Oleh :
Prof. Dr. Karim Suryadi, M.Si
Peneliti komunikasi politik, dosen FPIPS Universitas Pendidikan Indonesia, kolumnis Pikiran Rakyat
DI dalam buku "Ilmu dan Perjuangan", Soekarno menegaskan hakikat ilmu pengetahuan, bagaimana jalan menuju ilmu pengetahuan, dan untuk apa ilmu pengetahuan digunakan. Dengan sangat lantang Bung Karno berteriak, "Bagi saya, ilmu pengetahuan hanyalah berharga penuh jika ia dipergunakan untuk mengabdi kepada praktik hidupnya manusia, atau praktik hidupnya bangsa, atau praktik hidupnya dunia kemanusiaan. Itulah sebabnya, saya selalu mencoba menghubungkan pengetahuan dan perbuatan, sehingga pengetahuan ialah untuk perbuatan, dan perbuatan dipimpin oleh pengetahuan."
Mengabdi bagi kehidupan dan menjadi pelita bagi perbuatan itulah tujuan berilmu. Lalu, apa jadinya bila universitas, yang secara genuine ditugasi mengembangkan ilmu pengetahuan tunduk pada ukuran-ukuran asing, yang tidak tumbuh dari -dan diabdikan untuk– kemajuan masyarakatnya?
Apa yang diungkapkan Bung Karno, dan pertanyaan yang menyusul di belakang, seakan terpental jauh tatkala ide mengimpor profesor dari luar negeri dilontarkan Menristek Dikti pada pertengahan Oktober 2016. Bukan perkara mendatangkan profesor dari luar negeri yang menjadi persoalan, karena dalam dunia akademik batas-batas teritorial amat cair, dan saling belajar dari pengalaman terbaik bukan hal tabu. Bahkan ketika beberapa perguruan tinggi negeri baru berdiri saat Republik berusia masih belia, banyak ahli dari luar negeri diperbantukan di berbagai perguruan tinggi di tanah air. Di IKIP Bandung misalnya, tidak kurang dari sepuluh ahli dari Amerika bahu-membahu mengembangkan ilmu pengetahuan keguruan, namun mereka harus pulang ketika Republik tercinta dilanda prahara politik pada 1965.
Jadi, ide mengimpor profesor bukanlah gagasan baru. Di luar rencana ini, menarik pulang para sarjana kita yang kuliah di luar negeri dan "kecantol" bekerja di sana harus menjadi prioritas. Bagaimana pun, selain keahliannya, tenaga mereka kita butuhkan karena mind set dan orientasinya lebih bertemali dengan budaya dan kehidupan di tanah air.
Hal yang cukup mengganggu adalah ketika gagasan mengimpor ratusan guru besar ini dihubungkan dengan kepentingan mendorong perguruan tinggi Indonesia masuk ranking dunia. Predikat universitas berkelas dunia hanya akan bermanfaat bila pemenuhan standar yang dipersyaratkan ditempuh secara alami, dan pencapaian standar dimaksud adalah wujud tanggung jawab dan kerja profesional sebagai dosen. Itulah sebabnya, kunci mencapai universitas berkelas dunia adalah persoalan mengubah budaya akademik dan pemenuhan tugas profesional dosen, yang selaras dengan standar global.
Meraih kemajuan adalah tujuan semua orang yang berpikiran waras. Namun tentu bukan tanpa alasan ketika para pendiri bangsa menggandengkan "memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur". Karena itu, terasa sebagai "kehormatan yang menistakan" ketika pemenuhan standar global sebagai ukuran perguruan tinggi berkelas dunia ditempuh dengan jalan pintas.
Label perguruan tinggi berkelas dunia bukan "template" yang melekat pada profesor asing, yang bisa dicopy paste pada kehidupan sebuah perguruan tinggi. Kemajuan sebuah universitas adalah buah dari kesanggupan sivitas akademiknya dalam memajukan penelitian yang mendongkrak pertumbuhan ilmu pengetahuan, menyediakan pengajaran yang memberdayakan murid, dan menyiapkan para ahli yang siap melayani publik.
Apa pun standar kemajuan yang diterapkan sejatinya tidak menyimpang dari gagasan murni universitas, yang oleh John Henry Newman sudah dilontarkan sejak 1854, sebagai berikut. "Saya katakan bahwa gagasan murni universitas memiliki tujuan dan misi yang khas, bukan hanya terpaku pada penciptaan kesan moral ataupun produk mekanis. Universitas ada untuk menempa nalar, dan membangun budaya intelektual. Universitas hadir untuk mendidik para kaum intelek agar dapat berpikir tajam dan bijak dalam segala hal, dapat menggapai kebenaran, dan mampu meresapi kebenaran tersebut." (John Henry Newman, 1854, The Idea of a University, with an introduction and notes by M.J. Svaglic, Notre Dam, University of Notre Dam Press).
Saya khawatir, label penciptaan universitas berkelas dunia hanya sebuah "penciptaan kesan moral", yang melupakan misi universitas yang khas, yakni menempa nalar, membangun budaya intelektual, yang berpikir tajam dan bijak, serta mampu meresapi kebenaran. Lebih dari itu, saya khawatir universitas terjebak pada arus global yang sangat mekanis dan instrumental, seperti jasa titipan kilat yang bertugas mengirimkan ilmu pengetahuan tanpa melibatkan minat, pemahaman, dan perhatian murid, sehingga ilmu yang didapat terasing dari kehidupan murid.
Di balik semua kekhawatiran tersebut, saya yakin bahwa gagasan murni universitas hanya bisa diwujudkan bila universitas terselamatkan dari ancaman kepentingan bisnis, target jangka pendek pemerintah dan politisi, serta tekanan tirani opini publik. Jadi, mendatangkan guru besar asing, atau apa pun kebijakan yang diambil untuk kemajuan universitas di tanah air, tidak boleh sekadar penciptaan kesan moral semata, atau tunduk pada nilai-nilai instrumental yang disodorkan kekuatan asing, kepentingan bisnis, atau target politis, melainkan harus tumbuh dari gagasan murni universitas dan kemampuannya menciptakan pelita yang memandu perbuatan warga.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar