A. PENDAHULUAN
Pendidikan
menjadi jalan vital untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, tanpa pendidikan sebuah
bangsa tidak akan bertahan. Tantangan ini memicu segenap kewargaan yang terpelajar
untuk berlomba menambah deposito pengetahuan sebagaimana layaknya para pelajar
di era kontemporer. Kecerdasan dan kemahiran menjadi kewargaan yang berintelektual
menjamin kemajuan negara-bangsa dalam sektor pendidikan. Tidak kalah penting
Budimansyah (2016) menegaskan, pendidikan dapat menjadikan anak sebagai warganegara
yang baik dan cerdas (smart and good
citizen).
Pendidikan yang
diselenggarakan secara efektif dapat membangun gagasan dan emosi secara
terus-menerus (Malatuny dan Rahmat, 2017: 57). Dalam pasal 3 Undang-undang RI
No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (SISDIKNAS), secara
imperatif digariskan bahwa;
Pendidikan nasional berfungsi
mengembangkan kemampuan dan membentuk watak dan peradaban bangsa yang
bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggungjawab.
Pendidikan
di Tanah Air dewasa ini terus menyisakan pekerjaan besar yang amat berat bagi guru
selaku pendidik untuk terus berusaha maksimal mencerdaskan anak bangsa sesuai
dengan amanat undang-undang. Di satu sisi pendidikan sebagai wahana bagi setiap
anak bangsa yang terpelajar untuk meningkatkan kercerdasannya, namun di sisi
lain muncul kekhawatiran akan generasi muda yang tidak terdidik dengan baik
sebagai warganegara (citizen)
(Budimansyah, 2016).
Kekhawatiran
ini bukan sepenuhnya menjadi tanggung jawab pemerintah untuk mengatasinya,
melainkan segenap warga yang terdidik, mengingat pendidikan merupakan tanggung
jawab setiap warga yang terdidik, terlebih lagi untuk meningkatkan pengetahuan
kewarganegaraan (civic knowledge).
Wahab
(2008 : 62) mengatakan bahwa “...kewarganegaraan yang dikembangkan haruslah
mengandung pengetahuan (knowledge).
Meminjam
istilah civic knowledge yang dicetuskan oleh Branson (1999: 8) merupakan
salah satu komponen pendidikan kewarganegaraan (civic education) yang perlu dikembangkan. Civic
knowledge berkaitan dengan kandungan atau nilai apa yang seharusnya diketahui oleh
warga negara.
Aspek ini
menyangkut kemampuan akademik-keilmuan yang dikembangkan dari berbagai teori
atau konsep politik, hukum dan moral. Lebih lanjut, Kalidjernih
(2010: 20) menjelaskan civic knowledge yang
berkaitan dengan gagasan dan informasi fundamental diketahui dan digunakan oleh
pelajar untuk menjadi warga negara yang efektif dan bertanggung jawab dalam
kehidupan yang demokratis.
Secara terperinci,
materi civic knowledge meliputi pengetahuan tentang hak dan tanggung
jawab warga negara, hak asasi manusia, prinsip-prinsip dan proses demokrasi,
lembaga pemerintah dan non-pemerintah, identitas nasional, pemerintahan
berdasar hukum (rule of law) dan
peradilan yang bebas dan tidak memihak, konstitusi, serta nilai-nilai dan
norma-norma dalam masyarakat (Branson, 1999).
Demi
peningkatan civic knowledge dalam
proses belajar mengajar, maka guru sebagai pendidik mesti melaksanakan tanggung
jawab secara optimal. Proses belajar mengajar menjadi terkesan bermakna bagi
kehidupan setiap peserta didik jika ditopang oleh model pembelajaran yang bisa
memicu mereka untuk semangat menyerap ilmu. Model pembelajaran yang dimaksudkan
ialah project citizen.
Project
citizen memberikan kesempatan kepada para siswa untuk ambil
bagian dalam pemerintahan dan masyarakat sipil sambil mempraktikkan berpikir
kritis, dialog, debat, negoyasi, kerja sama, kesantunan, toleransi, membuat
keputusan, dan aksi warganegara (civic
action) yakni melaksanakan kewajibanya sebagai warga negara untuk
kepentingan bersama (CCE, 1998: 1; Baudimansyah, 2008: 1).
Pengembang
model pembelajaran project citizen Budimansyah
(2009: 1) melalui tulisannya menjelaskan, project
citizen merupakan salah satu instructional treatment yang berbasis
masalah untuk mengembangkan pengetahuan, kecakapan, dan watak kewarganegaraan
demokratis yang memungkinkan dan mendorong keikutsertaan dalam pemerintahan dan
masyarakat sipil.
Pendidik
mesti menyadari, demi meningkatkan civic
knowlede setiap peserta didik, maka model pembelajaran project citizen sangat penting digunakan, untuk itu, penulis
memilih menerapkan model pembelajaran project
citizen dalam proses belajar mengajar. Karena
beberapa hal pokok yang mendasarinya. Pertama, model pembelajaran project citizen bermanfaat untuk
meningkatkan civic knowledge peserta
didik sehingga membantu mereka untuk berpikir kritis dalam memecahkan masalah
kebijakan publik dan memberikan sumbangsih pikir bagi setiap kebijakan publik
dalam negara.
Sayangnya, pendidik tidak menerapkan model
pembelajaran project citizen secara
terus-menerus dalam proses belajar mengajar. Alhasil, keterampilan berpikir
kritis (critical thingking skill) belum
menjadi merupakan modal utama bagi peserta didik dalam memecahkan masalah pembelajaran
maupun masalah yang terjadi pada lingkungan sekitar tempat tinggal mereka. Semestinya, berbagai guru PKn di Indonesia menerapkan model
pembelajaran project citizen secara
rutin dalam pembelajaran.
Budimansyah,
(2008) menjelaskan bahwa project citizen
juga sudah diterapkan di tingkat sekolah menengah pertama dan sekolah menengah
atas dalam bidang Ilmu Sastra, Social Studies, dan antarberbagai cabang ilmu
pengetahuan yang dipelajari siswa pada semua tingkatan dengan jatah waktu
pelajaran selama 50 menit, program tersebut diprioritaskan menjadi mata
pelajaran dengan jangka waktu enam minggu yang digunakan untuk menambah mata
pelajaran yang ada di dalam kerangka satu kurikulum yang standar. Tetapi di
Latvia, program tersebut diterapkan sebagai satu kurikulum intensif satu minggu
(tujuh hari penuh) dan di negara-negara bagian lainnya di Amerika Serikat
sebagai satu mata pelajaran yang berdiri sendiri sepanjang semester.
Branson dalam Budimansyah
(2009: 17-19) mengemukakan bahwa dasar pemikiran project citizen terletak
pada satu kerangka tentang gagasan pendidikan dan politik. Seperti demokrasi
memerlukan pemerintahan sendiri dan karenanya memerlukan keterlibatan aktif dan
berpengetahuan warga negara dalam kehidupan berwarga negara. Satu komponen yang
sangat diperlukan tentang keterlibatan warga negara adalah partisipasi dalam
proses pembuatan kebijakan publik.
Kedua,
model pembelajaran project citizen
memberikan pengalaman bagi peserta didik dalam menyelesaikan masalah. Namun,
pendidik selaku aktor kunci dalam kelas belum menerapkan project citizen secara optimal, sehingga beragam masalah dalam pembelajaran
belum mampu dipecahkan. Terlebih lagi, peserta didik lambat merespon beragam masalah
dalam pembelajaran dan belum mampu menyelesaikan sendiri tanpa bantuan dari
orang terdekat.
Peran pendidik yang utama adalah sebagai instruktur
atau fasilitator yang memberi petunjuk pada para siswa tentang sumber-sumber
informasi yang baru, membantu mengadakan kontak-kontak, dan membekali para peserta
didik dengan saran-saran bermanfaat lainnya pada waktu para peserta didik
mengadakan penelitiam bimbingan atau petunjuk guru menerangkan tiap tahap
proses penelitian tersebut, memberikan banyak sumber tambahan (sebagai contoh,
kiat-kiat memperoleh sumber informasi
yang baiki pedoman untuk mengadakan satu smulasi (silang dengar pendapat), dan
para guru juga melengkapi para siswa dengan rubrik-rubrik evaluasi untuk
menilai kinerja tulisan dan lisan mereka (Budimansyah, 2008).
Para pendidik juga memberikan panduan khusus kegiatan peserta
didik untuk membantu mereka melewati tiap tahap dari program tersebut, kriteria
penyelesaian tiap tugas, daftar istilah-istilah, dan lampiran-lampiran untuk
membantu menemukan sumber-sumber yang dibutuhkan untuk memecahkan
masalah-masalah kebljakan publik secara mendalam.
Ketiga, model pembelajaran project citizen memicu peserta didik untuk menjelaskan secara
gamblang terkait masalah yang dihadapi bukan hanya dalam pembelajaran tetapi dalam
kehidupan, sayangnya kelompok peserta didik yang beranggung jawab untuk
menjelaskan masalah yang telah dipilih untuk diteliti belum mampu menjelaskan secara
komprehensif. Karena kemampuan mencerna masalah dan berpikir kritis belum
diasah dengan optimal oleh pendidik dalam proses belajar mengajar.
Keempat, tujuan project
citizen adalah untuk memotivasi dan memberdayakan para peserta didik dalam
menggunakan hak dan tanggung jawab kewarganegaraan yang demokratis melalui
penelitian yang intensif mengenai
masalah kebijakan publik di sekolah atau di masyarakat tempat mereka
berinteraksi (Budimansyah, 2009). Namun, realita ini tidak ditemukan pada
peserta didik yang mengeyam pendidikan pada SMA,
dikarenakan penerapan model pembelajaran project
citizen oleh pendidik belum optimal.
Implementasi model project
citizen sangat berpengaruh terhadap peningkatan pengetahuan kewarganegaraan.
Melalui model pembelajaran ini, seluruh rangkaian pembelajaran melibatkan
aktivitas dan kreativitas peserta didik. Tidak hanya aspek kognitifnya saja
yang diasah tetapi juga aspek afektif dan psikomotoriknya. peserta didik diajak
untuk peka terhadap permasalahan-permasalahan sosial yang ada di lingkungan
sekitarnya (Jayadiputra, 2015: 17).
Pendidik semestinya memberi stimulus yang kuat agar
peserta didik memberi respon yang berarti dalam proses belajar mengajar. Dalam
menerapan model pembelajaran project
citizen pendidik hendaknya bersemangat demi memberikan suntikan semangat
belajar yang kuat bagi peserta didik untuk menyerap semua ilmu yang dipelajari
sehingga peningkatan civic knowledge sebagaimana
yang diharapkan pendidik dapat terwujud, terlebih lagi berguna untuk memecahkan
tantangan yang datang tiada henti dalam kehidupan membangsa dan menegara.
Model pembelajaran project
citizen bukan hanya menjadi preferensi bagi setiap pendidik di SMA dalam proses belajar mengajar untuk meningkatkan civic knowledge, melainkan obat mujarab
(panacea) bagi pendidik untuk meningkatkan
kemampuan berpikir kritis, dialog, debat, negosiasi, kerja sama, kesantunan,
toleransi, membuat keputusan, dan aksi warganegara (civic action) dalam melaksanakan kewajibanya sebagai warga negara
yang baik dan cerdas (smart and good citizen)
untuk kepentingan bersama di tengah banyaknya persoalan sebagai penyakit sosial
yang kerap menerpa kehidupan mereka.
Mengingat begitu
urgen penerapan model pembelajaran project
citizen dalam meningkatkan civic knowlede
setiap peserta didik, maka tema dalam penulisan ini amat menarik dan penting
untuk dikaji. Karena, penulis yakini bahwa akan terjadi banyak kerugian apabila
tema dalam penulisan ini tidak diteliti dan dicarikan solusi.
B. PEMBAHASAN
A. Pengetahuan Kewarganegaraan (Civic Knowledge)
1. Hakikat Civic Knowledge
Berdasarkan kompetensi
yang perlu dikembangkan, terdapat tiga komponen utama
yang perlu dipelajari dalam pendidikan kewarganegaraan yaitu pengetahuan kewarganegaran (civic knowledge),
kecakapan kewarganegaraan (civic skill) dan
watak
kewarganegaraan (civic dispostion). Tiga komponen civic education perlu dimiliki oleh seorang warga negara
agar menjadi cerdas, berkarakter dan partisipatif (Branson,
dkk. 1999; Winarno, 2014). Civic knowledge (pengetahuan
kewarganegaraan), berkaitan dengan apa yang seharusnya diketahui oleh
warganegara (Branson (1998: 16). Wahab (2008 : 62) mengatakan bahwa
“...kewarganegaraan yang dikembangkan haruslah mengandung pengetahuan,
ketrampilan, nilai-nilai, dan disposisi yang idealnya dimiliki warga negara”.
Jika warga negara sudah tercerdaskan dalam aspek-aspek tersebut, maka tujuan
PKn sudah dapat dikatakan berhasil.
Komponen pengetahuan (civic knowlwdge) mencakup bidang politik,
hukum, dan moral. Secara lebih rinci pengetahuan kewarganegara meliputi
pengetahun tentang prinsip-prinsip dan proses demokrasi, lembaga pemerintah dan
nonpemerintah, identitas nasional, pemerintahan berdasarkan hukum (rule of law) dan peradilan yang bebas
dan tidak memihak, konstitusi, sejarah nasional, hak dan tanggung-jawab
warganegara, hak asasi manusia, hak sipil dan hak politik (Depdiknas (b),
2002).
Civic knowledge “berkaitan
dengan kandungan atau nilai apa yang seharusnya diketahui oleh warga negara”
(Branson, 1999: 8). Aspek ini menyangkut kemampuan akademik-keilmuan yang
dikembangkan dari berbagai teori atau konsep politik, hukum dan moral. Dengan
demikian, mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan merupakan bidang kajian
multidisipliner.
Secara lebih terperinci, materi
pengetahuan kewarganegaraan meliputi pengetahuan tentang hak dan tanggung jawab
warga negara, hak asasi manusia, prinsip-prinsip dan proses demokrasi, lembaga
pemerintah dan non-pemerintah, identitas nasional, pemerintahan berdasar hukum
(rule of law) dan peradilan yang
bebas dan tidak memihak, konstitusi, serta nilai-nilai dan norma-norma dalam
masyarakat.
Winataputra dan Dasim Budimansyah
(2012: 199) menegaskan, civic knowledge
(pengetahuan kewarganegaraan) berkaitan dengan kandungan atau apa yang seharusnya diketahui oleh
warganegara. Komponen pertama ini harus diwujudkan dalam bentuk lima pertanyaan
penting yang secara terus-menerus harus diajukan sebagai sumber belajar PKn.
Lima pertanyaan yang dimaksud adalah: (1) Apa kehidupan kewarganegaraan politik
dan pemerintahan?; (2) Apa dasar-dasar sistem politik Indonesia?; (3) Bagaimana
pemerintahan yang dibentuk oleh Konstitusi mengejawantahkan tujuan-tujuan
nilai-nilai, dan prinsip-prisip demokrasi Indonesia?; (4) Bagaimana hubungan
antara Indonesia dengan negara-negara di dunia?; dan (5) Apa peran warganegara
dalam demokrasi Indonesia?.
Cara yang dipilih untuk mengorganisa
komponen pengetahuan kewargagaraan ke dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan
bukanlah tanpa alasan dan kebetulkan belaka. Demokrasi adalah suatu dialog,
suatu diskusi, suatu proses yang disengaja, di mana seluruh warganegara
terlibat di dalamnya. Kegunaan pertanyaan-pertanyaan tadi adalah untuk
menunjukkan bahwa proses perenungannya tidak pernah berakhir, tempat pemasaran
ide-ide, suatu pencarian cara baru dan sebagai cara terbaik untuk
merealisasikan cita-cita dernokrasi. Sangatlah penting bahwa setiap orang
memiliki. kesempatan untuk merenungkan pertanyaan-pertanyaan pokok mengenai
pemerintahan dan masyarakat sipil (civil
society) yang akan terus menantang orang-orang yang mau berpikir.
Menggagas pertanyaan pertama, “Apa
kehidupan kewarganegaraan, politik, dan pemerintahan’?” membantu warganegara
melakukan pertimbangan-pertimbangan yang matang mengenai hakikat kehidupan
kewarganegaraan, politik, dan pemerintahan serta mengapa politik dan
pemerintahan itu penting; tujuan-tujuan pemerintahan karakter-karakter utama
pemerintahan terbatas dan tidak terbatas; hakikat dan tujuan Konstitusi dan
cara-cara alternatif mengorganisasikan pemerintahan konstitusional.
Perenungan terhadap
pertanyaan ini, hendaknya mengembangkan pemahaman yang lebih besar akan hakikat
pentingnya civil society atau jaringan
kompleks dan asosiasi-asosiasi politik, sosial dan ekonomi yang dibentuk dengan
bebas dan sukarela yang merupakan kompoenen esensial dan demokrasi
konstitusional. Civil Society yang
vital bukan hanya mampu mencegah penyelewengan atau pemusatan
kekuasaan yang berlebihan oleh pemerintah, namun organisasi-organisasi civil society dapat pula berfungsi
sebagai laboratorium publik dimana warganegara belajar sambil langsung praktik
(learning by doing).
2. Unsur-Unsur Civic Knowledge
Civic
klowlegde memiliki unsur-unsur sebagai berikut;
a.
Politik : a. Manusia sebagai zoon politikon (makhluk
sosial); b. Proses terbentuknya masyarakat politik; c. Proses terbentuknya
bangsa; d. Asal usul negara; e. Unsur-unsur negara, tujuan negara, dan
bentuk-bentuk negara; f. Kewarganegaraan; g. Lembaga politik; h. Model-model
sistem politik; i. Lembaga-lembaga Negara; j. Demokrasi Pancasila; k. Globalisasi
b.
Hukum : a. Rule
of law (Negara Hukum); b. Konstitusi; c. Sistem hukum; d. Sumber hukum; e. Subyek
hukum, obyek hukum, peristiwa hukum, dan sanksi hukum; f. Pembidangan hukum; g.
Proses hukum; g. Peradilan
c.
Moral : a. Pengertian nilai, norma, dan moral; b. Hubungan
antara nilai, norma dan moral; c. Sumber-sumber ajaran moral; d. Norma-norma
dalam masyarakat; e. Implementasi nilai-nilai moral Pancasila.
3. Pentingya Civic
Knowledge
Pentingnya komponen pengetahuan
kewarganegaraan yaitu untuk membekali peserta didik agar dapat menjadi warga
negara yang demokratis dengan menguasai sejumlah pengetahuan, antara lain :
a. Memahami
tujuan pemerintahan dan prinsip-prinsip dasar konstitusi pemerintahan Republik
Indonesia.
b. Mengetahui
struktur, fungsi dan tugas pemerintahan daerah dan nasional serta bagaimana
keterlibatan warganegara membentuk kebijaksanaan publik.
c. Mengetahui
hubungan negara dan bangsa Indonesia dengan negara-negara dan bangsa lain serta
masalah-masalah dunia dan internasional.
B. Model
Pembelajaran Project
Citizen
1.
Hakikat Project Citizen
Dalam ensiklopedi Indonesia (Jilid 4), dijelaskan
bahwa model merupakan kata pengecil dari “modo” yang artinya sifat, cara dan
representasi kecil dari suatu benda atau keadaan untuk mengembnagkan,
menjelaskan atau menemukan sifat-sifat bentuk aslinya. Model yang dimaksud
dalam penelitian ini adalah model pembelajaran. Salah satu model pembelajaran
yang dapat diterapkan dalam pembelajaran PKn untuk meningkatkan pengetahuan
kewargarganegaraan adalah model pembelajaran Project Citizen.
Model Project citizen merupakan salah satu instructional
treatment yang berbasis masalah untuk mengembangkan pengetahuan, kecakapan,
dan watak kewarganegaraan demokratis yang memungkinkan dan mendorong
keikutsertaan dalam pemerintahan dan masyarakat sipil (Budimansyah, 2009: 1).
Model ini pertama kali digunakan di California pada tahun 1992 dan kemudian
dikembangkan menjadi satu program nasional oleh Center For Civic Education (CCE)
dan Konferensi Nasional Badan Pembuat Undang-Undang Negara pada tahun 1995.
Selanjutnya secara paradigmatik model ini diadaptasi di Indonesia dari “We
the People….Project Citizen” yang dikembangkan oleh Center for Civic
Education (CCE) Calabas, dan dalam 15 tahun terakhir ini telah diadaptasi di
sekirar 50 negara di dunia.
Di Indonesia model ini dikenal dengan Model Projek
Belajar Kewarganegaraan… Kami Bangsa Indonesia (PKKBI), yang mulai dirintis
pengembangannya di sekolah dasar dan menengah. Sebagai model pembelajaran,
dipilih topik generik “Public Policy” (Kebijakan Publik), yang memang
berlaku di negara manapun. Misi dari model ini adalah mendidik para siswa agar
mampu menganalisis berbagai dimensi kebijakan publik dalam konteks proses
demokrasi, dan dengan kapasitasnya sebagai “young citizen” atau
warganegara muda mencoba memberi masukan terhadap kebijakan publik di
lingkungannya. Hasil yang diharapkan adalah meningkatnya kualitas warganegara
yang “cerdas, kreatif, partisipatif, prospektif, dan bertanggung jawab” (Jayadiputra, 2015: 14).
Misi dari model ini,
adalah mendidik peserta didik agar mampu untuk menganalisis berbagai dimensi
kebijakan publik, kemudian dengan kapasitasnya sebagai warga negara muda mampu
memberikan masukan terhadap kebijakan publik dilingkungannya (Budimansyah,
2010: 159).
Hal ini dapat dipahami bahwa model pembelajaran project
citizen membantu warga
negara muda untuk berpikir kritis dalam memecahkan masalah kebijakan publik dan
memberikan sumbangsih pikir bagi setiap kebijakan publik dalam negara.
Lebih lanjut, hasil kajian yang dilakukan oleh Malatuny, dkk (2016) menegaskan
bahwa model pembelajaran project citizen secara komperhensip mampu
menampung segala komponen kewarganegaraan, baik dari aspek knowledge, skill dan
disposition. Model ini pembelajaran
ini mampu memberi pengalaman baru bagi peserta didik sebagai bekal mereka
dimasa depan dalam menghadapi persaingan global.
Salah satu contoh
penerapan model pembelajaran project citizen adalah yang dilakukan oleh Tim
Senegal yang mengangkat tema “Acces to
clean water”. Peserta didik dari sebuah desa kecil Ross Bethio mengajukan
masalah terkait kesulitan air bersih. Mereka melihat keadaan masyarakat yang
kesulitan memperoleh air bersih untuk kehidupan sehari-hari. Walaupun
ada sumber air, tetapi jaraknya jauh dan itupun tidak sehat karena
terkontaminasi oleh berbagai limbah yang rawan menyebabkan berbagai penyakit
kolera dan penyakit kulit lainnya (Malatuny, dkk, 2016).
Para peserta didik
menyadari bahwa persoalan tersebut perlu dipecahkan melalui survey untuk
mencari solusi terbaik. Pertama tim peneliti berkunjung pada tokoh agama
setempat untuk memperoleh dukungan, kemudian berkunjung ke otoritas setempat
untuk menanyakan apa yang telah dan akan dilakukan pemerintah untuk
menanggulangi masalah tersebut. Sebenarnya pemerintah telah membangun tower air
untuk menyuplai air ke Ross Bethio, namun proyek tersebut terbengkalai dan tidak
kunjung selesai dengan alasan tidak cukup dana.
Kemudian
tim mendesak pemerintah agar serius menyelesaikan pembangunan tower air, tim
mengorganisasikan sebuah demonstasi damai yang diikuti oleh seluruh peserta
didik. Tim meyakinkan kepada pemerintah bahwa solusi terbaik untuk memperoleh
akses air bersih adalah penyelesaian pembangunan tower air, akhirnya otoritas
setempat memulai mengerjakan proyek tersebut. Model pembelajaran ini memberikan
pengalaman peserta didik dalam menyelesaikan masalah. Dengan demikian melalui model pembelajaran
project citizen dalam
pendidikan kewarganegaraan dapat diterapkan pada berbagai jenjang pendidikan di
Indonesia untuk meningkatkan kesadaran sebagai warga negara global.
Pentingnya
pendidikan kewarganegaraan untuk membangun kesadaran dan pemahaman sebagai
warga negara global,
disebabkan munculnya berbagai masalah
yang kompleks
dan rumit untuk dipecahkan
pada era kontemporer, misalnya masalah lintas negara yang mencakup isu-isu global yang menyentuh semua
sendi-sendi kehidupan negara di dunia, maka pendekatan yang baru
terhadap kewarganegaraan perlu disiapkan (Branson, 1999: 131).
Sebagai suatu inovasi model project citizen dilandasi
oleh Empat pilar pendidikan yakni learning
to do, learning to know, learning to be, learning
to live together); Pandangan Konstruktivisme; Democratic
teaching dan beberapa prinsip pembelajaran pendidikan kewarganegaraan
yang meliputi Prinsip Belajar Siswa Aktif, Kelompok Belajar Kooperatif, Pembelajaran
Partisipatorik, Reactive Teaching (Budimansyah, 2002:4, 8-13).
Fokus perhatian dari
model ini adalah pengembangan “civic knowledge (pengetahun
kewarganegaraan), civic dispositions (kebajikan
kewarganegaraan), civic confidence (kepercayaan diri kewarganegaraan), civic
commitment (komitmen kewarganegaraan), civic
competence (kompetensi kewargenagaraan)” yang
bermuara pada berkembangnya well-informed, reasoned, and responsible
decision making (kemampuan mengambil keputusan,
berwawasan, bernalar dan bertanggung jawab)”. Langkah-Langkah
Pembelajaran Model Project Citizen, yaitu: 1) Mengidentifikasi
Masalah, 2) Memilih suatu masalah untuk dikaji oleh kelas, 3) Mengumpulkan informasi
yang terakit pada masalah itu, 4) Mengembangkan portofolio kelas, 5) Menyajikan portofolio
dihadapan dewan juri, 6) Melakukan refleksi pengalaman belajar.
Dari penelitian
lintas negara yang dilaporkan oleh International Democratic Education Institute
(Craddock, 2007) mengambil kesimpulan bahwa project citizen memberikan
dampak bagi pengetahuan, sikap dan keterampilan kewarganegaraan siswa. Meskipun
demikian, ruang lingkup (jangkauan) dan derajat pengaruh ini sangat beragam di
antara berbagai kawasan di beberapa negara.
C.
Asal-Usul
Project Citizen
Model ini pertama kali digunakan di California pada
tahun 1992 dan kemudian dikembangkan menjadi satu program nasional oleh Center For Civic Education (CCE) dan
Konferensi Nasional Badan Pembuat Undang-lJndang Negara pada tahun 1995. Project Citizen adalah satu instructional treatment yang berbasis
masalah untuk mengembangkan pengetahuan, kecakapan, dan watak kewarganegaraan
demokratis yang memungkinkan dan mendorong kelkutsertaan dalam pemerintahan dan masyarakat sipil (civil society).
Program tersebut mendorong para siswa untuk terlibat
secara aktif dengan
organisasi-organisasi pemerintah dan masyarakat sipil untuk memecahkan satu
persoalan di sekolah atau di masyarakat
dan untuk mengasah kecerdasan sosial dan intelektual yang penting bagi
kewarganegaraan demokratis yang
bertanggung jawab. Jadi, tujuan Project Citizen adalah untuk memotivasi dan
memberdayakan para siswa dalam menggunakan hak dan tanggung jawab
kewarganegaraan yang demokratis melalui penelitlan yang intensif mengenai masalah kebijakan publik di sekolah atau di
masyarakat tempat mereka berinteraksi.
Bahan-bahan pelajarannya pun disusun untuk membantu para siswa belajar
mengawasi dan mempengaruhi kebijakan publik, meningkatkan kecakapan yang
diperlukan untuk menjadi warga negara yang bertanggung jawab dan efektif serta
memiliki rasa percaya diri dalam menggunakan hak dan tanggung jawabnya sebagai
warga negara.
Project Citizen memberikan kesempatan kepada para
siswa untuk ambil bagian dalam pemerintahan dan masyarakat sipil sambil
mempraktikkan berpikir kritis, dialog, debat, negoyasi, kerja sama, kesantunan,
toleransi, membuat keputusan, dan aksi warganegara (civic action) yakni melaksanakan kewajibanya sebagai warga negara
untuk kepentingan bersama (CCE, 1998: 1; Baudimansyah, 2008: 1).
Meskipun dirancang untuk digunakan oleh para siswa
sekolah menengah dalam bidang pelajaran Civic
and Government, Project Citizen juga sudah diterapkan di tingkat sekolah
menengah pertama dan sekolah menengah atas dalam bidang Ilmu Sastra, Social
Studies, dan antarberbagai cabang ilmu pengetahuan yang dipelajari siswa pada
semua tingkatan dengan jatah waktu pelajaran selama 50 menit, program tersebut
diprioritaskan menjadi mata pelajaran dengan jangka waktu enam minggu yang
digunakan untuk menambah mata pelajaran yang ada di dalam kerangka satu
kurikulum yang standar. Tetapi di Latvia, program tersebut diterapkan sebagai
satu kurikulum intensif satu minggu (tujuh hari penuh) dan di negara-negara
bagian lainnya di Amerika Serikat sebagai satu mata pelajaran yang berdiri
sendiri sepanjang semester.
Peran guru yang utama adalah sebagai instruktur atau
fasilitator yang memberi petunjuk pada para siswa tentang sumber-sumber
informasi yang baru, membantu mengadakan kontak-kontak, dan membekali para
siswa dengan saran-saran bermanfaat lainnya pada waktu para siswa mengadakan
penelitiam bimbingan atau petunjuk guru menerangkan tiap tahap proses
penelitian tersebut, memberikan banyak sumber tambahan (sebagai contoh,
kiat-kiat memperoleh sumber informasi
yang baiki pedoman untuk mengadakan satu smulasi sidang dengar pendapat), dan
para guru juga melengkapi para siswa dengan rubrik-rubrik evaluasi untuk
menilai kinerja tulisan dan lisan mereka.
Para guru juga memberikan panduan khusus kegiatan
siswa untuk membantu mereka melewati tiap tahap dari program tersebut, kriteria
penyelesaian tiap tugas, daftar istilah-istilah, dan lampiran-lampiran untuk
membantu menemukan sumber-sumber yang dibutuhkan untuk memecahkan
masalah-masalah kebljakan publik secara mendalam.
Bagi banyak kelompok siswa, tahap pertama program
Project Citizen, yaitu memilih masalah untuk diteliti, merupakan tahap tersulit
(CCE, 1998: xii). Oleh karena itu peran guru sebagai fasilitator hendaknya
mampu menyadarkan mereka bahwa masalah-masalah tersebut banyak terdapat di
sekitar kita. Mereka dapat diarahkan untu memperhatikan berita yang dimuat pada
surat kabar, ulasan berita di televisi, atau mengamati lingkungan masya-rakat sekitar.
Ketika kelompok-kelompok siswa telah menemu-kan sejumlah masalah yang potensial
untuk dljadikan bahan kajlan kelas, selanjutnya mereka harus meneliti pentlngnya
masalah-masalah tersebut dengan mewawancarai anggota masyarakat dan meninjau
ulang sumber-sumber informasi dari media mengenai masalah tersebut.
Jika kelompok siswa yakin telah memperoleh informasi
yang cukup mengenal masalah-masalah yang sedang dibicarakan untuk membuat
keputusan, maka para siswa tersebut dapat memutuskan masalah apa yang akan
diteliti. Meskipun bukan merupakan bagian resmi dari kurikulum Project Citizen,
banyak guru meminta pada para siswa membuat kriteria untuk memberikan penilaian
masalah-masalah yang potensial (sebagai contoh, pentingnya masalah tersebut, kemungkinan
dapat ditelitinya masalah tersebut).
Budimansyah (2008), menyatakan setelah memilih satu persoalan
penting, kelompok siswa tersebut dibagi menjadi tim-tim riset untuk
mengumpulkan informasi dari berbagai sumber, seperti perpustakaan, koran,
anggota masyarakat, organisasi kemasyarakatan, lembaga perwakilan rakyat,
perwakilan pemerintah, dan sumber-sumber elektronik. Informasi dikumpulkan
dengan berbagai carat seperti www (world
wide web) atau situs internet, telepon, wawancara perorangan, dan melalui
surat.
Hasil pekerjaan itu dituangkan dalam naskah siswa yang
memperlihatkan bentuk-bentuk dokumentasi dari tiap sumber, yang disusun untuk
mengarahkan analisis informasi yang diperoleh. Setelah itu, kelompok siswa
tersebut kembali dibagi menjadi kelompok-kelompok belajar koperatif untuk
melaksanakan empat tahap penelitian dan keikutsertaan di dalam proses pembuatan
kebijakan publik, yaitu:
1. Menerangkan masalah.
Kelompok ini bertanggung jawab untuk menjelaskan masalah yang telah dipilih
oleh kelompok siswa untuk diteliti. Kelompok ini juga harus menjelaskan mengapa
masalah tersebut penting dan mengapa pemerintah atau penvakilan pemerintah
harus mampu menanganinya.
2. Mengevaluasi kebijakan-kebljakan
alternatif untuk memecahkan masalah. Kelompok ini benanggung
jawab untuk mengembang-kan dan membenarkan kebijakan-kebijakan publik
alternatif yang diuji dan dievaluasi oleh kelompok siswa.
3. Membuat satu kebijakan publik yang
akan didukung oleh kelompok siswa. Kelompok ini
bettanggung jawab mengembangkan dan membenarkan kebijakan-kebijakan publik
khusus yang oleh mayoritas kebmpok siswa disetujui untuk didukung.
4. Membuat satu rencana aksi untuk
mendesak pemerintah menerima kebijakan kelompok siswa tersebut.
