahan-bahan cetak, gambar, program radio, televisi, film, slide maupun kombinasi dan bahan-bahan itu. Bahkan saat ini berkembaflg pembelajaran dengan pemanfaatan berbagai program komputer untuk pembelajaran atau dikenal dengan e-learning (Winarno, 2014: 72).
Cogan (dalam Somantri, 2001) menyatakan pembelajaran civic education merupakan proses pendidikan secara utuh dan menyeluruh terhadap pembentukan karakter individu sebagai warga negara yang cerdas dan baik. Kaitannya dengan civic education di Indonesia, Kosasih Djahiri (2006) menyatakan pembelajaran civic education adalah program pendidikan yang secara programatik prosedural berupaya memanusiakan (humanizing) dan membudayakan (culturing) serta memberdayakan (empowering) manusia/anak didik (diri dan lingkungannya) menjadi warga negara yang baik dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kerr (dalam Winataputra & Budimansyah, 2007) menyatakan bahwa:
Citizenship or civics education is construed broadly to encompass the preparation of young people for their roles and responsibilities as citizens and, in particular, the role of education (trough schooling, teaching, and learning) in that preparatory process.
Dari definisi tersebut dapat dijelaskan bahwa Pendidikan Kewarganegaraan dirumuskan secara luas untuk mencakup proses penyiapan generasi muda untuk mengambil peran dan tanggung jawabnya sebagai warganegara, dan secara khusus, peran pendidikan termasuk di dalamnya persekolahan, pengajaran dan belajar, dalam proses penyiapan warganegara tersebut. Selain itu, menurut Villegas-Reimer (1997) bahwa:
Citizenship education has been described as ‘the contribution of education to the development of those characteristics of being a citizen’ (Cogan 1998:13), and the ‘process of teaching society’s rules, institutions, and organizations, and the role of citizens in the well-functioning of society.
Artinya, pendidikan kewarganegaraan digambarkan sebagai “kontribusi pendidikan untuk pengembangan karakteristik-karakteristik warganegara” (Cogan 1998: 13), dan “proses tentang aturan pengajaran masyarakat, institusi, dan organisasi-organisasi, dan peran warganegara dalam masyarakat yang berfungsi secara baik”.

B.  Konsep Civic Dispostion Dalam Pendidikan Kewarganegaraan
Berdasarkan perkembangan mutakhir, dimana tujuan pendidikan kewarganegaraan (civic education) adalah partisipasi yang bermutu dan bertanggung jawab dari warga negara dalam kehidupan politik dan masyarakat baik pada tingkat lokal maupun nasional, maka partisipasi semacam itu memerlukan penguasaan sejumlah kompetensi kewarganegaraan. Dari sejumlah kompotensi yang diperlukan, yang terpenting adalah (1) penguasaan terhadap pengetahuan dan pemahaman tertentu; (2) pengembangan kemampuan intelektual dan partisipatoris; (3) pengembangan karakter dan sikap mental tertentu; dan (4) komitmen yang benar terhadap nilai dan prinsip dasar dalam konstitusional (Winatapurta dan Budimansyah, 2012: 198-199).
Berdasarkan kompetensi yang perlu dikembangkan, terdapat tiga komponen utama yang perlu dipelajari dalam pendidikan kewarganegaraan yaitu pengetahuan kewarganegaran (civic knowledge), kecakapan kewarganegaraan (civic skill), dan watak kewarganegaraan (civic dispostion). Tiga komponen civic education perlu dimiliki oleh seorang warga negara agar menjadi cerdas, berkarakter, dan partisipatif (Branson, dkk. 1999; Winarno, 2014).
Winarno, (2014: 177) menyatakan bahwa civic disposition merupakan salah satu komponen pendidikan kewarganegaraan yang terjemahkan sebagai watak, sikap, atau karakter kewarganegaraan. Ada juga yang menyebutnya sebagai nilai kewarganegaraan (civic value). Menurut Setiawan, (2012: 162) “civic disposition merupakan komponen yang berkaitan dengan nilai-nilai (values) yang berontribusi dalam pembentukan karakter warga negara”. Kalidjernih, (2010: 20) mengemukakan bahwa “civic disposition merupakan istilah dalam pendidikan kewarganegaraan yang merujuk pada watak atau karakter (diposition) dan komitmen yang diperlukan untuk memelihara dan memajukan kewarganegaraan dan pemerintahan”.
Branson, (1998) menyatakan sebagai berikut: “The third essensial component of civic education, civic disposition refers to the traits of private and public chararter essensial to the maintenance and improvement of constitusional democracy”. Watak kewarganegaraan (civic disposition) sebagai komponen dasar ketika civic education yang berorientasi pada karakter publik maupun privat yang penting bagi pemeliharaan dan pengembangan demokrasi konstitusional (Branson, 1999; Budimansyah dan Suryadi, 2008; Winarno, 2014).
Watak kewarganegaraan sebagaimana kecakapan kewarganegaraan, berkembang secara perlahan sebagai akibat dari apa yang telah dipelajari dan dialami oleh seseorang di rumah, sekolah, komunitas, dan organisasi-organisasi civic society. Pengalaman-pengalaman demikian hendaknya mengakibatkan pemahaman bahwasanya demokrasi mensyaratkan adanya pemerintahan mandiri yang bertanggung jawab dari tiap individu. Karakter privat seperti tanggung jawab moral, disiplin diri, dan penghargaan terhadap harkat dan martabat manusia dari setiap individu adalah wajib. Karakter publik juga tidak kalah penting. Kepedulian sebagai warga negara, kesopanan, mengindahkan aturan main (role of law), berpikir kritis, dan kemauan untuk mendengar, bernegosiasi dan berkompromi merupakan karakter yang sangat penting diperlukan agar demokrasi berjalan sukses (Branson, 1999: 23).Secara singkat karakter publik dan privat itu dapat dideskripsikan sebagai berikut:
a.   Menjadi anggota masyarakat yang independen. Karakter ini meliputi kesadaran secara pribadi ntuk bertanggung jawab sesuai ketentuan, bukan karena keterpaksaan atau pengawasan dan luar menerima tanggung jawab akan konsekuensi dan tindakan yang diperbuat dan memenuhi kewajiban moral dan legal sebagai anggota masyarakat demokratis.
b.  Memenuhi tanggung jawab personal kewargaanegaraan di bidang ekonomi dan politik. Tanggung jawab ini meliputi memelihara/menjaga diri, memberi nafkah dan merawat keluarga, mengasuh dan mendidik anak. Termasuk pula mengikuti informasi tentang isu-isu publik, menggunakan hak pilih dalam pemilu membayar pajak, menjadi saksi di pengadilan, kegiatan pelayanan masyarakat, melakukan tugas kepemimpinan sesuai bakat masing-masing.
c. Menghormati harkat dan martabat kemanusiaan tiap individu. Menghormati orang lain berarti mendengarkan pendapat mereka, bersikap sopan, menghargai hak-hak dan kepentingan-kepentingan sesama warganegara, dan mengikuti aturan musyawarah mufakan dan prinsip mayoritas namun tetap rnenghargai hak-hak minoritas untuk berbeda pendapat.
d. Berpartisipasi dalam unsur-unsur kewarganegaraan secara efektif dan bijaksana. Karakter ini merupakan bentuk sadar informasi sebelum menentukan pilihan atau berpartisipasi dalam debat publik, terlibat dalam diskusi yang santun dan serius, serta memegang kendali dalam kepemimpinan bila diperlukan. Juga membuat evaluasi tentang kapan saatnya kepentingan pribadi sebagai seorang warganegara harus dikesampingkan demi memenuhi kepentingan publik dan mengevaluasi kapan seseorang karena kewajibannya atau prinsip-prinsip konstitusional diharuskan menolak tuntutan-tuntutan kewarganegaraan tertentu.
e.    Mengembangkan berfungsinya demokrasi konstitusional secara sehat. Karakter ini meliputi sadar informasi dan kepekaan terhadap urusan-urusan publik, melakukan penelaahan terhadap nilai-nilai dan prinsip-prinsip konstitusional, memonitor keputusan para pemimpin politi dan lembaga-lembaga publik pada nilai-nilai dan prinsip-prinsip tadi serta mengambil langkah-langkah yang diperlukan bila ada kekurangannya. Karakter ini mengarahkan warganegara agar bekerja dengan cara-cara yang damai dan legal dalam rangka mengubah undang-undang yang dianggap tidak adil dan tidak bijaksana.
Pentingnya watak kewarganegaraan ini jarang sekali ditegaskan. Karakter publik dan privat yang mendasari demokrasi, dalam jangka panjang, mungkin lebih merupakan dampak dan pengetahuan atau kecakapan yang dikuasai warganegara. Hakim Learned Hand dalam pidatonya di New York pada tahun 1994 mengungkapkan pentingnya watak kewarganegaraan dalam kata-kata yang sekarang menjadi amat populer:
Liberty lies in the hearts of men and women; when it dies there, no constitution, no law, no court can save it; no constitution, no law, no court can even do much to help it. While it lies there, it needs no constitution, no law, no court to save it (Branson, 1998: 12).
Kebebasan terletak pada hati manusia, baik pria maupun wanita. Bila ia sima maka tak ada konstitusi, hukum, dan pengadilan yang dapat menyelamatkannya. Bahkan konstitusi, hukum, dan pengadilan tak dapat berbuat apa-apa. Namun bila ia masih di sana, maka tak diperlukan lagi konstitusi, hukum, dan pengadilan untuk menjaganya. Quigley, CN, Buchanan, H and Bahmuller, CF dalam Civitas: A Framework for Civic Education, (1991) menyatakan bahwa civic disposition merupakan bagian dari civic virtue. Dikatakan sebagai berikut.
Civic virtue is described in terms of civic dispositions and civic commitment. Civic dispositions refer to those attitudes and habits of mind of the citizen that are conducive to the healthy functioning and common good of the democratic system. Civic commitments refer to the freely given, reasoned commitment of the citizen to the fundamental values and principles of American constitutional democracy.
Civic virtue merupakan kemauan warga negara untuk menempatkan kepentingan umum diatas kepentingan pribadi. Civic virtue atau kebajikan kewarganegaraan terdiri atas unsur watak dan komitmen kewarganearaan. Watak kewarganegaraan merujuk pada sejumlah kebiasaan dan sikap warga dalam menopang berkembangnya fungsi sosial yang sehat dan jaminan atas kepentingan umum dalam sistem demokrasi. Komitmen kewarganegaraan merujuk pada kesediaan secara sadar untuk menerima, memegang teguh nilai dan prinsip demokrasi Amerika.
Civic virtue dapat dikatakan sebagai tujuan akhir dan pendidikan kewarganegaraan, yaitu terbentuknya kebajikan kewarganegaraan pada diri setiap warga yang tentu saja disesuaikan dengan sistem demokrasi konstitisional yang sejalan dengan ideologi nasional negara yang bersangkutah. Contoh civic virtue di AS adalah komitmen dan sikap yang sejalan dengan prinsip dan nilai demokrasi Amerika. Sanusi, (1998) menyatakan bahwa civic virtue itu hendaknya sejalan dengan prinsip demokrasi Indonesia, sebagaimana yang dicontohkan dengan 10 pilar demokrasi.

C.  Pembelajaran Civic Education Untuk Mengembangkan Civic Disposition
Pembelajaran civic education untuk mengembangkan civic disposition dapat merujuk pada pemikiran Nana Syaodih Sukmadinata (dalam Winarno, 2014: 197) yang mengemukakan beberapa model pembelajaran afektif yang populer dan banyak digunakan.
a.    Model Konsiderasi
Manusia seringkali bersifat egoistis, lebih memperhatikan, mementingkan, dan sibuk dan sibuk mengurusi dirinya sendiri. Melalui penggunaan model konsiderasi (consideration model) peserta didik didorong untuk lebih peduli, lebih memerhatikan orang lain sehingga mereka dapat bergaul, bekerja sama, dan hidup secara harmonis dengan orang lain.
Langkah-langkah pembelajaran konsiderasi:
1.   menghadapkan peserta didik pada situasi yang mengandung konsiderasi,
2.  meminta peserta didik menganalisis situasi untuk menemukan isyarat-isyarat yang tersembunyi berkenaan dengan perasaan, kebutuhan dan kepentingan orang lain,
3.    peserta didik menuliskan responsnya masing-masing,
4.    peserta didik menganalisis respons peserta didik lain,
5.    mengajak peserta didik melihat konsekuesi dan tiap tindakannya, dan
6.    meminta peserta didik untuk menentukan pilihannya sendiri.
b.   Model Pembentukan Rasional
Dalam kehidupannya, orang berpegang pada nilai-nilai sebagai standar bagi segala aktivitasnya. Nilai-nilai ini ada yang tersembunyi, dan ada pula yang dapat dinyatakan secara eksplisit. Nilai juga bersifat multidimensional, ada yang relatif dan ada yang absolut. Model pembentukan rasional (rational building model) bertujuan mengernbangkan kematangan pemikiran tentang nilai-nilai.
Langkah-langkah pembelajaran rasional:
1.   mengidentifikasi situasi dimana ada ketidakserasian atau penyimpangan tindakan,
2.   menghimpun informasi tambahan,
3.   menganalisis situasi dengan berpegang pada norma, prinsip atu ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam masyarakat,
4.   mencari alternatif tindakan dengan themikirkan akibat-akibatnya, dan
5. mengambil keputusan dengan berpegang pada. prinsip atau ketentuan-ketentuan: legal dalam masyarakat.
c.    Klarifikasi Nilai
Setiap orang memiliki sejumlah nilai, baik yang jelas atau terselubung, disadari atau tidak. Kiarifikasi nilai (value clarification model) merupakan pendekatan mengajar dengan menggunakan pertanyaan atau proses menilai (valuing process) dan membantu siswa menguai keterampilan menilai dalam bidang kehidupan yang kaya nilai. Penggunaan model ini bertujuan, agar para peserta didik menyadari nilai-nilai yang mereka miliki, memunculkan dan merefleksikannya sehingga para peserta didik memiliki keterampilan proses menilai.
Langkah-langkah pembelajaran klarifikasi nilai antara lain:
1. pemilihan: peserta didik mengadakan pemilihan tindakan secara bebas, dari sejumlah alternatif tindakan mempertimbangkan kebaikan dan akibat-akibatnya.
2.  menghargai pemilihan: peserta didik menghargai pilihannya serta memperkuat dan mempertegas pilihannya, dan
3. berbuat: peserta didik melakukan perbuatan yang berkaitan dengan pliihannya, mengulanginya pada hal lainnya.
d.   Pengembangan Moral Kognitif
Perkembangan moral manusia berlangsung melalui restrukturalisasi atau reorganisasi kognitif, berlangsung secara berangsur melalui tahap pra  konvensi, konvensi dan pasca konvensi. Model ini bertujuan membantu peserta didik mengembangkan kemampuan mempertimbangkan nilai moral secara kognitif.
Berikut ini adalah langkah-langkah pembelajaran moral kognitif antara lain:
1.    menghadapkan peserta didik pada suatu situasi yang mengandung dilema moral atau pertentangan nilai,
2.    peserta didik diminta memilih salah satu tindakan yang mengandung nilai moral tertentu,
3.    peserta didik diminta mendiskusikan/menganalisis kebaikan dan kejelekannya,
4.    peserta didik didorong untuk mencari tindakan-tindaka yang lebih baik, dan
5.    peserta didik menerapkan tindakan dalam segi lain.
e.    Model Nondirektif
Peserta didik memiliki potensi dan kemampuan untuk berkembang, sendiri. Perkembangan pribadi yang utuh berlangsung dalam suasana permisif dan kondusif. Guru hendaknya menghargai potensi  dan kemampuan peserta didik dan berperan sebagai fasilitator/konser dalam pengembangan kepribadian peserta didik Penggunaan model ini bertujuan membantu peserta didik mengaktualisasikan dirinya.
Langkah-langkah pembelajaran nondirekif antara lain:
1.   menciptakan sesuatu yang permisif melalui ekspresi bebas,
2. pengungkapan peserta didik mengemukakan perasaan, pemikiran dan masalah- masalah yang dihadapinya, guru menerima dan memberikan klarifikasi,
3. pengembangan pemahaman (insight), peserta didik mendiskusikan masalah, guru memberikan dorongan,
4. perencanaan dan penentuan keputusan, peserta didik merencanakan dan menentukan keputusan, guru memberikan klarifikasi, dan
5.   integrasi, peserta didik memperoleh pemahaman lebih luas dan mengembangkan
kegiatan-kegiatàn positif.

KESIMPULAN
Berdasakan pembahasan yang telah diuraikan, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan, sebagai berikut :
1.  Pentingnya pembelajaran civic education menekankan pada proses pendidikan secara utuh dan menyeluruh terhadap pembentukan karakter individu sebagai warga negara yang baik dan cerdas (smart and good citizen), selain itu melaksanakan program pendidikan yang secara programatik prosedural berupaya memanusiakan (humanizing) dan membudayakan (culturing) serta memberdayakan (empowering) manusia atau peserta didik (diri dan lingkungannya) menjadi warga negara yang berkeadaban dalam Negara Kebangsaan Pancasila.
2.  Watak kewarganegaraan (civic disposition) sebagai salah satu ranah amat menentukan keberhasilan warga negara dalam belajar. civic disposition merupakan salah satu komponen pendidikan kewarganegaraan yang diterjemahkan sebagai watak, sikap, atau karakter kewarganegaraan, dan komitmen yang diperlukan untuk memelihara serta memajukan kewarganegaraan maupun pemerintahan. Hal ini dapat dikembangkan secara optimal melalui pembelajaran civic education pada setiap jenjang pendidikan.
3. Pendekatan pembelajaran dalam pendidikan kewarganegaraan untuk mengembangkan civic disposition salah satu adalah pendekatan berbasis nilai (value based approach). Pembelajaran civic education untuk mengembangkan civic disposition melalui model pembelajaran berbasis nilai yang populer dan banyak digunakan, antara lain model konsiderasi, pembentukan rasional, klarifikasi nilai, pengembangan moral kognitif, nondirektif. Semua model pembelajaran ini sangat penting dan menjadi kunci utama dalam membentuk dan mengembangkan watak kewarganegaraan (civic disposition) agar menjadi warga negara yang baik dan cerdas (smart and good citizen).



