Senin, 21 November 2016

Maling Telor

Prof. Dr. Karim Suryadi, M.Si

Peneliti komunikasi politik, dosen FPIPS Universitas Pendidikan Indonesia, kolumnis Pikiran Rakyat

KORUPSI kembali menyedot perhatian publik di tanah air. Untuk sementara, kasus ini mengalihkan perhatian publik dari kasus Aa Gatot, persidangan kasus pembuhunan Wayan Mirna Salihin, atau kemeriahan pembukaan Pekan Olah Raga Nasional (PON) XIX di Jawa Barat.
Operasi tangkap tangan terhadap Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) menambah panjang daftar pimpinan lembaga negara yang terlibat kasus korupsi. Selain telah merontokkan Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pada April 2014, korupsi pun menyeret Ketua Mahkamah Konstitusi pada Oktober 2013. Ke dalam daftar orang penting yang terjerat korupsi ini tentu saja bisa dimasukan sejumlah menteri, anggota legislatif, dan kepala daerah.
Terungkapnya kasus operasi tangkap tangan terhadap Ketua DPD tiga hari lalu amat menyesakkan. Lembaga yang hadir untuk memastikan kepentingan setiap daerah dipertimbangkan dalam pengambilan keputusan strategis, malah melakukan sesuatu yang bertentangan dengan kehendak masyarakat yang diwakilinya. Ini adalah sebuah anomali yang menohok mata.
Kurang dari dua pekan sebelumnya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pun melakukan operasi tangkap tangan terhadap salah seorang bupati termuda di salah satu kabupaten di Sumatera. Rentetan kasus korupsi yang melibatkan tokoh dari banyak kalangan dengan beragam latar belakang menegaskan bahwa korupsi merupakan ancaman yang serba hadir (omnipresent).
Kian gencarnya usaha pemberantasan korupsi di satu sisi, dan makin seringnya "orang penting" terlibat korupsi di sisi lain, menegaskan bahwa ancaman korupsi pun bermetamorfosis, makin licin, dan kian nekat. Motifnya bukan lagi mempertahankan hidup, melainkan untuk memperkaya diri. Bagi orang kebanyakan, motif yang disebut terakhirlah yang membuat perilaku korup menjadi perbuatan yang sulit dipahami akal sehat.
Adalah Augusto Boal, seorang sutradara, pemain drama, penulis, dan akhirnya menjadi vereador (anggota Dewan Perwakilan Rakyat) di Brazil, yang mengibaratkan koruptor sebagai maling telor ayam yang sudah kehilangan kehormatan. Seperti halnya pencuri telor ayam, para koruptor harus melakukan tindakan korupnya dengan gesit, lembut, dan penuh keberanian. Bedanya yang dicuri para koruptor adalah kekayaan negara dan hak rakyat.
Dalam pandangan Boal, para maling telor ayam setidaknya masih memiliki sedikit rasa "kepahlawanan", karena mereka mencuri untuk mempertahankan hidup. Namun tidak bagi koruptor. Mereka mencuri untuk memperkaya diri. Karenanya koruptor telah kehilangan kehormatan, dan manusia tanpa kehormatan bukanlah manusia. (Augusto Boal, Legislative Theatre, Using Performance to Make Politics - first published 1998)
Mungkin karena merasa kehilangan kehormatan pula banyak koruptor di negara lain memilih mengakhiri hidupnya begitu kasusnya terkuak. Para koruptor di Tiongkok paling banyak yang memilih mengakhiri hidup dengan cara tidak wajar seperti ini, meski beberapa kasus ditemukan di Korea, atau di Prancis. Hingga kini, Tiongkok menjadi negara paling banyak menghukum mati koruptor. Meski tindakan bunuh diri dipandang sebagian pihak sebagai usaha menyelamatkan keluarga dari ancaman balas dendam mafia yang melakukan persekongkolan korupsi, namun ancaman hukuman yang amat berat tidak bisa dimungkiri menjadi penyebab koruptor memilih mengakhiri hidupnya dengan cara tidak wajar.
Meski dipandang sebagai kejahatan luar biasa, banyak pelaku korupsi dihukum relatif ringan di tanah air. Beberapa kasus dipidana jauh lebih ringan dibanding pelaku teror, atau pelaku kejahatan seksual terhadap anak. Padahal dampak kejahatan korupsi sama berbahayanya bila dibanding teror atau kejahatan seksual terhadap anak. Tapi mengapa pelaku kejahatan seksual terhadap anak dapat terancam hukuman kebiri, namun tidak bagi koruptor? Bukankah koruptor melakukan pemerkosaan (kekayaan negara dan hak rakyat)?
Lebih mengherankan lagi, banyak terpidana korupsi saat bebas disambut dan diarak layaknya pahlawan. Ini sebuah bentuk anomali lain, yang menisbikan keniscayaan dampak dan ancaman kejahatan korupsi.
Kita bisa berdebat panjang tentang berat ringannya hukuman yang layak dijatuhkan bagi koruptor dan efektivitasnya bagi upaya pencegahan korupsi. Namun satu hal sulit disangkal, korupsi hanya bisa dilakukan oleh mereka yang memiliki akses dan jaringan. Karena itu, hukuman mati pun tidak akan menghapuskan ancaman korupsi bila sistem yang korup tidak diubah dan preferensi antikorupsi belum terbangun.
Selain menciptakan sistem birokrasi yang tidak memberi ruang bagi tindak korupsi, penting menciptakan pola seleksi pejabat publik yang mampu mencegah munculnya pejabat korup. Semisal tidak melantik calon pejabat yang berstatus tersangka hingga keluar putusan pengadilan yang berkekuatan hukum.
Upaya lain adalah mencegah kekuasaan bertumpuk di tangan satu orang, atau hanya beredar dalam siklus keluarga. Penumpukkan kekuasaan pada satu orang atau keluarga akan memberi celah besar bagi terjadinya penyimpangan akibat terbangunnya pola-pola saling menguntungkan sejalan dengan tindakan melanggengkan kekuasaan. Mencegah politik keluarga (dinasti) akan menjadi investasi penting bagi pembentukan sistem politik yang sehat.
Di atas segalanya, hanya politik tahu diri yang akan menyetop perilaku korup. Cukup adalah tidak cukup bagi mereka yang menginginkan lebih, namun bagi orang yang tahu arti mengendalikan diri, yang tidak cukup pun akan dicukup-cukupkan. Untuk urusan perut, hanya ketika perut sudah terisi tanah keinginan untuk berlebih akan berhenti.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Comments system

Disqus Shortname