Oleh :
Yakob Godlif Malatuny
(Akademisi Universitas Pattimura)
KELAHIRAN media sosial (social media) tampaknya telah membawa
dampak yang luar biasa bagi sebagian besar umat manusia di muka bumi. Warga
dengan mudah saling berinteraksi, mengirim pesan, berbagi, dan membangun
jaringan (networking), mengingat visi kelahirannya adalah menjadi saluran atau
sarana pergaulan sosial secara online di dunia maya (internet).
Akibat kelahiran
medsos, dunia ini tak ubahnya seperti sebuah desa yang besar dan luas. Kata
Affandi (2016), setiap peristiwa yang terjadi di sudut bumi dapat disaksikan
secara bersama-sama oleh manusia sejagat dalam detik yang sama di tempat yang
berbeda-beda. Melalui medsos siapa saja dapat memperoleh informasi tentang apa
saja, kapan saja, dan dari mana saja, mengingat medsos tak dibatasi oleh ruang
dan waktu.
Mulai dari warga biasa
hingga pejabat negara sekelas Presiden, Menteri, dan DPR yang memiliki akun
medsos bisa eksis dengan mudah. Aktivitas warga acap kali dibagikan ke media,
pelbagai kinerja pemerintah pun dapat diketahui dengan mudah oleh warga melalui
medsos. Atas berkat kelahiran medsos, warga lebih mudah berinteraksi dengan
para pejabat negara.
Namun, seiring dengan
aspek positif yang dapat diperoleh melalui kelahiran medsos, pengaruh terhadap
perilaku negatif pun semakin menggejala. Perang melalui medsos, ketidakadilan
dan tindak kriminal pun dapat terjadi dengan menggunakan perangkat medsos.
Alih-alih, warganet saling menyerang dan bertahan menggunakan berondongan
kata-kata bernada bullying bahkan menebarkan hoaks (hoax) dan ujaran kebencian (hate
speech) yang sudah tentu jauh dari tata nilai bangsa.
Jangan heran bila
banyak kasus berujung di meja hijau akibat pengalahgunaan medsos oleh warganet.
Dari jari warganet yang digunakan untuk mengetik dan menyebarkan sebuah konten
di medsos bisa berujung di jeruji bila mencemarkan nama baik seseorang,
menebarkan hoaks dan ujaran kebencian yang berbau isu SARA.
Sebagian kalangan
memandang dengan kaca mata pesimis bahwa medsos merupakan ancaman yang
berpotensi menggulung tata nilai bangsa yang sebelumnya sudah menjadi identitas
dan pada akhirnya menggantikan dengan tata nilai Barat. Hati-hatilah, sebab
dalam pandangan Sofyan (2011), keruntuhan sebuah bangsa ditandai dengan semakin
lunturnya tata nilai dan karakter bangsa tersebut, walaupun secara fisik bangsa
masih berdiri tegak. Tata nilai dan karakter suatu bangsa tidak terbentuk
secara alami melainkan melalui pergaulan sosial yang dinamis.
Jurus
Penyelamat
Konten baik yang
menjadi viral bisa dianggap sebagai konten kejahatan bila iklim pergaulan
sosial secara online sudah tercemar. Demi mencegah ancaman medsos yang
berpotensi menggulung tata nilai bangsa, maka diperlukan beberapa gebrakan
mendasar sebagai jurus penyelamat. Kesatu,
pembangunan melalui wilayah pendidikan yang bertata nilai merupakan esensi dari
suatu pemahaman pembangunan yang sepenuhnya berorientasi pada manusia sebagai
subyek pembangunan atau lazim dikenal dengan human oriented development.
Confusius—seorang
filsuf terkenal Cina—menempatkan kalimat bagus bahwa manusia pada dasarnya
memiliki potensi mencintai kebaikan, namun bila potensi ini tidak diikuti
dengan pendidikan dan sosialisasi setelah manusia dilahirkan, maka manusia
dapat berubah menjadi binatang, bahkan lebih buruk lagi.
Dengan demikian,
sektor pendidikan memegang misi suci untuk membangun dan membentuk tata nilai
kehidupan manusia sebagaimana mestinya. Niscaya, pergaulan antar warga di dunia
maya selalu akrab dengan sopan santun, ramah tamah, hormat menghormati,
musyawarah mufakat, mengakui persamaan derajat, bersikap adil dan sebagainya.
Kedua, peningkatan literasi
media oleh seluruh warga menjadi amat penting mengingat hoaks dan ujaran
kebencian seakan marak dan menjamur di seantaro medsos. Kebenaran suatu konten
merupakan harga yang mahal di era kekinian. Hasilnya warga semakin dibuat
ambigu dan kebingungan bagaimana cara mengidentifikasi konten yang sebenarnya. Tanpa
usaha meningkatkan literasi media, berarti sama halnya dengan membiarkan
kezaliman dan pembodohan terus berlangsung dihadapan kita.
Hobbs (1996)
mengatakan literasi media dapat dipahami sebagai proses dalam mengakses,
menganalisis secara kritis pesan-pesan yang terdapat dalam media, kemudian
menciptakan pesan menggunakan alat media. Pengetahuan tentang literasi media
ibarat suntikan imunisasi dimana warga secara mandiri mampu menghasilkan
antibodi yang siap menanggulangi berbagai potensi penyakit psikologis pada diri
mereka akibat pengaruh konten buruk dari medsos.
Ketiga, warganet dituntut
meningkatkan keterampilan berpikir kritis (critical
thingking skill) agar menjadi modal utama bagi mereka untuk menggiring
beragam opini di medsos. Cogan & Derricott (1998), menegaskan bahwa
tantangan globalisasi pada abad 21 menuntut setiap warga negara memiliki
karakteristik, salah satunya adalah kemampuan berpikir kritis dan sistematis.
Memang benar kata
Schafersman (1991), seseorang yang berpikir kritis akan dapat mengidentifikasi
persoalan, menanyakan sesuatu, menyampaikan argumen, menemukan informasi lain.
Memiliki kemampuan berpikir yang terampil dapat membangun seseorang pribadi
yang demokratis.
Orang-orang yang tidak
terlatih dengan kemampuan berpikir yang baik, akan memosisikan dirinya sebagai
pemilik pemikiran yang paling baik, dan menganggap orang lain, pemilik
kemampuan berpikir yang buruk. Hati-hatilah, kecelakaan yang paling fatal
adalah merasa benar dengan pemikiran yang salah (Sudarma, 2013). Untuk itu,
keterampilan berpikir kritis sangat diperlukan oleh semua warganet untuk
menanggapi setiap persoalan yang mengemuka di medsos.
Menyudahi
tulisan ini, saya berpesan kepada para pembaca yang terhormat dan mulia agar
piawai memanfaatkan medsos sebagai alat untuk berinteraksi, mengirim pesan,
berbagi, dan membangun jaringan. Hendaklah kita mengedepankan tata nilai bangsa
saat berselancar di medsos demi menciptakan keamanan dan kenyamanan bagi
seluruh warganet. (***)