Peneliti komunikasi politik, dosen FPIPS Universitas Pendidikan Indonesia, kolumnis Pikiran Rakyat
SETIAP pemilihan umum kepala daerah (pemilukada) selalu memunculkan “badai dalam secangkir kopi”, suasana panas dan tegang di kalangan elit, namun diklaim sebagai kegelisahan publik. Padahal, sejujurnya publik tetap adem ayem. Tengok masyarakat Betawi, meski tiap hari televisi nasional mewartakan jalan menuju Jakarta 1, namun masyarakatnya tetap tenang. Hanya sedikit pergerakan yang dimotori relawan, selebihnya mengamati dalam diam.
Gambaran serupa ditemui pada warga Jawa Barat, atau penduduk CImahi, yang tetap landai meski klaim dukungan terhadap bakal calon dan baliho berderet di pingggir jalan. Gambaran tidak jauh beda, dapat ditemukan di daerah lain yang dijadwalkan menggelar pemilukada serentak pada 2017.
Hingga kini, kontestasi politik Indonesia masih menjadi kegiatan ad hoc. Tidak seperti aktivitas menanam padi, yang tidak cukup hanya menebar benih dan memanen, kontestasi politik Indonesia hanya semarak ketika musim pemilihan tiba. Lalu hening ketika pemilihan usai, dan hubungan elit dan massa pun melonggar begitu jabatan habis terdistribusi. Kegairahan publik dibangkit-bangkitkan kembali jelang tiba pemilu berikutnya.
Kandidasi yang lebih menekankan aspek-aspek yang disukai alih-alih kemampuan memimpin tidak membangkitkan impresi mendalam bagi publik. Bahkan sikap kandidat yang hanya menjadikan partai politik semata-mata kendaraan (dan karenanya bisa dengan mudah berganti bila tidak sesuai dengan kepentingan politisnya) tidak menghapus gambaran kurang baik tentang politisi dan partai politik dalam benak publik.
Namun tidak ada gambaran yang lebih memilukan ketika mendapati pemilukada harus menyisakan dendam dan permusuhan. Kompetitor dipandang sebagai lawan, bahkan musuh. Ujung-ujungnya yang menang meraup semuanya, dan menempatkan yang kalah di luar sistem. Lebih naif lagi permusuhan bukan hanya terjadi antara kandidat yang kalah dengan pemenang, tetapi antara pemenang dengan pejabat sebelumnya karena partai dan sikap politik dalam pemilu yang berbeda.
Kontestasi politik sebagai inkubator kebencian harus diakhiri jika masih percaya bahwa demokrasi adalah pilihan orang-orang berakal sehat. Pun pengkhianatan terhadap kepercayaan pemilih harus dihentikan bila masih percaya bahwa pemimpin tanpa pengikut tak ubahnya kepala yang terlepas dari raga.
Jika mau, peluang memutus kebiasaan buruk dalam berpolitik tetap terbuka. Baik buruknya gambaran politik bergantung kepada tindakan para aktornya. Kualitas proses dan hasil politik tidak akan melampaui kapasitas politisinya.
Di tengah kegalauan menyaksikan akrobat politisi menyongsong pemilukada, saya sangat senang membaca kisah yang ditulis Bajasur & Hakiem, 2014, yang dikutip Yudi Latif, 2014. Sebuah kisah teladan kesetiakawanan mereka yang berbeda dalam pemikiran politik namun bersahabat dan saling membantu dalam kehidupan sosial. Prawoto Mangkusasmito, tokoh Partai Masyumi yang pernah menjadi Wakil Perdana Menteri (1952-1953) dan Wakil Ketua I Konstituante (1956-1959), sampai akhir tahun 1950-an belum memiliki rumah. Di tengah perbedaan pandangan politik yang tajam menyangkut Dasar Negara di Konstituante, I. J. Kasimo, tergerak memberi bantuan tatkala mendengar Pak Prawoto hendak membeli rumah yang sudah enam tahun disewanya. Kebetulan Kasimo kenal dengan pemilik rumah tersebut yang tinggal di Maastrich, Belanda, hingga rumah tersebut dapat dibeli Pak Prawoto.
Ini adalah kebajikan politis yang otentik. Perbedaan pandangan politik tidak menjadi katalisator hubungun baik dan persahabatan yang tulus.
Nyatanya, kebajikan politis bukan hanya dipertontonkan negarawan di tanah air, tetapi juga diperlihatkan oleh politisi yang sudah matang. Benedetto, dalam Politicans are People Too, 2006, memotret sketsa politik George Voinovich, mantan walikota Republikan dari Cleveland, yang kemudian menjadi Gubernur Ohio, dan senator Amerika.
Dia adalah orang nomor satu, yang memimpin kota Cleveland, dengan visi yang brilyan. Benedetto, menyebutnya sebagai wali kota yang melangkah jauh melebihi panggilan tugasnya dalam memperluas kebiasaan saling menolong. Pujian ini terkait komitmen kuat Voinovich terhadap aktivitas para pemimpin komunitas, yang melumasi kehidupan sosial Amerika dengan beragam kebajikan sosial.
Selain komitmennya dalam mendorong modal sosial, catatan penting Voinovich terkait preferensi kepartaiannya. Sebagai Republikan, Voinovich mendukung Bob Dole yang mencalonkan diri sebagai presiden. Dukungan pun diberikan penuh. Namun dukungannya berbuah kecewa karena Bob Dole memilih Jack Kemp untuk posisi wakil presiden. Bob Dole tidak menggandeng Voinovich, yang dianggapnya sebagai lawan unggul untuk orang nomor dua pada tiket Partai Republik ke kursi presiden. Namun pilihan Bob Dole tidak melemahkannya dalam mendukung kadidasi Dole, yang pada akhirnya kalah melawan Bill Clinton. Meski kecewa berat, loyalitas terhadap partainya terjaga, karena bagi George Voinovich kesetiaan adalah kebajikan.
Tentu saja masyarakata Kota Surabaya tak perlu menoleh jauh untuk menemukan gambaran wali kota yang melangkah dengan visi menata kehidupan warganya. Di tengah kebiasaan kepala daerah yang suka meniru gaya politik angsa (berteriak-teriak namun tak beranjak), Bu Risma sukses menata Kota Surabaya. Keberhasilannya dalam memperlebar Jalan Ahmad Yani dari bundaran Waru hingga Wonokromo (kurang lebih empat kilometer) adalah salah satu testimoni kerja kerasnya, sekaligus kedekatannya dengan warga. Bagi siapa pun, akan sulit memimpin kota besar tana penerimaan warganya.
Meski dunia politik identik dengan kontestasi, namun ruang untuk berbuat kebajikan tidak akan tertutup bila hati para politisinya masih terbuka. Kesetiaan politis tidak bertepi pada motif pribadi, melainkan melahirkan keputusan dan tindakan berani dalam mewujudkan apa yang dipikirkan, dirasakan, dan dimaui publik.
Kontestasi yang dibalut permusuhan harus diakhiri, karena jika dibiarkan berulang tak ubahnya tindakan membangun keterbelakangan. Lebih dari itu, pola pikir yang menganggap dendam sebagai buah yang wajar dari persaingan politik harus dikubur, sebab kontestasi politik sejatinya adalah pilihan rasional untuk melakukan contest of beauty, memilih orang-orang terbaik dari yang terpilih.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar