Selasa, 06 Desember 2016

Kesalehan Langit

Prof. Dr. Karim Suryadi, M.Si

Peneliti komunikasi politik, dosen FPIPS Universitas Pendidikan Indonesia,
kolumnis Pikiran Rakyat

DUA hari lalu, saya takziyah, mengunjungi kediaman seseorang yang baru saja meninggal dunia. Seperti biasa, pesan viral soal kepergian kawan saya itu telah menghiasi ruang media sosial (medsos) beberapa jam sebelumnya. Dengan beragam cara, kawan di grup atau kontak di jaringan pribadi, mengekspresikan rasa duka dan empatinya dengan beragam gaya, seakan tengah kontes ucapan bela sungkawa.
Namun, ketika tiba di rumah duka, pemandangan lain tersaji. Simpati dan kehangatan di jejaring medsos tak terasa di sini. Mereka yang menyatakan duka mendalam dan simpatinya tidak datang takziyah.
Duka yang mendalam terpancar dari bibir mata yang sembap para anggota keluarga, serta wajah kusut dan lelah para kerabat. Di sekeliling mereka, raut wajah sedih mendominasi. Mereka umumnya saudara dan tetangga almarhum. Lalu, mana kawan-kawan yang galecok (ramai) di medsos? Akankah (lagi-lagi) rame ing medsos, sepi ingalam nyata?
Ini pertanyaan berulang, namun tidak pernah dipikir berkepanjangan. Bila pertanyaan ini dilontarkan kepada mereka yang aktif di medsos, namun tak hadir di rumah duka, sudah dapat ditebak jawabannya. Beragam alasan akan muncul, namun mereka umumnya mengaku telah melakukan sesuatu yang paling minimal, yakni menunjukkan simpati. Atas alasan ini pula, kematian seorang tokoh nun jauh di sana akan diperbincangkan pula di medsos.
Dalam konteks bertakziyah, menunjukkan simpati itulah yang dimaksudkan oleh Paul Zak, seorang profesor ahli neuroeconomy, sebagai the moral molecule. Molekul moral inilah yang menjadi alas hubungan yang saling percaya, rasa empati, dan perasaan lain yang berguna dalam membangun stabilitas sosial. Pancaran rasa nyaman ini pula yang membuat orang betah berlama-lama berselancar di medsos.
Namun, sebagaimana moralitas umumnya, pengetahuan tentang baik-buruk, atau benar-salah tidak selamanya diikuti perbuatan. Sebagai panduan perilaku baik, kaidah moral selalu berada di depan dan berfungsi menuntun. Orang paling saleh sekalipun tak mungkin benar-benar mewujudkan seratus persen kaidah moral yang bersemayam di dunia idenya.
Itulah sebabnya, terlalu ceroboh mencurigai pesan di media sosial sebagai virus penyebab kejahatan. Sepertinya halnya orang yang menerima pesan viral tentang kebaikan yang belum tentu membuatnya benar-benar menjadi orang yang saleh, mereka yang menerima pesan viral yang bernada menghasut pun belum tentu benar-benar mengikuti kejahatan yang dianjurkan.
Pesan di medsos hanyalah membentuk "keadaan siap", sebuah kecenderungan untuk bertindak. Untuk menjadi tindakan nyata masih butuh penguat, utamanya soal derajat kepentingan bagi dirinya dan jauh dekatnya peristiwa (baik dekat secara geografis maupun psikologis).
Karena itu, saya tak percaya membeludaknya unjuk rasa 4 November 2016 hanya karena gencarnya pesan viral di medsos. Hanya karena hal yang diributkan menyentuh nucleus keimanan yang paling sensitiflah maka orang berduyun-duyun menuntut penegakkan hukum atas dugaan penistaan Alquran. Buktinya, banyak pengunjuk rasa yang pergi ke Jakarta tidak melihat video (baik yang "asli" maupun yang konon sudah "diedit") terlebih dahulu, bahkan tidak membaca pesan viral juga. 
Kejadian ini tak jauh beda ketika Alquran dilecehkan di penjara Guantanamo dan ibu-ibu di Jawa Timur yang mendengar kabar ini diberitakan media siap melawan kejahatan tersebut. Padahal, kejadiannya di penjara Guantanamo, suatu tempat yang takkan mudah dijangkau: selain jauh juga ketat pengamanannya.
Dalam konteks ini, pepatah yang menyatakan asap tidak bergantung kepada api melainkan kayu bakar terasa benar. Yang menentukan antusiasme pendemo bukan gencarnya serbuan pesan viral, melainkan apa yang dikatakan Ahok tentang Alquran. Hanya orang yang menganut teori keperkasaan medialah yang masih mendewakan kedahsyatan efek media dalam membentuk tindakan manusia. Namun penganut teori ini kian menurun jumlahnya.
Belum lagi kita melihat realitas kasat mata pengguna medsos di tanah air. Mereka umumnya hanya membaca untuk tahu, tapi kebanyakan tidak untuk memahami apalagi mengikutinya. Bahkan, untuk urusan pesan kebajikan, banyak pengguna medsos yang membaca tausiyah di medsos bukan untuk memahami dan mengamalkannya, melainkan hanya untuk mem-posting kembali. Tak jarang pesan tersebut sudah diposting ulang sebelum tamat membacanya. Ampun.
Itulah sebabnya, sering kali kita temukan prolog: copy paste (copas) dari sebelah, copasdari tetangga, copas dari depan, belakang, kiri, kanan; yang mengandung posting pesan yang tidak sepenuhnya baru. Maka bertumpuklah pesan atau gambar yang sama di galeri ponsel.
Dalam bahasa Sunda, kelakuan seperti ini disebut ngabejaan bulu tuur(memberitahukan sesuatu yang sudah diketahui umum). Kalau pun isinya humor tidak akan bikin ketawa, tetapi menertawakan orang yang turut mem-posting.
Tentu saja saya tidak menafikan dampak medsos bagi perilaku seseorang, namun menjadikan medsos sebagai pihak yang paling bertanggung jawab dalam menghitamputihkan kelakuan seseorang adalah tindakan yang menyederhakan persoalan. Saya yakin, lebih banyak pengguna medsos hanya membaca (bahkan tidak tamat) untuk mem-posting kembali, alih-alih membaca untuk memahami.
Sanjungan yang diterima atau citra positif yang didamba selepas mengunggah pesan akan menambah kenyamanan pengguna memanfaatkan medsos. Kenyamanan semacam ini, demikian menurut Paul Zak, dalam rentang waktu tertentu setara dengan kehangatan yang dirasakan bayi di dalam dekapan ibunya.
Namun, satu hal yang tidak disadari, bermedia sosial memberi semangat muda, bahkan jauh lebih muda hingga menyentuh nalar kekanak-kanakan. Medsos memberi ruang kepada penggunanya untuk menampilkan ulah paling lucu sekalipun, menghibur, bahkan melawan arus. Tiga sifat yang kerap teramati dari ulah anak yang berumur di bawah lima tahun. 
Ulama dan filsuf Jalaludin Rumi melukiskan fenomena ini dalam kitabnya "Fihi Ma Fihi", sebagai berikut. Dengan anugerahnya, Allah memberikan sifat kekanak-kanakan pada para orang tua, yang tidak diketahui oleh anak mana pun. Hal itu karena kekanak-kanakan akan memberi kesegaran dan membuat manusia bersemangat untuk melompat-lompat, tertawa dan bersenang-senang dalam permainan. Dia melihat dunia yang baru tanpa merasa bosan. Ketika orang tua ini juga melihat dunia menjadi baru, Allah memberikannya kegemaran dalam bermain, ia pun melompat-lompat, meremajakan kulit dan dagingnya. Lalu, Rumi pun berujar "telah nampak kemuliaan dari perkataan si tua setiap kali ketuaannya tampak".
Ketika seseorang gemar meng-copy paste tausiyah boleh jadi ia sedang dilanda semangat menatap dunia dengan cara-cara baru yang lebih baik, optimistik, menyenangkan, dan menjadi apa pun yang ia bayangkan. Demikian pula ketika ada orang yang mem-postingulang pesan bernada menghasut atau mengolok-olok, boleh jadi ia sedag menampilkan kejahilannya selagi kecil.
Jadi, alih-alih merefleksikan kesalehan atau kebejatan, tindakan mem-posting pesan viral boleh jadi hanya ungkapan kebahagiaan seseorang yang terlepas dari dunia yang membosankan, seperti bahagianya seorang anak yang bermain, melompat, dan bertingkah lucu. Boleh jadi kesalehan langit yang Anda posting baru sebatas cita-cita. Begitu pun tindakan meniru keluguan ikan beunteur (hingga cacing yang bermata pancing pun ditelan) hanya lelucon belaka.
Tapi, jangan lupa ada pidana yang mengancam, bila permainan atau sikap kekanak-kanakan Anda menyentuh sesuatu yang menistakan. Anda bisa membuat orang tertawa bersama, seperti juga mengundang kemarahan massal, namun risiko tanggung sendiri.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Comments system

Disqus Shortname