Kamis, 08 November 2018

DEKLARASI 2019 GANTI PRESIDEN BUKAN KAMPANYE HITAM

Sariyani
(Mahasiswa Pendidikan Kewarganegaraan Universitas Pattimura)
Sumber Gambar :
https://tirto.id/alasan-di-balik-larangan-deklarasi-2019gantipresiden-di-bandung-cQpa

Mereka yang menghalalkan segala cara dan mengingkari nilai kemanusiaan dengan menyebarkan permusuhan, kebencian dan perpecahan, hendaknya tidak dipilih.***

DEKLARASI yang sedang marak dan berkicau luas di Surabaya dan beberapa daerah di Indonesia di anggap menjadi bentuk ketidakpuasan akan kinerja Jokowi dan dukungan kepada salah satu pasangan calon. Namun gerakan tersebut juga bukan di lakukan oleh tim kampanye pasangan calon. Deklarasi tersebut mendapat kecaman keras dari pendukung Jokowi. Deklarasi tersebut berbentuk kecaman-kecaman keras di media sosial bahkan muncul adanya kaos-kaos yang bertuliskan “2019 ganti presiden”.

Deklarasi tersebut bukan merupakan ranah hukum bawaslu, ketua Bawaslu Abhan pun menyebut belum ada aturan yang dilanggar dari gerakan itu. Sebab, sejauh ini belum ada aturan khusus mengenai kampanye Pilpres 2019. sehingga  tagar tersebut menjadi ranah hukum Kepolisian karena berhubungan dengan ranah keramaian. 

Namun yang mencengangkan dan di apresisasi banyak pihak  yaitu  tanggapan santai dari pak Jokowi sendiri yang sekarang menajabat sebagai Presiden RI. Beliau mengatakan masa dengan kaos bisa ganti presiden, menurut saya itu adalah tanggapan yang sangat rileks, saya rasa itu adalah tanggapan yang sangat bagus karena gerakan ganti presiden itu adalah gerakan yang normal dalam demokrasi bukan sebuah kejahatan.

Sekarang ini, negara demokrasi bebas berkumpul, bebas berpendapat, bebas berserikat tetapi sekali lagi ada aturannya. Jangan sampai kita menabrak keamanan, menabrak ketertiban sosial, itu juga harus kita hargai. Saya bersependapat dengan Hasto Kristiyanto (Wakil sekretaris Jendral PDIP), bahwa tahun politik 2018 menjadi ujian apakah demokrasi Indonesia mampu berdiri kokoh pada pemahaman nilai kemanusiaan yang menyatu dengan nilai ketuhanan, kebangsaan, musyawarah mufakat dan perjuangan menegakkan keadilan sosial. Sebab demokrasi dalam pemilu hanyalah alat. 

Meskipun terjadi persaingan, bahkan kontestasi kekuasaan untuk memenangkan Pemilu, namun watak perikemanusiaan dan perikeadilan tetap menjadi tolok ukur utama kualitas demokrasi di Indonesia.  Saya berharap, dalam kontestasi Pilkada Serentak mendatang dapat mencari pemimpin-pemimpin yang visioner dan mampu membawa perubahan untuk perikehidupan yang lebih baik.

Mereka yang menghalalkan segala cara dan mengingkari nilai kemanusiaan dengan menyebarkan permusuhan, kebencian dan perpecahan, hendaknya tidak dipilih. Sudah menjadi komitmen rakyat Indonesia untuk melalui tahun politik dengan damai dan aman. Jangan pernah gunakan kekuasaan untuk menang dengan segala cara. Indonesia adalah bangsa yang bermartabat dan berkeadaban Pancasila.***

1 komentar:

Comments system

Disqus Shortname