Oleh :
Yakob Godlif Malatuny, M.Pd
(Akademisi Universitas Pattimura)
SEMENJAK kelahiran demokrasi di Athena
(Yunani) hingga praktek demokrasi duniawi dewasa ini memang tak semudah
teorinya. Athena menjadi contoh nyata, Fuady (2010) mencatat “meskipun prinsip
demokrasi yang diletakan oleh Solon di Athena sudah cukup maju, bahkan sangat
maju menurut ukuran zamannya, namun praktik pemerintahan di Athena tidak serta
merta berubah menjadi benar-benar demokratis”.
Bila kita sorot balik (flashback) jauh ke belakang, sejarah
mencatat bahwa Socrates dihukum mati oleh pemerintahan yang waktu itu
memproklamirkan diri sebagai pemerintahan demokratis. Socrates dituduh sebagai
“provokator” yang meracuni generasi muda dengan pikiran-pikiran yang dianggap
“menyeleneh” atau mengganggu stabilitas pemerintahan.
Karena itu, murid setia Socrates,
Plato awalnya tak begitu suka dengan demokrasi, bukan hanya karena gurunya
dihukum mati oleh pemerintah yang mengaku demokratis, tetapi juga dengan
demokrasi “orang-orang jahat seperti gerombolan dan para begal demokrasi turut
serta mengurus pemerintahan”.
Meskipun akhirnya Plato juga
menyetujui demokrasi dengan berbagai catatan. Fuady (2010) menyimpulkan
“demokrasi adalah pilihan satu-satunya yang terbaik bagi kehidupan dan
kelangsungan suatu bangsa dan negara di dunia ini”. Hampir-hampir tak ada
alternatif lain yang mampu bertahan seperti konsepsi demokrasi.
Dalam renungan reflektif berjudul
“Demokrasi Kita” Mohammad Hatta bernubuat bahwa demokrasi tak bisa dilenyapkan
dari denyut kehidupan bangsa Indonesia. Dalam pandangannya “demokrasi bisa
tertindas sementara karena kesalahannya sendiri, tetapi setelah ia mengalami
cobaan yang pahit, ia akan muncul kembali dengan penuh keinsafan. Berlainan
daripada beberapa negeri lainnya di Asia, demokrasi di sini berurat berakar di
dalam pergaulan hidup. Sebab itu ia tak dapat dilenyapkan untuk selama-lamanya.
Namun perlu diingat apa yang dikatakan
Strachey (1965) bahwa demokrasi bukanlah sebagai obat bagi segala penyakit sosial.
Dengan kata lain, sikap ini bukan berarti menolak demokrasi sebagai sebuah
sistem politik, melainkan hanya ingin menegaskan tentang sistem demokrasi
bukanlah satu-satunya obat bagi seluruh penyakit sosial.
Karena sejatinya demokrasi berbicara menyangkut
siapa yang menjalankan pemerintahan dan aspirasi rakyat yang seharusnya menjadi
acuan pokok pemerintah dalam bertindak, sehingga tercipta pemerintahan dari,
oleh, dan untuk rakyat. Dengan begitu, demokrasi menjadi cita-cita bagi
sebagian besar umat manusia bukan satu-satunya sebagai obat untuk segala
penyakit manusia.
Lebih dari itu, saya bersetuju dengan
konsep berpikir Profesor Cecep Darmawan dalam tulisannya yang berjudul “Demokrasi
Dalam Persimpangan Makna” bahwa demokrasi bukanlah milik penguasa, bukan pula
milik kelompok ideologis tertentu, melainkan demokrasi harus menjadi ruh bagi
kehidupan segenap warga di sebuah negara.
Presiden Soekarno dalam pidatonya pada
tanggal 1 Juni 1945 menegaskan, Negara Indonesia bukan satu negara untuk satu
orang, bukan satu negara untuk satu golongan walaupun golongan kaya. Tetapi
kita mendirikan negara ”semua buat semua”, “satu buat semua, semua buat satu”.
Saya yakin, bahwa syarat mutlak untuk kuatnya Negara Indonesia ialah
permusyawaratan, perwakilan. Kalau kita mencari demokrasi, hendaknya bukan
demokrasi Barat, tetapi permusyawaratan yang memberi hidup.
Demokrasi sewajarnya menjadi ruh bagi
setiap kewargaan yang baik dan cerdas (smart
and good citizen) untuk menghadirkan perbaikan, mengentaskan kemiskinan, dan
membangun keterbelakangan demi memajukan kesejahteraan umum dan menciptakan keadilan
yang merata bukan malah menjelma sebagai alat bagi para politisi yang tamak
untuk melapisi kehormatan dengan kehormatan yang lebih tinggi sebagai penolak
kenistaan zaman; bukan menjelma sebagai alat untuk meraup keuntungan
sebesar-sebesarnya demi kemakmuran sanak famili.
Memang benar kata Yudi Latif (2015) bahwa
demokrasi yang ingin memperkuat daulat rakyat justru memperkuat segelintir
orang; demokrasi yang ingin memperkuat cita-cita republikanisme dan
nasionalisme kewargaan (civic nationalism)
justru menyuburkan tribalisme dan provinsialisme (putra daerahisme). Demokrasi
yang semestinya mengembangkan partisipasi, kepuasan, dan daulat rakyat justru
mengembangkan ketidaksertaan (disengagement),
kekecewaan, dan ketidakberdayaan rakyat.
Pada tingkat struktural, kecenderungan
untuk mengadobsi model-model demokrasi liberal tanpa menyesuaikannya secara
saksama dengan kondisi sosial-ekonomi segenap kewargaan Indonesia justru dapat
melemahkan demokrasi. Sementara demokrasi menghendaki derajat kesetaraan,
pilihan desain demokrasi kita justru sering kali memperlebar ketidaksetaraan
dan ketidakadilan.
Tak boleh heran, jika disaat sebagian
besar anak bangsa mengais-ngais rupiah, terdapat sekelompok orang, rata-rata
dari kelas menengah ke atas yang wangi kerap mengobral rupiah, sehingga mobil
mewah meluncur tiap hari. Tak boleh heran, jika tiap tahun KPK selalu memiliki
tahanan sekelas pejabat, baik di daerah maupun pusat. Tak boleh heran, negeri
kita yang dahulunya dicap sebagai tanah surga sekarang mudah berubah menjadi
negeri para bedebah.
Demokrasi tak lagi menjadi sarana
afektif bagi kekuatan kolektif untuk mengendalikan kepentingan perseorangan,
malahan berbalik arah menjadi sarana afektif bagi kepentingan perseorangan
untuk mengontrol institusi dan kebijakan publik; res publica (urusan umum) tunduk di bawah kendali res privata (urusan privat).
Di satu sisi, keadaan buruk di atas menjadi
sebab musabab sering kali warga memandang demokrasi sebagai proses yang
menjengkelkan. Bisa jadi, mereka akan mengubur kepercayaan terhadap orang-orang
yang turut berperan aktif menggerakan roda demokrasi kita.
Namun di sisi lain, sebagai warga negara
yang baik dan cerdas mesti optimis bahwa prinsip demokrasi dalam Negara
Kebangsaan Pancasila akan tetap berjiwa gotong royong (mengembangkan musyawarah
mufakat); bukan demokrasi yang didikte oleh suara mayoritas (mayorokrasi) atau
minoritas elite penguasa-pemodal (minokrasi). Kualitas demokrasi kita cepat
atau lambat akan mengarah pada ketercapaian substansi demokrasi yakni
berfungsinya institusi demokrasi yang dapat menyejahterahkan segenap kewargaan.
Memang secara pragmatis, demokrasi tak
memberi garansi apa pun bagi warganya, sebagaimana USIA (1991) menempatkan
kalimat bagus bahwa “democracy itself guarantees
nothing”. It offers instead the opportunity to succed as well as the risk
failure”. (Demokrasi memang tak menjamin apapun. Demokrasi menawarkan
kesempatan untuk berhasil, bisa juga beresiko gagal).
Artinya, demokrasi hanyalah wahana,
alat atau instrumen bagi pemenuhan harapan warga dalam sistem pemerintahan yang
memberi peluang dan menawarkan kesempatan yang besar kepada warga melalui
pemerintahan yang mewakili kehendak mereka.
Oleh karena itu, warga jangan sampai
salah memilih pemimpin atau wakilnya di legislatif. Demokrasi adalah kesempatan
terbaik yang mesti dimanfaatkan oleh segenap kewargaan untuk melimpahkan
kekuasaan kepada orang-orang baik dan cerdas yang mampu bertindak cepat, dekat
dan merakyat.
Niscaya, demokrasi
kita akan terlihat sebagai proses yang tak menjengkelkan, karena pemimpin kita mampu
menemukenali substansi demokrasi yang mengedepankan demokrasi kerakyatan dan
dipandu dengan nilai hikmah kebijaksanaan dengan landasan kokoh nilai
ketuhanan, kemanusiaan, persatuan dan keadilan.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar