Kamis, 08 November 2018

MIRISNYA DUNIA POLITIK DI ERA MILENIAL

Ida Fitriyanti
(Mahasiswa Pendidikan Kewarganegaraan Universitas Pattimura)
Sumber Gambar:
http://serikatnews.com/mendamba-politik-milenial/ 

Pada dasarnya setiap orang berhak memilih calon pemimpinnya, namun tidak etis jika saling menjatuhkan calon yang lain, negara Indonesia adalah negara demokrasi alangkah baiknya pemilihan itu harus berjalan sesuai dengan aturan yang telah ditelah ditetapkan.***


BERITA bohong tentang penganiayaan yang dilakukan Ratna Sarumpaet terbutu panjang sejumlah pengacara yang tergabung dalam komunitas pengacara indonesia projokowi atau kopi pojok melaporkan tujuh belas politikus nasional ke Bareskrim Mabes Polri Gambir Jakarta Pusat. Selain pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno, Wakil Ketua DPR Fadli Zon turut dilaporkan mereka dinilai ikut menyebarkan berita bohong yang dibuat Ratna Sarumpait.

Menurut pelapor berita yang bohong mengenai penganiayaan Ratna Sarumpaet yang disebar tersebut merugikan pasangan Jokowi-Ma’ruf Dunia politik Indonesia sekarang sedang hangat-hangatnya untuk dibahas apa lagi menjelang PEMILU presiden, yang akan dilakukan oleh dua calon, perseteruan pun mulai terjadi, persaingan secara halus mulai dilakukan, banyak pendukung dari masing-masing calon pun saling membuat gerakan sehingga meramaikan berbagai media sosial.

Namun ini semua tidak membuat kedua calon pemimmpin untuk berseteru, justru keduanya malah terlihat akur dan baik-baik saja, banyak pihak lain yang justru menambah bumbu-bumbu tentang kedua calon tersebut, kita bisa lihat tentang masalah yang terjadi mengenai ratna sarumpait, berbagai cara para netizen menyebar luaskan berita tersebut dan di kait-kaitkan tentang pilpres yg akan mendatang. Sehingga banyak yang beranggapan bahwa kedua calon tersebut saling berseteru.

Saya tertarik dengan pendapat dari Suryo Untoro belaiau mengatakan bahwa Pemilihan Umum (Pemilu) adalah suatu pemilihan yang dilakukan oleh warga negara Indonesia yang mempunyai hak pilih, untuk memilih wakil-wakilnya yang duduk dalam Badan Perwakilan Rakyat, yakni Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Tingkat I dan Tingkat II (DPRD I dan DPRD II).

Pada dasarnya setiap orang berhak memilih calon pemimpinnya, namun tidak etis jika saling menjatuhkan calon yang lain, negara Indonesia adalah negara demokrasi alangkah baiknya pemilihan itu harus berjalan sesuai dengan aturan yang telah ditelah ditetapkan. Demokrasi pada dasarnya adalah dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Demokrasi politik pada hakikatnya yaitu masyarakat memilih pemimpinya secara langsung sesuai kehendaknya. Hak setiap orang untuk menyuarakan pilihannya.

Pemilu pada awalnya ditujukan untuk memilih anggota lembaga perwakilan, yaitu DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota. Setelah amendemen keempat UUD 1945 pada 2002, pemilihan presiden dan wakil presiden (pilpres), yang semula dilakukan oleh MPR, disepakati untuk dilakukan langsung oleh rakyat dan dari rakyat sehingga pilpres pun dimasukkan ke dalam rangkaian pemilu.

Pilpres sebagai bagian dari pemilu diadakan pertama kali pada Pemilu 2004. Pada 2007, berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007, pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah (Pilkada) juga dimasukkan sebagai bagian dari rezim pemilu. Pada umumnya, istilah "pemilu" lebih sering merujuk kepada pemilihan anggota legislatif dan presiden yang diadakan setiap 5 tahun sekali. Pemilu harus dilakukan secara berkala, karena memiliki fungsi sebagai sarana pengawasan bagi rakyat terhadap wakilnya.

Pemilu adalah wadah untuk memilih pemimpin negara indonesia yang bisa membangun negara ini lebih sejahtera dan rakyatnya pun makmur dan damai, hentikan tindakan mengecam dan membahayakan diri untuk hal yang tidak etis, menjatuhkan lawan, biarkan masyarakat menentukan pilihannya siapapun pemimpin kita nanti dia harus menunjukan kemampuannya dalam membangun negri ini. Siapapun pemimpin kita tujuan nya adalah mencerdaskan kehidupan bangsa dan mensejahterakan rakyatnya.

Kita hidup di zaman global yang dimana perbuatanmu adalah kualitas pikiranmu, sebagai warga negara Indonesia yang baik harusnya tunjukan pikiran yang bermoral bukan merusak moral jadikan politik sebagai bahan perdamaian bukan perbedaan karna indonesia identik dengan paham perbedaan, berbeda-beda tetapi tetap satu.***

DEMOKRASI INDONESIA, APAKAH MEMANG SUDAH KEBABLASAN?


Nuraini Wali
(Mahasiswa Pendidikan Kewarganegaraan Universitas Pattimura)
Sumber Gambar:
https://adesiswoyo12.blogspot.com/2017/04/konsep-demokrasi-dan-pendidikan.html

Jika masyarakat selalu melakukan hal-hal yang tidak sesuai dengan  norma, aturan dan kaidah maka dengan sendirinya hancurlah bangsa Indonesia bukan hanya demokrasi kita yang akan hancur tapi negara tercinta kita juga akan hancur.***

DEMOKRASI kita kebablasan mungkin kerap terdengar dalam percakapan politik sehari-hari. Namun kali ini pernyataan itu punya bobot lebih besar ketika diucapkan oleh Presiden Joko Widodo, kepala pemerintahan sekaligus kepala negara Republik Indonesia. Pernyataan tersebut disampaikan oleh Jokowi dalam kesempatan pelantikan pengurus Partai Hanura di Sentul Jawa Barat, 21/02.

Dalam kesempatan itu, Jokowi, seperti dikutip berbagai media, menyebutkan bahwa praktik demokrasi kita sudah membuka peluang terjadinya artikulasi politik yang ekstrim seperti liberalisme, radikalisme, fundamentalisme, sektarianisme dan terorisme serta ajaran lain yang bertentangan dengan Pancasila. Bentuk nyata penyimpangan itu menurut Jokowi adalah politisasi SARA, yang menurutnya harus dihindari.

Lebih lanjut, Jokowi menyebutkan bahwa bertebarnya kebencian, kabar bohong, fitnah, saling memaki dan menghujat bisa menjurus kepada pecah belah bangsa. Jokowi menyebutkan hal ini adalah ujian yang membuka peluang bangsa ini semakin dewasa, matang dan tahan uji. Ia kemudian mengimbau agar perilaku seperti ini dihentikan, dan kuncinya adalah pada penegakan hukum. "Aparat hukum harus tegas dan tidak usah ragu-ragu," lanjut Presiden Jokowi.

Demokrasi Indonesia akan berjalan dengan semulanya ketika masyarakat tidak menyentuh sisi sensitif suatu agama yaitu  SARA, dan bangsa masyarakat Indonesia  harus menghilangkan budaya  kebencian, kabar bohong, fitnah, saling memaki dan menghujat bisa menjurus kepada pecah belah bangsa. Jika masyarakat selalu melakukan hal-hal yang tidak sesuai dengan  norma, aturan dan kaidah maka dengan sendirinya hancurlah bangsa Indonesia bukan hanya demokrasi kita yang akan hancur tapi negara tercinta kita juga akan hancur

Sedangkan menurut Anggota Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Mahfud MD menyebut bahwa demokrasi Indonesia sudah kebablasan. Hal ini di sampaikan karena Mahfud menilai demokrasi pada dewasa ini digunakan sebagai jalan untuk melakukan korupsi. Sekarang korupsi itu ditempuh melalui proses demokrasi sehingga satu yang salah itu disahkan oleh lembaga demokrasi sehingga menjadi benar.

Misalnya anda mau korupsi sesuatu, lewat DPR aja pesen pasal pesen undang-undang," kata Mahfud di kawasan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Kamis (6/9/2018).Dalam posisi itu, lanjut Mahfud, korupsi bisa dilakukan. Karena ketika ingin diusut hal itu, para koruptor tidak bisa disalahkan, karena sudah memesan lebih dulu UU pada DPR. "Ketika mau ditangani secara hukum, ini ada undang-undangnya, Sudah disetujui DPR dan DPD itu pun kemudian jual beli ini beli kan, nah itu yg dimaksud demokrasi kebablasan," jelasnya.

Mantan Ketua MK itu mengungkapkan, dari salah satu hasil penelitian di Australia, bahwa jika demokrasi itu maju, maka korupsi itu akan bisa dikurangi atau kalau demokrasi semakin tinggi semakin habis korupsi. "Tapi hasil penelitian menyebutkan di Indonesia semakin demokrasi semakin banyak korupsinya, berbeda dengan teori yang berlaku, dalam literatur," ujarnya.

Di Indonesia jangankan makanan maupun uang yang bisa dilelang, demokrasi pun bisa dilelang dengan seenaknya. Bagaimana negara kita mau maju kalau pengurus-pengurusnya pun tidak lihai dalam mengatur negara tercinta kita. Memakan uang negara tanpa adanya rasa bersalah, demokrasi kita memang sudah kebablasan.

Kebablasannya demokrasi kita membuat menderita  rakyat kecil kita yang mengharapkan keadilan dari bangsanya untuk membangun literatur agar kehidupan makin layak, namun harapan-harapan itu hanya khayalan saja, bagaimana mau terwujud literaturnya kalau banyaknya korupsi, uang yang akan dipakai buat pembangun untuk kesejahteraan berasama namun uang itu dipakai sendiri untuk kesejahteraannya sendiri.

Demokrasi kita akan lancar, akan berjalan dengan baik jikalau kita bebas dari  isu SARA, dan korupsi. Majunya suatu Negara jika masyarakatnya juga sejahtera dalam arti bebas dari segala kejahatan dan mendapat keadilan yang merata.***

DEKLARASI 2019 GANTI PRESIDEN BUKAN KAMPANYE HITAM

Sariyani
(Mahasiswa Pendidikan Kewarganegaraan Universitas Pattimura)
Sumber Gambar :
https://tirto.id/alasan-di-balik-larangan-deklarasi-2019gantipresiden-di-bandung-cQpa

Mereka yang menghalalkan segala cara dan mengingkari nilai kemanusiaan dengan menyebarkan permusuhan, kebencian dan perpecahan, hendaknya tidak dipilih.***

DEKLARASI yang sedang marak dan berkicau luas di Surabaya dan beberapa daerah di Indonesia di anggap menjadi bentuk ketidakpuasan akan kinerja Jokowi dan dukungan kepada salah satu pasangan calon. Namun gerakan tersebut juga bukan di lakukan oleh tim kampanye pasangan calon. Deklarasi tersebut mendapat kecaman keras dari pendukung Jokowi. Deklarasi tersebut berbentuk kecaman-kecaman keras di media sosial bahkan muncul adanya kaos-kaos yang bertuliskan “2019 ganti presiden”.

Deklarasi tersebut bukan merupakan ranah hukum bawaslu, ketua Bawaslu Abhan pun menyebut belum ada aturan yang dilanggar dari gerakan itu. Sebab, sejauh ini belum ada aturan khusus mengenai kampanye Pilpres 2019. sehingga  tagar tersebut menjadi ranah hukum Kepolisian karena berhubungan dengan ranah keramaian. 

Namun yang mencengangkan dan di apresisasi banyak pihak  yaitu  tanggapan santai dari pak Jokowi sendiri yang sekarang menajabat sebagai Presiden RI. Beliau mengatakan masa dengan kaos bisa ganti presiden, menurut saya itu adalah tanggapan yang sangat rileks, saya rasa itu adalah tanggapan yang sangat bagus karena gerakan ganti presiden itu adalah gerakan yang normal dalam demokrasi bukan sebuah kejahatan.

Sekarang ini, negara demokrasi bebas berkumpul, bebas berpendapat, bebas berserikat tetapi sekali lagi ada aturannya. Jangan sampai kita menabrak keamanan, menabrak ketertiban sosial, itu juga harus kita hargai. Saya bersependapat dengan Hasto Kristiyanto (Wakil sekretaris Jendral PDIP), bahwa tahun politik 2018 menjadi ujian apakah demokrasi Indonesia mampu berdiri kokoh pada pemahaman nilai kemanusiaan yang menyatu dengan nilai ketuhanan, kebangsaan, musyawarah mufakat dan perjuangan menegakkan keadilan sosial. Sebab demokrasi dalam pemilu hanyalah alat. 

Meskipun terjadi persaingan, bahkan kontestasi kekuasaan untuk memenangkan Pemilu, namun watak perikemanusiaan dan perikeadilan tetap menjadi tolok ukur utama kualitas demokrasi di Indonesia.  Saya berharap, dalam kontestasi Pilkada Serentak mendatang dapat mencari pemimpin-pemimpin yang visioner dan mampu membawa perubahan untuk perikehidupan yang lebih baik.

Mereka yang menghalalkan segala cara dan mengingkari nilai kemanusiaan dengan menyebarkan permusuhan, kebencian dan perpecahan, hendaknya tidak dipilih. Sudah menjadi komitmen rakyat Indonesia untuk melalui tahun politik dengan damai dan aman. Jangan pernah gunakan kekuasaan untuk menang dengan segala cara. Indonesia adalah bangsa yang bermartabat dan berkeadaban Pancasila.***

MENGAPA DEMOKRASI BANYAK MELAHIRKAN KORUPSI?


Cornelia Sapulette
(Mahasiswa Pendidikan Kewarganegaraan Universitas Pattimura)
Sumber Gambar :
https://www.mediaoposisi.com/2018/09/korupsi-buah-sistem-demokrasi.html

Jangan-jangan persoalan korupsi di Indonesia berpangkal pada gemuknya pemerintahan ditambah political ignorance para pemilih.***

HAMPIR setiap minggu kita mendapatkan berita tentang penangkapan kepala daerah atau pejabat pemerintah oleh KPK. Dengan sumber daya yang terbatas saja, KPK begitu sering membongkar kasus korupsi, apalagi jika mereka memiliki sumber daya lebih besar. Mungkin setiap hari kita akan disuguhkan berita penangkapan para koruptor.

Begitu seringnya KPK menangkapi para pejabat yang korup, Ketua MPR, Zulkifli Hasan, sampai khawatir jika KPK meneruskan operasinya menggeledah kantor atau rumah para pejabat, suatu saat nanti tidak akan ada lagi orang yang mengurus negeri ini karena semuanya telah tertangkap KPK.

Pertanyaannya, apakah banyaknya kasus korupsi itu karena ada KPK? Artinya, kalau tidak ada KPK yang beroperasi, negeri kita aman-aman saja, tidak ada korupsi? Ini ialah pertanyaan keliru dari logika yang sesat. Ia sama dengan pertanyaan ini, mengapa banyak orang sakit gigi? karena banyak dokter dan klinik gigi. Jika tak ada dokter gigi, tak akan ada orang yang sakit gigi.

Menarik mencermati bagaimana masyarakat kita menyikapi korupsi. Pada satu sisi, ada orang-orang yang menganggap korupsi suatu hal yang biasa dan bukan sebuah kejahatan besar. Bahkan ada yang menganggap bahwa korupsi untuk tujuan tertentu, misalnya demi syiar agama (korupsi syari atau suap syari) dibolehkan, seperti belum lama ini disuarakan seorang ustaz.

Alih-alih mengecam, agama digunakan melegitimasi tindakan kejahatan. Namun, sesungguhnya, ini bukan pertama kali agama dipakai untuk melakukan kejahatan. Sudah seringkali agama dipakai untuk menyakiti orang, menipu, menyerang, merampas, membunuh, hingga meneror. Agama ialah alat paling efektif untuk menutupi kejahatan.

Pada sisi lain, ada masyarakat yang betul-betul muak melihat maraknya korupsi di negeri kita. Mereka berharap KPK terus konsisten melakukan operasinya. Mereka tahu bahwa pemberantasan korupsi tidak mudah. KPK bukan hanya berhadapan dengan para koruptor, tapi juga harus berhadapan dengan sebagian masyarakat yang tak mengerti betapa jahatnya korupsi.

Jangan-jangan persoalan korupsi di Indonesia berpangkal pada gemuknya pemerintahan ditambah political ignorance para pemilih. Setiap kepala daerah yang terpilih merasa berhutang pada partai yang mendukungnya. Ketika berkuasa, dia sekuat tenaga akan “membayar utang” kepada para pendukungnya, dengan memberi jabatan atau memberi insentif lain, yang berpotensi mengandung korupsi.***

Rabu, 07 November 2018

DEMOKRASI DALAM FENOMENA PILKADA


Krisye H. Elias
(Mahasiswa Pendidikan Kewarganegaraan Universitas Pattimura)
Sumber Gambar :
https://www.herdi.web.id/pilkada-langsung-adalah-keniscayaan-demokrasi/

Dalam konteks kehidupan politik demokrasi di Indonesia, pemilu dan pemilihan kepala daerah (pilkada) langsung merupakan salah satu sarana untuk mewujudkan kehidupan politik yang demokratis.***

DEMOKRASI adalah sebuah kata yang begitu sering diucapkan. Namun, makin banyak ia dibahas makin terasa betapa sulit mencari contoh tentang negara yang memenuhi tatanan demokrasi secara sempurna. Di Indonesia, pencarian terhadap sosok demokrasi pun terus digelar, baik pada aras praktik sistem politik maupun kajian akademik. Dalam aras akademik, sejumlah makalah dikupas habis-habisan dalam berbagai seminar.

Sementara itu, sejumlah buku, artikel pidato para pakar dan politisi, telah pula diterbitkan dalam jurnal ilmiah, koran dan majalah. Tetapi, berbeda dengan di negara-negara berkembang lainnya, semaraknya perbincangan tentang sistem demokrasi di Indonesia bukan karena bangsa atau pemerintahan di negeri ini tidak mengenal sistem demokrasi.

Justru sebaliknya, bangsa Indonesia pada aras implementasi sistem politik telah banyak memahami varian-varian demokrasi di dunia. Beberapa diantaranya bahkan telah diujicobakan di negeri ini demokrasi liberal, demokrasi parlementer, dan demokrasi Pancasila. Namun berbagai varian demokrasi ini gagal memberikan tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara yang benar-benar berbasis pada nilai-nilai dan kaidah demokrasi dalam arti yang sebenar-benarnya.

Dalam konteks kehidupan politik demokrasi di Indonesia, pemilu dan pemilihan kepala daerah (pilkada) langsung merupakan salah satu sarana untuk mewujudkan kehidupan politik yang demokratis. Dalam setiap periode menjelang pemilu dan pilkada situasi dan kondisi politik seringkali diwarnai dengan berbagai persaingan dan konflik antar kekuatan politik.

Yang menjadi persoalan adalah bagaimana kita dapat mengelola dan mengendalikan persaingan serta kemungkinan konflik yang akan terjadi antar kekuatan politik yang ada sehingga tidak mencuatkan situasi anarkhisme dan kekerasan politik? Bisakah kita berharap pada penegakan aturan main pemilu dan pilkada sebagai tonggak sejarah pengembangan proses politik menuju transisi demokrasi? Hal yang perlu diamati juga dalam kondisi ini adalah kemungkinan terkalahkannya gerakan reformasi oleh kekuatan-kekuatan bersenjata dan kekuatan penguasa sumber daya produktif masyarakat.

Berdasarkan hal tersebut muncul pertanyaan tambahan yakni seberapa besar peluang yang kita miliki untuk menggunakan pemilu dan pilkada sebagai wahana untuk mencegah kemungkinan reformasi berjalan mundur menuju kembalinya otoritarianisme sistem politik kita dalam bentuknya yang baru? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut kita perlu memahami dengan baik kompetisi dan konflik politik sejak runtuhnya rezim Soeharto.

Pemahaman itu pada gilirannya paling sedikit menuntut pemahaman lebih khusus terhadap tiga hal yang sangat penting, yaitu: (1) Dinamika proses politik yang terjadi menyusul jatuhnya Soeharto; (2) Konfigurasi konflik politik di antara berbagai kekuatan politik yang dihasilkan oleh praktik politik Orba, dan (3) Berkembangnya kebudayaan masyarakat sebagai hasil aplikasi ideologi pembangunanisme yang melahirkan sikap apolitik, permisif, ekspresif dan hedonistic.

Setelah kita melewati Pemilu 1999 yang oleh sebagian besar masyarakat, tidak saja nasional tetapi juga internasional, diakui sebagai pemilu yang paling demokratis di Indonesia, di kalangan sebagian dari kita seakan berkembang harapan baru bahwa di negeri kita ini akan segera terbangun konsolidasi demokrasi, yang kemudian disusul dengan sistem politik yang benar-benar demokratis.

Kebenaran Yang terjadi adalah bukannya konsolidasi demokrasi tetapi justru perkembangan ke arah apa yang disebut frozen democracy yang antara lain ditandai dengan berkembangnya konflik etnis, maraknya kekerasan politik secara kolektif, dan lokalitas politik yang berlebihan. Dalam kondisi masa transisi yang demikian muncul keyakinan publik bahwa satu kesalahan yang sangat serius telah terjadi di dalam pemerintahan dan masyarakat kita; bahwa semakin banyak elit dan tokoh politik bertindak hanya bagi kepentingan pribadi mereka sendiri, bukan bagi kepentingan rakyat yang mereka wakili.

Yang terjadi semakin transparan di hadapan mata publik bahwa "seni memerintah" (the art of governing) semakin berkembang menjadi "seni untuk menipu" (the art of deceiving) rakyat di dalam skala yang makin besar. Inilah situasi dan realitas politik yang tengah kita hadapi saat ini, realitas yang bukan tidak mungkin akan mendorong terciptanya alienasi politik masyarakat dan kehidupan politik yang liar, sangat subur bagi persemaian anarkhi dan kekerasan politik apabila para elit dan tokoh politik gagal untuk mengelola itu semua.

POLITIK DINASTI MENGEBIRI DEMOKRASI

Susi S. Warahuwena
(Mahasiswa Pendidikan Kewarganegaraan Universitas Pattimura)
 
Sumber Gambar :
https://www.dictio.id/t/apa-itu-politik-dinasti/11050

Politik dinasti jelas bertantangan dengan budaya demokrasi yang sedang tumbuh di negeri kita dan akan mengebiri demokrasi kita. Sebab, politik dinasti pasti mengabaikan kopersi dan rekam jejak.***

POLITIK dinasti belakang ini terus ini menjadi perbincangan hangat di kalangan masyarakat di jawa barat dan terkhususnya kab cianjur. Selain di dasari oleh lahirnya regulasi di pilkada yang memberikan batasan kepada anak, saudara dan istri kepala daerah untuk berkompetisi di pilkada. Proses gugatan para putra dan keluarga kepala daerah terkait pasal dinasti yang saat masih berproses di Mahkamah Konstitusi, terus menjadi pembahasaan soal dinasti politik. Selalu menarik untuk menjadi pembahasaan. Praktik politik dinasti sepanjang era reformasi benar- benar menggejala. Untuk kali kesekian publik disuguhi praktik dinasti.

Politik dinasti dapat diartikan sebagai sebuah kekuasaan politik. Yang dijelaskan oleh sekelompok orang yang masih terkait dalam hubungan keluarga. Dinasti politik lebih indentik dengan kerajaan. Sebab kekuasaan akan di wariskan secara turun temurun dari ayah kepada anak. Agar kekuasaan akan tetap berada di lingkaran keluarga. Apa yang terjadi seandainya negara atau daerah menggunakan politik dinasti?

Politik kekerabatan itu sebagai gejala neoptrimonialistik. Benihnya sudah berakar secara tradisional. Yakni berupa sistem patrimonial, yang mengutamakan regenerasi politik beradasarkan ikatan genealogis, ketimbang merit system, dalam penimbangan prestasi. Menurutnya, kini neopatrimonial, karna ada unsur patrimonial. Lama, tapi dengan strategi baru " dulu pewarisan di tunjukan langsung, sekarang lewat jalur prosedural." Anak atau para keluarga elite masuk institusi yang di siapkan, yaitu partai politik.

Oleh karena itu, patrimonialistik ini terselubung oleh jalur prosedural. Dinasti politik harus dilarang dengan tegas, karena jika masih maraknya praktik ini di berbagai pilkada dan pemilu legislatif, maka proses rekrutmen dan kaderisasi di partai politik tidak berjalan atau macet jika kuasa para dinasti di sejumlah daerah bertambah besar, maka kian marak korupsi sumber daya alamdan lingkungan. Sumber-sumber pendapatan daerah serta pengyalah gunaan APBD dan APBN.

Hal-hal yang mengakibatkan munculnya dinasti politik seperti adanya keinginan dalam diri atau keluarga untu memegang kekuasaan, adanya kelompok terorganisir karena kesepakatan dan kebersamaan dalam kelompok sehingga terbentuklah penguasa kelompik dan pengikut kelompok, adanya kolaborasi antara penguasa dan pengusaha untuk mengabungkan kekuatan modal dan kekuatan politisi, dan adanya pembagian tugas antara kekuasaan politik dengan kekuasaan modal sehingga mengakibatkan KORUPSI akibat dari politik dinasti ini maka banyak pemimpin lokal menjadi politisi yang mempunyai pengaruh.sehingga semua keluarga termaksud anak dan istri berbondong-bondong untuk dapat terlibat dalam sistem pemerintahan

Dengan politik dinasti membuat orang yang tidak kompoten memiliki kekuasan. Tapi hal sebaliknya pun bisa terjadi, demokrasi menjadikab warga negara berpartisipasi baik secara langsung atau melalui perwakilan dalam perumusan, pengembangan, dan pembuatan hukum. Demokrasi mencakup kondisi sosial, ekonomi, dan budaya yang memungkinkan adanya praktik kebebasan praktik kebebasan politik secara bebas dan setara.

Kata ini berasal dari bahasa Yunani. Demokratia" kekuasaan rakyat" yang terbentuk dari demos" rakyat" dan kratos " kekuatan " atau " kekuasaan pada abat ke 5 SM untuk menyebut sistem politik negara atau kota Yunani Aristocratie " kekuasaan elite". Secara teoritis, ke dua defenisi tersebut saling bertantangan, namun kenyataan sudah tidak jelas lagi. Pada umumnya pengertian demokrasi adalah suatu format pemerintahan yang mana masih warga negara memiliki hak yang seimbang dan setara terkait penentuan dan pemelihan sebuah keputusan yang nantinya akang membawa dampak pada kehidupan warga negara.

Pengertian demokrasi pula dapat di maknai sebagai bentuk kekuasaan paling tinggi yang ada di tanggan rakyat. Mengenai demokrasi warga negara boleh ikut mengambil bagian dengan langsung maupun pula lewat perwakilan terkait melaksanakan perumusan, perkembanggan dan penyeluran hukum.

Maka dari itu dinasti politik bukanlah sistem yang tepat untuk di terapkan di negara kita indonesia, sebab negara indonesia bukanlah negara dengan sistem pemerintahan menarik yang memilih pemimpin berdasarkan garis keturunan. Dinasti politik berpitesi kuat menyuburkan budaya koroptif. Tapi pencegahan dinasti politik dengan membuat aturan hukum yang dibuat oleh Mahkama konstitusi, juga dengan kerja kerja politikul menegah suburnya dinasti tersebut.

Politik dinasti jelas bertantangan dengan budaya demokrasi yang sedang tumbuh di negeri kita dan akan mengebiri demokrasi kita. Sebab, politik dinasti pasti mengabaikan kopersi dan rekan jejak. Bahkan bolitik dinasti bisa mengebiri peran masyarakat dalam menentukan pimpinan yang menyedihkan, politik dinasti sengaja dibingkai dalam konteks demokrasi. dalam alam demokrasi prosedural sekarang masyarakat diberi peran.

Tapi jika diamati secara saksama jelas sekali masyarakat tidak memiliki kebebasan menentukan pilihan. Hanya semua calon anggota legislatif dan calom kepala daerah, dan calon pejabat publik. Yang dijadikan telah di skenario pemanangnya harus orang orang yang memiliki hubanggan kekerabatan elite penguasa. jika tidak memiliki hubungan kekeluargaan, calon yang dimenangkan atau mereka yang memberikan uang sebagai mahar jabatan. dan lingkungan, sumber sumber pendapatan daerah serta penyalagunaan dalam perspektif Ibn khaldun (1332-1406), politik dinasti dinamakan ashabiya (group teeeling). Ibn khaldun dalam the muguddimah an interoduction tohistory (1998) menyebut politik asbabiyah sebagai gejala yang berikat alamaia. sebab, umumnya penguasa inggin merokrut orang yang memiliki hubunggan kekerabatan sebagai bawahannya.

Namanya Ibn khaldun mengigatkan bahaya politik ashabiaya. dengan tugas ibn khaldun menyatakan bawah politik ashabiya pada saatnya bisa mengakibatkan kehancuran negara dalam konteks budaya morern, pratik politik ashabiya juga menjadi persialan serius, apabila lagi jika politik ashabiya dijalankan dalam suasana demokrasi yang sedang tumbuh dan berkembang. karena pratik politik dinasti sangat berbahaya pemerinta yang tegas.

Model itu membuat regulasi sejahtinya sudah ada. misalnya, larangan terhadap seseorang menjadi kepala daerah lebih dari dua periode. sayang, peraturan itu disiasati beberapa kepala daerah yang tidak boleh mencalonkan diri karna sudah menjadi dua periode. caranya, mencalonkan orang orang yang memiliki hubunggan kekerabatan dengan dirinya.

Cara lain mencalonkan orang orang yang bisa menjadi keamanan dirinya dari kasus hukum setelah tidak lagi berkuasa bermulah dari budaya politik kekerabatan itulah, praktik politik dinasti semakin mengurita, ideal batasan maksimal dua periode juga berlaku untuk jabatan di legislatif. Hal tersebut penting supaya publik tidak disuguhi calek 4L (lu lagi, lu lagi).

Karena itu,  pemerintah harus merancang regulasi tentang bahaya tidaknya kerabat dekat maju sebagai pejabat eksekutif dan legislatif, peraturan itu penting untuk meminimalkan oleh budaya politik dinasti.***

MAKNA KEJUJURAN DALAM DEMOKRASI

Margaretha Letwory
(Mahasiswa Pendidikan Kewarganegaraan Universitas Pattimura)
Sumber Gambar :
http://www.yuksinau.id/pengertian-demokrasi/

Mari kita duduk berpikir, berdialog, dan mengambil keputusan bersama untuk menuju kepada satu tujuan bersama yaitu terwujudnya masyarakat yang adil dan makmur yang menjadi tujuan dan cita-cita Negara Kesatuan Republik Indonesia sesuai Pancasila dan UUD 1945
.***

DEMOKRASI di Indonesia sudah berjalan cukup baik sesuai dengan arti demokrasi itu sendiri yaitu kebebsan dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat. Walaupun sering membungungkan bagi warga awam karena sering terdapat kakurangan-kekurangan tetapi sudah bisa diminimalisir tetapi masih tetap saja ada kekurang-kekurangan tcontohnya untuk menentukan pemilih banyak yang tidak terdaftar dan cara untuk mengatasi masalah seperti ini adalah degan cara memperbaiki tahap pembelajaran dan sistemnya agar demokrasi di Indonesia dapat berjalan dengan baik sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi yang sudah ada.

Pelaksanaan demokrasi di Indonesia perlu diperbaiki dan ditingkatkan lagi pelaksanaannya agar keadilan dapat ditegakan dan rakyat tidak kerugian. Kenyataan yang terjadi di demokrasi belum berjalan dengan baik dan lancar karena sering terjadi pelangaran-pelangaran misalnya adanya laporan kecurangan yang dilakukan partai politik tertentu saat penmungutan, perhitungan atau perhitungan suara dalam suatu pemilihan banyak warga di Indonesia tidak menyalurkan hak suara dalam suatu pemilihan, banyak warga di Indonesia tidak menyalurkan hak suara, masih terjadi politik uang dan lain-lain sehingga masyarakat tidak memilih dengan hati nurani tanpa paksaan.

Kalau demokrasi memilih arti yang rakyat berkuasa seperti demokrasi bermakna sebagai penyaluran aspirasi rakyat untuk berperan serta dalam menentukan pilihan. Berkaitan dengan tahun politik saat ini sudah mulai bermunculan strategi-strategi politik yang berupaya untuk menarik simpatik masyarakat degan cara dan starategi sendiri-sendiri smpai degan cara-cara yang sebenarnya tidak boleh dilakukan pun karena terpaksa serumpaet yang dapat merusak tatanan demokrasi Tanah Air, sudah tahu kalau itu salah karena jelas-jelas itu berita hoaks, mengapa ada yang mau membelanya?

Apa yang dialkukan oleh Ratna Sarumpaet nyata-nyata meresahkan masyarakat karena dapat memecah-bela persatuan dan kesatuan yang ada, terlebih dalam situasi tahun politik menjelang pemilihan presiden dan wakil presiden saat ini seperti diketahui sebelumya ratna diduga mengalami penganiyaan fisik oleh orang yang tak dikenal lewat foto yang beredar, Ratna Sarumpaet mengalami luka para diseluru wajah.

Selain itu ratna mendapat ancaman dari si-penganiaya, namun belakangan muncul kabar hal tersebut hanya berita hoax belaka karena ratna diduga melakukan operasi pelastik dan ratna sendirisudah melakukan pengakuan kepada publik bahwa memamang iya melakukan operasi plastik bina estetika pada tangal 21 September 2018.

Ratna adalah tim sukses dari salah satu kandidat calon Presiden dan Wapres, sihingga membuat para elit politik maupun partai-partai politik mulai menfsirkan situasi yang terjadi menurut pikiran-pikiran mereka dan yang terjadi adalah saling menudu, mengadu argumentasi, melapor kepada pihak yang berwajib dan berujung pada ratna ditahan oleh pihak yang berwajib.

Politik demokrasi ala Ratna betul-betul menurunkan derajat demokrasi itu sendiri yang tidak menghargai akal sehatdan kejujuran sehingga berita hoaks ini dapat merugikan banyak pihak kasus Ratna Sarumpaet akan menjadi pelajaran bagi kita semua agar lebih berhati-hati dalam berfikir, berhati-hati dalam bertindak untuk menyelesaikan kasus seperti ini maka kita harus dapat melakukan melalui demokrasi.

Karena negara kita adalah negara demokrasi dimana segala permasalahan dalam persatuan perlu diselesaikan secara demokrasi karena demokrasi adalah dari kita oleh kita dan untuk kita untuk kasus Ratna Sarumpaet mari kita duduk bersama berfikir bersama berdialok bersama dan mengambil keputusan bersama untuk menuju kepada satu tujuan bersama yaitu terwujudnya masyarakat yang adil dan makmur yang menjadi tujuan dan cita-cita Negara Kesatuan Republik Indonesia sesuai Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.


Mari kita berusaha untuk memperbaiki sistem demokrasi yang berlaku di Indonesia, harus ada usaha dari warga negara, adanya niat untuk memahami nila-nilai demokrasi, mau mempraktekkan dalam kehidupan sehari-hari dengan jujur, mempunyai rasa takut kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, dan ketika kita sadar diri akan pentingnya arti demokrasi ini maka kita akan terhindar dari kehancuran degan demikian maka kesejahteraan yang dicita-citakan pasti akan tercapai.***

DEMOKRASI YANG CACAT

Sarah Wulan Safitri Muin
(Mahasiswa Pendidikan Kewarganegaraan Universitas Pattimura)
 Sumber Gambar :
http://blogpengertian.com/pengertian-demokrasi/

Sosial media yang berkembang saat inipun tidak menjadikan rakyat menyalurkan aspirasi. Sosial media hanya sebatas mengawasi roda pemerintahan. Selain itu, hanya menambahkan permasalahan demokrasi selanjutnya mengenai sistem pemilu yang sempurna untuk mengakomodir aspirasi rakyat.***

DUA puluh tahun setelah kejatuhan Presiden Soeharto pada tahun 1998, Indonesia mengalami apa yag disebut jaman reformasi, dimana negara menjalani sistem demokrasi. Namun di tengah suasana demokrasi dan keadaan yang lebih baik dari masa di bawah kepemimpinan Soehartao selama lebih dari 30 tahun, yang ada sekarang adalah demokrasi  yang cacat. Oleh karena itu, generasi muda Indonesia diminta untuk tidak berpuas diri melihat keadaan dan harus berusaha diwujudkan Indonesia yang berkeadilan, sejahtra tnpa diskriminasi dan juga menghilangkan sifat intoleran.

Sejak kemerdekaan di proklamasikan, Indonesia telah menganut sistem demokrasi. Namun sistem ini sudah cacat sejak lahir hal itu diungkap J. Kristiadi, Peneliti Senior Center for strategic of internasional studies (CSIS) Saat berbicara dalam diskusi “potensi kekerasan dan kecurangan dalam pemilu 2014” yang di gelar institute demokrasi di Café, Grato, Cikini, Jakarta pusat.

Kristiadi menjelaskan, cacatnya sistem demokrasi di Indonesia karena tidak ada jaminan orang-orang yang dipilih dapat mewakili ratusan juta rakyat untuk menjalankan roda pemerintahan. Sosial media yang berkembang saat inipun tidak menjadikan rakyat menyalurkan aspiresnya. Sosial media menurut kristiadi hanya sebatas mengawasi roda pemerintahan. Selain itu dia menambahkan permasalahan demokrasi selanjutnya mengenai sistem pemilu yang sempurna untuk mengakomodir aspirasi rakyat.

Bagaimana saat ini masih rumitnya mewakli wakil rakyat karena belum ada sistem pemilu yang sempurna? menurut Gunawan, UUD 1945 tidak melarang kerabat untuk mencalonkan diri dalam pilkada atau pemilu sebab setiap orang memiliki hak yang sama untuk memilih dan dipilih. Namun disebutkan pula pembatasan untuk menjamin hak dan kebebasan orang lain berdasarkan keadilan dan norma-norma lain seperti tercantum dalam pasal 28 (2).

Di Amerika maupun Inggris dan negara barat lainnya demokrasi telah menjadi objek telaah. Demokrasi sering kali dikatakan sedang meluncur menuju sistem oligarki (bentuk pemerintahan yang kekuasaan politiknya di pegang oleh segelintir kelompok elit kecil). Bahkan, ada yang menyatakan bahwa demokrasi sedang bermetamorfosis menjadi otokrasi (suatu bentuk pemerintahan yang kekuasaan politiknya di pegang oleh satu orang).

Uang dan kekuatannya sering menjadikan proses pemilihan umum menjadi tidak fair. Afiliasi kekuatan militer dan industri menjadi sangat digdaya, terlebih setelah mengadopsi semboyan “perang melawan terorisme”. Lobi dan korupsi mencmari berbagai proses pemerintahan singkat kata,demokrasi tengah berada pada kondisi yang tidak baik alias sakit (Simon Jenkins, mantan editor The Times Guardian, 8 april 2010).

Analisa Simon Jenkins diatas memberikan gambaran jelas tentang cacat demokrasi. Selain prosesnya tidak fair, mekanisme dan hasilnyapun tak jarang menimbulkan petaka. Namun sayangnya kehebatan media dan “marketing” demokrasi yang dimiliki tangan-tangan tersembunyi, membuat demorasi seolah batu karang gagah yang tak tergoyahkan.

Disisi lain, pelaku-pelaku politik yang sudah jauh tenggelam dalam dahaga duniawi dan kekuasaan semakin anyak bermunculan. Individu hasil didikan tangan-tangan inilah yang akan dijadikan boneka dana tau wayang. Inilah cacat bawaan dan sisi gelap demokrasi yang sudah banyak memakankorban. Pelan tapi pasti, dunia saat ini sedang berjalan kearah proses destruktif massal. Satu per satu negara teracuni. Satu persatu pula negara-negara tersebut dikuasai secara kasat mata melalui tangan-tangan tersembunyi lewat mekanisme pemilu dalam sistem demokrasi.

Mari kita benahi sistem yang sudah terlanur rusak ini. Tidak ada kata terlambat. Sesungguhnya pertolongan TUHAN amat dekat. Lakukan apa yang bisa kita lakukan. Bukan saatnya lagi berbantah dalam urusan yang tidak esensial. Toleransi dan kerjasama sambil bersinergi.***

MEREKA TERLIHAT SAMA KETIKA KORUPSI DIANUT DALAM POLITIK

Fadila Parman
(Mahasiswa Pendidikan Kewarganegaraan Universitas Pattimura)
Sumber Gambar :
https://bitungnews.com/2015/07/25/pilkada-dan-korupsi-politik/
Gambaran dalam suatu negara dapat terlihat dari permainan politik yang terjadi, sebab politik merupakan proses pembentukan dan pembagian kekuasaan dalam masyarakat yang berwujud pembuatan keputusan, khususnya dalam negara.
LANTAS bagaimana perpolitikan yang terjadi di Indonesia saat ini, desas desus yang terjadi saat ini dalam negara Indonesia sangat miris karena membuat banyak masyarakat menjadi sulit dalam membedakan mana orang yang baik dan mana orang yang jahat.

Kekuasaan yang diperoleh dalam negara melalui politik, membuat manusia seakan racuh untuk mencapai kepentingan, hal yang racuh itu tidak menutup kemungkinan membuat orang masuk dalam lingkaran hitam. Sebab untuk mempertahankan kekuasaan atau kedudukan yang telah di dapat kerap kali mereka memainkan sebuah drama Turki, tidak lain drama yang mereka mainkan yaitu berisikan permainan suap menyuap atau korupsi. Sehingga orang dengan mudah berfikir bahwa cara yang paling mudah dalam memperoleh kekayaan adalah melalui dunia politik.

Korupsi merupakan suatu permasalahan yang tiada habisnya apa lagi di negara Indonesia ini, sehingga membuat Indonesia masuk dalam peringkat 90 dari 176 negara dengan skor 37 terkorup Berdasarkan data indeks persepsi korupsi 2016 yang dilansir Transparency International. Hal ini menandakan bahwa negara Indonesia akan sulit berubah untuk menjadi negara yang maju,karena Indonesia dikuasai oleh para pemegang kekuasaan koruptor. Permainan yang mereka mainkan itu membuat mereka terlihat lihai dalam pandangan masyarakat biasa yang seakan fakum dalam hal kenegaraan.

Dalam suatu wacana yang bersumber dari belapendidikan.com dia menuturkan bahwa’’ hubungan politik dan korupsi merupakan sahabat yang bisa berubah menjadi hubungan dan yang bisa berubah menjadi musuh’’ kenapa dia mengatakan hal demikian sebab menurut dia bahwa sahabat yang dimaksudkan dalam hubungan politik dengan korupsi ialah korupsi itu sangat penting untuk melanggengkan kekuasaan, ketika seorang penguasa merasa bahwa tidak cukup untuk mempertahankan tampuk kepemimpinan dengan cara yang bersih maka cara kotor pun mulai di tempuh. Lalu kapan korupsi menjadi musuh politik? korupsi bisa juga berbentuk kerja yang sistematik karena melibatkan banyak orang.

Beranjak dari wacana itu, praktek yang terjadi pada negara Indonesia yang menganut sistem ideologi pancasila seolah-olah  dinodahi oleh orang–orang koruptor. Tak heran jika pakaian yang termahal di Indonesia adalah pakaian tahanan KPK, untuk bisa mengenakan pakaian tahanan KPK saja mereka harus berlomba–lomba dalam memakan uang milik negara atau milik masyarakat. Entah apa yang indah dari melakukan korupsi itu, apakah uang yang mereka dapatkan dari gaji mereka tidak cukup? permasalahan yang mudah sekali kita jumpai yaitu dalam hal pembangunan, bukan menjadi rahasia lagi untuk ditutup–tutupi.

Jika melihat pembangunan pada era sekarang ini sangatlah pesat membuat orang-orang entah yang berada dalam lembaga yang tertinggi sampai yang terendah kerap kali memainkan permainan yang begitu kotor, yaitu pengisian dana yang di berikan negara dalam pembagunan dalam saku atau kantung orang–orang yang terorganisir dalam pekerjaan pembangunan.

Sehingga hasil yang didapatkan oleh masyarakat tidak sesuai dengan apa yang di janjikan oleh pemerintah, alhasil bahan–bahan yang digunakan terhadap pembangunan dikurang–kurangi agar mereka mendapatkan keuntungan, yang bukan lagi mengutamakan kelayakan yang akan dirasakan oleh masyarakat.

Malah praktek korupsi sangat bertentang dengan nilai–nilai yang ada dalam ideologi negara Indonesia yaitu pancasila, kegiatan korupsi tidak akan pernah membawa dampak yang baik bagi kehidupan penyelenggaraan pemerintahan untuk menciptakan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Bahkan nilai–nilai yang ada dalam Pancasila tidak dapat lagi berfungsi untuk mencerdaskan para koruptor, hal ini lah kenapa negara harus meningkatkan sumber daya manusia terhadap para koruptor.

Korupsi bukanlah suatu budaya yang teradopsi dalam kehidupan politik, sehingga masyarakat harus lebih jeli dalam memilih pemimpin yang akan memimpin kehidupan kenegaraan, bukan serta merta memilih sembarangan. Lebih tepatnya pemerintah harus lebih meningkatkan hukum terhadap pelaku–pelaku korupsi agar dapat terciptanya keadilan oleh semua masyarakat, dampak yang sangat buruk terjadi dari budaya korupsi dalam politik ialah tercapnya semua pelaku politik itu sama.

Comments system

Disqus Shortname