Yakob Godlif Malatuny
Mahasiswa Pendidikan Kewarganegaraan
Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan
Indonesia
godlief_malatuny@student.upi.edu
ABSTRAK
Pendidikan
karakter mutlak diperlukan dan dilaksanakan pada abad 21 sebagai langkah
kuratif dan patologi sosial di masyarakat, namun langkah preventif guna
pembentukan karakter baik (good character) dari setiap pesera didik belum
efektif digunakan dalam pendidikan karakter. Penggunaan model dan pendekatan pembelajaran
berbasis nilai dan moral dalam pembelajaran pendidikan karakter dipandang mampu
membentuk untuk mewujudkan pembentukan good character. Penulisan ini bertujuan untuk
mengkaji hakikat pendidikan karakter, berbagai model dan pendekatan pendidikan
karakter. Kesimpulan dari penulisan ini, bahwa pendidikan karakter pada abad 21
sesungguhnya merupakan proses pemberdaan (empowering) potensi peserta didik
proses humanisasi (humanizing), dan proses pembudayaan (civilizing),
model-model pembelajaran pendidikan yaitu model pembelajaran penanaman nilai,
berbasis perkembangan penalaran moral, analisis
nilai dan project citizen, efektif digunakan membantu peserta didik
mengembangkan kompetensi menjadi warga negara yang baik (good citizen), serta pendekatan
keteladanan, berbasis kelas, kegiatan ko-kurikuler dan ekstrakurikuler, kultur
kelembagaan dan kultur akademik, berbasis komunitas, dan dukungan kebijakan
pendidikan yang relevan dapat membantu peserta didik mengidentifikasi
masalah-masalah sosial.
Kata Kunci : Model, Pendekatan, Pembelajaran, Pendidikan
Karakter, Abad 21
PENDAHULUAN
Era globalisasi yang ditandai oleh
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang amat pesat, terutama teknologi
informasi dan komunikasi, telah mengubah dunia seakan-akan menjadi kampung
dunia (global village). Dunia menjadi
transparan tanpa mengenal batas negara. Kondisi yang demikian itu berdampak
pada seluruh aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Di samping
itu, dapat pula mempengaruhi pola pikir, pola sikap, dan pola tindakan seluruh
masyarakat Indonesia. Fenomena globalisasi telah menantang kekuatan penerapan
unsur-unsur karakter bangsa (Budimansyah, 2010: 9).
Membangun keberadaan bangsa yang
berkarakter pada abad 21 merupakan conditio
zine quo non bagi Bangsa Indonesia. Hal ini diwujudkan jika setiap warga
negara Indonesia sebagai pendukung utama peradaban memiliki karakter bangsa
yang luhur dalam rangka membangun keberadaban bangsa (Sukadi, 2010: 79). Walaupun
sudah diselenggarakan melalui berbagai upaya, pembangunan karakter bangsa belum
terlaksana secara optimal dan pengaruhnya terhadap pembentukan karakter baik (good character) warganegara belum cukup signifikan
(Budimansyah, 2010: 2).
Dalam tujuan Pendidikan Nasional
sesunggnya sudah memiliki kandungan nilai-nilai karakter yang sangat kaya. Hal
ini menjadi tantangan tersendiri bagi institusi pendidikan dan para pendidik
bagaimana menerjemahkan tujuan Pendidikan Nasional tersebut menjadi strategi,
model, dan pendekatan pembelajaran hingga secara efektif mampu menumbuhkan
nilai-nilai karakter yang dicita-citakan. Namun pada hakikatnya tidak ada
proses pendidikan yang bebas nilai, tidak ada juga sebuah nilai yang bebas
rujukan. Setiap pendidikan berkesempatan mengembangkan model dan pendekatan
pembelajaran dalam pendidikan karakter yang diinginkan dapat dikembangkan
secara terpadu melalui manajamen pendidikan dan pembelajaran berlandaskan pada
nilai-nilai yang menjadi rujukan (Ace, 2010: 122).
Ada beberapa penggunaan model dan pendekatan pembelajaran pendidikan karakter
pada abad 21 yaitu; pendekatan keteladanan, pendekatan berbasis kelas,
pendekatan kegiatan ko-kurikuler dan ekstrakurikuler, pendekatan kultur
kelembagaan dan kultur akademik, pendekatan berbasis komunitas, dan dukungan kebijakan
pendidikan yang relevan serta model pembelajaran penanaman nilai, berbasis
perkembangan penalaran moral, analisis nilai, dan project citizen yang dapat dikembangkan guna pembentukan karakter
baik (good character) setiap peserta
didik.
PEMBAHASAN
A. Hakikat Pendidikan Karakter
Pendidikan karakter pada abad 21 sesungguhnya
tidak bisa dilepaskan dari program pendidikan pada umumnya. Karena itu, untuk
memahami makna pendidikan karakter tidaklah bisa dilepaskan dari makna
pendidikan itu sendiri. Landasan pendidikan nasional Indonesia sesungguhnya
adalah pembentukan karakter kehidupan berbangsa. Demikian pula dengan berakar pada
nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia, dan tanggap terhadap tuntutan
perubahan jaman jelas menunjukkan bahwa jiwa atau roh pendidikan nasional itu
sesungguhnya pembentukan karakter atau kepribadian bangsa Indonesia yang
bersumber dan nilai-nilai agama, nilai-nilai luhur kebudayaan nasional, dan nilai-nilai
yang tumbuh dan berkembang dalam pertumbuhan dan perkembangan jaman (Sukadi,
2011: 96).
Menurut Koesoema (2010: 115) roh
pendidikan karakter dapat menjadi pisau bermata dua. Di satu sisi pendidikan karakter
dapat memacu dan meningkatkan kemampuan intelektual dan akademis, di sisi lain
pendidikan karakter menjadi usaha pemertahanan dan pengembangan kapasitas moral
peseta didik. Kedua kekuatan ini menjadi idealisme pendidikan agar dapat
mengarahkan peseta didik semakin mampu mengembangkan ketajaman intelaktual dan
integritas diri sebagai pribadi yang memiliki karakter kuat. Demikian pula
pendidikan tanpa jiwa dan spirit yang jelas dalam bentuk pendidikan karakter
diyakini akan dapat menjadi bumerang bagi kepentingan kemanusiaan itu sendiri.
Hal ini sangat jelas dinyatakan oleh
Mahatma Gandhi bahwa pendidikan tanpa basis karakter adalah salah satu dosa
yang fatal Theodore Roosevelt juga pernah menyatakan bahwa: “to educate a person in mind and not in
morals is to educate a menace to society (Williams dan Megawangi, 2010). Hal
senada juga pernah dinyatakan oleh Horace Man bahwa “the highest and noblest
office of education pertains to our moral nature. The common school should teach
virtue before knowledge, for knowledge without virtue poses its own dangers (Elmubarok,
2008: 106).
Sesungguhnya pendidikan karakter adalah
proses pemberdaan (empowering)
potensi peserta didik proses humanisasi (humanizing),
dan proses pembudayaan (civilizing).
Sebagai proses pemberdayaan, pendidikan karakter pada dasarnya adalah usaha
sadar untuk memberdayakan dan mengembangkan seluruh potensi peserta didik.
Proses ini juga memberdayakan peserta didik sebagai makhluk yang menyadari
memiliki sejumlah potensi dan menyadari keterbatasannya dengan cara knowing the what and knowing the why; appreciate mean and end; dan
experincing, acting, and behaving. Pendidikan karakter juga bukanlah proses
pengajaran yang bersifat transfer informasi semata. Pendidikan karakter juga
bukanlah proses penanaman nilai-nilai belaka.
Di sisi lain, potensi-potensi itu bisa
dimanifestasikan dalam bentuk multikecerdasan: pengetahuan fisik, kinestetik,
emosional sosial, intelektual, moral, estetis, dan spiritual. Yang lain lagi
berusaha mewujudkan potensi-potensi itu dan segi: learning to know, learning to do, learning to be, learning to live
together, dan learning to obey God Almighty. Kesadaran yang lain dapat
mengintegrasikan potensi-potensi: kemampuan berpikir yang baik dan benar, berkata-kata
yang baik dan benar, dan berbuat yang baik dan bijaksana. Yang lainnya lagi
dapat pula diintegrasikan antara kemampuan, kepribadian, dan skills atau keterampilan (Sukadi, 2011:
99).
B. Model Pembelajaran Pendidikan Karakter
Menurut Sukadi (2011: 109 ) ada beberapa
model pembelajaran pendidikan karakter pada abad 21 yang berbasis pada
pendidikan nilai dan moral perlu disajikan, antara lain:
1. Model
pembelajaran penanaman nilai, berasumsi bahwa peserta didik perlu
menerima nilai- nilai yang dianggap luhur oleh masyarakat, baik yang berupa
nilai-nilai lama yang masih dianggap luhur maupun nilai-nilai modern yang telah
diterima oleh dominan dalam masyarakat. Model pembelajaran nilai seperti ini
berasal dan keyakinan ideologi pendidikan perenialisme
dan esensialisme. Ciri utama
pembelajaran penanaman nilai-nilai adalah bahwa para siswa/ mahasiswa harus
menerima nilai-nilai yang diajarkan oleh orang dewasa dan mereka harus
mengubahnilai-nilai yang dianggap tidak relevan oleh kelas dominan dalam
masyarakat. Pembelajaran penanaman nilai-nilai ini dapat dilakukan melalui
metode pengajaran langsung atau dengan ceramah nilai-nilai, pembelajaran dengan
simulasi, bermain peran, bermain drama, belajar dengan melakukan, dan belajar
dengan penguatan positif dan negatif.
2. Model
pembelajaran berbasis perkembangan penalaran moral, menurut Piaget,
perkembangan penalaran moral itu berkembang dan tingkat heteronom menuju
pengambilan keputusan moral yang bersifat otonom. Untuk memfasilitasi peserta
didik mampu mengambil keputusan moral secara otonom, mereka haruslth diajarkan
untuk berhadapan dengan dilema nilai moral, belajar membuat keputusan moral,
dan belajar memberikan pertimbangan nilai-nilai moral dengan menggunakan
penalaran yang rasional. Melalui diskusi kelompok peserta didik diajak untuk
mendiskusikan secara rasional mengapa mereka harus mengambil keputusan moral
seperti yang mereka hadapi dengan landasan berpikir secara rasional.
3. Model
pembelajaran analisis nilai, menekankan pada kemampuan peserta didik untuk melakukan
analisis nilai-nilai secara rasional dan logis pada masalah-masalah sosial yang
mengandung muatan nilai-nilai moral. Pembelajaran dengan analisis nilai ini
menghadapkan peserta didik pada berbagai masalah sosial yang ada di masyarakat
yang mengandung muatan konflik nilai-nilai moral. Tugas siswa atau mahasiswa adalah
melakukan analisis secara logis baik melalui kajian pustaka, melakukan penelitian
lapangan, maupun melalui diskusi secara kelompok atau kelas untuk membahas
berbagai konflik nilai yang terjadi pada masalah-masalah sosial tersebut.
4. Model
pembelajaran project citizen, membantu peserta didik mengembangkan
kompetensi menjadi warga negara yang
baik dalam arti demokratis dan partisipatif. Peserta didik diberdayakan untuk
memiliki kepekaan dan kepedulian sosial dalam turut mempengaruhi kebijakan
publik oleh pemerintah
yang mengandung muatan nilai-nilai
moral. Di sini peserta didik belajar mengidentifikasi masalah-masalah sosial
atau mengidentifikasi kebutuhan masyarakat yang dapat dibantu pemenuhannya
melalui usulan kebijakan publik yang dikembangkan sendiri oieh peserta didik.
Setelah itu peserta didik belajar membuat berbagai alternatif pemecahan masalah
dan menyusun rekomendasi untuk usulan kebijakan publik kepada pejabat
pemerintahan terkait. Terakhir, peserta didik bersama-sama pendidik dapat
melakukan tindakan refleksi pengalaman belajar untuk menilai efektivitas
pembelajaran dalam mencapai tujuan-tujuan pendidikan nilai/moral (Sukadi,
2007).
