Selasa, 31 Juli 2018

Publik Adem Ayem



Yakob Godif Malatuny
(Akademisi Universitas Pattimura)

INTENSITAS obrolan seputar persoalan politik oleh para elit parpol kian meningkat menjelang pesta demokrasi yang akan di gelar pada tahun 2019. Mulai dari obrolan tentang fenomena perang tagar “2019 Ganti Presiden versus Jokowi Sibuk Kerja”, beberapa nama yang masuk dalam bursa bakal calon presiden dan wakil presiden, sejumlah politisi yang hijrah ke partai lain, wacana negara bubar hingga pelbagai persoalan lain seputar politik yang dapat kita saksikan dalam berbagai program televisi.

Padahal, sejujurnya publik tetap adem ayem dalam menanggapi pelbagai isu yang ditiup oleh para elit parpol ke media. Tengok reaksi seluruh rakyat, meski tiap hari televisi nasional mewartakan jalan menuju Senayan dan Istana Merdeka, namun rakyat tetap tenang. Hanya sedikit pergerakan yang dimotori relawan, selebihnya mengamati dalam diam, seperti kata Karim Suryadi sang Pakar Komunikasi Politik.

Lebih parahnya lagi, kegenitan politisi yang merasa dirinya pantas maju dalam persaingan politik disambut massa rakyat yang diam dalam ketidaktahuan asal-usul sang politisi. Memang benar kata Karim Suryadi (2017) baliho mereka yang digadang-gadang sebagai calon yang bertebaran di setiap sudut kota tidak membangkitkan antisiasme publik.

Baliho gagal menjadi media yang mempersuasi publik karena kemunculannya hanya menegaskan hasrat elit berkuasa, namun tidak menangkap apa kehendak massa. Hubungan yang berjarak antara calon pemilih dan politisi yang akan berkompetisi dalam politik pada tahun depan menjadi penyebab munculnya sikap dingin publik terhadap pemilu. Kondisi ini diperparah oleh beragam persoalan yang merontokan performa pemerintahan dan imej tentang politik itu sendiri.

Elit parpol jangan menyalahkan rakyat yang memilih tetap hening di tengah hingar-bingar pewartaan tentang politik di media. Rakyat sudah melek politik, mereka tidak buta dan tuli terhadap pelbagai persoalan yang sempat luput dari perhatian politisi. Sesungguhnya, rakyat merindukan sosok pemimpin yang bertindak cepat, dekat dan merakyat. Rakyat sudah muak dengan pemimpin yang pandai menata kata namun gagal menata kota.

Bangkitkan Kegairahan Publik

Makin sulit menemukan rakyat yang antusias membicarakan pemilu dan politik secara keseluruhan. Rata-rata publik masih menganggap satu-satunya penanda yang mudah terbaca akan tibanya pemilu adalah bertebarannya baliho permohonan doa dan dukungan.

Demi membangkitkan kegairahan publik terhadap kontestasi politik, maka seorang politisi hendaknya menempuh beberapa langkah bijak. Kesatu, seorang politisi mesti membangun jaringan komunikasi yang langsung menyentuh calon pemilih. Jaringan ini bisa personal maupun organisasial, bisa alami ataupun artifisial.

Karim Suryadi (2017) menempatkan kalimat bagus bahwa “untuk menghidupkan jaringan semacam ini seorang kandidat harus memiliki deposit politik yang memungkinkannya diterima di tengah-tengah massa. Hal ini menegaskan bahwa kemunculan calon yang mencuat dari lapangan jauh lebih mudah dalam pemasarannya ketimbang calon dropping dari atas”.

Banyak tokoh yang hidup di negara yang demokrasinya sudah mapan mengivestasikan maksud politiknya ke dalam organisasi sosial. Mereka secara sukarela mengumpulkan uang, mengorganisir, kelompok-kelompok sosial yang memiliki kepedulian yang sama, dan menggerakan rakyat untuk bersama-sama menangani masalah mereka sendiri.

Banyak tokoh dan aktor ternama memulai aktivitas sosial mereka sebelum terjun ke kancah politik. Keterlibatan di dalam organisasi sosial mereka lakukan jauh-jauh hari sebelum mereka memutuskan untuk terjun ke dalam dunia politik. Tengok misalnya Barack Obama yang menghimpun kekuatan dan dukungannya lewat organisasi yang bertujuan membuka lapangan kerja bagi tuna wisma, atau Hillary Clinton yang memulai debutnya melalui layanan bantuan hukum bagi masyarakat kurang berutung.

Kedua, sebelum tiba masa pemilu, para politisi mesti melancarkan operasi “senyap” dengan menyusup ke jantung-jantung calon pemilih melalui berbagai paket program, baik yang terkait dengan implementasi program pemerintah maupun bantuan perorangan.

Tidak kalah penting, memperbaiki kontak antara parpol, politisi dan pemilih melalui sentuhan program yang terarah dan terukur. Niscaya, masyarakat akan mengapresiasi operasi senyap yang digagas perorangan dengan maksud menggerakkan potensi yang ada di masyarakat.

Ketiga, politisi hendaknya menjaga rekam jejak (tetap baik di mata masyarakat) agar harkat mereka tak tercoreng tuduhan miring. Namun, Najwa (2016) menegaskan masa lalu tak patut ditutupi agar kewibawaan kelak terkebiri. Politisi mesti membuka diri dan berkata jujur kepada masyarakat tentang segala tindakan baik yang berdampak positif bagi hajat hidup orang banyak sebaliknya meminta maaf atas tindakan keliru (bila ada) yang merugikan masyarakat.

Lebih dari itu, politisi hendaknya menjadi teladan dalam berbuat baik, karena keteladanan memang lebih mudah diserap daripada teori-teori yang kering; politisi hendanya menjadi rahmat di dalam lumbung-lumbung negeri. Politisi yang berbudi luhur akan menjadikan dirinya seperti gula pasir yang larut dalam air demi memberi rasa manis pada teh atau lilin yang rela hancur demi menerangi orang lain dalam kegelapan.

Politisi yang tampil cepat, dekat dan merakyat selalu punya cara unik untuk membuat publik tak adem ayem dalam politik. Tindakannya bisa menarik publik untuk turut serta berserikat dan berkumpul mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan sebagaimana yang diamanatkan dalam UUD 1945 Pasal 28 : “kemerdekaan berserikat dan berkumpul mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan”.
Kemerdekaan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat merupakan wujud kedaulatan rakyat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara serta menegakkan demokrasi bagi seluruh rakyat Indonesia. Sebagai negara yang menganut demokrasi, bagi rakyat bebas dalam menentukan pilihannya dalam pelaksanaan demokrasi itu sendiri, kebebasan memilih ini antara lain diwujudkan dalam pelaksanaan Pemilihan Umum.***

Senin, 09 Juli 2018

Demokrasi Terlihat (tidak) Menjengkelkan




Oleh :
Yakob Godlif Malatuny, M.Pd
(Akademisi Universitas Pattimura)

SEMENJAK kelahiran demokrasi di Athena (Yunani) hingga praktek demokrasi duniawi dewasa ini memang tak semudah teorinya. Athena menjadi contoh nyata, Fuady (2010) mencatat “meskipun prinsip demokrasi yang diletakan oleh Solon di Athena sudah cukup maju, bahkan sangat maju menurut ukuran zamannya, namun praktik pemerintahan di Athena tidak serta merta berubah menjadi benar-benar demokratis”.

Bila kita sorot balik (flashback) jauh ke belakang, sejarah mencatat bahwa Socrates dihukum mati oleh pemerintahan yang waktu itu memproklamirkan diri sebagai pemerintahan demokratis. Socrates dituduh sebagai “provokator” yang meracuni generasi muda dengan pikiran-pikiran yang dianggap “menyeleneh” atau mengganggu stabilitas pemerintahan.

Karena itu, murid setia Socrates, Plato awalnya tak begitu suka dengan demokrasi, bukan hanya karena gurunya dihukum mati oleh pemerintah yang mengaku demokratis, tetapi juga dengan demokrasi “orang-orang jahat seperti gerombolan dan para begal demokrasi turut serta mengurus pemerintahan”.

Meskipun akhirnya Plato juga menyetujui demokrasi dengan berbagai catatan. Fuady (2010) menyimpulkan “demokrasi adalah pilihan satu-satunya yang terbaik bagi kehidupan dan kelangsungan suatu bangsa dan negara di dunia ini”. Hampir-hampir tak ada alternatif lain yang mampu bertahan seperti konsepsi demokrasi.

Dalam renungan reflektif berjudul “Demokrasi Kita” Mohammad Hatta bernubuat bahwa demokrasi tak bisa dilenyapkan dari denyut kehidupan bangsa Indonesia. Dalam pandangannya “demokrasi bisa tertindas sementara karena kesalahannya sendiri, tetapi setelah ia mengalami cobaan yang pahit, ia akan muncul kembali dengan penuh keinsafan. Berlainan daripada beberapa negeri lainnya di Asia, demokrasi di sini berurat berakar di dalam pergaulan hidup. Sebab itu ia tak dapat dilenyapkan untuk selama-lamanya.

Namun perlu diingat apa yang dikatakan Strachey (1965) bahwa demokrasi bukanlah sebagai obat bagi segala penyakit sosial. Dengan kata lain, sikap ini bukan berarti menolak demokrasi sebagai sebuah sistem politik, melainkan hanya ingin menegaskan tentang sistem demokrasi bukanlah satu-satunya obat bagi seluruh penyakit sosial.

Karena sejatinya demokrasi berbicara menyangkut siapa yang menjalankan pemerintahan dan aspirasi rakyat yang seharusnya menjadi acuan pokok pemerintah dalam bertindak, sehingga tercipta pemerintahan dari, oleh, dan untuk rakyat. Dengan begitu, demokrasi menjadi cita-cita bagi sebagian besar umat manusia bukan satu-satunya sebagai obat untuk segala penyakit manusia.

Lebih dari itu, saya bersetuju dengan konsep berpikir Profesor Cecep Darmawan dalam tulisannya yang berjudul “Demokrasi Dalam Persimpangan Makna” bahwa demokrasi bukanlah milik penguasa, bukan pula milik kelompok ideologis tertentu, melainkan demokrasi harus menjadi ruh bagi kehidupan segenap warga di sebuah negara.

Presiden Soekarno dalam pidatonya pada tanggal 1 Juni 1945 menegaskan, Negara Indonesia bukan satu negara untuk satu orang, bukan satu negara untuk satu golongan walaupun golongan kaya. Tetapi kita mendirikan negara ”semua buat semua”, “satu buat semua, semua buat satu”. Saya yakin, bahwa syarat mutlak untuk kuatnya Negara Indonesia ialah permusyawaratan, perwakilan. Kalau kita mencari demokrasi, hendaknya bukan demokrasi Barat, tetapi permusyawaratan yang memberi hidup.

Demokrasi sewajarnya menjadi ruh bagi setiap kewargaan yang baik dan cerdas (smart and good citizen) untuk menghadirkan perbaikan, mengentaskan kemiskinan, dan membangun keterbelakangan demi memajukan kesejahteraan umum dan menciptakan keadilan yang merata bukan malah menjelma sebagai alat bagi para politisi yang tamak untuk melapisi kehormatan dengan kehormatan yang lebih tinggi sebagai penolak kenistaan zaman; bukan menjelma sebagai alat untuk meraup keuntungan sebesar-sebesarnya demi kemakmuran sanak famili.

Memang benar kata Yudi Latif (2015) bahwa demokrasi yang ingin memperkuat daulat rakyat justru memperkuat segelintir orang; demokrasi yang ingin memperkuat cita-cita republikanisme dan nasionalisme kewargaan (civic nationalism) justru menyuburkan tribalisme dan provinsialisme (putra daerahisme). Demokrasi yang semestinya mengembangkan partisipasi, kepuasan, dan daulat rakyat justru mengembangkan ketidaksertaan (disengagement), kekecewaan, dan ketidakberdayaan rakyat.

Pada tingkat struktural, kecenderungan untuk mengadobsi model-model demokrasi liberal tanpa menyesuaikannya secara saksama dengan kondisi sosial-ekonomi segenap kewargaan Indonesia justru dapat melemahkan demokrasi. Sementara demokrasi menghendaki derajat kesetaraan, pilihan desain demokrasi kita justru sering kali memperlebar ketidaksetaraan dan ketidakadilan.

Tak boleh heran, jika disaat sebagian besar anak bangsa mengais-ngais rupiah, terdapat sekelompok orang, rata-rata dari kelas menengah ke atas yang wangi kerap mengobral rupiah, sehingga mobil mewah meluncur tiap hari. Tak boleh heran, jika tiap tahun KPK selalu memiliki tahanan sekelas pejabat, baik di daerah maupun pusat. Tak boleh heran, negeri kita yang dahulunya dicap sebagai tanah surga sekarang mudah berubah menjadi negeri para bedebah.

Demokrasi tak lagi menjadi sarana afektif bagi kekuatan kolektif untuk mengendalikan kepentingan perseorangan, malahan berbalik arah menjadi sarana afektif bagi kepentingan perseorangan untuk mengontrol institusi dan kebijakan publik; res publica (urusan umum) tunduk di bawah kendali res privata (urusan privat).

Di satu sisi, keadaan buruk di atas menjadi sebab musabab sering kali warga memandang demokrasi sebagai proses yang menjengkelkan. Bisa jadi, mereka akan mengubur kepercayaan terhadap orang-orang yang turut berperan aktif menggerakan roda demokrasi kita.

Namun di sisi lain, sebagai warga negara yang baik dan cerdas mesti optimis bahwa prinsip demokrasi dalam Negara Kebangsaan Pancasila akan tetap berjiwa gotong royong (mengembangkan musyawarah mufakat); bukan demokrasi yang didikte oleh suara mayoritas (mayorokrasi) atau minoritas elite penguasa-pemodal (minokrasi). Kualitas demokrasi kita cepat atau lambat akan mengarah pada ketercapaian substansi demokrasi yakni berfungsinya institusi demokrasi yang dapat menyejahterahkan segenap kewargaan.

Memang secara pragmatis, demokrasi tak memberi garansi apa pun bagi warganya, sebagaimana USIA (1991) menempatkan kalimat bagus bahwa “democracy itself guarantees nothing”. It offers instead the opportunity to succed as well as the risk failure”. (Demokrasi memang tak menjamin apapun. Demokrasi menawarkan kesempatan untuk berhasil, bisa juga beresiko gagal).

Artinya, demokrasi hanyalah wahana, alat atau instrumen bagi pemenuhan harapan warga dalam sistem pemerintahan yang memberi peluang dan menawarkan kesempatan yang besar kepada warga melalui pemerintahan yang mewakili kehendak mereka.

Oleh karena itu, warga jangan sampai salah memilih pemimpin atau wakilnya di legislatif. Demokrasi adalah kesempatan terbaik yang mesti dimanfaatkan oleh segenap kewargaan untuk melimpahkan kekuasaan kepada orang-orang baik dan cerdas yang mampu bertindak cepat, dekat dan merakyat.

Niscaya, demokrasi kita akan terlihat sebagai proses yang tak menjengkelkan, karena pemimpin kita mampu menemukenali substansi demokrasi yang mengedepankan demokrasi kerakyatan dan dipandu dengan nilai hikmah kebijaksanaan dengan landasan kokoh nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan dan keadilan.***

Kamis, 05 Juli 2018

Gubernur Baru, Berani Lawan Kemiskinan dan Harus Ada Perubahan



Oleh : Godlief Malatuny

AJANG pesta demokrasi yang digelar pada tanggal 27 Juni 2018 di Maluku telah usai secara aman dan damai. Hasil hitung cepat Konsultan Citra Indonesia (KCI) dan Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Network menempatkan Paslon dengan jargon "BAILEO" keluar sebagai pemenang, dengan basis hampir di delapan dari 11 Kabupaten/Kota, di Maluku.

Dari data yang masuk mencapai 93,33 persen paslon BAILEO berhasil memperoleh persentase jumlah suara tertinggi, dan diprediksi melewati 10 persen dibanding dua kompetitornya. Hasil hitung cepat ini mencatat "BAILEO" unggul dengan jumlah suara 40,36 persen "SANTUN" 31,58 persen dan "HEBAT" 28,06 persen.

Hitung cepat ini memiliki margin error plus minus 1 persen. Hasil quick count dengan sampling error di bawah 1 persen dan dipastikan hasilnya akan sangat mendekati data resmi KPUD Provinsi Maluku nanti.

Pasangan calon Murad Ismail-Barnabas Orno dengan jargon "BAILEO" sudah pasti menang atas dua kompetitornya, Said Assagaf-Andreas Rentanubun "SANTUN" dan Herman Koedoeboen-Abdullah Vanath "HEBAT".

Di satu sisi, euforia kemenangan datang dari pendukung BAILEO terlihat di jalan, rumah-rumah kopi, beberapa sudut kota Ambon (mungkin juga di tempat lain) bahkan berselancar di dunia maya, namun di sisi lain bagi warga yang memilih paslon HEBAT atau SANTUN yang kalah dalam kompetisi ini tak boleh patah hati dan tenggelam dalam kesedihan yang mendalam.

Kata Karim Suryadi (Pakar Komunikasi Politik) takdir menggariskan setiap pemimpin ada waktunya, setiap waktu ada pemimpinnya. Sebagai warga yang baik dan cerdas (smart and good citizen) mesti legowo menyambut kedatangan gubernur baru yang akan mengubah wajah baru Maluku selama lima tahun ke depan.

Gubernur dan Wakil Gubernur Maluku, Bapak Murad Ismail-Barnabas Orno yang terhormat dan mulia akan duduk di singgasana, suatu tempat yang terhormat dan mulia karena warga telah melimpahkan kekuasaan kepada mereka. Tetapi jangan lupa pergilah juga ke gubuk-gubuk warga miskin. Di sana bersemayam keterbelakangan dan kegelisahan yang membahana.

Warga Menanti Perubahan

Sungguh dinantikan tampilan sosok pemimpin Maluku baru yang mampu menghadirkan perbaikan, membangun keterbelakangan, dan mengentaskan kemiskinan, sehingga tak ada warga yang bersusah payah menghadapi beragam problematik yang melilit kehidupan mereka dan hanya beralas kesabaran semata.

Perlu diingat bahwa warga tak hanya ingin melihat simbol-simbol Maluku hadir saat perayaan besar maupun upacara adat istiadat, namun juga ingin menyaksikan "kebesaran" Maluku hadir saat warga dililit persoalan kemiskinan.

Kalimat "berani lawan kemiskinan dan harus ada perubahan" yang diucapkan gubernur terpilih dan terdengar oleh telinga warga selama musim kampanye berlangsung perlu diwujudnyatakan. Sebab, data Badan Pusat Statistik (BPS) dari tahun 2010 hingga 2012, disebutkan Maluku masuk urutan ketiga secara nasional penduduk miskin yang hidup di bawah garis kemiskinan.

Beragam janji politik selama musim kampanye mesti diubah menjadi perbuatan, beragam program unggulan yang dicanangkan oleh gubernur baru mesti dirasakan seluruh warga. Gubernur baru dituntut bisa meningkatkan SDM demi terkelolanya SDA Maluku yang kaya secara tepat guna. Pembangunan mesti merata di berbagai sektor agar Maluku bisa bebas dari kemiskinan seperti yang cita-citakan Gubernur dan Wakil Gubernur Maluku.

Para nelayan, petani, pedagang kecil, supir angkot, tukang ojek, tukang jahit, tukang parkir, tukang bangunan, tukang kayu, pelajar, pendidik, dan seluruh warga di Maluku mulai dari Timur Kepulauan Aru sampai ke Barat Pulau Buru, dari Utara Pulau Seram sampai ke Selatan Maluku Barat Daya yang termasuk dalam Negeri Adat, Negeri Budaya, dan Negeri Raja-Raja sudah tak sabar merasakan sentuhan gubernur baru yang bisa melahirkan perubahan; sentuhan yang membuat Maluku bisa bebas dari kemiskinan.

Selamat dan sukses kepada Gubernur dan Wakil Gubernur Maluku terpilih, Bapak Murad Ismail dan Barnabas Orno. Selamat mengubah beragam janji manis politik menjadi perbuatan. Jadilah rahmat di dalam lumbung-lumbung Negeri para Raja, semoga.***

Comments system

Disqus Shortname