DAFTAR PUSTAKA

Anderson, J. R. 2000. Learning and Memory. New York John Willey; Sons, Inc.

Branson, M.S. 1998. The Role of Civic Education, A Forthcoming Education Policy Task Force Position Paper from the Communitarian Network.

Branson, M.S., dkk. 1999. Belajar Civic Education dari Amerika. Yogyakarta: LKIS.

Budimansyah, D dan Suryadi, K. 2008. PKn dan Masyarakat Multikultural. Bandung: Program Studi PKn SPs UPI.

Chance, Paul. 1979. Learning and Behavior. California: Wardworth Publishing Company Inc.

Cogan, J.J. 1998. Citizenship for the 21st Century: An Internasional Perspective on Education. London: Cogan Page.

Dahar, Ratna Wilis. 1989. Teori-teori Belajar. Jakarta: Erlangga.

Djahiri, H. A., Kosasih. 2006. Esensi Pendidikan Nilai Moral dan PKn di Era Globalisasi, Dalam Pendidikan Nilai Moral, Dimensi PKn menyambut 70 tahun. Bandung: Laboratorium PKn FPIPS UPI.

Kalidjernih, FK. 2010. Kamus Studi Kewarganegaraan; Perspektif Sosiologikal dan Politikal. Bandung: Widya Aksara Press.

Keer, David. 1999. Citizenship Education: An Internasional Comparrison. England: nfer, QCA.

Quigley C.N., dkk. 1991. Civitas: A Framework for Civic Education. Calabasas: CCE.

Sanusi, A. 1998. Memberdayakan Masyarakat dalam Pelaksanaan 10 Pilar Demokrasi. Bandung: Panitia Semlok PPKn IKIP Bandung.    

Setiawan, Deny. 2012. Pendidikan Kewarganegaraan Berbasis Karakter Melalui Penerapan Pendekatan Pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif, dan Menyenangkan. Makalah disampaikan pada Seminar Internasional dan Konferensi Internasional Pendidikan Dasar dengan tema “Early-Childhood Education: Active, Creative, Joyful”. Medan: Universitas Negeri Medan 6-7 Juli 2012.

Soemantri, M. Numan. 2001. Mengagas Pembaharuan Pendidikan IPS. Bandung: Rosdakarya.

Wahab, A.A. 1999. Pengembangan Konsep dan Paradigma Pendidikan Kewarganegaraan Baru Indonesia Bagi Terbinanya Warga Negara Multidimensional. (Makalah). Bandung : CICED.

Wena, Made. 2009. Strategi Pembelajaran Inovatif Kontempore: Suatu Tinjauan Konseptual Operasional. Jakarta: Bumi Aksara.

Winarno. 2014. Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan: Isi, Strategi, dan Penilaian. Jakarta: Bumi Aksara.

Winataputra, U.S. dan Budimansyah, D. 2007. Civic Education, Konteks, Landasan, Bahan Ajar dan Kultur Kelas. Bandung: SPs PKn UPI.

Winataputra, U.S. dan Budimansyah, D. 2012. Pendidikan Kewarganegaraan Dalam Perspektif Internasional: Konteks, Teori, dan Profil Pembelajaran. Bandung: Widja Aksara Press.

Depdiknas. 2004. Kurikulum dan Hasil Belajar. Jakarta: Dikmenum.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Comments system

Disqus Shortname