C. Pendekatan Pendidikan Karakter
Sukadi (2011: 101) menyatakan bahwa pendidikan
karakter mengambil aspek yang dominan dan utama dalam pelaksanaan program
pendidikan. Demikian pula pendidikan karakter mengambil domain yang terdalam dan
kompleks dalam pengembangan kompetensi manusiawi. Sangatlah tidak mudah, karena
itu, untuk melakukan dan mengembangkan satu pendekatan pendidikan karakter yang
efektif dan efisien. Tidak seperti pendidikan bidang studi atau mata pelajaran yang
bersifat kognitif atau keterampilan tertentu yang umumnya bisa efektif
dilaksanakan melalui pendekatan pembelajaran bidang studi tertentu, pendidikan
karakter yang cenderung utuh mengintegrasika domain-domain kemampuan kepribadian,
dan keterampilan agak sulit dijamin efektivitasnya jika dibelajarkan melalui
mata pelajaran karakter yang berdiri sendiri.
Ada beberapa pendekatan pendidikan
karakter yang mungkin dilaksanakan di sekolah atau perguruan tinggi dengan
menggunakan beberapa pendekatan yang telah disebutkan di atas, yaitu;
pendekatan keteladanan, pendekatan berbasis kelas, pendekatan kegiatan
ko-kurikuler dan ekstrakurikuler, pendekatan kultur kelembagaan dan kultur
akademik, pendekatan berbasis komunitas, dan dukungan kebijakan pendidikan yang
relevan.
1. Pendekatan keteladanan,
merupakan
pendekat untuk meneladankan pola berpikir, nilai-nilai dan sikap, serta
kompetensi yang mencerminkan teraktualisasikannya nilai-nilai yang mendasari karakter
bangsa dari seseorang kepada orang lain terutama dari orang dewasa kepada peserta
didik, dengan maksud peserta didik tersebut dapat mengikuti pola-pola perilaku
yang baik dari model (Sukadi, 2011: 102). Pendekatan ini tidaklah cukup
dilakukan hanya dengan memberikan contoh-contoh pola berpikir nilai dan sikap,
serta perilaku yang baik kepada peserta didik, karena pemberian contoh yang
tidak disertai dengan pemilikan perilaku tersebut oleh model justru dapat
menjadi bumerang. Untuk kepentingan ini seluruh komponen civitas akademika (pemimpin
perguruan tinggi, kepala sekolah, staf dosen, guru staf, dan mahasiswa atau
siswa) haruslah mampu mengternalisasikan nilai-nilai karakter kehidupan
berbangsa dan menjadi teladan yang baik bagi pembangunan karakter bangsa satu
sama lain.
2. Pendekatan berbasis
kelas,
dapat dilakukan dalam hubungan
dialogis melalui kegiatan pembelajaran di kelas. Di sini ada guru atau dosen sebagai pendidik dan mahasiswa
atau siswa sebagai pembelajar. Kegiatan pembelajaran
pendidikan karakter dapat dilakukan melalui pemberdayaan peserta didik dalam membina nilai-nilai utama dalam pembentukan
karakter yang diharapkan.
Untuk ini guru
dan siswa, misalnya, perlu menyepakati tentang
nilai-nilai utama yang akan dibina, dimantapkan, dikuatkan, dan dikembangkan sebagai kompetensi yang
akan dicapai dalam pembelajaran. Selanjutnya, guru dapat memfasilitasi,
membimbing, mendorong, menemani, mangarahkan,
memimpin, menguatkan, dan menyontohkan atau meneladankan kepada peserta didik
bagaimana nilai-nilai keutamaan karakter tersebut digali atau dieksplorasi, dijelaskan, diberi penalaran, dinilai
dan disikapi, dihayati, dipecahkan
konflik-konfliknya, dan dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari, serta dimonitoring dan dievaluasi efektivitas
penyelenggaraan pendidikannya.
3. Pendekatan integritas
dalam kegiatan ekstrakulikuler, Sukadi (2011: 105) hampir identik dengan
pendekatan berbasis kelas yang bersifat atau berbasis kegiatan kurikuler dan
kokurikuler, pendidan karakter juga dapat diintegrasikan ke dalam kegiatan
kepemimpinan siswa/mahasiswa dan kegiatan ekstrakurikuler
kesiswaan/kemahasiswaan. Untuk ini seluruh organisasi kepemimpian siswa/mahasiswa dan organisasi
ekstra kampus atau ekstrakurikuler di bawah bimbingan dan pembinaan dosen
harusah dapat dengan sengaja di sistematis mengembangkan proram-program
pendidikan yang dapat mengintegrasikan tujuan-tujuan pendidiksan karakter
sesuai dengan visi, misi, tujuan, jeins program, dan kegiatan masing-masing unit
organisasi kesiswaan/kemahasiswaan.
Untuk
efekfivitas pendekatan ini, seluruh siswa dan guru atau mahasiswa dan dosen
pembimbing haruslah memiliki dasar, komitmen, program, dan tindakan yang sama
dalam mengembangkan iklim organisasi kesiswaan/kemahasiswaan dalam
mengembangkan kegiatan-kegiatan ekstra yang dapat memfasilitasi pencapaian
tujuan untuk terbangun dan terinternalisasikan nilai-nilai kepribadian bangsa
sebagaimana dirumuskan dalam kompetensi pendidikan karakter bangsa.
4. Pendekatan pengembangan
kultur sekolah atau kultur akademik,
tidak saja mengandalkan pembelajaran di kelas, tetapi juga yang lebih penting
adalah bagaimana dapat dibangun pranata sosial dan budaya serta penciptaan iklim
akademis yang mencerminkan terwujudkannya nilai-nilai keutamaan dalam pendikan
karakter (Sukadi, 2011: 106). Untuk ini semua komponen civitas akademik tentu
haruslah memiliki visi, misi, pola ilmiah pokok, rencana dan kebijakan
strategis, pola berpikir, nilai-nilai dan sikap, serta pola tindakan dengan
dasar komitmen yang sama untuk mewujudkan roh atau jiwa dan nilai-nilai
keutamaan dalam iklim pendidikan karakter di lembaga.
Dengan begini
tugas dan tanggung jawab pencapaian kompetensi pendidikan karakter tidaklah
monopoli guru atau dosen semata, tetapi juga menjadi peran dan tanggung jawab
pemimpin lembaga, staf pegawai dan karyawan, serta seluruh peserta didik secara
bersama-sama. Melalui pendekatan ini pula proses-proses pemberdayaan, proses
humanisasi, dan proses pembudayaan dalam pelaksanaan pendidikan karakter akan
berjalan secara terintegrasi dan sinergitas serta terhindar dari
konflik-konflik kepentingan internal lembaga yang bisa menjadi virus utama yang
mengagalkan usaha-usaha pendidikan karakter oleh guru dan dosen.
5. Pendekatan pendidikan
karakter berbasis komunitas, Sukadi (2011: 107-108) menyatakan bahwa pendekatan
pendidikan karakter berbasis komunitas dilaksanakan secara sinergitas antara
lembaga pendidikan dengan masyarakat sekitarnya. Karena itu, perlu ada tanggung
jawab dan kerja bersama antara lembaga pendidikan orangtua/ wali
siswa/mahasiswa, masyarakat dan pemeritah setempat untuk turut melaksanakan
upaya pendidikan karakter.
Upaya kerja dan
tanggung jawab bersama itu tidaklah cukup hanya dengan mempercayakan dan
menyerahkan begitu saja kepada pihak-pihak untuk pelaksanaan pendidikan
karakter. Perlu ada upaya progresif dimana lembaga sekolah atau Perguruan
tinggi berinisiatif untuk mensosialisasikan kepada masyarakat dan pemerintah
dalam rangka meminta dukungannya dalam pelaksanaan pendidikan karakter. Efektivitas
pendekatan pendidikan karakter sangat tergatung pada sejauhmana komitmen
pihak-pihak untuk bersedia bersama-sama bertanggung jawab mengambil inisiatif
untuk mensukseskan pelaksanaan pendidikan karakter ini, setidak-tidaknya mampu
menciptakan iklim dimana keluarga, masyarakat dan pemerintah dapat menjadi
tauladan bagi peserta didik sebagai generasi muda.
6. Pendekatan
berbasis kebijakan pendidikan,
salah satu permasalahan yang dihadapi bangsa Indonesia dalam pembangunan
karakter bangsa adalah masih terbatasnya perangkat kebijakan terpadu dalam
mewujudkan nilai-nilai esensi Pancasila, termasuk tentunya dalam perangkat
kebijakan pendidikan. Bahkan ditengarai, masih ada kebijakan-kebijakan
pemerintah yang bertentangan salit sama lain. Oleh karena itu, pemerintah
bekerjasama dengan dan melalui lembaga pendidikan perlu turut melahirkan
berbagai instrumen kebijakan pendidikan yang terpadu dapat mewujudkan
nilai-nilai esensi Pancasila bagi seluruh lapisan masyarakat, khususnya bagi
warga civitas akademika (Sukadi, 2011: 108-109).
Berbagai
kebijakan yang mewujudkan nilai-nilai esensi Pancasila ini secara terpadu tentu
akan menjadi sarana pendidikan karakter yang efektif bagi seluruh komponen
civitas akademika dan masyarakat stakesholdersnya.
Sebagai contoh, jika pemerintah dapat melahirkan satu kebijakan bahwa dalam
rekruitmen calon pegawal pemerintahan dan calon guru terutama akan diambil dan
lulusan perguruan tinggi yang memiliki prestasi akademis dan integritas
kepribadian yang tinggi, tentu kebijakan ini akan menjadi sarana pendidikan
karakter yang efektif untuk meningkatkan kualitas lulusan perguruan tinggi di
satu sisi dan kualitas sumber daya manusia pemerintahan dan guru di sisi lain.
KESIMPULAN
Berdasakan pembahasan yang telah
diuraikan, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan, sebagai berikut :
1. Pendidikan
karakter pada abad 21 sesungguhnya merupakan proses pemberdayaan (empowering) potensi peserta didik proses
humanisasi (humanizing), dan proses
pembudayaan (civilizing). Sebagai
proses pemberdayaan, pendidikan karakter pada dasarnya adalah usaha sadar untuk
memberdayakan dan mengembangkan seluruh potensi peserta didik untuk membentuk
karakter baik (good character).
2. Pada
hakikatnya tidak ada proses pendidikan yang bebas nilai, maka model-model
pembelajaran pendidikan karakter pada abad 21 yang berbasis pada pendidikan
nilai dan moral yaitu model pembelajaran penanaman nilai, berbasis perkembangan
penalaran moral, analisis nilai dan project citizen, efektif digunakan
membantu peserta didik mengembangkan kompetensi menjadi warga negara yang baik
dalam arti demokratis dan partisipatif.
3.Pendekatan
pendidikan karakter yang digunakan dalam pembelajaran yakni; pendekatan
keteladanan, berbasis kelas, kegiatan ko-kurikuler dan ekstrakurikuler, kultur
kelembagaan dan kultur akademik, berbasis komunitas, dan dukungan kebijakan
pendidikan yang relevan dapat membantu peserta didik mengidentifikasi
masalah-masalah sosial atau mengidentifikasi kebutuhan masyarakat yang dapat
dibantu pemenuhannya melalui usulan kebijakan publik yang dikembangkan sendiri
oleh peserta didik.
DAFTAR PUSTAKA
Budimansyah,
D. 2010. Penguatan Pendidikan Kewarganegaraan
Untuk Membangun Karakter Bangsa. Bandung: Widya Aksara Press.
Elmubarok, Z. 2008.
Membumikan Pendidikan Nilai. Bandung:
Alfabeta.
Koesoema.
2010. Pendidikan Karakter: Strategi
Mendidik Anak di Zaman Global. Jakarta: Grasindo.
Sukadi.
2007. Belajar dan Pembelajaran sebagai Yadnya. Dalam Sukardi, dkk (Ed). Belajar dan Pembelajaran (Berorientasi
Konten Kearifan Lokal Budaya Bali). Singaraja: Undiksha.
Sukadi.
2010. Pendidikan Karakter Bangsa
Berideologi Pancasila. Bandung: Widya Aksara Press.
Suryadi,
Ace. 2010. Pendidikan Karakter Bangsa;
Pendekatan Jitu Menuju Sukses Pembangunan Pendidikan Nasional. Bandung: Widya
Aksara Press.
Williams,
R.T. dan Megawangi, R. 2010. Kecerdasan
Plus Karakter. www.teknologiotak.com. Diunduh 3 November 2016.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar