Cornelia Sapulette
(Mahasiswa Pendidikan Kewarganegaraan Universitas Pattimura)
Sumber Gambar :
https://www.mediaoposisi.com/2018/09/korupsi-buah-sistem-demokrasi.html
Jangan-jangan persoalan korupsi di Indonesia
berpangkal pada gemuknya pemerintahan ditambah political ignorance para
pemilih.***
HAMPIR setiap minggu kita mendapatkan
berita tentang penangkapan kepala daerah atau pejabat pemerintah oleh KPK.
Dengan sumber daya yang terbatas saja, KPK begitu sering membongkar kasus
korupsi, apalagi jika mereka memiliki sumber daya lebih besar. Mungkin setiap hari kita akan
disuguhkan berita penangkapan para koruptor.
Begitu seringnya KPK menangkapi para
pejabat yang korup, Ketua MPR, Zulkifli Hasan, sampai khawatir jika KPK
meneruskan operasinya menggeledah kantor atau rumah para pejabat, suatu saat
nanti tidak akan ada lagi orang yang mengurus negeri ini karena semuanya telah
tertangkap KPK.
Pertanyaannya, apakah banyaknya kasus
korupsi itu karena ada KPK? Artinya, kalau tidak ada KPK yang beroperasi,
negeri kita aman-aman saja, tidak ada korupsi? Ini ialah pertanyaan keliru dari
logika yang sesat. Ia sama dengan pertanyaan ini, mengapa banyak orang sakit
gigi? karena banyak dokter dan klinik gigi. Jika tak ada dokter gigi, tak akan
ada orang yang sakit gigi.
Menarik mencermati bagaimana masyarakat
kita menyikapi korupsi. Pada satu sisi, ada orang-orang yang menganggap korupsi
suatu hal yang biasa dan bukan sebuah kejahatan besar. Bahkan ada yang
menganggap bahwa korupsi untuk tujuan tertentu, misalnya demi syiar agama
(korupsi syari atau suap syari) dibolehkan, seperti belum lama ini disuarakan
seorang ustaz.
Alih-alih mengecam, agama digunakan
melegitimasi tindakan kejahatan. Namun, sesungguhnya, ini bukan pertama kali
agama dipakai untuk melakukan kejahatan. Sudah seringkali agama dipakai untuk
menyakiti orang, menipu, menyerang, merampas, membunuh, hingga meneror. Agama
ialah alat paling efektif untuk menutupi kejahatan.
Pada sisi lain, ada masyarakat yang
betul-betul muak melihat maraknya korupsi di negeri kita. Mereka berharap KPK
terus konsisten melakukan operasinya. Mereka tahu bahwa pemberantasan korupsi
tidak mudah. KPK bukan hanya berhadapan dengan para koruptor, tapi juga harus
berhadapan dengan sebagian masyarakat yang tak mengerti betapa jahatnya
korupsi.
Jangan-jangan persoalan korupsi di
Indonesia berpangkal pada gemuknya pemerintahan ditambah political ignorance para pemilih. Setiap kepala daerah yang terpilih
merasa berhutang pada partai yang mendukungnya. Ketika berkuasa, dia sekuat
tenaga akan “membayar utang” kepada
para pendukungnya, dengan memberi jabatan atau memberi insentif lain, yang
berpotensi mengandung korupsi.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar