Krisye H. Elias
(Mahasiswa Pendidikan
Kewarganegaraan Universitas Pattimura)
Sumber Gambar :
https://www.herdi.web.id/pilkada-langsung-adalah-keniscayaan-demokrasi/
Dalam konteks kehidupan politik demokrasi di Indonesia,
pemilu dan pemilihan kepala daerah (pilkada) langsung merupakan salah satu
sarana untuk mewujudkan kehidupan politik yang demokratis.***
DEMOKRASI adalah
sebuah kata yang begitu sering diucapkan. Namun, makin banyak ia dibahas makin
terasa betapa sulit mencari contoh tentang negara yang memenuhi tatanan
demokrasi secara sempurna. Di Indonesia, pencarian terhadap sosok demokrasi pun
terus digelar, baik pada aras praktik sistem politik maupun kajian akademik.
Dalam aras akademik, sejumlah makalah dikupas habis-habisan dalam berbagai
seminar.
Sementara itu, sejumlah
buku, artikel pidato para pakar dan politisi, telah pula diterbitkan dalam jurnal
ilmiah, koran dan majalah. Tetapi, berbeda dengan di negara-negara berkembang
lainnya, semaraknya perbincangan tentang sistem demokrasi di Indonesia bukan
karena bangsa atau pemerintahan di negeri ini tidak mengenal sistem demokrasi.
Justru
sebaliknya, bangsa Indonesia pada aras implementasi sistem politik telah banyak
memahami varian-varian demokrasi di dunia. Beberapa diantaranya bahkan telah
diujicobakan di negeri ini demokrasi liberal, demokrasi parlementer, dan
demokrasi Pancasila. Namun berbagai varian demokrasi ini gagal memberikan
tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara yang benar-benar berbasis pada
nilai-nilai dan kaidah demokrasi dalam arti yang sebenar-benarnya.
Dalam konteks kehidupan politik
demokrasi di Indonesia, pemilu dan pemilihan kepala daerah (pilkada) langsung
merupakan salah satu sarana untuk mewujudkan kehidupan politik yang demokratis.
Dalam setiap periode menjelang pemilu dan pilkada situasi dan kondisi politik
seringkali diwarnai dengan berbagai persaingan dan konflik antar kekuatan
politik.
Yang menjadi persoalan adalah bagaimana
kita dapat mengelola dan mengendalikan persaingan serta kemungkinan konflik
yang akan terjadi antar kekuatan politik yang ada sehingga tidak mencuatkan
situasi anarkhisme dan kekerasan politik? Bisakah kita berharap pada penegakan
aturan main pemilu dan pilkada sebagai tonggak sejarah pengembangan proses
politik menuju transisi demokrasi? Hal yang perlu diamati juga dalam kondisi
ini adalah kemungkinan terkalahkannya gerakan reformasi oleh kekuatan-kekuatan
bersenjata dan kekuatan penguasa sumber daya produktif masyarakat.
Berdasarkan hal tersebut muncul
pertanyaan tambahan yakni seberapa besar peluang yang kita miliki untuk
menggunakan pemilu dan pilkada sebagai wahana untuk mencegah kemungkinan reformasi
berjalan mundur menuju kembalinya otoritarianisme sistem politik kita dalam
bentuknya yang baru? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut kita perlu
memahami dengan baik kompetisi dan konflik politik sejak runtuhnya rezim
Soeharto.
Pemahaman itu pada gilirannya paling
sedikit menuntut pemahaman lebih khusus terhadap tiga hal yang sangat penting,
yaitu: (1) Dinamika proses politik yang terjadi menyusul jatuhnya Soeharto; (2)
Konfigurasi konflik politik di antara berbagai kekuatan politik yang dihasilkan
oleh praktik politik Orba, dan (3) Berkembangnya kebudayaan masyarakat sebagai
hasil aplikasi ideologi pembangunanisme yang melahirkan sikap apolitik, permisif,
ekspresif dan hedonistic.
Setelah kita melewati Pemilu 1999 yang
oleh sebagian besar masyarakat, tidak saja nasional tetapi juga internasional,
diakui sebagai pemilu yang paling demokratis di Indonesia, di kalangan sebagian
dari kita seakan berkembang harapan baru bahwa di negeri kita ini akan segera
terbangun konsolidasi demokrasi, yang kemudian disusul dengan sistem politik
yang benar-benar demokratis.
Kebenaran Yang terjadi adalah bukannya
konsolidasi demokrasi tetapi justru perkembangan ke arah apa yang disebut
frozen democracy yang antara lain ditandai dengan berkembangnya konflik etnis,
maraknya kekerasan politik secara kolektif, dan lokalitas politik yang berlebihan.
Dalam kondisi masa transisi yang demikian muncul keyakinan publik bahwa satu
kesalahan yang sangat serius telah terjadi di dalam pemerintahan dan masyarakat
kita; bahwa semakin banyak elit dan tokoh politik bertindak hanya bagi
kepentingan pribadi mereka sendiri, bukan bagi kepentingan rakyat yang mereka
wakili.
Yang terjadi semakin transparan di
hadapan mata publik bahwa "seni memerintah" (the art of governing) semakin berkembang menjadi "seni untuk
menipu" (the art of deceiving)
rakyat di dalam skala yang makin besar. Inilah situasi dan realitas politik
yang tengah kita hadapi saat ini, realitas yang bukan tidak mungkin akan
mendorong terciptanya alienasi politik masyarakat dan kehidupan politik yang
liar, sangat subur bagi persemaian anarkhi dan kekerasan politik apabila para
elit dan tokoh politik gagal untuk mengelola itu semua.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar