Selasa, 06 Desember 2016

Kesetiaan Politis

Prof. Dr. Karim Suryadi, M.Si

Peneliti komunikasi politik, dosen FPIPS Universitas Pendidikan Indonesia, kolumnis Pikiran Rakyat

SETIAP pemilihan umum kepala daerah (pemilukada) selalu memunculkan “badai dalam secangkir kopi”, suasana panas dan tegang di kalangan elit, namun diklaim sebagai kegelisahan publik. Padahal, sejujurnya publik tetap adem ayem. Tengok masyarakat Betawi, meski tiap hari televisi nasional mewartakan jalan menuju Jakarta 1, namun masyarakatnya tetap tenang. Hanya sedikit pergerakan yang dimotori relawan, selebihnya mengamati dalam diam.
Gambaran serupa ditemui pada warga Jawa Barat, atau penduduk CImahi, yang tetap landai meski klaim dukungan terhadap bakal calon dan baliho berderet di pingggir jalan. Gambaran tidak jauh beda, dapat ditemukan di daerah lain yang dijadwalkan menggelar pemilukada serentak pada 2017.
Hingga kini, kontestasi politik Indonesia masih menjadi kegiatan ad hoc. Tidak seperti aktivitas menanam padi, yang tidak cukup hanya menebar benih dan memanen, kontestasi politik Indonesia hanya semarak ketika musim pemilihan tiba. Lalu hening ketika pemilihan usai, dan hubungan elit dan massa pun melonggar begitu jabatan habis terdistribusi. Kegairahan publik dibangkit-bangkitkan kembali jelang tiba pemilu berikutnya.
Kandidasi yang lebih menekankan aspek-aspek yang disukai alih-alih kemampuan memimpin tidak membangkitkan impresi mendalam bagi publik. Bahkan sikap kandidat yang hanya menjadikan partai politik semata-mata kendaraan (dan karenanya bisa dengan mudah berganti bila tidak sesuai dengan kepentingan politisnya) tidak menghapus gambaran kurang baik tentang politisi dan partai politik dalam benak publik.
Namun tidak ada gambaran yang lebih memilukan ketika mendapati pemilukada harus menyisakan dendam dan permusuhan. Kompetitor dipandang sebagai lawan, bahkan musuh. Ujung-ujungnya yang menang meraup semuanya, dan menempatkan yang kalah di luar sistem. Lebih naif lagi permusuhan bukan hanya terjadi antara kandidat yang kalah dengan pemenang, tetapi antara pemenang dengan pejabat sebelumnya karena partai dan sikap politik dalam pemilu yang berbeda.
Kontestasi politik sebagai inkubator kebencian harus diakhiri jika masih percaya bahwa demokrasi adalah pilihan orang-orang berakal sehat. Pun pengkhianatan terhadap kepercayaan pemilih harus dihentikan bila masih percaya bahwa pemimpin tanpa pengikut tak ubahnya kepala yang terlepas dari raga.
Jika mau, peluang memutus kebiasaan buruk dalam berpolitik tetap terbuka. Baik buruknya gambaran politik bergantung kepada tindakan para aktornya. Kualitas proses dan hasil politik tidak akan melampaui kapasitas politisinya.
Di tengah kegalauan menyaksikan akrobat politisi menyongsong pemilukada, saya sangat senang membaca kisah yang ditulis Bajasur & Hakiem, 2014, yang dikutip Yudi Latif, 2014. Sebuah kisah teladan kesetiakawanan mereka yang berbeda dalam pemikiran politik namun bersahabat dan saling membantu dalam kehidupan sosial. Prawoto Mangkusasmito, tokoh Partai Masyumi yang pernah menjadi Wakil Perdana Menteri (1952-1953) dan Wakil Ketua I Konstituante (1956-1959), sampai akhir tahun 1950-an belum memiliki rumah. Di tengah perbedaan pandangan politik yang tajam menyangkut Dasar Negara di Konstituante, I. J. Kasimo, tergerak memberi bantuan tatkala mendengar Pak Prawoto hendak membeli rumah yang sudah enam tahun disewanya. Kebetulan Kasimo kenal dengan pemilik rumah tersebut yang tinggal di Maastrich, Belanda, hingga rumah tersebut dapat dibeli Pak Prawoto.
Ini adalah kebajikan politis yang otentik. Perbedaan pandangan politik tidak menjadi katalisator hubungun baik dan persahabatan yang tulus.
Nyatanya, kebajikan politis bukan hanya dipertontonkan negarawan di tanah air, tetapi juga diperlihatkan oleh politisi yang sudah matang. Benedetto, dalam Politicans are People Too, 2006, memotret sketsa politik George Voinovich, mantan walikota Republikan dari Cleveland, yang kemudian menjadi Gubernur Ohio, dan senator Amerika.
Dia adalah orang nomor satu, yang memimpin kota Cleveland, dengan visi yang brilyan. Benedetto, menyebutnya sebagai wali kota yang melangkah jauh melebihi panggilan tugasnya dalam memperluas kebiasaan saling menolong. Pujian ini terkait komitmen kuat Voinovich terhadap aktivitas para pemimpin komunitas, yang melumasi kehidupan sosial Amerika dengan beragam kebajikan sosial.
Selain komitmennya dalam mendorong modal sosial, catatan penting Voinovich terkait preferensi kepartaiannya. Sebagai Republikan, Voinovich mendukung Bob Dole yang mencalonkan diri sebagai presiden. Dukungan pun diberikan penuh. Namun dukungannya berbuah kecewa karena Bob Dole memilih Jack Kemp untuk posisi wakil presiden. Bob Dole tidak menggandeng Voinovich, yang dianggapnya sebagai lawan unggul untuk orang nomor dua pada tiket Partai Republik ke kursi presiden. Namun pilihan Bob Dole tidak melemahkannya dalam mendukung kadidasi Dole, yang pada akhirnya kalah melawan Bill Clinton. Meski kecewa berat, loyalitas terhadap partainya terjaga, karena bagi George Voinovich kesetiaan adalah kebajikan.
Tentu saja masyarakata Kota Surabaya tak perlu menoleh jauh untuk menemukan gambaran wali kota yang melangkah dengan visi menata kehidupan warganya. Di tengah kebiasaan kepala daerah yang suka meniru gaya politik angsa (berteriak-teriak namun tak beranjak), Bu Risma sukses menata Kota Surabaya. Keberhasilannya dalam memperlebar Jalan Ahmad Yani dari bundaran Waru hingga Wonokromo (kurang lebih empat kilometer) adalah salah satu testimoni kerja kerasnya, sekaligus kedekatannya dengan warga. Bagi siapa pun, akan sulit memimpin kota besar tana penerimaan warganya.
Meski dunia politik identik dengan kontestasi, namun ruang untuk berbuat kebajikan tidak akan tertutup bila hati para politisinya masih terbuka. Kesetiaan politis tidak bertepi pada motif pribadi, melainkan melahirkan keputusan dan tindakan berani dalam mewujudkan apa yang dipikirkan, dirasakan, dan dimaui publik.
Kontestasi yang dibalut permusuhan harus diakhiri, karena jika dibiarkan berulang tak ubahnya tindakan membangun keterbelakangan. Lebih dari itu, pola pikir yang menganggap dendam sebagai buah yang wajar dari persaingan politik harus dikubur, sebab kontestasi politik sejatinya adalah pilihan rasional untuk melakukan contest of beauty, memilih orang-orang terbaik dari yang terpilih.**

Hollywood

Prof. Dr. Karim Suryadi, M.Si

Peneliti komunikasi politik, dosen FPIPS Universitas Pendidikan Indonesia, kolumnis Pikiran Rakyat

DALAM satu dekade terakhir Jawa Barat dipimpin oleh aktor kondang. Tidak jelas benar apa yang menjadi asbabul nuzul munculnya aktor dalam kancah politik tatar Parahyangan. Satu hal yang sulit disangkal, wilayah ini amat digemari artis, sekaligus menjadi rebutan politisi kondang. Tak heran, bila deretan nama tenar selalu menghiasi daftar calon, baik dalam pemilihan kepala daerah maupun legislatif.
Kemunculan artis dalam bursa calon kepala daerah Jawa Barat sepertinya akan berlanjut dalam Pemilihan Gubernur 2018. Jauh sebelum masa pendaftaran dimulai, sosok artis telah digadang-gadang sebagai bakal calon. Fenomena ini akan mengukuhkan tudingan bahwa warga Jawa Barat hanya memilih gubernur dan wakil gubernur yang sedap dipandang mata.
Gemerlap artis dalam panggung pemilukada tidak banyak ditemukan di daerah lain. Tidak pula di ibu kota, tempat dimana kebanyakan artis tinggal dan mencari nafkah. Lalu apa yang menjadi magnet para pesohor untuk maju dari daerah pemilihan Jawa Barat? Apa pula tali pengikat (cliffhanger) yang menghubungkan Jawa Barat dengan dunia artis?
Hingga kini belum ada jawaban faktual atas kedua pertanyaan tersebut. Namun para fans "politisi seleb" selalu merujuk kepada kemunculan aktor dalam bursa politik Barat. Selain Ronald Reagan, aktor kondang Arnold Alois Schwarzeneger paling sering dijadikan pembenar.
Arnold Schwarzeneger adalah ikon film laga yang laris manis dalam bursa pasar layar lebar dunia. Penggemarnya tersebar di mana-mana. Bagi penggemar film di tanah air, aktor pemeran film Terminator, Commando, dan Total Recall tersebut bukanlah sosok asing. Tak heran ketika aktor kondang dan binaragawan tersebut maju dalam pemilihan Gubernur California menyedot perhatian publik di tanah air. Keberhasilannya menduduki kursi Gubernur California ke-38 telah menjadi inspirasi bagi banyak aktor untuk mencoba peruntungannya dalam panggung politik.
Menelusuri hubungan Arnold dengan kursi Gubernur California lebih mudah ketimbang melacak alasan sosiologis kemunculan artis dalam panggung politik Jawa Barat. Di Californialah industri fillm Hollywood berada. Nosi "Aktor Hollywood" telah menjadi stempel, sekaligus hipotek penjamin kualitas keaktoran seorang sineas.
Popularitas California bukan hanya ditopang Hollywood sebagai barometer industri film dunia, tetapi juga oleh eksotika kota-kota yang ada di negara bagian ini. Los Angeles yang dijuluki "kota ratu para malaikat", Pasadena yang terkenal dengan parade bunga tiap tahun, atau kota Beverly Hills yang melegenda karena namanya diangkat sebagai judul serial televisi remaja "Beverly Hills 90210".
Dalam konteks seperti ini kemunculan Arnold seolah mengukuhkan California sebagai pusat industri film nomor wahid. Bagi California, Arnold adalah telor bagi tumpeng. Kemunculannya tidak sekadar menjadi pemanis buatan, melainkan merangkum dan menggenapkan kesempurnaan wajah kota.
Di luar hubungannya yang sahih dengan karakter Hollywood sebagai ikon industri film dunia, Arnold terjun sebagai politisi Partai Republik dengan deposit politik yang valid. Jauh sebelum memutuskan terjun ke panggung politik, Arnold dikenal sebagai sosok yang memiliki kepedulian sosial yang tinggi. Pengalaman Arnold dalam menangani masalah sosial membuatnya mudah memahami emosi publik, sekaligus peka terhadap tekanan ekonomi yang dirasakan warga.
Inilah legacy yang ditinggalkan Arnold dalam bursa kandidasi politik. ia melenggang ke bursa kandidat bukan hanya menunggangi popularitas, tetapi bermodal pengalaman keterlibatan dalam menangani urusan publik.
Aspek inilah yang absen dari ceruk pengalaman kandidat di tanah air. Banyak kandidat muncul tiba-tiba. Minus pengalaman menangani urusan publik, dan mengandalkan dramaturgi semata. Bila fragmen seperti ini terus diulang, maka jangan kaget ketika yang muncul adalah tokoh yang disukai namun sesungguhnya tidak dibutuhkan.***

Kesalehan Langit

Prof. Dr. Karim Suryadi, M.Si

Peneliti komunikasi politik, dosen FPIPS Universitas Pendidikan Indonesia,
kolumnis Pikiran Rakyat

DUA hari lalu, saya takziyah, mengunjungi kediaman seseorang yang baru saja meninggal dunia. Seperti biasa, pesan viral soal kepergian kawan saya itu telah menghiasi ruang media sosial (medsos) beberapa jam sebelumnya. Dengan beragam cara, kawan di grup atau kontak di jaringan pribadi, mengekspresikan rasa duka dan empatinya dengan beragam gaya, seakan tengah kontes ucapan bela sungkawa.
Namun, ketika tiba di rumah duka, pemandangan lain tersaji. Simpati dan kehangatan di jejaring medsos tak terasa di sini. Mereka yang menyatakan duka mendalam dan simpatinya tidak datang takziyah.
Duka yang mendalam terpancar dari bibir mata yang sembap para anggota keluarga, serta wajah kusut dan lelah para kerabat. Di sekeliling mereka, raut wajah sedih mendominasi. Mereka umumnya saudara dan tetangga almarhum. Lalu, mana kawan-kawan yang galecok (ramai) di medsos? Akankah (lagi-lagi) rame ing medsos, sepi ingalam nyata?
Ini pertanyaan berulang, namun tidak pernah dipikir berkepanjangan. Bila pertanyaan ini dilontarkan kepada mereka yang aktif di medsos, namun tak hadir di rumah duka, sudah dapat ditebak jawabannya. Beragam alasan akan muncul, namun mereka umumnya mengaku telah melakukan sesuatu yang paling minimal, yakni menunjukkan simpati. Atas alasan ini pula, kematian seorang tokoh nun jauh di sana akan diperbincangkan pula di medsos.
Dalam konteks bertakziyah, menunjukkan simpati itulah yang dimaksudkan oleh Paul Zak, seorang profesor ahli neuroeconomy, sebagai the moral molecule. Molekul moral inilah yang menjadi alas hubungan yang saling percaya, rasa empati, dan perasaan lain yang berguna dalam membangun stabilitas sosial. Pancaran rasa nyaman ini pula yang membuat orang betah berlama-lama berselancar di medsos.
Namun, sebagaimana moralitas umumnya, pengetahuan tentang baik-buruk, atau benar-salah tidak selamanya diikuti perbuatan. Sebagai panduan perilaku baik, kaidah moral selalu berada di depan dan berfungsi menuntun. Orang paling saleh sekalipun tak mungkin benar-benar mewujudkan seratus persen kaidah moral yang bersemayam di dunia idenya.
Itulah sebabnya, terlalu ceroboh mencurigai pesan di media sosial sebagai virus penyebab kejahatan. Sepertinya halnya orang yang menerima pesan viral tentang kebaikan yang belum tentu membuatnya benar-benar menjadi orang yang saleh, mereka yang menerima pesan viral yang bernada menghasut pun belum tentu benar-benar mengikuti kejahatan yang dianjurkan.
Pesan di medsos hanyalah membentuk "keadaan siap", sebuah kecenderungan untuk bertindak. Untuk menjadi tindakan nyata masih butuh penguat, utamanya soal derajat kepentingan bagi dirinya dan jauh dekatnya peristiwa (baik dekat secara geografis maupun psikologis).
Karena itu, saya tak percaya membeludaknya unjuk rasa 4 November 2016 hanya karena gencarnya pesan viral di medsos. Hanya karena hal yang diributkan menyentuh nucleus keimanan yang paling sensitiflah maka orang berduyun-duyun menuntut penegakkan hukum atas dugaan penistaan Alquran. Buktinya, banyak pengunjuk rasa yang pergi ke Jakarta tidak melihat video (baik yang "asli" maupun yang konon sudah "diedit") terlebih dahulu, bahkan tidak membaca pesan viral juga. 
Kejadian ini tak jauh beda ketika Alquran dilecehkan di penjara Guantanamo dan ibu-ibu di Jawa Timur yang mendengar kabar ini diberitakan media siap melawan kejahatan tersebut. Padahal, kejadiannya di penjara Guantanamo, suatu tempat yang takkan mudah dijangkau: selain jauh juga ketat pengamanannya.
Dalam konteks ini, pepatah yang menyatakan asap tidak bergantung kepada api melainkan kayu bakar terasa benar. Yang menentukan antusiasme pendemo bukan gencarnya serbuan pesan viral, melainkan apa yang dikatakan Ahok tentang Alquran. Hanya orang yang menganut teori keperkasaan medialah yang masih mendewakan kedahsyatan efek media dalam membentuk tindakan manusia. Namun penganut teori ini kian menurun jumlahnya.
Belum lagi kita melihat realitas kasat mata pengguna medsos di tanah air. Mereka umumnya hanya membaca untuk tahu, tapi kebanyakan tidak untuk memahami apalagi mengikutinya. Bahkan, untuk urusan pesan kebajikan, banyak pengguna medsos yang membaca tausiyah di medsos bukan untuk memahami dan mengamalkannya, melainkan hanya untuk mem-posting kembali. Tak jarang pesan tersebut sudah diposting ulang sebelum tamat membacanya. Ampun.
Itulah sebabnya, sering kali kita temukan prolog: copy paste (copas) dari sebelah, copasdari tetangga, copas dari depan, belakang, kiri, kanan; yang mengandung posting pesan yang tidak sepenuhnya baru. Maka bertumpuklah pesan atau gambar yang sama di galeri ponsel.
Dalam bahasa Sunda, kelakuan seperti ini disebut ngabejaan bulu tuur(memberitahukan sesuatu yang sudah diketahui umum). Kalau pun isinya humor tidak akan bikin ketawa, tetapi menertawakan orang yang turut mem-posting.
Tentu saja saya tidak menafikan dampak medsos bagi perilaku seseorang, namun menjadikan medsos sebagai pihak yang paling bertanggung jawab dalam menghitamputihkan kelakuan seseorang adalah tindakan yang menyederhakan persoalan. Saya yakin, lebih banyak pengguna medsos hanya membaca (bahkan tidak tamat) untuk mem-posting kembali, alih-alih membaca untuk memahami.
Sanjungan yang diterima atau citra positif yang didamba selepas mengunggah pesan akan menambah kenyamanan pengguna memanfaatkan medsos. Kenyamanan semacam ini, demikian menurut Paul Zak, dalam rentang waktu tertentu setara dengan kehangatan yang dirasakan bayi di dalam dekapan ibunya.
Namun, satu hal yang tidak disadari, bermedia sosial memberi semangat muda, bahkan jauh lebih muda hingga menyentuh nalar kekanak-kanakan. Medsos memberi ruang kepada penggunanya untuk menampilkan ulah paling lucu sekalipun, menghibur, bahkan melawan arus. Tiga sifat yang kerap teramati dari ulah anak yang berumur di bawah lima tahun. 
Ulama dan filsuf Jalaludin Rumi melukiskan fenomena ini dalam kitabnya "Fihi Ma Fihi", sebagai berikut. Dengan anugerahnya, Allah memberikan sifat kekanak-kanakan pada para orang tua, yang tidak diketahui oleh anak mana pun. Hal itu karena kekanak-kanakan akan memberi kesegaran dan membuat manusia bersemangat untuk melompat-lompat, tertawa dan bersenang-senang dalam permainan. Dia melihat dunia yang baru tanpa merasa bosan. Ketika orang tua ini juga melihat dunia menjadi baru, Allah memberikannya kegemaran dalam bermain, ia pun melompat-lompat, meremajakan kulit dan dagingnya. Lalu, Rumi pun berujar "telah nampak kemuliaan dari perkataan si tua setiap kali ketuaannya tampak".
Ketika seseorang gemar meng-copy paste tausiyah boleh jadi ia sedang dilanda semangat menatap dunia dengan cara-cara baru yang lebih baik, optimistik, menyenangkan, dan menjadi apa pun yang ia bayangkan. Demikian pula ketika ada orang yang mem-postingulang pesan bernada menghasut atau mengolok-olok, boleh jadi ia sedag menampilkan kejahilannya selagi kecil.
Jadi, alih-alih merefleksikan kesalehan atau kebejatan, tindakan mem-posting pesan viral boleh jadi hanya ungkapan kebahagiaan seseorang yang terlepas dari dunia yang membosankan, seperti bahagianya seorang anak yang bermain, melompat, dan bertingkah lucu. Boleh jadi kesalehan langit yang Anda posting baru sebatas cita-cita. Begitu pun tindakan meniru keluguan ikan beunteur (hingga cacing yang bermata pancing pun ditelan) hanya lelucon belaka.
Tapi, jangan lupa ada pidana yang mengancam, bila permainan atau sikap kekanak-kanakan Anda menyentuh sesuatu yang menistakan. Anda bisa membuat orang tertawa bersama, seperti juga mengundang kemarahan massal, namun risiko tanggung sendiri.***

Jumat, 02 Desember 2016

Gerakan Bhinneka Tunggal Ika


Perbedaan Diciptakan Untuk Saling Menguatkan


Indonesia negeri yang kaya
Jadikan perbedaan ini semangat untuk bersatu
Tunjukan kita generasi yang mampu rukun dalam keberagaman
Ayo! Bangun Indonesia ke arah yang lebih baik
Kita harus percaya, karena Indonesia itu KITA
=============================================
Tanah airku memang Indah
Tanah airku memang kaya
Kemanapun aku pergi, sejauh apapun aku bekerja di negri seberang, aku akan pulang untuk tanah airku, INDONESIA
============================================
Tanah airku kaya akan budaya
Banyak akan potensi
Penuh ragam cerita dan bersejarah
Indonesia kita kaya akan moral
Banyak akan karya, penuh akan inspirasi dan inovasi
Mari semua bersama membangun Indonesia
Demi Indonesia yang lebih baik
===========================================
Indonesia satu mimpi membangun bersama
Sentuhan dan gerakan berpadu dalam keanekaragaman budaya
Berjalan beriringan menuju Indonesia yang satu, Indonesia bersama.
Karena Indonesia itu KITA.
==========================================
“Tak harus pintar, tapi jangan mudah dibohongi”
Kebanyakan orang, selalu menilai tanpa pikir panjang, entah benar atau salah?
Yang pada akhirnya menimbulkan masalah baru bagi orang lain
BIASAKAN berpikir sebelum bertindak untuk Membangun Indonesia Lebih Baik.
=========================================
Wahai kau harapan
Kau awalan dari setiap tujuan
Kau harmoni yang menemani dalam setiap perjalanan
Kau menjadi gerbang kami pada cita-cita akan perubahan
Wahai kau sang asa, kau membara dalam dada ratusan jiwa anak bangsa
Yang memupuk percaya bahwa cahaya negeri ini sanggup menyilaukan siapa saja
Kau yang menjadikan kami berani disebut sebagai pemimpi, tapi kami adalah pemimpi yang punya langkah-langkah pasti
Langkah-langkah yang bergerak.
langkah-langkah yang menyerap dan menggerakan segala harapan.
Dengan segenap kecintaan pada tanah air Indonesia, kami siap menggerakkan harapan bangsa.
============================================
Setiap anak mempunyai mimpi dan cita-cita, begitu pula denganku
Keterbatasan bukanlah halangan untuk menggapai cita-cita kita demi Indonesia, karena Indonesia adalah KITA
============================================
Indonesia, penuh dengan keanekaragaman budaya
Kreativitas yang tiada hentinya serta kekayaan alam yang begitu Indah
Ayo! Kita junjung tinggi Indonesia
Tunjukkan pada dunia bahwa Indonesia itu Surga nya Dunia
INDONESIA KITA
=============================================
“Generasi Latah”
Indonesia itu proses
Generasi kerap luput bertanya
Latah harus menjadi siapa
Warisan secanggih itu justru membodohi
Akhirnya kita menjadi aku,
Jika semua masih tentang aku, maka berbeda tetap dianggap salah
Jika iya, ini soal memiliki, mengapa kerap lupa tentang generasi
INDONESIAkah KITA?
=============================================
Orang Indonesia bisa mengubah keterbatasan jadi kebebesan
Dari main-main jadi bukan main
Tidak cuman bereaksi tapi juga berkreasi
Indonesia kita punya cita-cita.
Indonesia bagaikan mutiara
Cahanya lebut berikan cinta
Luasnya memanjakan mata
Tersembunyi dibalik tatap dunia
Megarnya hingga ke langit angkasa
Bijaknya abadi ribuan aba
Indonesia adalah mahakarya
#CatatanKaki
=============================================
Semesta mengajari kita untuk terus menanamkan kebaikan
Karena berperan dalam kehidupan selalu ada ruang dan kesempatan
Menjejak di bumi Sang Milik Maha Hidup dengan kesahajaan
Menjaga nur yang sejati agar tak redup, dialah pengetahuan
Menyalakan energi, berbagi diri yang hakikatnya jauh dari abadi
Kita semua bisa melakukannya.
Mari terus berbagi dan menanamkan kebaikan

@MetroTV
#IndonesiaKITA


Kamis, 24 November 2016

INCREASING GLOBAL CITIZENS AWARENESS THROUGH PROJECT CITIZEN MODEL


Zaky Farid Luthfi, S.Pd., Yakob Godlif Malatuny, S.Pd 2
zaky.farid@student.uns.ac.id1, godlief_malatuny@yahoo.com2
1Universitas Sebelas Maret
2Universitas Pattimura

ABSTRACT
The current definition of nationality is increasingly widespread from the concept of denizen to the human being, because of the lack of awareness of global citizens against its existence, project learning model citizen is considered effective to solve the problem. Writing aims to explain comprehensively about the parameters of global citizenship and global citizenship education, implications of globalization against the citizenship and the citizen project learning model. The method of writing using an approach to the study of librarianship. Results of the study in writing as follows: global citizen emphasizes on capability of learners who have the ability to widely related issues that developed in the world, project learning model citizen in komperhensip able to give new experience for learners, increased awareness of global citizens through project learning model citizen able to stimulate students to think critically, creative and innovative.

Keywords: global citizens awareness, project citizen model

INTRODUCTION
Developments in the era of globalization have an impact on the progress in various fields of human life around the world, including progress in science, technology, and information. Globalization is one of the probe led to the shift of the real field of human life. As in the field of information technology and the internet as smartphone presence eliminates boundaries between countries so global issues accessible only by accessing the news through the media. The meaning of citizenship in the era of global capitalism has moved from concept denizen to human being (Turner in Kalijernih, 2011: 8).
Global problems of cross country that emerged as a result of fierce globalisation and rapid technological advances. This is certainly an impact also on the realm of civic education. Global issues such as natural resources are thinning, the conflict between countries such as in the Middle East, and global warming become central issues. To solve this problem need a new approach through citizenship education. The new approach is called by Charles Titus as civic education for understanding the global citizen's consciousness that is in the form of new viewpoints and dedication on civic education. This understanding which then required skill to have global citizen perspective.
Civic education has a strategic role in building awareness of global citizenship. Citizenship education is not limited to learn the rights and obligations of citizens, but more extensive and deep including preparing citizens to become global citizens. In the context of the civic education in school, students are required to have the ability in analyzing global issues. However, this is not easy considering the need for a learning model that efficiently and precisely can give learners an understanding. 
One of the learning models that are comprehensive contains all of the components of citizenship as civic the civic knowledge, skills, and disposition of the civic is a model of learning project citizen.  With regard to citizenship, knowledge of project citizen meant in order for learners to understand public policy issues that is important in the community, government and non-government organizations which contribute to solving public policy issues. In this case the learners are expected to learn important concepts related issues are being examined. Citizenship education as a vehicle to build students into global citizens. This is in accordance with the Agbaria’s opinion (2011:61-62) which explains the importance of global education to build awareness of a global citizen in a global era. Civic education should be developed in order to equip young citizens with adequate global understanding. 
Based on the description of the problems that have been raised, then it is very important and interesting to a fundamental study about “Increasing Global Citizens Awareness Through Project Citizen Model”. 

METHOD
Research methods use the approach the study of librarianship. This study basing to library research which is a series of activities with regard to the methods of data collection the library, read and take notes as well as the processing of materials research. In this writing, the author uses descriptive research is critical with more emphasis on strength analysis of the sources and existing data by relying on theories and the concepts are there to be interpreted based on the writings of which leads to the discussion. The resources obtained from the works written by competent experts and intellectuals about education.

DISCUSSION
A.  Parameters of Global Citizenship and Global Citizenship Education
Responsible citizens to meet the requirements of institutional and cultural barriers for the sake of the greater good for society. Intercultural understanding about the concept of Justice, freedom, and peace, It is the basic values that should be developed and become a cornerstone in improving the spirit of togetherness between fellow human beings, mutual attention, understanding and please help. (Wang, 1999).
Characteristics that must appear on the global citizen, First, the ability to know and approached the problem as citizens of the global community, Second, the ability of collaborating with others and assume responsibility for the role or obligations in the community, Third, the ability to understand, accept, and respect cultural differences. Fourth, the ability to think critically and systematically. Fifth, the ability to resolve conflict by peaceful means without violence. Sixth, the ability of changing lifestyles and patterns of staple food which is already usual in order to protect the environment. Seventh, has a sensitivity to and defend human rights (such as rights of women, ethnic minorities, etc.). Eighth, the willingness and ability to participate in political life at local level of Government, national and international (Cogan, 1998: 115).
Global citizenship is a contested concept in scholarly discourse, and there are multiple interpretations of what it means to be a global citizen (UNESCO, 2013). Some have called global citizenship “citizenship beyond borders”, (Weale, 1991) or “citizenship beyond the nation state”. (Bellamy, 2000) Others have noted that “cosmopolitanism”,  as a term, (Keck and Sikkink, 1998)  may be broader and more inclusive than global citizenship, while still others opt for “planetary citizenship”, focusing on the global community’s responsibility to preserve the planet Earth. (Henderson and Ikea, 2004).
The notion of “citizenship” has been broadened as a multiple-perspective concept. It is linked with growing interdependency and interconnectedness between countries in economic, cultural and social areas, through increased international trade, migration, communication, etc. It is also linked with our concerns for global well-being beyond national boundaries, and on the basis of the understanding that global well-being also influences national and local well-being (Lee and Fouts, 2005).
Despite differences in interpretation, there is a common understanding that global citizenship does not imply a legal status. It refers more to a sense of belonging to a broader community and common humanity, promoting a “global gaze” that links the local to the global and the national to the international (Marshall, 2005). It is also a way of understanding, acting and relating oneself to others and the environment in space and in time, based on universal values, through respect for diversity and pluralism. In this context, each individual’s life has implications in day-to-day decisions that connect the global with the local, and vice versa.
Global citizenship education (GCE) “highlights essential functions of education related to the formation of citizenship (in relation) with globalization. It is a concern with the relevance of knowledge, skills and values for the participation of citizens in, and their contribution to, dimensions of societal development which are linked at local and global levels. It is directly related to the civic, social and political socialization function of education, and ultimately to the contribution of education in preparing children and young people to deal with the challenges of today’s increasingly interconnected and interdependent world” (Tawil, 2013).
Global citizenship education (GCE) inspires action, partnerships, dialogue and cooperation through formal and non-formal education. GCE applies a multifaceted approach employing concepts, methodologies and theories from related fields, including human rights education, peace education, education for sustainable development and education for international understanding. It promotes an ethos of curiosity, solidarity and shared responsibility. There are also overlapping and mutually reinforcing objectives, approaches and learning outcomes with these and other education programmes, such as intercultural education and health education (UNESCO, 2014). As a framing paradigm, components of GCE can be mainstreamed within existing education interventions. It is most productive to view GCE as trans-disciplinary rather than as a separate or overlapping discipline (Bracken, 2014).

B. Implications of globalization through Indonesia’s  Citizenship
Pascakolonial expert declared that the processes of globalization have opened up spaces for suburban areas to speech, monolithic power and authority, and the subject at the Center will continue to be questionable because the competition at the Center. Homi k. Bhabha, for example, saw a difference, ambivalence, and  hybridists as the tools are extremely powerful to counteract the dominant discourse of discourse and structures of national narratives and narrative definition-a definition of self (Kalidjernih, 2011:62-63).
Now immigration, globalization, and westernization has become a new challenge for the practice of citizenship. According to Kalidjernih (2010:63) posited a question “Can the citizenship  transfer from national citizenship level to global citizenship level?".  This shows that the definition of citizenship is no longer relevant If only discusses the interests of one country, but in fact the current citizenship already intertwined (interdependence) between one nation by any other nation.
Globalization brings at least three things the subject matter that is. homogenization, the undue hybridization, and difference (Macionis & Plummer, 2005). Homogenization is the attempt made a value so that the impact on local cultures annihilation. Globalization in this perspective gives the impression of a cultural imperialism, for example, as the term was popularized by George Ritzer, mentioning the term McDonaldisation. An example is the case of modern markets such as foreign imported from the Mall has replaced the modern markets imported from foreigners has replaced traditional markets.
Hybridization is defined as the emergence of a new mixture of either culture or lifestyle of the citizens. Hybridization refers to the ways in which these forms of social life often verification with the separation of the old practices merging back into something new. Hybridization is the themes shown by Jean Francois Lyotard of urban Cosmopolitan image or Homi K. Bhabha about migrant migrant-pascakolonial image, that share the core qualities. A major theme here may be a way how the pressures of global products and adapted or modified for local conditions. In Indonesia, for example many business services and production processes adopted from the West, but has been contextualization with local needs.  Ronald Robertson called it: globalization. Whereas, the difference is the phenomenon of ethnicity, the resurrections, fundamentalism, and the harsh reaction of the raksis as a defensive effort against globalization. They sought to protect local values of the negative influence of the West and global.

C.   Learning Model of Project Citizen
Model citizen project is the adaptation of the "We the people ... Project citizen". Project citizen model was first developed by the Center for Civic Education (CCE). This program is designed to develop the interest of learners to be able to participate in critical and responsible both the present local, national, and international level (Budimansyah, 2010: 153). The model of learning Citizenship project citizen a learning innovations designed to help learners understand the theory of citizenship through experiential learning practices of the empirical. Budimansyah (2009: 1) stated that project citizen is one instructional treatment based problems to develop knowledge of citizenship, character and citizenship skills of democratic citizenship that enable and encourage participation in the Government and civil society. The Mission of this model, is to educate learners in order to be able to analyze the various dimensions of public policy, then with the capacity as a young citizen is able to provide input towards public policy be (Budimansyah, 2010: 159). It can be understood that the model of learning project citizen help for young citizens critical thinking in solving public policy self-reliant and participate equitably and thought for any public policy in the state.
Project Citizen was an integral component of the course, and through this curriculum, Jaime and classmates spent more than a month studying an issue or problem in their community, conducting research, developing alternative solutions, and creating a proposal for public policy to address the problem (Fry and Bentahar, 2013). These high school students produced an action plan about how to influence policy makers to implement the suggested public policy and presented their findings to a panel of educators and community decision makers through a formal showcase. 
Project Citizen is a curriculum designed to help students learn that citizens’ participation in government “is not just a slogan. Government of, by, and for the people is obtainable, if citizens acquire the knowledge, use their skills, and have the will to effect change” (Branson, 1999: 6). High school graduates should know how to be active citizens suggests that the Project Citizen experience was effective in helping shape this young citizen’s understanding of civic responsibility. Perhaps more importantly, the Project Citizen curriculum seemed to influence. Outcome of project citizen consists of three component civic education: civic knowledge, civic skills (intellectual and participatory), civic dispositions (democratic values and principles reasoned commitment). Goals of project citizen is like as this picture: 
Instructional strategies that are developed in this model, basically refers to various strategies, namely the utilization of multi media and resources, interdisciplinary studies, problem solving, social inquiry and powerfull learning. As for the learning model steps project citizen is as follows:
1.    Identify public policy issues in the community
2.    Select an issue to be reviewed by the class
3.    Collect relevant information on that issue
4.    Develop a portfolio class
5.    Presenting a portfolio of
6.    Do learning learning reflections (Winataputra, 2012:67)
One example of the application of project learning model citizen is made by the Senegal Team theme “Acces to clean water”. Learners from a small village of Ross Bethio filing related problems the difficulty of clean water. They look at the State of the community who have difficulty obtaining clean water for daily life. Although there is a source of water, but the distance is far away and that is not healthy because of contaminated by a variety of waste that are prone to causing various diseases cholera and other skin diseases. Learners are aware that the issue needs to be solved through a survey to find the best solution. The research team first visited on the local religious figures to gain support, then pay a visit to the local authority to ask what has been and will be undertaken by the Government to tackle the problem. In fact the Government has built a water tower to supply water to Ross Bethio, however the project is abandoned and never completed for reasons not enough funds. Then the team urging the Government in order to seriously complete the construction of a water tower, the team organised a peaceful demonstasi followed by all learners. Team assured the government that the best solution to gain access to clean water is the completion of the construction of a water tower, the local authority eventually started working on the project. This learning model gives students experience in resolving the problem. 
Thus through learning project citizen in civic education can be applied to a variety of secondary education in Indonesia to raise awareness as global citizens, to the emergence of a variety of complex and complicated problems to be solved in the contemporary era for example the problem of cross country which covers global issues that touch all of the joints in the world, country life then the new approach towards citizenship need to be prepared (Branson, 1999: 131). Through two components of global citizenship education can solve a complex and complicated problem in many countries. First, history and local government as key to the country's democracy, both sharpen the consciousness of students that the responsibility of citizenship beyond the limits of national and global change can no longer lead (Branson, 1999: 133-134). The two ways above is seen very effective, if used as a shield by every global citizen in solving the problems of cross country and global issues that impressed very intricate and complex.

CONCLUSION
Based fruit discussion which has been described, then some conclusions can be drawn, as follows:
1.  Global citizenship is a contested concept in scholarly discourse, and there are multiple interpretations of what it means to be a global citizen. Global citizen emphasizes on capability of learners who have the ability and a broad view of related issues that developed in the world. Global citizens in the study of kewarganegraan is not interpreted as a status but as practice. The practice of citizenship within a global dimension to include a variety of things such as environmental issues, global warming, and conflicts between countries.
2.   Project learning Model citizen in komperhensip holds all the components of citizenship, both from the aspect of knowledge, skill and disposition. This learning model is able to give new experience for learners as they prepare in the future in the face of global competition.
3.   Increased awareness of global citizens through project learning model citizen is the effective measures for developing the three main components of citizenship: civic knowledge, civic skill dan civic disposition as well as being able to stimulate students to think critically, creative and innovative in solving complex problems through a scientific study.

REFERENCES
Books
A. Weale, Vogel and M. Moran (eds). 1991. The Frontiers of Citizenship. Basingstoke: Macmillan.
Branson, M.S. 1999. Belajar Civic Education dari Amerika. Diterjemahkan oleh Syafruddin, dkk. Yogyakarta: LKiS.
Budimansyah, D. 2009. Inovasi Pembelajaran Project Citizen. Bandung: Program Studi Pendidikan Kewarganegaraan SPs Universitas Pendidikan Indonesia.
Budimansyah, D. 2010. Penguatan Pendidikan Kewarganegaraan untuk Membangun Karakter Bangsa. Bandung: Widya Aksara Press.
H. Henderson and D. Ikea. 2004. Planetary Citizenship: Your values, beliefs and actions can shape a sustainable world. Santa Monica CA: Middleway Press.
Kalijernih, F.K. 2011. Puspa Ragam: Konsep dan Isu Kewarganegaraan. Bandung: Widya Aksara Press.
Macionis, J.I & Plummer, K. 2005. Sociology: A Global Introduction. New York: Prentice Hall.
R. Bellamy, N. O’Sullivan (ed.). 2000. Political Theory in Transition. London: Routledge.
UNESCO. 2014. Global Citizenship Education: Preparing learners for the challenges of the twenty-first century. France: United Nations Educational.
Winataputra, U.S. 2012. Pendidikan Kewarganegaraan dalam Perspektif Pendidikan untuk Mencerdaskan Kehidupan Bangsa. Bandung: Widya Aksara Press.

Internet
Branson, M. S. 1999. Project Citizen: An introduction. Retrieved from http://www.civiced.org/papers/articles_branson99.html.
UNESCO. 2013. Global Citizenship Education: An emerging perspective. Outcome document of the Technical Consultation on Global Citizenship Education. Paris, UNESCO. http://unesdoc.unesco.org/images/0022/002241/224115E.pdf

Journal
Agbaria, A. K. 2011. The Social Studies Education Discourse Community on Globalization: Exploring The Agenda of Preparing For The Global Age. Journal of Studies in International Education, 15 (1), hlm. 57-74.
Fry, S. W & Bentahar, A. 2013. Student Attitudes Towards and Impressions of Project Citizen. Journal of Social Studies Education Research. 4 (1), hlm. 1-23.
H. Marshall, Developing the Global Gaze in Citizenship Education: Exploring the perspectives of global education NGO workers in England, International Journal of Citizenship and Teacher Education, 2005, Vol. 1, No. 2, pp. 76-91
M.E. Keck and K. Sikkink, 1998, Activists Beyond Borders. New York, Cornell University Press; K. A. Appiah, 2008, Education for Global Citizenship, in D. Coulter, G. Fenstermacher and J. R. Wiens (eds), Why Do We Educate? Renewing the Conversation. The National Society for the Study of Education Yearbook for 2008, Vol. 107, No.1
W.O. Lee and J. Fouts, 2005, Education for Social Citizenship, Hong Kong University Press, ch. 5; W. O. Lee, 2012, Education for future-oriented citizenship: implications for the education of twenty-first century competencies, Asia Pacific Journal of Education, Vol. 32, No. 4.

Papers
M. Bracken, 2014, Paper 1 – Plenary Debates, submission to UNESCO for the UNESCO Forum on Global Citizenship Education. Bangkok: Thailand.
Tawil S. 2013. Education for ‘Global Citizenship’: A framework for discussion, UNESCO Education Research and Foresight (ERF) Working Papers Series, 7, Paris: UNESCO.


Comments system

Disqus Shortname