Prof. Dr. Karim Suryadi, M.Si
Peneliti komunikasi politik, dosen FPIPS Universitas Pendidikan Indonesia, kolumnis Pikiran Rakyat
KESUKARELAAN warga dalam menangani urusan kemasyarakatan (volunteerism) menjadi nukleus masyarakat demokratis. Kesukarelaan warga bukan hanya menjaga modal sosial tetap bekerja, tetapi juga melumasi mesin politik formal sehingga mampu menampilkan performa optimal.
Dalam masyarakat dengan kultur demokrasi yang sudah mapan, voluntirisme tumbuh seperti sel dalam tubuh. Keanggotaannya tidak banyak, namun solid dan militan. Meski mirip (dan kadang mengambil bentuk) organisasi kemasyarakatan, namun berbeda dengan ormas pada umumnya. Energi yang menggerakkan mereka adalah kemandirian, yang dipersatukan oleh kesadaran dan tanggung jawab. Karena itu, mereka bukan perkumpulan orang-orang yang “mencari pekerjaan”, atau menghidupi dirinya dengan melakukan kerja upahan berdalih relawan.
Ada beberapa bentuk kesukarelaan. Sekedar contoh, saya hadirkan tiga tindakan berikut. Di pinggiran Chicago, ada sekelompok orang yang mengumpulkan sepeda bekas yang sudah tak terpakai lagi. Mereka rela mengambilnya dari jarak yang cukup jauh. Mereka perbaiki di akhir pekan. Bila sudah kembali berfungsi dengan baik dan terkumpul banyak, mereka mengirimnya ke negara-negara Afrika yang menjadikan sepeda sebagai moda transportasi di kampungnya.
Di Alabama, ada pula seorang pengusaha restoran yang dermawan. Ia menyisihkan makanannya untuk dibagikan kepada mereka yang kurang beruntung (tidak punya tempat tinggal tetap, pekerja serabutan) di kotanya. Sang dermawan bukan hanya menjual makanan, tetapi juga membagikannya tiap sore hari.
Namun tantangan yang dihadapi “sang relawan” tidak berkurang. Kabar adanya makan gratis telah mengundang para gelandangan di kota tetangga datang. Tantangan inilah yang membuatnya menghimpun pengusaha yang memiliki kepedulian yang sama. Munculah beberapa restoran yang bukan hanya menyediakan makan untuk dijual, tetapi juga tempat pembagian makan gratis.
Betapa pun telah banyak pengusaha restoran yang bergabung, masalah warga yang kelaparan tak juga selesai. Alih-alih berkurang, jumlah mereka yang antre untuk mendapatkan jatah makan gratis malah kian panjang.
Realitas inilah yang menggugah kesadaran para relawan untuk melakukan intervensi politis atas persoalan gelandangan, pengemis dan penyandang masalah sosial lainnya. Intervensi dimaksud adalah keberpihakan regulasi dan preferensi para pembuatnya. Dalam pandangan mereka, harus ada regulasi yang memungkinkan para gelandangan, pengemis, dan penyandang masalah sosial dapat menghidupi diri sendiri.
Kebutuhan melakukan intervensi politis inilah yang mendorong para voluntir mengusung satu diantara mereka maju dalam pemilihan parlemen kota. Usaha mereka tidak sulit, karena jejaring sudah terbangun, pasar politik sudah tersedia, sehingga suara yang dibutuhkan pun tak sulit dicapai. Kini semangat untuk mengurangi masalah sosial bukan hanya mewujud dalam tindakan kesukarelaan warga, tetapi juga menjadi misi para pembuat regulasi.
Kesukarelaan (dan kepeloporan) pula yang mendorong Ma Eroh, wanita spartan dari Kampung Pasirkadu, Desa Santana Mekar, Kecamatan Cisayong, Tasikmalaya, Jawa Barat, mengayunkan cangkul dan balincong (linggis pendek) untuk memapas tebing demi mengalirkan air. Berkat keteguhannya, terbangunlah saluran air yang mengaliri ribuan hektar sawah. Kalpataru yang dianugrahkan Pemerintah pada 1988 tidak mengikis sedikit pun kemandiriannya dalam mengatasi persoalan mendasar di desanya.
Kesurelaan warga dalam mengatasi masalah sosial dan kemasyarakatan dapat bervariasi dari sisi bentuk dan beragam dalam tindakannya. Namun apa pun bentuk yang diambil selalu menunjukkan dua ciri mendasar berikut.
Kesatu, kesukarelaan warga bertumpu pada kepedulian, kemandirian, dan tanggung jawab. Sukarelawan tidak bekerja atas perintah, atau rela melakukan apa pun yang dikehendaki pembayar, melainkan bekerja atas keyakinan akan kemanfaatan tindakan mereka dalam mendatangkan perbaikan.
Sukarelawan secara sadar tidak menjadikan diri mereka seperti lilin, yang menolong orang lain dengan menyiksa diri, atau seperti bulan yang hanya menghimpun cahaya dan memantulkannya kembali. Para sukarelawan adalah mereka yang bisa mencukupi kebutuhannya sendiri dan memberdayakan orang lain. Mereka seperti generator, yang menjalani hidup normal dan memberi energi bagi yang lain.
Kedua, para relawan bertransformasi menjadi politisi hanya karena didorong kebutuhan melakukan inervensi politis atas urusan yang telah menjadi komitmen mereka. Mereka tidak diinisiasi oleh kepentingan dan tujuan politis, meski mereka tidak memusuhi arena dan aktivitas politik.
Para relawan terjun ke dunia politik tidak membawa cek kosong. Mereka lahir dari rahim kemasyarakatan, dimatangkan oleh pengalamatan keterlibatan, dan dikukuhkan oleh preferensi ideologis yang memihak keberdayaan publik.
Indonesia terlahir dari kesukarelaan warga dalam menegakkan pilar bangsa yang merdeka. Kemauan untuk hidup sebagai bangsa yang merdeka telah melecut keberanian untuk mengusir penjajah, mengesampingkan perbedaan, dan membangun keadaban warga. Kini, kita membutuhkan kesukarelaan warga untuk memajukan Republik, karena tidak semua urusan bisa ditangani pemerintah.
Kesukarelaan warga dalam mengatasi persoalan dapat menjelma menjadi kekuatan massa rakyat yang dahsyat, bahkan ketika pemerintah belum hadir sekalipun bila kemauan dan tekad rakyat telah bersatu keinginan sulit sekalipun bisa diwujudkan. Hal ini tentu saja berbeda dengan kesukarelaan palsu, yang hanya bertenaga melakukan apa pun pesanan pemodal. Bila ini yang terjadi, maka kehadiran relawan tak ubahnya senandung satir yang pernah populer “maju tak gentar mendukung yang bayar”.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar