Senin, 09 Juli 2018

Demokrasi Terlihat (tidak) Menjengkelkan




Oleh :
Yakob Godlif Malatuny, M.Pd
(Akademisi Universitas Pattimura)

SEMENJAK kelahiran demokrasi di Athena (Yunani) hingga praktek demokrasi duniawi dewasa ini memang tak semudah teorinya. Athena menjadi contoh nyata, Fuady (2010) mencatat “meskipun prinsip demokrasi yang diletakan oleh Solon di Athena sudah cukup maju, bahkan sangat maju menurut ukuran zamannya, namun praktik pemerintahan di Athena tidak serta merta berubah menjadi benar-benar demokratis”.

Bila kita sorot balik (flashback) jauh ke belakang, sejarah mencatat bahwa Socrates dihukum mati oleh pemerintahan yang waktu itu memproklamirkan diri sebagai pemerintahan demokratis. Socrates dituduh sebagai “provokator” yang meracuni generasi muda dengan pikiran-pikiran yang dianggap “menyeleneh” atau mengganggu stabilitas pemerintahan.

Karena itu, murid setia Socrates, Plato awalnya tak begitu suka dengan demokrasi, bukan hanya karena gurunya dihukum mati oleh pemerintah yang mengaku demokratis, tetapi juga dengan demokrasi “orang-orang jahat seperti gerombolan dan para begal demokrasi turut serta mengurus pemerintahan”.

Meskipun akhirnya Plato juga menyetujui demokrasi dengan berbagai catatan. Fuady (2010) menyimpulkan “demokrasi adalah pilihan satu-satunya yang terbaik bagi kehidupan dan kelangsungan suatu bangsa dan negara di dunia ini”. Hampir-hampir tak ada alternatif lain yang mampu bertahan seperti konsepsi demokrasi.

Dalam renungan reflektif berjudul “Demokrasi Kita” Mohammad Hatta bernubuat bahwa demokrasi tak bisa dilenyapkan dari denyut kehidupan bangsa Indonesia. Dalam pandangannya “demokrasi bisa tertindas sementara karena kesalahannya sendiri, tetapi setelah ia mengalami cobaan yang pahit, ia akan muncul kembali dengan penuh keinsafan. Berlainan daripada beberapa negeri lainnya di Asia, demokrasi di sini berurat berakar di dalam pergaulan hidup. Sebab itu ia tak dapat dilenyapkan untuk selama-lamanya.

Namun perlu diingat apa yang dikatakan Strachey (1965) bahwa demokrasi bukanlah sebagai obat bagi segala penyakit sosial. Dengan kata lain, sikap ini bukan berarti menolak demokrasi sebagai sebuah sistem politik, melainkan hanya ingin menegaskan tentang sistem demokrasi bukanlah satu-satunya obat bagi seluruh penyakit sosial.

Karena sejatinya demokrasi berbicara menyangkut siapa yang menjalankan pemerintahan dan aspirasi rakyat yang seharusnya menjadi acuan pokok pemerintah dalam bertindak, sehingga tercipta pemerintahan dari, oleh, dan untuk rakyat. Dengan begitu, demokrasi menjadi cita-cita bagi sebagian besar umat manusia bukan satu-satunya sebagai obat untuk segala penyakit manusia.

Lebih dari itu, saya bersetuju dengan konsep berpikir Profesor Cecep Darmawan dalam tulisannya yang berjudul “Demokrasi Dalam Persimpangan Makna” bahwa demokrasi bukanlah milik penguasa, bukan pula milik kelompok ideologis tertentu, melainkan demokrasi harus menjadi ruh bagi kehidupan segenap warga di sebuah negara.

Presiden Soekarno dalam pidatonya pada tanggal 1 Juni 1945 menegaskan, Negara Indonesia bukan satu negara untuk satu orang, bukan satu negara untuk satu golongan walaupun golongan kaya. Tetapi kita mendirikan negara ”semua buat semua”, “satu buat semua, semua buat satu”. Saya yakin, bahwa syarat mutlak untuk kuatnya Negara Indonesia ialah permusyawaratan, perwakilan. Kalau kita mencari demokrasi, hendaknya bukan demokrasi Barat, tetapi permusyawaratan yang memberi hidup.

Demokrasi sewajarnya menjadi ruh bagi setiap kewargaan yang baik dan cerdas (smart and good citizen) untuk menghadirkan perbaikan, mengentaskan kemiskinan, dan membangun keterbelakangan demi memajukan kesejahteraan umum dan menciptakan keadilan yang merata bukan malah menjelma sebagai alat bagi para politisi yang tamak untuk melapisi kehormatan dengan kehormatan yang lebih tinggi sebagai penolak kenistaan zaman; bukan menjelma sebagai alat untuk meraup keuntungan sebesar-sebesarnya demi kemakmuran sanak famili.

Memang benar kata Yudi Latif (2015) bahwa demokrasi yang ingin memperkuat daulat rakyat justru memperkuat segelintir orang; demokrasi yang ingin memperkuat cita-cita republikanisme dan nasionalisme kewargaan (civic nationalism) justru menyuburkan tribalisme dan provinsialisme (putra daerahisme). Demokrasi yang semestinya mengembangkan partisipasi, kepuasan, dan daulat rakyat justru mengembangkan ketidaksertaan (disengagement), kekecewaan, dan ketidakberdayaan rakyat.

Pada tingkat struktural, kecenderungan untuk mengadobsi model-model demokrasi liberal tanpa menyesuaikannya secara saksama dengan kondisi sosial-ekonomi segenap kewargaan Indonesia justru dapat melemahkan demokrasi. Sementara demokrasi menghendaki derajat kesetaraan, pilihan desain demokrasi kita justru sering kali memperlebar ketidaksetaraan dan ketidakadilan.

Tak boleh heran, jika disaat sebagian besar anak bangsa mengais-ngais rupiah, terdapat sekelompok orang, rata-rata dari kelas menengah ke atas yang wangi kerap mengobral rupiah, sehingga mobil mewah meluncur tiap hari. Tak boleh heran, jika tiap tahun KPK selalu memiliki tahanan sekelas pejabat, baik di daerah maupun pusat. Tak boleh heran, negeri kita yang dahulunya dicap sebagai tanah surga sekarang mudah berubah menjadi negeri para bedebah.

Demokrasi tak lagi menjadi sarana afektif bagi kekuatan kolektif untuk mengendalikan kepentingan perseorangan, malahan berbalik arah menjadi sarana afektif bagi kepentingan perseorangan untuk mengontrol institusi dan kebijakan publik; res publica (urusan umum) tunduk di bawah kendali res privata (urusan privat).

Di satu sisi, keadaan buruk di atas menjadi sebab musabab sering kali warga memandang demokrasi sebagai proses yang menjengkelkan. Bisa jadi, mereka akan mengubur kepercayaan terhadap orang-orang yang turut berperan aktif menggerakan roda demokrasi kita.

Namun di sisi lain, sebagai warga negara yang baik dan cerdas mesti optimis bahwa prinsip demokrasi dalam Negara Kebangsaan Pancasila akan tetap berjiwa gotong royong (mengembangkan musyawarah mufakat); bukan demokrasi yang didikte oleh suara mayoritas (mayorokrasi) atau minoritas elite penguasa-pemodal (minokrasi). Kualitas demokrasi kita cepat atau lambat akan mengarah pada ketercapaian substansi demokrasi yakni berfungsinya institusi demokrasi yang dapat menyejahterahkan segenap kewargaan.

Memang secara pragmatis, demokrasi tak memberi garansi apa pun bagi warganya, sebagaimana USIA (1991) menempatkan kalimat bagus bahwa “democracy itself guarantees nothing”. It offers instead the opportunity to succed as well as the risk failure”. (Demokrasi memang tak menjamin apapun. Demokrasi menawarkan kesempatan untuk berhasil, bisa juga beresiko gagal).

Artinya, demokrasi hanyalah wahana, alat atau instrumen bagi pemenuhan harapan warga dalam sistem pemerintahan yang memberi peluang dan menawarkan kesempatan yang besar kepada warga melalui pemerintahan yang mewakili kehendak mereka.

Oleh karena itu, warga jangan sampai salah memilih pemimpin atau wakilnya di legislatif. Demokrasi adalah kesempatan terbaik yang mesti dimanfaatkan oleh segenap kewargaan untuk melimpahkan kekuasaan kepada orang-orang baik dan cerdas yang mampu bertindak cepat, dekat dan merakyat.

Niscaya, demokrasi kita akan terlihat sebagai proses yang tak menjengkelkan, karena pemimpin kita mampu menemukenali substansi demokrasi yang mengedepankan demokrasi kerakyatan dan dipandu dengan nilai hikmah kebijaksanaan dengan landasan kokoh nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan dan keadilan.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Comments system

Disqus Shortname