Oleh :
Yakob Godlif Malatuny
(Mahasiswa Pendidikan Kewarganegaraan Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia)
Kalimat pendek yang mengandung makna sangat mendalam dari Presiden ke-4
RI ini sengaja saya pinjam demi mengobati rasa prihatin ketika saya
melihat seseorang secara riuh menolak kebenaran sebuah kitab suci atau
agama di sebuah program TV.
========================================================================
Perlu saya beritahu bahwa, sebagai warga negara yang baik dan cerdas
(smart and good citizen) harus belajar dengan benar dan matang terlebih
dahulu tentang ajaran agama yang telah dianut untuk menambah "kekuatan
isi kepala" sebelum memberikan komentar tentang kebenaran sebuah kitab
suci atau agama pada ruang publik.
Beberapa hal pokok mendasari rasa prihatin saya :
Pertama, orang lain akan merasa sakit hati, jika kita menyatakan salah
pada kitab suci atau agama yang telah diyakini sebagai sesuatu yang
benar. Adapun dalil yang dapat saya kemukakan bahwa: "Jika kita
berbicara dengan orang lain tentang kebenaran sebuah kitab suci atau
agama, maka janganlah sama-sama berdiri pada dunia yang subjektif
melainkan beralih ke dunia yang objektif".
Kedua, kita harus
memberikan penafsiran yang wajar, karena kitab suci dan agama merupakan
landasan iman/kepercayaan seseorang, sehingga ia niscaya akan
membenarkannya. Teori Kebenaran Religius menyatakan bahwa:
"Kebenaran tidak cukup hanya diukur dengan rasion dan kemauan individu.
Kebenaran bersifat objektif, universal, berlaku bagi seluruh umat
manusia, karena kebenaran ini secara antalogis dan oxiologis bersumber
dari Tuhan yang disampaikan melalui wahyu".
Ketiga, ruang publik
merupakan ranah yang mampu mencetuskan pembelajaran pada siapapun.
Melalui TV seseorang dapat mengetahui berbagai perkembangan serta dapat
mempengaruhi masyarakat melalui tayangan-tayangannya, sehingga
mengemukakan pendapat di sebuah program TV harus menghindari kalimat
yang men-judge seperti kitab suci atau agama lain adalah salah,
melainkan menggunakan pilihan kalimat yang besifat deskripsif, sehingga
pendapat kita dinilai orang lain lebih wajar.
Keempat, kita
tidak boleh men-judge suatu agama itu salah hanya karena tidak setuju
dengan dogma yang diajarkannya, tetapi kita dapat mengatakan suatu agama
itu salah karena ajaran moral yang diajarkannya bejat dan jahat.
Kelima, setiap orang memaknai ajaran dalam kitab suci atau agama itu
berbeda. Hakekat perbedaan adalah sudut pandang (point of view), maka
saat kita menyatakan bahwa kitab suci atau agama yang kita yakin benar
dan mempersalahkan yang lain, hanya akan menimbulkan polemik.
Keenam, kita tidak boleh menyalahkan kebenaran sebuah kitab suci atau agama lain demi membenarkan agama yang kita anut.
WARGA NEGARA YANG BAIK DAN CERDAS (SMART AND GOOD CITIZEN) AKAN BIJAK DALAM MEMBERIKAN KOMENTAR PADA RUANG PUBLIK.
(Netizen_Godlief, 2016).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar