Oleh :
Prof. Dr. Karim Suryadi
Peneliti komunikasi politik, dosen FPIPS Universitas Pendidikan Indonesia, kolumnis Pikiran Rakyat
DEPARPOLISASI lazimnya dipahami sebagai pelemahan pengaruh partai politik (parpol), atau setidak-tidaknya mengurangi bobot politis parpol. Tindakan politikus salon yang oleh Soekarno digambarkan sebagai politisi yang tidak terjun ke tengah-tengah masyarakat, tidak mendengarkan kehendak, dan menyadarkan mereka akan dirinya sendiri yang mencederai misi parpol adalah contoh par excellent deparpolisasi.
Melabeli tindakan seseorang yang menolak diusung parpol sebagai deparpolisasi dan menaikkan syarat dukungan minimal bagi calon independen adalah tindakan buruk muka cermin dibelah. Ini adalah bentuk kepanikan politisi yang memperkuat pelemahan eksistensi parpol.
Tindakan seseorang menolak diusung parpol adalah gejala yang timbul dari penyakit yang diidap parpol. Jadi, alih-alih sebagai penyebab, keengganan seseorang berada di bawah bayang-bayang parpol adalah akibat kian tidak memikatnya parpol. Gejala seperti ini bukan khas Indonesia. Dalam batas-batas tertentu, tindakan warga menghukum parpol dengan mendukung kandidat yang tidak berlatar belakang parpol nampak terjadi dalam pemilu Amerika Serikat, berupa kian kuatnya dukungan terhadap Donald Trump yang berlatar belakang pebisnis.
Tindakan menaikkan syarat minimal dukungan bagi calon independen untuk menekan jumlah kandidat yang maju dari jalur perseorangan adalah tindakan pengobatan yang hanya melayani gejala (symptomatic approach). Memperberat syarat dukungan calon independen mungkin saja menekan jumlah calon independen, namun bukan berarti menyembuhkan penyakit yang diidap parpol.
Gejala deparpolisasi harus dicari akar penyebabnya sehingga langkah pengobatan menyasar sebab-musabab timbulnya sakit. Penyelenggaraan pilkada serentak pada 9 Desember 2015 dan penanganan kisruh kepemimpinan parpol yang bersengketa menunjukkan adanya penyakit kronis yang diidap parpol namun tidak disadari (atau pura-pura tidak merasa sakit).
Penyakit yang sedang diidap parpol adalah “partireporosis”. Penyakit apa itu? Layaknya tulang yang mengalami penurunan massa dan bolong-bolong sehingga memicu kerapuhan (osteoporosis), parpol pun mengalami penurunan fungsi, pelemahan visi ideologis, serta pengaburan preferensi nilai dan tindakan politis yang menyebabkan pengeroposan parpol dari dalam. Akibatnya, parpol tidak sanggup menampung beban meningkatnya arus dan variasi partisipasi politik warga, sehingga aspirasi dan tindakan politisnya tersalur ke luar parpol. Bukannya bersinergi dengan politisi dan parpol, warga menyalurkan dukungan atau penolakannya terhadap sebuah kebijakan pemerintah lewat petisi di media sosial, atau menggalang dana guna mengatasi kesulitan warga.
Inilah ironi politik di era keterbukaan. Parpol mengalami kesepian di tengah merebaknya partisipasi politik warga. Bukan karena warga yang kian apolitis, namun daya tarik dan keterpercayaan parpol yang kian merosot.
Pengeroposan parpol (“partireporosis”) dipicu oleh tiga tindakan berikut. Kesatu, nilai dasar yang melandasi cita-cita parpol adalah ruh parpol, sedangkan posisi yang diambil parpol terhadap sebuah kebijakan, preferensi tentang kandidat yang akan diusung, pola koalisi yang dibangun, dan mekanisme penyelesaian konflik yang digariskan konstitusi partai adalah tulang-belulang yang menopang tegaknya bangunan parpol. Bila aspek-aspek ini absen dari kehidupan parpol dan diingkari dalam praksis politik kepartaian maka kelumpuhan parpol tinggal menunggu waktu.
Kedua, kebiasaan politisi membawa konflik internal ke luar mekanisme parpol sama halnya dengan tindakan mengumbar aib sendiri lalu mencari pembenaran palsu. Kesanggupan parpol mengatasi konflik internal adalah investasi yang ditanam parpol di saat kritis. Pengingkaran terhadap mekanisme penanganan konflik yang digariskan konstitusi parpol adalah tindakan membangun keterbelakangan partai.
Ketiga, banyak tindakan politisi yang seakan-akan demokratis padahal sejatinya merusak tatanan demokratisasi parpol dari dalam. Menjadikan parpol sebatas tiket masuk menuju arena pemilukada, membangun ikatan kepartaian yang bersifat ad hoc (sementara dan berjangka pendek), dan membawa perselisihan internal parpol ke pengadilan dengan dalih menghormati prosedur dan mekanisme hukum adalah pembusukan politik (political decay) yang nyata yang dibungkus selubung demokrasi.
Pengeroposan parpol hanya dapat dicegah melalui penguatan fungsi ideologis parpol dalam perumusan kebijakan dan pengalokasian jabatan publik. Kehadiran parpol tidak akan bermakna bila simbolik semata. Kehadiran parpol harus terdengar, terlihat dan terasa dalam semua hal yang mempengaruhi kehidupan masyarakat. Bagaimana gagasan parpol dalam menyikapi masyarakat ekonomi ASEAN misalnya, dan kebijakan apa yang dimajukannya adalah langkah yang diyakini dapat memperkuat posisi parpol dan memengaruhi ikatan emosional warga terhadap parpol.
Resep utama mengobati pengeroposan parpol adalah mendorong politisi bertindak dalam cara-cara yang dibutuhkan konstituen, bukan politisi salon seperti yang pernah didengungkan Soekarno. Parpol hadir untuk menampung keragaman pemikiran dan gagasan serta menyalurkannya ke jalan yang benar, bukan membungkamnya. Kehadiran parpol akan terasakan warga bila kadernya terlibat dalam upaya merawat kekayaan kolektif dan bersama-sama menghadirkan perbaikan di tengah-tengah warga. Tanpa keduanya, kehadiran parpol tak ubahnya benteng kosong yang tampak megah dari luar, namun hanya berisi udara lembap.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar