Rabu, 07 November 2018

DEMOKRASI DALAM FENOMENA PILKADA


Krisye H. Elias
(Mahasiswa Pendidikan Kewarganegaraan Universitas Pattimura)
Sumber Gambar :
https://www.herdi.web.id/pilkada-langsung-adalah-keniscayaan-demokrasi/

Dalam konteks kehidupan politik demokrasi di Indonesia, pemilu dan pemilihan kepala daerah (pilkada) langsung merupakan salah satu sarana untuk mewujudkan kehidupan politik yang demokratis.***

DEMOKRASI adalah sebuah kata yang begitu sering diucapkan. Namun, makin banyak ia dibahas makin terasa betapa sulit mencari contoh tentang negara yang memenuhi tatanan demokrasi secara sempurna. Di Indonesia, pencarian terhadap sosok demokrasi pun terus digelar, baik pada aras praktik sistem politik maupun kajian akademik. Dalam aras akademik, sejumlah makalah dikupas habis-habisan dalam berbagai seminar.

Sementara itu, sejumlah buku, artikel pidato para pakar dan politisi, telah pula diterbitkan dalam jurnal ilmiah, koran dan majalah. Tetapi, berbeda dengan di negara-negara berkembang lainnya, semaraknya perbincangan tentang sistem demokrasi di Indonesia bukan karena bangsa atau pemerintahan di negeri ini tidak mengenal sistem demokrasi.

Justru sebaliknya, bangsa Indonesia pada aras implementasi sistem politik telah banyak memahami varian-varian demokrasi di dunia. Beberapa diantaranya bahkan telah diujicobakan di negeri ini demokrasi liberal, demokrasi parlementer, dan demokrasi Pancasila. Namun berbagai varian demokrasi ini gagal memberikan tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara yang benar-benar berbasis pada nilai-nilai dan kaidah demokrasi dalam arti yang sebenar-benarnya.

Dalam konteks kehidupan politik demokrasi di Indonesia, pemilu dan pemilihan kepala daerah (pilkada) langsung merupakan salah satu sarana untuk mewujudkan kehidupan politik yang demokratis. Dalam setiap periode menjelang pemilu dan pilkada situasi dan kondisi politik seringkali diwarnai dengan berbagai persaingan dan konflik antar kekuatan politik.

Yang menjadi persoalan adalah bagaimana kita dapat mengelola dan mengendalikan persaingan serta kemungkinan konflik yang akan terjadi antar kekuatan politik yang ada sehingga tidak mencuatkan situasi anarkhisme dan kekerasan politik? Bisakah kita berharap pada penegakan aturan main pemilu dan pilkada sebagai tonggak sejarah pengembangan proses politik menuju transisi demokrasi? Hal yang perlu diamati juga dalam kondisi ini adalah kemungkinan terkalahkannya gerakan reformasi oleh kekuatan-kekuatan bersenjata dan kekuatan penguasa sumber daya produktif masyarakat.

Berdasarkan hal tersebut muncul pertanyaan tambahan yakni seberapa besar peluang yang kita miliki untuk menggunakan pemilu dan pilkada sebagai wahana untuk mencegah kemungkinan reformasi berjalan mundur menuju kembalinya otoritarianisme sistem politik kita dalam bentuknya yang baru? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut kita perlu memahami dengan baik kompetisi dan konflik politik sejak runtuhnya rezim Soeharto.

Pemahaman itu pada gilirannya paling sedikit menuntut pemahaman lebih khusus terhadap tiga hal yang sangat penting, yaitu: (1) Dinamika proses politik yang terjadi menyusul jatuhnya Soeharto; (2) Konfigurasi konflik politik di antara berbagai kekuatan politik yang dihasilkan oleh praktik politik Orba, dan (3) Berkembangnya kebudayaan masyarakat sebagai hasil aplikasi ideologi pembangunanisme yang melahirkan sikap apolitik, permisif, ekspresif dan hedonistic.

Setelah kita melewati Pemilu 1999 yang oleh sebagian besar masyarakat, tidak saja nasional tetapi juga internasional, diakui sebagai pemilu yang paling demokratis di Indonesia, di kalangan sebagian dari kita seakan berkembang harapan baru bahwa di negeri kita ini akan segera terbangun konsolidasi demokrasi, yang kemudian disusul dengan sistem politik yang benar-benar demokratis.

Kebenaran Yang terjadi adalah bukannya konsolidasi demokrasi tetapi justru perkembangan ke arah apa yang disebut frozen democracy yang antara lain ditandai dengan berkembangnya konflik etnis, maraknya kekerasan politik secara kolektif, dan lokalitas politik yang berlebihan. Dalam kondisi masa transisi yang demikian muncul keyakinan publik bahwa satu kesalahan yang sangat serius telah terjadi di dalam pemerintahan dan masyarakat kita; bahwa semakin banyak elit dan tokoh politik bertindak hanya bagi kepentingan pribadi mereka sendiri, bukan bagi kepentingan rakyat yang mereka wakili.

Yang terjadi semakin transparan di hadapan mata publik bahwa "seni memerintah" (the art of governing) semakin berkembang menjadi "seni untuk menipu" (the art of deceiving) rakyat di dalam skala yang makin besar. Inilah situasi dan realitas politik yang tengah kita hadapi saat ini, realitas yang bukan tidak mungkin akan mendorong terciptanya alienasi politik masyarakat dan kehidupan politik yang liar, sangat subur bagi persemaian anarkhi dan kekerasan politik apabila para elit dan tokoh politik gagal untuk mengelola itu semua.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Comments system

Disqus Shortname