Godlif Malatuny
(Akademisi Universitas Pattimura)
Para pembaca yang terhormat, pendidikan
menjadi jalan vital untuk membangun kehidupan, lebih-lebih dipandang penting sebagai
ruang untuk membimbing, mengarahkan, dan membentuk setiap kewargaan agar
menjadi baik dan cerdas (smart and good
citizen).
Sekilas, kata-kata di atas memang
terlihat sebagai konsep yang tak bermasalah. Namun, saya kembali memutar otak
untuk sibuk memikirkan; jika pendidikan bisa membangun kehidupan dan membuat
setiap anak bangsa menjadi lebih baik dan cerdas, hingga sejauh ini di Tanah
Air kita pasti tak ada lagi orang-orang jahat. Nyatanya tidak. Najwa Shihab masih
mengatakan, kejahatan dan pembiaraan ada di mana-mana.
Lebih dari itu, kita dapat menyaksikan deretan
fakta buruk yang turut membumbui dunia pendidikan seperti bullying, tawuran antar pelajar, narkoba, sikap intoleran, pungli, hingga
korupsi yang dilakukan oleh anak bangsa yang pernah lahir dari rahim pendidikan.
Tak boleh heran, jika di saat sebagian
besar anak bangsa mengais-ngais rupiah, terdapat sekelompok orang, rata-rata
dari kelas menengah ke atas yang wangi kerap mengobral rupiah, sehingga mobil
mewah meluncur tiap hari.
Tak kalah buruknya, pendidikan bangsa kita
dalam satu dekade terakhir lebih banyak terarah pada kepentingan-kepentingan
praktis hidup, yaitu melayani pasar ketimbang membangun kehidupan. Sebut saja perdagangan
bebas Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) dimana anak-anak
bangsa dipicu (lewat pendidikan) untuk mengejar keuntungan yang
sebesar-besarnya demi kemakmuran pribadi dan sanak famili.
Keberhasilan-keberhasilan pendidikan
selalu diletakkan dengan ukuran-ukuran pasar, bersifat pragmatis, mekanistis,
dan normatif. Tak pelak lagi, pendidikan ideal yang diimpikan hanya sebatas
jari yang menunjuk bulan.
Mungkin para pembaca yang terhormat merasa hal ini
berlebihan, dibesar-besarkan, dan tendensius. Namun saya meyakini, potret
pendidikan bangsa kita dalam satu dekade terakhir sungguh memprihatinkan dan
gagal dalam membangun kehidupan bangsa yang bermartabat.
Mari Kita Bangun Kembali
Sampai hati bila beragam problematik
yang melanda pendidikan bangsa kita dininabobokan, karena bisa membuat bangunan
kehidupan bangsa kita takkan bertahan lama di tengah gempuran budaya dan
persaingan bangsa lain.
Diperlukan adanya kesukarelaan yang
tulus dari setiap anak bangsa yang terdidik untuk membangun kehidupan anak
bangsa yang lain melalui tiga langkah. Kesatu, peran pendidik di wilayah sekolah
tak boleh hanya sebatas “mengajar” namun juga “mendidik” agar anak bangsa tak
hanya cerdas namun berkarakter baik (good
character). Karena kata cerdas dan baik harus berpadu dalam setiap pribadi
anak bangsa.
Kedua,
terus membangun kehidupan anak bangsa melalui
keteladanan
walaupun tetap hening dari ingar-bingar
berita. Hendaklah setiap kita yang terdidik mengajar dengan keteladanan sebelum
mengajar dengan kata-kata. Karena keteladanan memang lebih mudah diserap
anak-anak bangsa daripada teori-teori yang kering.
Ketiga, sebagai penghargaan yang
sebesar-besarnya kepada Bapak Pendidikan Nasional, Ki Hajar Dewantara, maka kita
mesti kembali menerapkan semboyan dalam pendidikan yang ia cetuskan; Ing Ngarsa
Sung Tuladha yang berarti di depan memberi contoh, Inga Madya Mangun Karsa; di tengah
memberi semangat, dan Tutwuri Handayani; di belakang memberi dorongan.
Walaupun Sang Tokoh Pendidikan Nasional sudah bersemayam dalam ketentraman namun kuyakin, warisan ilmu dan keteladanannya takkan pernah lapuk ditimbun waktu, takkan hilang ditelan lipatan sejarah.***