Jumat, 09 Februari 2018
Selasa, 06 Februari 2018
Menegakkan Nasionalisme Pendididikan Indonesia
Suara dari UPI
Hal : Menegakkan Nasionalisme Pendididikan Indonesia
Yang Terhormat
Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi, dan
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi
di JAKARTA
Assalamualaikum Wr. Wb.
Meningkatkan kualitas pendidikan bagi bangsa Indonesia merupakan keniscayaan. Meski demikian, upaya yang dilakukan tidak boleh mengarah pada internasionalisasi semu yang justru menjebak dunia pendidikan kita terpelanting ke jurang keterpurukan.
Ada sejumlah kebijakan yang perlu segera dievaluasi bahkan dihentikan. Salah satunya adalah kewajiban dosen dan mahasiswa melakukan publikasi internasional terindeks Scopus, mempunyai faktor dampak (impact factor) ISI Web of Science (Thomson Reuters) dan Scimago Journal Rank (SJR). Kebijakan ini, tanpa disadari, mengarah pada kolonialisasi intelektual dan mengabaikan nasionalisme pendidikan.
Kewajiban bagi dosen yang memiliki jenjang jabatan Lektor Kepala/Magister atau Lektor Kepala/Doktor serta Profesor membuat jurnal internasional dan jurnal internasional berprestasi harus didukung. Namun mengapa harus Scopus, Thomson dan Scimago? Kebijakan ini tidak dengan sendirinya membawa dunia pendidikan semakin membaik, melainkan justru menempatkan pendidikan Indonesia pada posisi tidak terhormat.
Terdapat sejumlah alasan yang perlu dikemukakan:
Pertama, semua lembaga indeks tersebut pada hakikatnya merupakan bagian dari kapitalisasi pendidikan. Persoalannya, mengapa kaum intelektual kita harus membayar kepada kapitalisme? Sudah membayar kepada mereka, toh mereka kemudian mendapatkan hasil penelitian kita. Padahal, penelitian menggunakan biaya yang tak kecil disertai usaha besar.
Lazimnya, kita yang melakukan penelitian, maka kita pula yang memanfaatkan penelitian itu untuk kepentingan sebar-besarnya bagi bangsa Indonesia. Kenyataannya, kita yang meneliti dengan biaya sendiri, mereka kemudian mendapatkan hasil penelitian dan tanpa kita tahu dimanfaatkan oleh mereka. Stop kebijakan yang mengumpankan kaum intelektual kita kepada kapitalisme.
Kedua, demi kewajiban untuk kenaikan pangkat dan meraih kepentingan pragmatis lainnya, kaum intelektual kita kerap terjebak pada “percaloan” bahkan termakan oleh jurnal “internasional” predator. Para intelektual kita harus membayar ribuan dolar agar artikelnya dimuat dalam jurnal mereka, namun pada kenyataannya jurnal internasional tersebut palsu dan sekadar jurnal pencari mangsa. Karena penerbit jurnal internasional ini abal-abal, maka tak ayal, mereka sangat aktif menyebarkan penawarannya melalui spam di berbagai email.
Ketiga, kewajiban kaum intelektual kita memiliki kualifikasi internasional merupakan keniscayaan. Persoalannya, mengapa bukan Indonesia sendiri yang membangun sistem indeks yang berkualifikasi internasional tersebut?
Selain membangun sistem indeks nasional, Indonesia mampu membangun sistem indeks internasional, asalkan dilakukan secara serius dan melibatkan para ahli sesuai kualifikasi keilmuannya. Dengan membangun sistem berkualifikasi internasional, maka bangsa Indonesia dan kaum intelektual kita bisa duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi dengan kaum intelektual lainnya. Bahkan tidak mustahil, pada gilirannya, kaum intelektual asing akan berkiblat kepada intelektualisme Indonesia. Mulailah dari sekarang membangun sistem pendidikan masa depan yang dapat membangkitkan intelektualisme Indonesia.
Keempat, memaksa kaum intelektual kita membuat artikel pada jurnal kapitalis sesunggunya penguasa telah bertindak diktator. Hanya karena diamnya kaum intelektual kita sehingga mereka tidak melakukan perlawanan. Namun seandainya bukan menyangkut kepentingan pribadi kaum intelektual, maka kebijakan ini sesungguhnya telah membuat gaduh dunia pendidikan kita.
Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi bersama Menteri PAN dan RB harus tanggap terhadap kegaduhan ini dan tidak ikut memperkeruh suasana gaduh nasional yang semakin bising. Tingkatkan kualifikasi SDM perguruan tinggi kita tidak dengan menyerahkannya kepada pasar bebas, melainkan dengan proteksi serta pembinaan di dalam negeri. Jika dalam kurun waktu tertentu tingkat kompetensi dan kualifikasi SDM kita sudah berkualifikasi internasional, maka mau dikompetisikan dengan siapa pun akan dapat memenangi persaingan itu.
Akademisi Eropa yang melakukan perlawanan intelektual atas hegemoni pasar database index dapat menjadi inspirasi Indonesia untuk tidak teralu dipusingkan dengan publikasi pada jurnal kapitalisme. Toh ujung dari intelektualisme kita adalah bagaimana memaksimalkan sumbangsih kaum intelektual bagi terciptanya kesejahteraan bangsa dan negara Indonesia.
Meningkatnya kualitas sumbangsih kaum intelektual terhadap bangsa dan negara dengan sendirinya memberikan kontribusi bagi kesejahteraan manusia secara keseluruhan. Namun, kontribusi Indonesia bagi dunia ilmiah internasional harus tetap terukur dan disesuaikan dengan kebutuhan nasional terlebih dahulu, baru setelah itu diserahkan kepada internasional. Itu pun harus ada imbal balik. Intelektual kita memberi, namun dunia internasional juga memberikan nilai lebih bagi bangsa dan negara.
Kewajiban bagi dosen yang memiliki jenjang jabatan Lektor Kepala/Magister atau Lektor Kepala/Doktor serta Profesor membuat jurnal internasional dan jurnal internasional berprestasi harus didukung. Pasal 8 tentang tentang rincian kegiatan jabatan akademik dosen poin (33) berbunyi, “(dosen) menghasilkan karya ilmiah hasil penelitian atau pemikiran yang dipublikasikan dalam jurnal ilmiah tingkat internasional."
Demikian pula Pasal 11 Peraturan Menpan RB No. 17 Tahun 2013 menyatakan, profesor mempunyai kewajiban menulis buku dan karya ilmiah serta menyebarluaskan gagasannya untuk mencerdaskan masyarakat. Namun kewajiban sekali lagi, internasionalisasi tidak harus mengumpankan kaum intelektual kita pada kapitalisme. Yang lebih penting bagi bangsa Indonesia saat ini adalah bagaimana kita menegakkan nasionalisme pendidikan.
Kementerian Ristek Dikti maupun Kementerian PAN dan RB, sebelum memberlakukan Peraturan Menteri Ristek Dikti No. 20 Tahun 2017, sebaiknya kita kaji di Mahkamah Agung, apakah permen tersebut cacat hukum atau tidak. Dalam hal ini, izinkan kami berada pada posisi sebagai pihak pengugat, sebab kami memandang bahwa permen ini cacat hukum. Yang lebih baik, Kementerian Ristek Dikti maupun Kementerian PAN dan RB tidak memberlakukan permen tersebut, sebab ada konsekuensi hukum, apabila nanti terbukti memberlakukan aturan yang cacat hukum, itu berarti kementerian tersebut melakukan pelanggaran hukum. Itu artinya, dua menteri tersebut melanggar hukum.
Sekarang Bapak sedang berkuasa bisa memaksakan permen tersebut. Namun apabila tugas sudah selesai apalagi terjadi gugatan ini, maka keadaan menjadi tidak nyaman. Saya berharap, ada solusi terbaik untuk meningkatan kualitas dunia pendidikan Indonesia.
Surat ini saya sampaikan dalam kerangka tawashau bilhak watawashaubish shabar, saling mengingatkan. Semoga Allah memberkahi kita.
Wassalamualaikum Wr. Wb.
Bandung, 8 Februari 2016
Prof. Dr. Idrus Affandi, S.H.
Guru Besar Bidang Pendidikan Politik Universitas Pendidikan Indonesia.
TEMBUSAN:
1. Kepada Yang Terhormat Rektor Perguruan Tinggi Negeri Seluruh Indonesia
2. Kepada Yang Terhormat Kopertis Seluruh Indonesia
Langganan:
Postingan (Atom)