Godlief Malatuny
(Sekretaris Konsorsium Peduli Pendidikan Maluku)
(Sekretaris Konsorsium Peduli Pendidikan Maluku)
Judul
tulisan ini sengaja saya pinjam dari kata Kahlil Gibran, sang pujangga besar
asal Libanon dalam bukunya yang berjudul Bila Cinta Bicara untuk menggambarkan
politisi yang piawai bersilat lidah dengan kata-kata manis bernada palsu.
Amat
ironis, dalam alam demokrasi seperti saat ini masih ada politisi secara riuh
menawarkan berbagai program yang muluk-muluk demi meraup keuntungan suara.
Padahal ia sendiri masih ragu dengan berbagai program yang ia tawarkan kepada
warga, mengingat banyak janji yang mesti dituntaskan jika ia berhasil menduduki
kursi yang direbut. Di situ, saya melihat ular kemunafikan dan kepalsuan
merangkak.
Terlepas
dari fenomena itu, menjelang pemilukada saya melihat politisi mempermainkan
pikiran dan otak orang-orang lemah bagai seekor kucing yang mempermainkan
seekor tikus. Alih-alih seorang politisi boleh bohong, namun tak boleh salah
adalah langkah awal baginya untuk berbicara sesuka hatinya bahkan mengandung
hoaks sekalipun, asalkan ia tak salah bertindak di hadapan warga.
Lebih-lebih,
bila ia semangat berbicara ia takkan memberi kesempatan kepada lawan bicaranya.
Pahadal, orang arif sering mengingatkan, sebuah tindakan yang terlalu
bersemangat sering hanya menunjukan kebodohan pelakunya (Suryadi, 2017).
Memang
benar, berbicara adalah "bab" dari seorang politisi, namun merasa
benar dengan apa yang dibicarakan adalah sebuah kesalahan fatal. Hati-hatilah,
sebab kesalahan paling fatal adalah merasa benar dengan pemikiran yang salah.
Dan jika hal ini terus dibiarkan, maka sangat disayangkan akan menjadi bumerang
bagi dirinya.
Berbicara
adalah hak segala bangsa, untuk itu seorang politisi boleh berbicara sesuka
hatinya, namun sampai hati bila kata-kata semanis madu yang keluar dari
mulutnya berbau hoaks karena hanya menambah deposit dosa. Sudah pasti ia akan
hancur dan kehancurannya adalah buah-buah kebohongan. Untuk itu, kepura-puraan
yang berulang di setiap musim pemilukada mesti dihentikan oleh dirinya sendiri.
Politisi seharusnya menjadi "rahmat di dalam lumbung-lumbung negeri"
seperti yang diutarakan Kahlil Gibran.
Jurus Penyelamat
Politisi
acap kali ingin "melapisi kehormatan dengan kehormatan yang lebih tinggi
sebagai penolak kenistaan zaman" seperti kata Kahlil Gibran, sehingga
dalam proses yang dicap demokrasi sekalipun masih terselip kata-kata manis
bernada palsu dari sang politisi, itulah yang disebut penulis sebagai racun
semanis madu.
Beragam
isu, entah baik maupun buruk digoreng sematang mungkin oleh politisi agar bisa
dikonsumsi oleh warga. Tiga langkah bijak yang menjadi jurus penyelamat
terhadap isu palsu yang beredar selama musim pemilukada.
Kesatu,
warga mesti melakukan klarifikasi berganda tentang isu yang ditebarkan oleh
politisi. Mengecek fakta secara berulang kali demi memastikan kebenarannya.
Teori korespondensi menegaskan bila sebuah pernyataan tidak sesuai dengan, atau
tidak merujuk fakta yang sahih, maka pernyataan tersebut palsu/bohong.
Kedua,
membedah setiap pernyataan politisi menjadi hal mutlak, agar kekurangan dan
kesalahan bisa dielak. Memang, kekurangan dan kesalahan politisi boleh saja
ditoleransi, tetapi sikap kritis warga tidak boleh berhenti. Warga mesti
menguji politisi yang sedang unjuk diri agar warga tak sampai salah memilih.
Ketiga,
menjelang pemilukada, politisi acap kali bertaruh badan layaknya tim sepak bola
yang bermain di ujung waktu pertandingan, semua kekuatan dikerahkan dengan
strategi yang tepat agar tim meninggalkan lapangan dengan kepala tegak.
Alih-alih jurus ampuh mulai dari kampanye damai hingga black campaign dan money
politics mencuat ke permukaan secara diam-diam demi mengalahkan lawan
politik. Inilah yang menyebabkan kisruh antarpolitisi tidak akan berhenti
sepanjang musim pemilukada.
Warga
tak boleh buta dan tuli, lebih-lebih warga harus pandai mengenali siapa
politisi yang peduli terhadap persoalan yang melilit kehidupan bangsa. Yang
diperlukan adalah komitmen dan keberanian mengatasi persoalan, agar kita tidak
seperti apa yang dikatakan Schiller: "sebuah bangsa yang besar namun
bingung dengan amalan".
Akhir
kata, meski demokrasi selalu memberi ruang bagi politisi untuk berkompetisi
merebut jabatan, namun tak semestinya politisi menebarkan beragam program
muluk-muluk yang tak dapat direalisasikan agar warga tak memandang demokrasi
sebagai proses yang menjengkelkan, lebih dari itu mereka tak mengubur kepercayaan
terhadap setiap perkataan politisi.***