Kamis, 07 Juni 2018

Membangun Kehidupan


Godlif Malatuny
(Akademisi Universitas Pattimura)

 

Para pembaca yang terhormat, pendidikan menjadi jalan vital untuk membangun kehidupan, lebih-lebih dipandang penting sebagai ruang untuk membimbing, mengarahkan, dan membentuk setiap kewargaan agar menjadi baik dan cerdas (smart and good citizen).

Sekilas, kata-kata di atas memang terlihat sebagai konsep yang tak bermasalah. Namun, saya kembali memutar otak untuk sibuk memikirkan; jika pendidikan bisa membangun kehidupan dan membuat setiap anak bangsa menjadi lebih baik dan cerdas, hingga sejauh ini di Tanah Air kita pasti tak ada lagi orang-orang jahat. Nyatanya tidak. Najwa Shihab masih mengatakan, kejahatan dan pembiaraan ada di mana-mana.

Lebih dari itu, kita dapat menyaksikan deretan fakta buruk yang turut membumbui dunia pendidikan seperti bullying, tawuran antar pelajar, narkoba, sikap intoleran, pungli, hingga korupsi yang dilakukan oleh anak bangsa yang pernah lahir dari rahim pendidikan.

Tak boleh heran, jika di saat sebagian besar anak bangsa mengais-ngais rupiah, terdapat sekelompok orang, rata-rata dari kelas menengah ke atas yang wangi kerap mengobral rupiah, sehingga mobil mewah meluncur tiap hari.

Tak kalah buruknya, pendidikan bangsa kita dalam satu dekade terakhir lebih banyak terarah pada kepentingan-kepentingan praktis hidup, yaitu melayani pasar ketimbang membangun kehidupan. Sebut saja perdagangan bebas Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) dimana anak-anak bangsa dipicu (lewat pendidikan) untuk mengejar keuntungan yang sebesar-besarnya demi kemakmuran pribadi dan sanak famili.

Keberhasilan-keberhasilan pendidikan selalu diletakkan dengan ukuran-ukuran pasar, bersifat pragmatis, mekanistis, dan normatif. Tak pelak lagi, pendidikan ideal yang diimpikan hanya sebatas jari yang menunjuk bulan.
                                                  
Mungkin para pembaca yang terhormat merasa hal ini berlebihan, dibesar-besarkan, dan tendensius. Namun saya meyakini, potret pendidikan bangsa kita dalam satu dekade terakhir sungguh memprihatinkan dan gagal dalam membangun kehidupan bangsa yang bermartabat.

Mari Kita Bangun Kembali

Sampai hati bila beragam problematik yang melanda pendidikan bangsa kita dininabobokan, karena bisa membuat bangunan kehidupan bangsa kita takkan bertahan lama di tengah gempuran budaya dan persaingan bangsa lain.

Diperlukan adanya kesukarelaan yang tulus dari setiap anak bangsa yang terdidik untuk membangun kehidupan anak bangsa yang lain melalui tiga langkah. Kesatu, peran pendidik di wilayah sekolah tak boleh hanya sebatas “mengajar” namun juga “mendidik” agar anak bangsa tak hanya cerdas namun berkarakter baik (good character). Karena kata cerdas dan baik harus berpadu dalam setiap pribadi anak bangsa.

Kedua, terus membangun kehidupan anak bangsa melalui keteladanan walaupun tetap hening dari ingar-bingar berita. Hendaklah setiap kita yang terdidik mengajar dengan keteladanan sebelum mengajar dengan kata-kata. Karena keteladanan memang lebih mudah diserap anak-anak bangsa daripada teori-teori yang kering.

Ketiga, sebagai penghargaan yang sebesar-besarnya kepada Bapak Pendidikan Nasional, Ki Hajar Dewantara, maka kita mesti kembali menerapkan semboyan dalam pendidikan yang ia cetuskan; Ing Ngarsa Sung Tuladha yang berarti di depan memberi contoh, Inga Madya Mangun Karsa; di tengah memberi semangat, dan Tutwuri Handayani; di belakang memberi dorongan.
Walaupun Sang Tokoh Pendidikan Nasional sudah bersemayam dalam ketentraman namun kuyakin, warisan ilmu dan keteladanannya takkan pernah lapuk ditimbun waktu, takkan hilang ditelan lipatan sejarah.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Comments system

Disqus Shortname