Kelompok ini bertanggung jawab membuat satu rencana aksi (action plan) yang
menunjukkan bagaimana warga negara mempengaruhi pemerintah untuk menyetujui
kebijakan yang didukung oleh kelompok siswa tersebut (CCE, 1998: 24-25).
Jika para siswa telah memilih satu kebijakan untuk
memecahkan masalah, seluruh anggota kelompok siswa tersebut diminta untuk
mempertimbangkan apakah kebijakan yang diusulkan tersebut mengganggu hak-hak
individu seperti kebebasan berbicara,
hak mendapat perlindungan atau pembelaan diri, privasi, atau perlindungan yang
sama di bawah undang-undang. Para siswa diminta untuk mempertahankan
konstitusonalitas kebijakan yang mereka usulkan secara hitam di atas putih.
Hasil kerja kelompok belajar kooperatif tersebut
diperlihatkan dalam bentuk satu barang bukti portofolio tayangan (empat bagian)
dan binder dokumentasi. Para siswa memasukkan pernyataan tertulis, chart,
grafik, dan/atau karya seni asli pada
tiap bagian portofolio dan memuat bukti penelitlan mereka dalam binder
dokumentasi. Naskah siswa tersebut menguraikan knteria umum untuk semua bagian
portofolio dan kriteria khusus serta saran-saran untuk tiap bagian tersendiri
(CCE, 1998: 26-32).
Kegiatan puncak program tersebut adalah simulasi
sidang dengar pendapat (show case)
dimana para siswa menunjukkan pengetahuan mereka dengan memainkan peran sebagai
saksi ahli. Mereka memberikan kesaksian mengenai portofolio yang mereka susun
di depan anggota dewan juri, yang memainkan peran sebagai pembuat undang-undang
negara.
Format simulasi sidang dengar pendapat tersebut
memberikan kesempatan pada para siswa untuk menunjukkan pengetahuan dan
pemahaman mereka tentang bagaimana kebijakan publik dirumuskan sambil membekali
para guru dengan cara alternatif untuk menilai kinetja siswa. Selama show case, tiap kelompok dengan bagian portofolionya
masing-masing mempersiapkan dan mempresentasikan satu pernyataan dalam waktu
empat menit pada tiap bagian portofolio. Setelah tiap pernyataan pembuka, para
juri yang merupakan anggota masyarakat memiliki waktu enam menit untuk bertanya
kepada para siswa untuk tiap penanyaan panel dan menilai mutu dari tiap kerja
tim menurut rubrik evaluasl yang diberikan pada tiap juri. Sesuai dengan naskah
siswa, terdapat empat tujuan mendasar dari simulasi dengar pendapat ini, yaitu:
1. Memberitahukan
para hadirin akan pentingnya masalah yang teridentifikasi di masyarakat.
2. Memelaskan
dan mengevaluasi kebijakan-kebijakan alternatif sehingga hadirin dapat memahami
kelebihan dan kekurangan dari tiap kebiJakan alternatlf tersebut.
3. Membahas
pilihan kelompok siswa tersebut sebagai kebijakan yang "terbaik"
untuk memecahkan masalah dan "mengusulkan" kebijakan tu Mengeluarkan
dan mendukung pendapat kelompok tersebut bahwa kebijakan yang diusulkan tidak
melanggar Undang-Undang Dasar, hukum tata negara, atau undang-undang.
4. Menunjukkan
bagaimana kelompok siswa tersebut mampu meraih dukungan untuk kebijakannya di
masyarakat, seperti di badan legislatif dan eksekutif pada tingkat pemerintahan
yang tepat (CCE 1998: 33).
Di Amerika Serikat dan di beberapa negara lainnya di
seluruh dunia, para guru dan siswa yang terlibat dalam Project Citizen didorong
untuk ikut ambil bagian dalam Show-Case
tingkat lokal, regional, negara bagian, dan nasional yang bersifat kompetitf. Meskipun
bukan satu syarat untuk ambil bagian dalam program tersebut,
kompetisi-kompetisi tersebut menjadi cara untuk memotivasi siswa belajar,
memberikan penghargaan atas prestasi siswa, dan menarik minat anggota
masyarakat dan lembaga-lembaga penyandang dana yang potenslal. Di Indiana,
sebagai contoh, terdapat tiga kompetisi regional (di Lafayette, Evansville, dan
Indianapolis) dan satu kompetisi negara bagian (di Indianapolis) yang diselenggarakan
secara rutin sebagai program tahunan selama enam bulan dalam musim semi.
Beberapa guru yang menerapkan Project Citizen cenderung
melakukan Show Case hanya di sekolah
dan memilih untuk tidak ambil bagian
dalam satu kompetisi. Banyak dari mereka tu memperlihatkan sikap acuh
tak acuh secara umum mengenal kompetisi-kompetisi akademis, sedangkan yang
lainnya merasa kesulltan memasukkan kompetisi tersebut ke dalam kurikulum yang
sudah padat dan merasa keberatan sehingga dengan cepat berallh ke topik-topik
dan soal-soal lainnya.
Keikutsertaan
dalam program tersebut bersifat suka rela di Indiana dan di seluruh Amerika
Serikat; Project Citizen merupakan satu kegiatan pembelajaran fakultatif di
dalam kurikulum sekolah-sekolah di Latvia, Lithuania dan negara- negara pasca-komunis
Eropa Tengah dan Timur. Kumpulan bahan-bahan gratis yang terbatas (kumpulan
buku pelajaran siswa di kelas, bimbingan guru, dan piagam penghargaan bagi
siswa) tersedia dan membantu mendorong keikutsertaan mereka. Tingkat
profesionalisme guru sebelum program Project Citizen dilatihkan sangat beragam.
Beberapa guru
telah ikut ambil bagian dalam lokakarya-lokakarya singkat (dua jam sampai
seharian penuh), sementara yang lainnya telah ambil bagian pada "summer institutes" (diklat yang
diadakan pada saat liburan musim panas) yang lebih ekstensif yang berlangsung
sampai empat hari. Dalam lokakarya dan lembaga pembinaan profesionaliisme guru lebih
ekstensif, para guru secara khusus menjalani versi singkat dari program
tersebut. Mereka memperlihatkan satu portofolio dan binder dokumentasi, dan
mereka ikut ambil bagian dalam show case.
D. Implementasi Model Pembelajaran Project
Citizen
Pada awalnya project citizen
digunakan untuk mata pelajaran Civic and Government di Amerika
serikat. sekarang project citizen juga diterapkan di tingkat sekolah
menengah pertama dan sekolah menengah atas dalam bidang Sosial Studies.
Model Project Citizen dalam pembelajaran pendidikan kewarganegaraan
sangatlah cocok diterapkan, hal ini berkaitan dengan Kecakapan kewarganegaraan (civic skill).
Jika warganegara
mempraktekkan hak-hak dan menunaikan kewajiban-kewajibannya sebagai anggota
masyarakat yang berdaulat, mereka tidak hanya perlu menguasai pengetahuan dasar
sebagaimana diwujudkan dalam lima pertanyaan sebagaimana diuraikan, namun
mereka pun perlu memiliki kecakapan-kecakapan intelektual dan partisipatoris
yang relevan. Kecakapan-kecakapan intelektual meliputi identifying and
describing; explaining and analyzing; and evaluating, taking and defending
positions on publik issues. Kecakapan-kecakapan partisipatoris mencakup interacting,
monitoring and influencing.
Branson dalam Budimansyah
(2009: 17-19) mengemukakan bahwa dasar pemikiran project citizen terletak
pada satu kerangka yang terdiri atas lima bagian tentang gagasan pendidikan dan
politik. Pertama, demokrasi memerlukan pemerintahan sendiri dan
karenanya memerlukan keterlibatan aktif dan berpengetahuan warga negara dalam
kehidupan berwarga negara. Satu komponen yang sangat diperlukan tentang
keterlibatan warga negara adalah partisipasi dalam proses pembuatan kebijakan
publik.
Kedua,
para siswa harus belajar bagaimana menjadi terlibat dalam kehidupan berwarga
negara dengan terlibat di dalamnya, yaitu dengan menyandang kewarganegaraan
yang bertanggung jawab dan efektif. Ketiga, karena para siswa tersebut
menggali masalah-masalah yang ada di komunitas mereka sendiri, maka mereka
mendapat banyak kesempatan untuk mempertimbangkan tentang hal-hal yang mendasar
dalam inti demokrasi, seperti hal-hal yang meliputi hak individu dan
kepentingan bersama, peraturan yang disepakati kelompok mayoritas dan hak kaum
minoritas, dan kebebasan serta persamaan.
Keempat,
project citizen dimaksudkan untuk diterapkan terutama oleh para siswa
sekolah menengah atau usia-usia remaja pradini (berusia sekitar 10-15 tahun);
tetapi program tersebut juga digunakan oleh older adolescents (anak
remaja yang menginjak dewasa) di beberapa sekolah. Di usia sekolah menengah dan
lebih, para siswa berusaha membentuk identitas mereka sendiri dan mereka juga
harus diberikan kesempatan untuk membina hubungan dengan masyarakat. Sebagian
besar anak remaja pradini (early adolescents) mulai bergeser dari
berpikir konkrit menuju berpikir abstrak dan sering berhadapan dengan masalah
baik dan buruk, legitimacy of authority (sah atau tidaknya hak untuk
bertindak), dan jawaban-jawaban alternatif atas situasi-situasi yang
menyulitkan.
Selama masa remaja, para
siswa membentuk sikap dan menerima nilai-nilai yang kemungkinan akan mereka
pegang sepanjang hidup. Para siswa remaja cenderung ingin tahu mengenai
lingkungan di sekeliling mereka, termasuk komunitas mereka sebagai warga negara
dan mereka membutuhkan pengalaman-pengalaman dunia nyata untuk menggali
hubungan mereka dengan kehidupan berwarga negara.
Kelima,
project citizen menganggap kaum muda sebagai sumber kewarganegaraan,
sebagai anggota yang berharga dari komunitasnya yang bernilai gagasan dan
tenaganya dapat secara nyata dicurahkan masalah-masalah kebijakan publik.
Daripada hanya menyiapkan para siswa untuk peran yang akan mereka emban di
kehidupan, project citizen mengharuskan mereka untuk ambil bagian sebagai
warga negara.
Menurut para pengembang project
citizen, keikutsertaan seperti ini tidak hanya merupakan wahana yang lebih
baik untuk meningkatkan pengetahuan, kecakapan, dan watak kewarganegaraan
demokrasi, tetapi juga makin baik bagi masyarakat karena para siswa tersebut
mempermudah organisasi pemerintahan dan masyarakat madani bekerja melewati
masalah-masalah penting di masyarakat. Keikutsertaan dan keterlibatan seperti
ini sudah seharusnya membantu kaum muda membina hubungan dengan masyarakat
dimana mereka tinggal dan menghargai kontribusi mereka terhadap pemecahan
masalah-masalah di masyarakat.
Implementasi model project
citizen sangat berpengaruh terhadap peningkatan pengetahuan kewarganegaraan.
Melalui model pembelajaran ini, seluruh rangkaian pembelajaran melibatkan
aktivitas dan kreativitas siswa. Tidak hanya aspek kognitifnya saja yang diasah
tetapi juga aspek afektif dan psikomotoriknya. Siswa diajak untuk peka terhadap
permasalahan-permasalahan sosial yang ada di lingkungan sekitarnya (Jayadiputra, 2015: 17).
Model pembelajaran ini dapat
meningkatkan civic knowledge. Hal lain yang bisa dicermati bahwa
pembelajaran project citizen juga dapat merangkum civic
knowledge seperti yang dikemukakan Branson (1999:4) bahwa dalam
pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan harus mencakup tiga komponen, yaitu Civic
Knowledge (pengetahuan kewarganegaraan), Civic Skills (keterampilan
kewargenageraan), dan Civic Disposition (watak kewarganegaraan).
Komponen pertama, yaitu civic knowledge berkaitan dengan “nilai apa yang
harus diketahui oleh warganegara” (Branson, 1999: 8).
Aspek ini menyangkut
kemampuan akademik-keilmuan yang dikembangkan dari berbagai teori atau konsep
politik, hukum dan moral. Dengan kata lain pendidikan kewarganegaraan merupakan
bidang kajian multidisipliner yang memuat materi pengetahuan kewarganegaraan
tentang hak dan tanggung jawab warganegara, hak asasi manusia, prinsip-prinsip
dan proses demokrasi, lembaga pemerintah dan non pemerintah, identitas nasional,
pemerintahan berdasarkan pada hukum (rule of law) dan peradilan yang
bebas dan tidak memihak, konstitusi, serta nilai-nilai dan norma-norma dalam
masyarakat.
Menggunakan model project
citizen lebih menekankan
sikap
dan perilaku yang lebih baik dalam proses pembelajaran erat kaitannya dengan kecakapan
intelektual. Seperti yang dikemukakan oleh Andriyan, (2007) bahwa intelektualitas,
sebagaimana yang selalu kita pahami adalah seperangkat sikap dan perilaku
yang lebih bijak, lebih mengarahkan kepada pendekatan otak dan rasional serta
selalu menimbang-nimbang apa yang akan diambil berdasarkan resiko yang akan
terjadi kemudian.
Pendek kata, orang
intelektual adalah orang
yang
selalu mengedepankan prinsip kehati-hatian dan pertimbangan-pertimbangan yang rasional
dibandingkan emosional. Intelektual, selalu akan mencoba menghindari segala
hal yang bersifat kekerasan dan irasionalitas yang justru akan merusak sisi
intelektualitasnya. Sebab, intelektual selalu mencari cara dan solusi yang lebih baik
daripada hanya mengedepankan otot dan perilaku kasar semata.
Lebih dari itu, model
pembelajaran project citizen adalah model pembelajaran yang mampu
memberikan kesempatan kepada para siswa untuk ambil bagian dalam pemerintahan
dan masyarakat sipil sambil mempraktikkan berpikir kritis, dialog, debat,
negosiasi, kerja sama, kesantunan, toleransi, membuat keputusan, dan aksi warga
negara (civic action) yakni melaksanakan kewajiban sebagai warga negara
untuk kepentingan bersama (CCE, 1998; Budimansyah, 2009: 2). Melalui model ini
siswa akan terbangun menjadi warga negara muda melalui berbagai macam
pengalaman kewarganegaraannya. Pengalaman kewarganegaraan yang dimaksud adalah
pengalaman belajar menjadi warga negara muda dalam berbagai bentuk partisipasi.
E.Model Pembelajaran Project Citizen Sebagai Wahana Untuk Meningkatkan
Kualitas Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan
Wahab dan Sapriya (2008) menegaskan
“selama ini peserta didik beranggapan pelajaran PKn itu tidak menarik dan
membosankan”. Kesan ini timbul dikarenakan secara substansif pelajaran PKn
kurang menyentuh kebutuhan peserta didik. Guru kurang memunculkan permasalahan
aktual yang dihadapi peserta didik sebagai masyarakat muda dan mengarahkan
siswa untuk bisa mengembangkan kemampuan berpikirnya agar bisa mengatasi
berbagai permasalahan tersebut.
Apabila dicermati lebih
mendalam, objek kajian Pendidikan Kewarganegaraan adalah masyarakat dengan
segala dinamikanya yang seharusnya menarik dan menantang untuk dipelajari. Untuk
mengatasi permasalahan tersebut, proses pembelajaran yang perlu dikembangkan adalah
“critical thinking oriented and problem solving oriented modes” (CCE: 1992-2000).
Sebab, siswa yang hanya menguasai konsep saja tanpa disertai dengan kemampuan
berpikir kritis terkadang sulit mengkomunikasikan ilmunya kepada orang lain dan
mengaplikasikan pengetahuannya dalam kehidupan sehari-hari (Lie: 2002).
Saat ini secara adaptif
di Indonesia dikembangkan model praktik belajar kewarganegaraan kami bangsa
Indonesia atau biasa disebut Project Citizen yang di dalamnya terdapat
portofolio hasil belajar siswa. Project citizen merupakan satu instructional
treatment yang berbasis masalah untuk mengembangkan pengetahuan, kecakapan,
dan watak kewarganegaraan demokratis yang memungkinkan dan mendorong keikutsertaan
dalam pemerintahan dan masyarakat sipil.
Tujuan Project citizen
adalah untuk memotivasi dan memberdayakan para siswa dalam menggunakan hak
dan tanggung jawab kewarganegaraan yang demokratis melalui penelitian yang
intensif mengenai masalah kebijakan publik di sekolah atau di masyarakat tempat
mereka berinteraksi (Budimansyah, 2009: 1-2). Pada dasarnya Prozect Citizen dikembangkan
dari model pendekatan berpikir kritis atau reflektif sebagaimana dirintis oleh
John Dewey (1900) dengan paradigm “how we think” atau model reflective
inquiry yang dikemukakan oleh (Barr, dkk 1978 dalam Budimansyah, 2009: 10).
Mengacu pada berbagai teori yang telah dikemukakan di
atas, dan berdasarkan berbagai penemuan pada penelitian sebelumnya project
citizen merupakan salah satu alternatif yang dapat digunakan untuk
memperbaiki kualitas pembelajaran PKn melalui proses belajar konstruktif yang
dapat meningkatkan keterampilan berpikir dan membentuk warganegara yang
demokratis, smart and good citizen.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul
Wahab, Solichin (2008). Analisis
Kebijaksaan dari Formulasi ke Implementasi Kebijaksanaan Negara. Jakarta : Bumi Aksara.
Azis Wahab, A & Sapriya. (2008). Teori dan Landasan Pendidikan
Kewarganegaraan. Bandung: UPI Press Sekolah Pascasarjana Universitas
Pendidikan Indonesia.
Branson,
M. S., dkk. (1999). Belajar Civic Education dari Amerika. Yogyakarta: LKIS.
Branson,
M.S. (1998). The Role of Civic Education:
A Forthcoming Education Policy Task Force. Position Paper from the
Communitarion Network,
Calabasas: ECC.
Budimansyah,
Dasim. (2009). Inovasi
Pembelajaran Project Citizen. Program Studi Kewarganegaraan: Universitas Pendidikan Indonesia.
Budimansyah,
Dasim. (2016). Teori Sosial dan Kewarganegaraan. Bandung: Widya Aksara Press.
CCE.
(1998a). We the People: Project Citizen,
Teacher’s Guide. Calabasas: CCE
CCE.
(1998a). We the People: Project Citizen. Calabasas:
CCE.
Cogan, J.J. dan Derricott, R. (1998). Citizenship for the 21st Century; An
International Perspective on Education. London: Kogan Page.
Craddock,
dkk. (2007). Teaching for Democracy:
Assessing Project Citizen in Poland, South Africa”, Research Report.
Depdiknas
(b) (2002), Pola Induk Pengembangan Silabus Berbasis Kemampuan Dasar Sekolah Menengah Umum ( SMU), Pedoman
Khusus Model 3 PPKn, Jakarta, Direktorat Pendidikan Menengah Umum.
Fajar, Arnie. (2005). Portofolio dalam Pembelajaran IPS. Bandung: Rosda.
Jayadiputra, Eka. (2015). Model Project
Citizen Dalam Meningkatkan Keterampilan Berpikir Kritis Siswa. Jurnal Ilmiah Cisoc, Kajian
Empiris Pendidikan Ilmu Sosial. Vol. 2. No. 1, hlm. 11-20.
Kalidjernih, F.K. (2010). Kamus Studi Kewarganegaraan, Perspektif Sosiologikal dan Politikal.
Bandung: Widya Aksara Press.
Lie,
Anita. (2002). Cooperative Learning. Jakarta: Granesindo.
Malatuny, Y. Godlif dan Rahmat. (2017). Pembelajaran
Civic Education Dalam
Mengembangkan Civic Disposition. Jurnal
Pedagogika dan Dinamika Pendidikan. Vol. 6,
No. 1, hlm. 56-68.
Malatuny, Y. Godlif, dkk. (2016). Increasing Global
Citizens Awareness Through Project Citizen Model. Proceeding Internasional,
Seminar Pendidikan Kewarganegaraan Sebagai Bidang Keilmuan dan Program
Pendidikan Dalam Konteks Penguatan Daya Saing Lulusan. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia.
Winarno.
(2014). Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan: Isi, Strategi dan Penilaian. Jakarta: Bumi Aksara.
Winataputra,
U.S & Budimansyah, D. (2012).
Pendidikan Kewarganegaraan Dalam Perspektif Internasional,
Konteks, Teori, dan Profil Pembelajaran. Bandung: Widya Aksara Press.
Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.