Yakob Godif
Malatuny
(Akademisi Universitas Pattimura)
INTENSITAS obrolan seputar persoalan politik oleh para elit
parpol kian meningkat menjelang pesta demokrasi yang akan di gelar pada tahun
2019. Mulai dari obrolan tentang fenomena perang tagar “2019 Ganti Presiden
versus Jokowi Sibuk Kerja”, beberapa nama yang masuk dalam bursa bakal calon
presiden dan wakil presiden, sejumlah politisi yang hijrah ke partai lain, wacana
negara bubar hingga pelbagai persoalan lain seputar politik yang dapat kita saksikan
dalam berbagai program televisi.
Padahal, sejujurnya
publik tetap adem ayem dalam menanggapi pelbagai isu yang ditiup oleh para elit
parpol ke media. Tengok reaksi seluruh rakyat, meski tiap hari televisi
nasional mewartakan jalan menuju Senayan dan Istana Merdeka, namun rakyat tetap
tenang. Hanya sedikit pergerakan yang dimotori relawan, selebihnya mengamati
dalam diam, seperti kata Karim Suryadi sang Pakar Komunikasi Politik.
Lebih parahnya
lagi, kegenitan politisi yang merasa dirinya pantas maju dalam persaingan
politik disambut massa rakyat yang diam dalam ketidaktahuan asal-usul sang politisi.
Memang benar kata Karim Suryadi (2017) baliho mereka yang digadang-gadang
sebagai calon yang bertebaran di setiap sudut kota tidak membangkitkan
antisiasme publik.
Baliho gagal
menjadi media yang mempersuasi publik karena kemunculannya hanya menegaskan
hasrat elit berkuasa, namun tidak menangkap apa kehendak massa. Hubungan yang
berjarak antara calon pemilih dan politisi yang akan berkompetisi dalam politik
pada tahun depan menjadi penyebab munculnya sikap dingin publik terhadap
pemilu. Kondisi ini diperparah oleh beragam persoalan yang merontokan performa
pemerintahan dan imej tentang politik itu sendiri.
Elit parpol jangan
menyalahkan rakyat yang memilih tetap hening di tengah hingar-bingar pewartaan
tentang politik di media. Rakyat sudah melek politik, mereka tidak buta dan
tuli terhadap pelbagai persoalan yang sempat luput dari perhatian politisi.
Sesungguhnya, rakyat merindukan sosok pemimpin yang bertindak cepat, dekat dan
merakyat. Rakyat sudah muak dengan pemimpin yang pandai menata kata namun gagal
menata kota.
Bangkitkan Kegairahan Publik
Makin sulit
menemukan rakyat yang antusias membicarakan pemilu dan politik secara
keseluruhan. Rata-rata publik masih menganggap satu-satunya penanda yang mudah
terbaca akan tibanya pemilu adalah bertebarannya baliho permohonan doa dan
dukungan.
Demi
membangkitkan kegairahan publik terhadap kontestasi politik, maka seorang
politisi hendaknya menempuh beberapa langkah bijak. Kesatu, seorang politisi
mesti membangun jaringan komunikasi yang langsung menyentuh calon pemilih. Jaringan
ini bisa personal maupun organisasial, bisa alami ataupun artifisial.
Karim Suryadi
(2017) menempatkan kalimat bagus bahwa “untuk menghidupkan jaringan semacam ini
seorang kandidat harus memiliki deposit politik yang memungkinkannya diterima
di tengah-tengah massa. Hal ini menegaskan bahwa kemunculan calon yang mencuat
dari lapangan jauh lebih mudah dalam pemasarannya ketimbang calon dropping dari atas”.
Banyak tokoh
yang hidup di negara yang demokrasinya sudah mapan mengivestasikan maksud
politiknya ke dalam organisasi sosial. Mereka secara sukarela mengumpulkan
uang, mengorganisir, kelompok-kelompok sosial yang memiliki kepedulian yang
sama, dan menggerakan rakyat untuk bersama-sama menangani masalah mereka
sendiri.
Banyak tokoh
dan aktor ternama memulai aktivitas sosial mereka sebelum terjun ke kancah
politik. Keterlibatan di dalam organisasi sosial mereka lakukan jauh-jauh hari
sebelum mereka memutuskan untuk terjun ke dalam dunia politik. Tengok misalnya
Barack Obama yang menghimpun kekuatan dan dukungannya lewat organisasi yang
bertujuan membuka lapangan kerja bagi tuna wisma, atau Hillary Clinton yang
memulai debutnya melalui layanan bantuan hukum bagi masyarakat kurang berutung.
Kedua, sebelum
tiba masa pemilu, para politisi mesti melancarkan operasi “senyap” dengan menyusup
ke jantung-jantung calon pemilih melalui berbagai paket program, baik yang
terkait dengan implementasi program pemerintah maupun bantuan perorangan.
Tidak kalah
penting, memperbaiki kontak antara parpol, politisi dan pemilih melalui
sentuhan program yang terarah dan terukur. Niscaya, masyarakat akan mengapresiasi
operasi senyap yang digagas perorangan dengan maksud menggerakkan potensi yang
ada di masyarakat.
Ketiga, politisi
hendaknya menjaga rekam jejak (tetap baik di mata masyarakat) agar harkat mereka
tak tercoreng tuduhan miring. Namun, Najwa (2016) menegaskan masa lalu tak
patut ditutupi agar kewibawaan kelak terkebiri. Politisi mesti membuka diri dan
berkata jujur kepada masyarakat tentang segala tindakan baik yang berdampak
positif bagi hajat hidup orang banyak sebaliknya meminta maaf atas tindakan
keliru (bila ada) yang merugikan masyarakat.
Lebih dari itu,
politisi hendaknya menjadi teladan dalam berbuat baik, karena keteladanan memang
lebih mudah diserap daripada teori-teori yang kering; politisi hendanya menjadi
rahmat di dalam lumbung-lumbung negeri. Politisi yang berbudi luhur akan menjadikan
dirinya seperti gula pasir yang larut dalam air demi memberi rasa manis pada teh
atau lilin yang rela hancur demi menerangi orang lain dalam kegelapan.
Politisi yang tampil
cepat, dekat dan merakyat selalu punya cara unik untuk membuat publik tak adem
ayem dalam politik. Tindakannya bisa menarik publik untuk turut serta berserikat
dan berkumpul mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan sebagaimana yang
diamanatkan dalam UUD 1945 Pasal 28 : “kemerdekaan berserikat dan
berkumpul mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan”.
Kemerdekaan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat merupakan wujud kedaulatan rakyat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara serta menegakkan demokrasi bagi seluruh rakyat Indonesia. Sebagai negara yang menganut demokrasi, bagi rakyat bebas dalam menentukan pilihannya dalam pelaksanaan demokrasi itu sendiri, kebebasan memilih ini antara lain diwujudkan dalam pelaksanaan Pemilihan Umum.***