Senin, 21 November 2016

Rektor Impor

Prof. Dr. Karim Suryadi, M.Si

Peneliti komunikasi politik, dosen FPIPS Universitas Pendidikan Indonesia, kolumnis Pikiran Rakyat

PASAR Indonesia sudah lama dikuasai produk impor. Selain daging sapi, beras, kedelai, pakaian dan alat rumah tangga, beragam tetek-bengek aksesori pun (seperti peniti, kancing, bondu, sisir, dan sejenisnya) buatan negara lain. Berjayanya produk asing di pasaran domestik menebar teror yang menyesakkan, yakni barang siapa yang tidak sudi memakai produk asing maka bersiaplah hidup susah. Ups, mengenaskan.
Namun alih-alih mengurangi ketergantungan pada produk asing, pemerintah malah memperbesar keran masuknya produk impor. Bukan hanya barang konsumsi, tenaga kerja asing pun dipersilakan masuk. Bahkan, karpet merah akan segera digelar untuk menyambut warga negara asing yang akan diangkat menjadi rektor di perguruan tinggi negeri.
Hal terakhir, terkait rencana pemerintah sebagaimana disampaikan Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Menristek Dikti) M. Nasir pada Kamis, 2 Juni 2016. Menurut menteri yang berlatar belakang akademisi tersebut, wacana ini digulirkan sebagai respons atas keinginan Presiden Joko Widodo yang mengarahkan agar pendidikan tinggi Indonesia mampu bersaing di kelas dunia (Koran Sindo, 3 Juni 2016). Hal ini merujuk kepada pengalaman Tiongkok, Singapura, dan Arab Saudi yang sudah memakai orang asing untuk menjadi rektor. Dia mencontohkan, universitas di Arab Saudi dulu rankingnya di luar 500 dunia, namun sekarang sudah masuk peringkat 200 dunia, seperti yang dialami King Saud University.
Perlu pemikiran matang sebelum rencana mengimpor rektor betul-betul diwujudkan. Hal ini paling tidak terkait dua alasan berikut. Kesatu, salah satu penyakit pengembangan perguruan tinggi adalah melakukan imitasi yang dipahami seolah-olah sebagai inovasi. Celakanya penyakit ini diidap banyak perguruan tinggi di dunia, dan berujung kegagalan.
Henry J. Eyring & Clayron M. Christensen melakukan riset terhadap beberapa perguruan tinggi di Amerika, dan hasilnya bisa dibaca dalam buku "The Innovative University: Chalenging the DNA of Higher Education from the Inside Out" (2012). Banyak pimpinan perguruan tinggi di Amerika merasa telah melakukan inovasi ketika mereka meniru langkah yang diambil Harvard University. Namun, mereka harus kecewa karena perguruan tinggi yang dipimpinnya tetap tercecer jauh di belakang Harvard. Hal ini terjadi karena banyak tradisi Harvard yang tidak tertransferkan ketika peniruan dilakukan.
Lompatan mencengangkan justru diperlihatkan Idaho University, yang tidak mengekor Harvard. Idaho betul-betul melakukan inovasi dengan mengembangkan sesuatu yang baru berlandaskan keunikan yang dimilikinya. Alih-alih menjiplak langkah yang ditempuh perguruan tinggi lain, Idaho University hanya meminjam pengalaman pergurun tinggi lain sambil mengembangkan keunikannya sendiri. Gen kemajuannya tumbuh dari dalam, bukan diinfuskan dari luar.
Berkaca kepada fakta di atas, tidak boleh sembarang meniru dalam mengembangkan universitas. Kegagalan selalu membayangi proses peniruan karena salah yang ditiru, atau akibat peniruan yang tidak sempurna.
Fakta masuknya rektor asing ke beberapa perguruan tinggi di Tiongkok, Singapura, dan Arab Saudi mungkin saja diikuti perbaikan peringkat perguruan tinggi yang bersangkutan. Namun, apakah perbaikan peringkat tersebut betul-betul terjadi karena kehadiran rektor berkewarganegaraan asing?
Semua orang tahu, banyak elemen perguruan tinggi yang berpengaruh terhadap hasil pemeringkatan dalam dan luar negeri. Kepemimpinan rektor adalah salah satunya. Namun, terlalu menyederhanakan persoalan bila dengan mengangkat rektor dari luar maka kualitas dan peringkat perguruan tinggi di dalam negeri akan serta-merta naik.
Kedua, wacana yang dilontarkan Menristek Dikti menabrak revolusi mental yang didengungkan Joko Widodo saat kampanye. Bila Presiden Joko Widodo hendak mewujudkan revolusi mental maka projek pertama yang harus diubah adalah kegilaan pada apa pun yang datang dari luar negeri, atau Barat khususnya (westronomia).
Kegilaan ini mulai menjalar ke berbagai lini. Bukan hanya tenaga profesional di dunia industri, berbagai liga (sepak bola, basket, dan bola voli) pun telah dibanjiri pemain asing. Apakah kehadiran pemain asing mengangkat kualitas tim nasional? Semua orang tahu jawabannya. Bila tim nasional berkibar di kancah dunia, tak mungkin pemerintah membekukan PSSI belakangan ini.
Dampak kehadiran rektor asing bagi peningkatan kualitas dan peringkat perguruan tinggi masih hipotetik, namun efek pengiring menguatnya pandangan yang menggilai produk dan ajaran luar akan menguat. Bila ini dibiarkan, pupuslah harapan membangun revolusi mental. Kredo berdaulat secara politik, berdikari secara ekonomi, dan berkepribadian secara sosial budaya pun hanya tinggal angan-angan. Indonesia akan menjadi halaman belakang negara lain.
Mengimpor rektor berarti mempersilakan visi kepemimpinan dan pandangan hidup yang dianut sang rektor bekerja. Padahal, dalam hal mengelola negara dan aset-asetnya, para founding fathers telah mengajarkan bahwa kita hanya akan meniru teknik (cara) namun tidak menjiplak tata nilai atau pandangan hidup. Itulah sebabnya, Indonesia tidak menjiplak konstitusi negeri Belanda, namun menyusunnya sendiri. Bangsa ini didirikan dengan semangat optimistik, yang percaya pada kekuatan sendiri, namun tidak pernah silau pada kemajuan bangsa lain.
Alih-alih mengimpor rektor, mendorong perguruan tinggi untuk menemukan keunikan dan mengembangkan keunggulannya sendiri lebih masuk akal. Kemajuan sejati tak pernah lahir dari tindakan meniru secara serampangan, melainkan muncul dari tindakan mendorong kekuatan dalam ke luar (inside-out).***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Comments system

Disqus Shortname